Kajian Angka Reduksi Momen Inersia Terhadap Distribusi Gaya-Gaya Dalam Pada Struktur Beton Bertulang

(1)

KAJIAN ANGKA REDUKSI MOMEN INERSIA TERHADAP

DISTRIBUSI GAYA-GAYA DALAM PADA STRUKTUR BETON

BERTULANG

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian

Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh :

050404049

ASROI BENNY NOOR HARAHAP

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya hingga selesainya Tugas Akhir ini dengan judul ” Kajian Angka Reduksi Momen Inersia Terhadap Distribusi Gaya-Gaya Dalam Pada Struktur Beton Bertulang ”.

Tugas Akhir ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Ujian Sarjana Teknik Sipil Bidang Studi Struktur pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU).

Penulis menyadari bahwa selesainya tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak baik moril maupun materil. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ir.Teruna Jaya, M.Sc., selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Daniel Rumbi Teruna, MT selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan yang tiada hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Teristimewa buat Ayahanda Khoiruddin Harahap dan Ibunda Nurmala Siregar tercinta atas segala dukungan, pengorbanan, cinta, kasih sayang, kepercayaan serta do’a yang tiada batas untuk penulis. Baktiku takkan dapat membalas segalanya...I’ll always love you, no matter what. Buat kakakku tercinta Nita Irmayani Harahap beserta abang iparku Dedy Fitriadi Siregar dan juga kakakku


(3)

Neny Asnizar Harahap beserta keluarga besar saya, terima kasih kuucapkan kepada semuanya. Tanpa kalian sulit rasanya menjalani hari-hari yang berat selama kuliah.

5. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. 6. Teman-teman sipil angkatan 2005, khususnya hidrolic community : ibnu’jabut’,

nasrul, mizan, yudo, jimek, bdee, uje’, afrijal, rio, iqbal(aceh dan binje), faiz, bibi, batam, ahmad, edo(padang dan medan), kawan kp(mamak icut dan ahmad tanjung), rhini, wida, tanti, eni, ida, nisa, heni, icha, vika, kace, buaya, mumu, widi, pesi, sakinah, emon, ari, ajil, nandana, doni, takur, fahmi, kiki, internisti(reja, andri, boni) dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih telah membuat kampus ini lebih bewarna.

7. Abang-abang angkatan 2004(b’mabrur, b’aswin, b’nailul, b’ilham, b’faisal), angkatan 2003, angkatan 2002, dan adik-adik angkatan 2006, 2007 dan 2008 terima kasih atas support yang telah diberikan.

8. IMASOTAMA (Ikatan Mahasiswa Orang Tapsel – Madina) 2000( b’rusli harahap,dkk), 2002( tulangi Roy Sultan Siregar, b’Ali Mashur Tanjung, b’Rajab Asri Nasution, b’Ahmad Afif Nasution, b’Ahmad Soleman Tanjung),2003(b’sahdan,dkk), 2004(b’Indra Husein Lubis, b’ Soleman Dalimunthe, b’Muhammad Yusuf, b’Rangga Putra Angkola Siagian,dkk), 2005 (Mizan, Bangun, Luthfi, Fauzan),2006 (Sawal, Ali Husin, Royhan, Sa’i,dkk),2007(Iskandar, Arsyad Hrp & Srg, Bajora, Incen, dkk)

9. Saudara ”77 Groups” : abangi (Fuddin Harahap, Azis Siregar, Mr.Rudi Harahap, ibnu Kholdun), maradu kahanggi (Ilham Riwandi, Ilham G.tua, Sabaruddin, Ruli,


(4)

Salman) Mora atw anakboru (sahut, aji, zul regari, menengah surya, sukron, yakubiyah, munte carlo) mangido moof muda adong namartinggalanda.

10.Specially to My Honey Dena Marisa 11.Alumni SMAN I Padang Bolak 2005

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan tugas akhir ini, semoga Allah SWT membalas semua budi dengan limpahan kebaikan. Amin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat meningkatkan kemampuan menulis pada masa yang akan datang. Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi yang membacanya.

Medan, September 2010

05 0404 049


(5)

ABSTRAK

Elemen-elemen struktur beton bertulang akan mengalami keretakan ketika dikenai beban layan dan pengaruh dari faktor time dependent, seperti susut dan rangkak. Adanya keretakan pada elemen struktur beton bertulang menyebabkan momen inersianya berkurang. Untuk perencanaan terhadap beban gempa, diperbolehkan menggunakan momen inersia efektif. Namun, dari peraturan yang ada, angka momen inersia efektif untuk elemen-elemen struktur berbeda satu sama lain.

Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui besarnya distribusi gaya-gaya dalam yang terjadi setelah dimasukkan angka reduksi momen inersia. Metodologi yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir ini adalah melakukan kajian literatur dan menganalisa perilaku penampang elemen-elemen struktur terhadap beban. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SAP 2000 dan kemudian diselesaikan dengan perhitungan. Reduksi momen inersia yang didapat dari hasil analisis dan peraturan digunakan dalam model struktur dan dilihat kinerja strukturnya.

Reduksi momen inersia hasil analisis dan reduksi momen inersia dari peraturan-peraturan yang ada berbeda satu sama lainnya. Perbedaan reduksi momen inersia antara peraturan SNI 2847-2002 dan hasil analitis 59,35% untuk balok dan 13,59% untuk kolom akibat beban mati, sedangkan akibat beban gempa 50,91% untuk balok dan 35,71% untuk kolom. Selisih maksimum gaya-gaya dalam yang terjadi yaitu untuk akibat beban mati pada balok 20,344% momen, 22,193% lintang, dan 4,272% normal dan pada kolom yaitu 3,044% momen, 0,759% lintang, 2,924% normal. Sedangkan akibat beban gempa untuk balok yaitu 99,639% momen, 88,839% lintang, dan 89,286% normal, dan pada kolom yaitu 91,108% momen, 19,904% lintang, 90,813% normal.

Kata kunci: Reduksi momen inersia, beban, faktor time dependent, probabilitas beban


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

ABSTRAK ...iv

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR GAMBAR ...ix

DAFTAR TABEL ...x

BAB I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang………….. ...1

1.2. Maksud dan Tujuan ...3

1.3. Lingkup Pembahasan ...4

1.4. Batasan Masalah ...4

1.5. Metodologi ...5

1.5. Sistematika Pembahasan ...6

BAB II. TEORI DASAR ...7

2.1. Beton dan Beton Bertulang ……….. ...7

2.2. Kelebihan Beton Bertulang Sebagai Suatu Bahan Struktur… ..7

2.3. Kelemahan Beton Bertulang Sebagai Suatu Bahan Struktur. ...9

2.4. Sifat-Sifat Beton Bertulang . ...10

2.4.1 Kuat Tekan ...10

2.4.2 Modulus Elastisitas Statis ...13

2.4.3 Modulus Elastisitas Dinamis ...14


(7)

2.4.5 Kuat Tarik ...15

2.4.6 Kuat Geser ...19

2.4.7 Kurva Tegangan-Regangan ...19

2.5 Kolom ...20

2.6 Balok ...21

2.7 Pengantar Gempa...21

2.7.1 Analisis Beban Gempa ...25

2.7.2 Respon Spektra ...28

2.8 Falsafah Pembebanan LRFD...29

2.8.1 Probabilitas Beban ...32

BAB III. STUDI KASUS DAN PEMODELAN ...35

3.1 Keretakan Beton ...35

3.1.1 Retak Akibat Beban Layan ...35

3.2 Analisa Lentur Pada Balok ...36

3.2.1 Tahap Beton Tanpa Retak ...36

3.2.2 Tahap Beton Mulai Retak-Tegangan Elastis ...36

3.2.3 Tahap Keruntuhan Balok-Tegangan Ultimit ...40

3.3 Metode Transformasi Penampang ...42

3.4 Momen Retak ...43

3.5 Pengaruh Retak Pada Momen Inersia ...44

3.6 Momen Kurvature ...47

3.7 Deformasi Lentur...50

3.8 Faktor Modifikasi Kekakuan...51


(8)

3.10 Pemodelan Elemen Struktur ...54

3.10.1 Pembebanan ...54

3.10.1.1 Beban Mati ...54

3.10.1.2 Beban Hidup ...54

3.11.1.3 Beban Gempa...55

3.10.1.4 Kombinasi Pembebanan ...55

3.10.2 Pemodelan Balok dan Kolom ...55

BAB IV. ANALISIS PENAMPANG DAN PEMBAHASAN ...77

4.1. Balok ...77

4.1.1 Analisa Balok ...78

4.2. Kolom ...86

4.2.1 Analisa Kolom ...87

4.3. Distribusi Gaya-Gaya Dalam ...93

4.3.1 Balok ...93

4.3.1 Kolom...95

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...93

5.1. Kesimpulan ...93

5.2. Saran ...94


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Lempeng Tektonik ... 1

Gambar 2.1 Kurva Tegangan-Regangan Beton yang Umum ... 12

Gambar 2.2 Uji Pembelahan Silinder ... 18

Gambar 2.3 Kurva Tegangan-Regangan ... 19

Gambar 2.4 Kurva Tegangan-Regangan untuk Berbagai Kekuatan Beton .. 20

Gambar 2.5 Wilayah Gempa di Indonesia ... 23

Gambar 2.6 Ilustrasi Beban Gempa Statik Ekivalen ... 26

Gambar 2.7 Respon Spektra Wilayah Gempa 4 ... 29

Gambar 2.8 Distribusi Tahanan dan Beban Vs Frekuensi... 30

Gambar 2.9 Kurva Defenisi Kegagalan Struktur ... 31

Gambar 2.10 Flow Chart Analisis Angka Reduksi Momen Inersia ... 34

Gambar 3.1 Ilustrasi Keretakan Beton Akibat Beban Layan ... 36

Gambar 3.2 Tahap Beton Tanpa Retak ... 36

Gambar 3.3 Beton Mulai Retak-Tahap Tegangan Elastis ... 38

Gambar 3.4 Tulangan Baja Diganti Luas Beton ... 39

Gambar 3.5 Tahap Tegangan Ultimit ... 40

Gambar 3.6 Diagram Momen-Kurvature yang Mengalami Retak ... 41

Gambar 3.7 Kurva Momen Vs Kurvature ... 45

Gambar 3.8 Variasi Kekakuan Lentur dengan Momen ... 48

Gambar 3.9 Diagram Momen Kurvature Balok Tumpuan Sederhana ... 49

Gambar 3.10 Defleksi Akibat Lentur Pada Sebuah Elemen ... 50

Gambar 3.11 Respon Spektra Wilayah Gempa 4 ... 51

Gambar 3.12 Prototipe Sistem Struktur ... 52

Gambar 3.13 Denah Prototipe Sistem Struktur ... 53


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Percepatan Puncak Batuan pada Gempa ... 23

Tabel 4.1 Gaya Dalam Pada Frame 15 ... 61

Tabel 4.2 Nilai Luas Tulangan Pada Frame 15 ... 62

Tabel 4.3 Analisis Balok pada Frame 15 Tahap I ... 65

Tabel 4.4 Gaya Dalam Pada Frame 15 Dengan Angka Reduksi ... 66

Tabel 4.5 Analisis Balok pada Frame 15 Tahap II ... 67

Tabel 4.6 Gaya Dalam Pada Frame 15 Dengan Angka Reduksi ... 68

Tabel 4.7 Analisis Balok pada Frame 15 Tahap III ... 69

Tabel 4.8 Gaya Dalam Pada Frame 15 ... 70

Tabel 4.9 Analisis Balok pada Frame 15 Tahap I ... 70

Tabel 4.10 Gaya Dalam Pada Frame 15 Dengan Angka Reduksi ... 71

Tabel 4.11 Analisis Balok pada Frame 15 Tahap II ... 72

Tabel 4.12 Gaya Dalam Pada Frame 15 Dengan Angka Reduksi ... 73

Tabel 4.13 Analisis Balok pada Frame 15 Tahap III ... 73

Tabel 4.14 Gaya Dalam Pada Frame 130 ... 75

Tabel 4.15 Nilai Luas Tulangan Pada Frame 130 ... 75

Tabel 4.16 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap I ... 78

Tabel 4.17 Gaya Dalam Pada Frame 130 Dengan Angka Reduksi ... 79

Tabel 4.18 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap II ... 79

Tabel 4.19 Gaya Dalam Pada Frame 130 Dengan Angka Reduksi ... 80

Tabel 4.20 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap III ... 80

Tabel 4.21 Gaya Dalam Pada Frame 130 Dengan Angka Reduksi ... 81

Tabel 4.22 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap IV ... 81

Tabel 4.23 Gaya Dalam Pada Frame 130 ... 82

Tabel 4.24 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap I ... 83

Tabel 4.25 Gaya Dalam Pada Frame 130 Dengan Angka Reduksi ... 83

Tabel 4.26 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap II ... 84

Tabel 4.27 Gaya Dalam Pada Frame 130 Dengan Angka Reduksi ... 84

Tabel 4.28 Analisis Kolom pada Frame 130 Tahap III ... 85


(11)

Tabel 4.30 Bidang Momen Pada Balok ... 86

Tabel 4.31 Bidang Lintang Pada Balok ... 87

Tabel 4.32 Bidang Normal Pada Balok ... 88

Tabel 4.33 Perbedaan Gaya-Gaya Dalam Pada Balok ... 89

Tabel 4.34 Bidang Momen Pada Kolom ... 90

Tabel 4.35 Bidang Lintang Pada Kolom ... 90

Tabel 4.36 Bidang Normal Pada Kolom ... 91


(12)

ABSTRAK

Elemen-elemen struktur beton bertulang akan mengalami keretakan ketika dikenai beban layan dan pengaruh dari faktor time dependent, seperti susut dan rangkak. Adanya keretakan pada elemen struktur beton bertulang menyebabkan momen inersianya berkurang. Untuk perencanaan terhadap beban gempa, diperbolehkan menggunakan momen inersia efektif. Namun, dari peraturan yang ada, angka momen inersia efektif untuk elemen-elemen struktur berbeda satu sama lain.

Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui besarnya distribusi gaya-gaya dalam yang terjadi setelah dimasukkan angka reduksi momen inersia. Metodologi yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir ini adalah melakukan kajian literatur dan menganalisa perilaku penampang elemen-elemen struktur terhadap beban. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SAP 2000 dan kemudian diselesaikan dengan perhitungan. Reduksi momen inersia yang didapat dari hasil analisis dan peraturan digunakan dalam model struktur dan dilihat kinerja strukturnya.

Reduksi momen inersia hasil analisis dan reduksi momen inersia dari peraturan-peraturan yang ada berbeda satu sama lainnya. Perbedaan reduksi momen inersia antara peraturan SNI 2847-2002 dan hasil analitis 59,35% untuk balok dan 13,59% untuk kolom akibat beban mati, sedangkan akibat beban gempa 50,91% untuk balok dan 35,71% untuk kolom. Selisih maksimum gaya-gaya dalam yang terjadi yaitu untuk akibat beban mati pada balok 20,344% momen, 22,193% lintang, dan 4,272% normal dan pada kolom yaitu 3,044% momen, 0,759% lintang, 2,924% normal. Sedangkan akibat beban gempa untuk balok yaitu 99,639% momen, 88,839% lintang, dan 89,286% normal, dan pada kolom yaitu 91,108% momen, 19,904% lintang, 90,813% normal.

Kata kunci: Reduksi momen inersia, beban, faktor time dependent, probabilitas beban


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan potensi gempa yang sangat besar. Hal ini disebabkan lokasi Indonesia yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik, dan Philipine sebagaimana terlihat pada Gambar 1.1 di bawah. Pertemuan empat lempeng tersebut mengakibatkan mekanisme tektonik dan geologi Indonesia menjadi lebih rumit. Indonesia juga memiliki struktur island-arc dengan karakteristik physiografik yang unik seperti palung samudera yang dalam, geanticlines belt, volcanic inner arc, dan

marginal basin. (Irsyam, 2005)

Gambar 1. 1 Indonesia dengan Empat Lempeng Tektonik Utama (Irsyam, 2005)

Gempa Aceh yang mengakibatkan terjadinya tsunami pada akhir tahun 2004 dan gempa-gempa yang terjadi di Sumatera beberapa bulan berikutnya telah menghancurkan infrastruktur-infrastruktur yang ada pada daerah-daerah tersebut.


(14)

Gedung-gedung pertokoan, perkantoran, serta fasilitas umum banyak yang rusak dan hancur. Kerugian material yang diakibatkan gempa tersebut sangat besar. Oleh sebab itu, infrastruktur-infrastruktur yang ada di Indonesia mesti direncanakan terhadap beban gempa.

Dalam merencanakan suatu struktur dengan beban gempa, banyak aspek yang mempengaruhi, diantaranya adalah periode bangunan. Periode bangunan ini sangat dipengaruhi oleh massa struktur serta kekakuan struktur tersebut. Kekakuan struktur sendiri dipengaruhi oleh kondisi bahan, serta dimensi struktur yang digunakan.

Sebuah bangunan beton yang telah berdiri cukup lama biasanya akan terdapat retakan-retakan. Hal itu mengindikasikan bahwa tulangan di dalam beton telah bekerja menahan beban yang terjadi pada bangunan tersebut. Keretakan pada struktur bangunan pun dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat time-dependent, seperti susut dan rangkak. Semakin banyak retakan yang terjadi, maka kekakuan bangunan tersebut akan berkurang sehingga bangunan tersebut menjadi lebih

flexible. Semakin tinggi tingkat ke flexible-an suatu gedung, maka makin tinggi pula

periode bangunan tersebut. Dengan demikian, ketika terjadi gempa, pada nilai periode struktur tertentu, percepatan gempa yang melewati bangunan tersebut akan menjadi lebih kecil. Dengan kata lain gaya akibat gempa yang dialami bangunan tersebut akan semakin kecil.

Sangat tidak realistis jika dalam merencanakan bangunan terhadap beban gempa menggunakan momen inersia utuh (gross). Indonesia memiliki peraturan yang mengatur tentang perencanaan struktur gedung yaitu: SNI 2847-2002 yang mengacu pada peraturan ACI 318M-2008, angka-angka reduksi terhadap momen


(15)

inersia, reduksi terhadap kolom (70%) berbeda dengan reduksi terhadap balok (35%).

Pengambilan angka reduksi yang tepat sangatlah penting. Jika angka reduksi yang diambil lebih besar dibandingkan seharusnya, maka diasumsikan bahwa momen inersia berkurang dengan angka yang besar. Hal itu akan memberikan kekuatan yang bagus bagi bangunan. Tapi di lain pihak, deformasi yang timbul akan lebih besar dari perhitungan awal. Begitu juga sebaliknya, jika angka reduksi yang diambil lebih kecil, maka kekuatan struktur yang dapatkan akan lebih kecil dari asumsi awal, namun deformasi yang terjadi akan lebih kecil dari asumsi awal.

Mengingat pentingnya angka reduksi yang tepat dan adanya perbedaan koefisien reduksi dalam SNI, maka dalam Tugas Akhir ini akan dilakukan kajian perilaku penampang apakah koefisien reduksi yang terdapat dalam SNI 2847-2002 cukup realistis untuk dapat dipertanggungjawabkan dalam tataran suatu gedung yang menahan beban yang kemungkinan akan terjadi pada gedung tersebut.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui distribusi gaya-gaya dalam pada struktur beton bertulang akibat dari reduksi momen inersia menurut peraturan SNI 2847-2002 dan hasil analitis, sedangkan tujuan penulisan tugas akhir ini adalah:

1. Memahami teori mengenai pengaruh keretakan beton pada elemen struktur.


(16)

2. Mengevaluasi distribusi gaya-gaya dalam yang terjadi terhadap struktur setelah dilakukan reduksi terhadap momen inersia berdasarkan peraturan dan hasil analitis.

1.3. Lingkup Pembahasan

Elemen struktur yang menjadi konsentrasi pada tugas akhir ini adalah: 1.Balok.

2.Kolom.

Pemilihan elemen struktur tersebut karena keduanya merupakan elemen yang vital dalam suatu bangunan. Sehingga ketika gempa terjadi, kerusakan yang terjadi pada kedua elemen tersebut tidak akan menyebabkan bangunan runtuh.

1.4. Batasan Masalah

Dalam penyelesaian tugas akhir ini ada beberapa batasan yang dipakai untuk menganalisa maupun mengkajinya, diantaranya :

1. Mutu beton f’c 30 Mpa, Mutu Baja fy 400 Mpa

2. Tebal plat atap yaitu 10 cm dan plat lantai seragam yaitu 12 cm

3. Bangunan struktur yang akan ditinjau diasumsikan berada pada zona 4 4. Fungsi bangunan yaitu sebagai perkantoran

5. Karakteristik tanah yaitu tanah sedang

6. Bangunan 4 lantai dengan tinggi tiap lantai 4m

7. Denah bangunan 21 x 12 m, jumlah bentang dalam arah x dan y adalah sama yaitu 3 bentang


(17)

9. Diagram tegangan linear

10.Dimensi balok dan kolom

Lantai

Dimensi Balok (cm)

Dimensi Kolom (cm) Balok Induk Balok Anak

4 30 x 60 20 x 40 60 x 60

3 30 x 60 20 x 40 50 x 50

2 30 x 60 20 x 40 50 x 50

1 30 x 60 20 x 40 50 x 50

1.5. Metodologi

Metodologi yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir ini adalah melakukan kajian literatur dan menganalisa perilaku penampang elemen-elemen struktur terhadap beban. Kajian literatur meliputi pembahasan mengenai gaya gempa pada bangunan serta pengaruh yang diperhitungkan, pembebanan pada bangunan, dan perhitungan momen inersia.

Modul bangunan yang dirancang adalah bangunan 4 lantai dengan struktur utama kolom dan balok. Setelah modul bangunan ditetapkan, pertama kali akan dilakukan analisis sensitivitas elemen struktur terhadap perubahan inersia penampang. Analisis ini berguna untuk melihat seberapa besar pengaruh reduksi momen inersia yang akan mempengaruhi kinerja elemen-elemen struktur dalam menahan beban-beban yang bekerja. Analisis ini dilakukan dengan bantuan Program


(18)

1.5. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan tugas akhir ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi gambaran secara umum mengenai latar belakang permasalahan, tujuan tugas akhir, ruang lingkup, dan sistematika laporan.

BAB II DASAR TEORI

Berisi ilmu-ilmu dasar yang diperlukan dalam bahasan, pertimbangan-pertimbangan sebelum melakukan analisis struktur. Selain itu akan ditampilkan studi-studi yang telah dilakukan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

BAB III STUDI KASUS DAN PEMODELAN

Berisi gambaran umum kasus struktur yang akan ditinjau, deskripsi elemen struktur, data-data parameter desain, dan beban-beban yang bekerja.

BAB IV ANALISIS PENAMPANG DAN PEMBAHASAN

Berisi pembahasan mengenai studi kasus yang ditinjau. Pada bab ini, akan didapatkan perilaku penampang model-model elemen struktur yang telah didesain dengan peraturan yang ada terhadap beban-beban rencana.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Menyajikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan tugas akhir dan memberikan saran perbaikan untuk selanjutnya.


(19)

BAB II TEORI DASAR

2.1 Beton dan Beton Bertulang

Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari pasir, kerikil, batu pecah, atau agregat-agregat lain yang dicampur menjadi satu dengan suatu pasta yang terbuat dari semen dan air membentuk suatu massa mirip-batuan. Terkadang, satu atau lebih bahan aditif ditambahkan untuk menghasilkan beton dengan karakteristik tertentu, seperti kemudahan pengerjaan (workability), durabilitas, dan waktu pengerasan.

Seperti substansi-substansi mirip batuan lainnya, beton memiliki kuat tekan yang tinggi dan kuat tarik yang sangat rendah. Beton bertulang adalah suatu kombinasi antara beton dan baja dimana tulangan baja berfungsi menyediakan kuat tarik yang tidak dimiliki beton.

2.2 Kelebihan Beton Bertulang Sebagai Suatu Bahan Struktur

Beton bertulang boleh jadi adalah bahan konstruksi yang paling penting. Beton bertulang digunakan dalam berbagai bentuk untuk hampir semua struktur, besar maupun kecil – bangunan, jembatan, perkerasan jalan, bendungan, dinding penahan tanah, terowongan, jembatan yang melintasi lembah (viaduct), drainase serta fasilitas irigasi, tangki, dan sebagainya.

Sukses besar beton sebagai bahan konstruksi yang universal cukup mudah dipahami jika dilihat dari banyaknya kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan tersebut antara lain :


(20)

kebanyakan bahan lain.

2. Beton bertulang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap api dan air, bahkan merupakan bahan struktur terbaik untuk bangunan yang banyak bersentuhan dengan air. Pada peristiwa kebakaran dengan intensitas rata-rata, batang-batang struktur dengan ketebalan penutup beton yang memadai sebagai pelindung tulangan hanya mengalami kerusakan pada permukaannya saja tanpa mengalami keruntuhan.

3. Struktur beton bertulang sangat kokoh.

4. Beton bertulang tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi.

5. Dibandingkan dengan bahan lain, beton memiliki usia layan yang sangat panjang. Dalam kondisi-kondisi normal, struktur beton bertulang dapat digunakan sampai kapan pun tanpa kehilangan kemampuannya untuk menahan beban. Ini dapat dijelaskan dari kenyataannya bahwa kekuatan beton tidak berkurang dengan berjalannya waktu bahkan semakin lama semakin bertambah dalam hitungan tahun, karena lamanya proses pemadatan pasta semen.

6. Beton biasanya merupakan satu-satunya bahan yang ekonomis untuk pondasi tapak, dinding basement, tiang tumpuan jembatan, dan bangunan-bangunan semacam itu.

7. Salah satu ciri khas beton adalah kemampuannya untuk dicetak menjadi bentuk yang sangat beragam, mulai dari pelat, balok, dan kolom yang sederhana sampai atap kubah dan cangkang besar.

8. Di sebagian besar daerah, beton terbuat dari bahan-bahan lokal yang murah (pasir, kerikil, dan air) dan relatif hanya membutuhkan sedikit


(21)

semen dan tulangan baja, yang mungkin saja harus didatangkan dari daerah lain.

9. Keahlian buruh yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi beton bertulang lebih rendah bila dibandingkan dengan bahan lain seperti struktur baja.

2.3 Kelemahan Beton Bertulang Sebagai Suatu Bahan Struktur

Untuk dapat mengoptimalkan penggunaan beton, perencana harus mengenal dengan baik kelemahan-kelemahan beton bertulang disamping kelebihan-kelebihannya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain :

1. Beton mempunyai kuat tarik yang sangat rendah, sehingga memerlukan penggunaan tulangan tarik.

2. Beton bertulang memerlukan bekisting untuk menahan beton tetap di tempatnya sampai beton tersebut mengeras. Selain itu, penopang atau penyangga sementara mungkin diperlukan untuk menjaga agar bekisting tetap berada pada tempatnya, misalnya pada atap, dinding, dan struktur-struktur sejenis, sampai bagian-bagian beton ini cukup kuat untuk menahan beratnya sendiri. Bekisting sangat mahal. Di Amerika Serikat, biaya bekisting berkisar antara sepertiga hingga dua pertiga dari total biaya suatu struktur beton bertulang, dengan nilai sekitar 50%. Sudah jelas bahwa untuk mengurangi biaya dalam pembuatan suatu struktur beton bertulang, hal utama yang harus dilakukan adalah mengurangi biaya bekisting.


(22)

3. Rendahnya kekuatan per satuan berat dari beton mengakibatkan beton bertulang menjadi berat. Ini akan sangat berpengaruh pada struktur-struktur bentang-panjang dimana berat beban mati beton yang besar akan sangat mempengaruhi momen lentur.

4. Sifat-sifat beton sangat bervariasi karena bervariasinya proporsi-campuran dan pengadukannya. Selain itu, penuangan dan perawatan beton tidak bisa ditangani seteliti seperti yang dilakukan pada proses produksi material lain seperti struktur baja dan kayu.

2.4 Sifat-sifat Beton Bertulang

Pengetahuan yang mendalam tentang sifat-sifat beton bertulang sangat penting sebelum dimulai mendesain struktur beton bertulang. Beberapa sifat-sifat beton bertulang antara lain :

2.4.1 Kuat Tekan

Kuat tekan beton (f’c) dilakukan dengan melakukan uji silinder beton dengan ukuran diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Pada umur 28 hari dengan tingkat pembebanan tertentu. Selama periode 28 hari silinder beton ini biasanya ditempatkan dalam sebuah ruangan dengan temperatur tetap dan kelembapan 100%. Meskipun ada beton yang memiliki kuat maksimum 28 hari dari 17 Mpa hingga 70 -140 Mpa, kebanyakan beton memiliki kekuatan pada kisaran 20 Mpa hingga 48 Mpa. Untuk aplikasi yang umum, digunakan beton dengan kekuatan 20 Mpa dan 25 Mpa, sementara untuk konstruksi beton prategang 35 Mpa dan 40 Mpa. Untuk beberapa aplikasi tertentu, seperti untuk kolom pada lantai-lantai bawah suatu bangunan


(23)

tingkat tinggi, beton dengan kekuatan sampai 60 Mpa telah digunakan dan dapat disediakan oleh perusahaan-perusahaan pembuat beton siap-campur (ready-mix

concrete).

Nilai-nilai kuat tekan beton seperti yang diperoleh dari hasil pengujian sangat dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk dari elemen uji dan cara pembebanannya. Di banyak Negara, spesimen uji yang digunakan adalah kubus berisi 200 mm. untuk beton-beton uji yang sama, pengujian terhadap silinder-silinder 150 mm x 300 mm menghasilkan kuat tekan yang besarnya hanya sekitar 80% dari nilai yang diperoleh dari pengujian beton uji kubus.

Kekuatan beton bisa beralih dari beton 20 Mpa ke beton 35 Mpa tanpa perlu melakukan penambahan buruh dan semen dalam jumlah yang berlebihan. Perkiraan kenaikan biaya bahan untuk mendapatkan penambahan kekuatan seperti itu adalah 15% sampai 20%. Namun untuk mendapatkan kekuatan beton diatas 35 atau 40 Mpa diperlukan desain campuran beton yang sangat teliti dan perhatian penuh kepada detail-detail seperti pencampuran, penempatan, dan perawatan. Persyaratan ini menyebabkan kenaikan biaya yang relatife lebih besar.

Kurva tegangan-regangan pada gambar dibelakang menampilkan hasil yang dicapai dari uji kompresi terhadap sejumlah silinder uji standar berumur 28 hari yang kekuatannya beragam.

• Kurva hampir lurus ketika beban ditingkatkan dari niol sampai kira-kira 1

/3 - 2/3 kekuatan maksimum beton.

• Diatas kurva ini perilaku betonnya nonlinear. Ketidak linearan kurva tegangan-regangan beton pada tegangan yang lebih tinggi ini


(24)

mengakibatkan beberapa masalah ketika kita melakukan analisis struktural terhadap konstruksi beton karena perilaku konstruksi tersebut juga akan nonlinear pada tegangan-tegangan yang lebih tinggi.

• Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa berapapun besarnya kekuatan beton, semua beton akan mencapai kekuatatan puncaknya pada regangan sekitar 0,002.

• Beton tidak memiliki titik leleh yang pasti, sebaliknya kurva beton akan tetap bergerak mulus hingga tiba di titik kegagalan (point of rupture) pada regangan sekitar 0,003 sampai 0,004.

• Banyak pengujian yang telah menunjukkan bahwa kurva-kurva tegangan-regangan untuk silinder-silinder beton hampir identik dengan kurva-kurva serupa untuk sisi balok yang mengalami tekan.

• Harus diperhatikan juga bahwa beton berkekuatan lebih rendah lebih daktail daripada beton berkekuatan lebih tinggi – artinya, beton-beton yang lebih lemah akan mengalami regangan yang lebih besar sebelum mengalami kegagalan.

Gambar.2.1 Kurva tegangan – regangan beton yang umum, dengan pembebanan jangka-pendek (Daftar Pustaka no.1)


(25)

2.4.2 Modulus Elastisitas Statis

Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti. Nilainya bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan, dan karakteristik dan perbandingan semen dan agregat. Sebagai tambahan, ada beberapa defenisi mengenai modulus elastisitas :

a. Modulus awal adalah kemiringan diagram tegangan-regangan pada titik

asal dari kurva.

b. Modulus tangen adalah kemiringan dari salah satu tangent (garis

singgung) pada kurva tersebut di titik tertentu di sepanjang kurva, misalnya pada 50% dari kekuatan maksimum beton.

c. Kemiringan dari suatu garis yang ditarik dari titik asal kurva ke suatu titik pada kurva tersebut di suatu tempat di antara 25% sampai 50% dari kekuatan tekan maksimumnya disebut Modulus sekan.

d. Modulus yang lain, disebut modulus semu (apparent modulus) atau

modulus jangka panjang, ditentukan dengan menggunakan tegangan dan

regangan yang diperoleh setelah beban diberikan selama beberapa waktu.

Peraturan ACI menyebutkan bahwa rumus untuk menghitung modulus elastisitas beton yang memiliki berat beton (wc) berkisar dari 1500-2500 kg/m3.

Ec = wc1,5(0,043) 2.1

Dimana :

wc : berat beton (kg/m3)


(26)

Ec : modulus elastisitas (Mpa)

Dan untuk beton dengan berat normal beton yang berkisar 2320 kg/m3

Ec = 4700 2.2

Beton dengan kekuatan diatas 40 Mpa disebut sebagai beton mutu-tinggi. Pengujian telah menunjukkan bahwa bila persamaan ACI yang biasa digunakan untuk menghitung Ec dipakai untuk beton mutu tinggi , nilai

yang didapat terlalu besar. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan di Cornell University, persamaan berikut ini direkomendasikan untuk digunakan pada beton dengan berat normal yang memiliki nilai fc’ antara 40 Mpa dan 80 Mpa, dan untuk beton ringan dengan fc’ 40 dan 60 Mpa.

Ec = (3,32 + 6895)

2.3

2.4.3 Modulus Elastisitas Dinamis

Modulus elastisitas dinamis, yang berkorespondensi dengan regangan-regangan sesaat yang sangat kecil, biasanya diperoleh dari uji sonik. Nilainya biasanya lebih besar 20%-40% daripada nilai modulus elastisitas statis dan kira-kira sama dengan modulus nilai awal. Modulus elastisitas dinamis ini biasanya dipakai pada analisa struktur dengan beban gempa atau tumbukan.

2.4.4 Perbandingan Poisson


(27)

berkurang tingginya tetapi juga mengalami ekspansi (pemuaian) dalam arah lateral. Perbandingan ekspansi lateral dengan pendekatan longitudinal ini disebut sebagai

Perbandingan Poisson(Poisson’s ratio). Nilainya bervariasi mulai dari 0,11 untuk

beton mutu tinggi dan 0,21 untuk beton mutu rendah, dengan nilai rata-rata 0,16. Sepertinya tidak ada hubungan langsung antara nilai perbandingan ini dengan nilai-nilai, seperti perbandingan air-semen, lamanya perawatan, ukuran agregat, dan sebagainya.

Pada sebagian besar desain beton bertulang, pengaruh dari perbandingan poisson ini tidak terlalu diperhatikan. Namun pengaruh dari perbandingan harus diperhatikan ketika kita menganalisis dan mendesain bendungan busur, terowongan, dan struktur-struktur statis tak tentu lainnya.

2.4.5 Kuat Tarik

Kuat tarik beton bervariasi antara 8% sampai 15% dari kuat tekannya. Alasan utama dari kuat tarik yang kecil ini adalah kenyataan bahwa beton dipenuhi oleh retak-retak halus. Retak-retak ini tidak berpengaruh besar bila beton menerima beban tekan karena beban tekan menyebabkan retak menutup sehingga memungkinkan terjadinya penyaluran tekanan. Jelas ini tidak terjadi bila balok menerima beban tarik.

Meskipun biasanya diabaikan dalam perhitungan desain, kuat tarik tetap merupakan sifat penting yang mempengaruhi ukuran beton dan seberapa besar retak yang terjadi. Selain itu, kuat tarik dari batang beton diketahui selalu akan mengurangi jumlah lendutan. (Karena kuat tarik beton tidak besar, hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk menghitung modulus elastisitas tarik dari beton. Namun,


(28)

berdasarkan informasi yang terbatas ini, diperkirakan bahwa nilai modulus elastisitas tarik beton sama dengan modulus elatisitas tekannya.)

Selanjutnya, anda mungkin ingin tahu mengapa beton tidak diasumsikan menahan tegangan tarik yang terjadi pada suatu batang lentur dan baja yang menahannya. Alasannya adalah bahwa beton akan mengalami retak pada regangan tarik yang begitu kecil sehingga tegangan-tegangan rendah yang terdapat pada baja hingga saat itu akan membuat penggunaannya menjadi tidak ekonomis.

Kuat tarik beton tidak berbanding lurus dengan kuat tekan ultimitnya fc’. Meskipun demikian, kuat tarik ini diperkirakan berbanding lurus terhadap akar kuadrat dari fc’. Kuat tarik ini cukup sulit untuk diukur dengan beban-beban tarik aksial langsung akibat sulitnya memegang spesimen uji untuk menghindari konsentrasi tegangan dan akibat kesulitan dalam meluruskan beban-beban tersebut. Sebagai akibat dari kendala ini, diciptakanlah dua pengujian yang agak tidak langsung untuk menghitung kuat tarik beton. Keduanya adalah uji modulus

keruntuhan dan uji pembelahan silinder.

Kuat tarik beton pada waktu mengalami lentur sangat penting ketika kita sedang meninjau retak dan lendutan pada balok. Untuk tujuan ini, kita selama ini menggunakan kuat tarik yang diperoleh dari uji modulus-keruntuhan. Modulus keruntuhan biasanya dihitung dengan cara membebani sebuah balok beton persegi (dengan tumpuan sederhana berjarak 6 m dari as ke as) tanpa-tulangan berukuran 15cm x 15cm x 75cm. hingga runtuh dengan beban terpusat yang besarnya sama pada 1/3 dari titik-titik pada balok tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam ASTM C-78. Beban ini terus ditingkatkan sampai keruntuhan terjadi akibat retak


(29)

pada bagian balok yang mengalami tarik. Modulus keruntuhannya fr ditentukan

kemudian dari rumus lentur. Pada rumus-rumus berikut ini :

fr = 2

6

bh M

2.4

dimana : fr = modulus keruntuhan

M = momen maksimum

b = lebar balok

h = tinggi balok

Tegangan yang ditentukan dengan cara ini tidak terlalu akurat karena dalam menggunakan rumus lentur kita mengasumsikan beton berada dalam keadaan elastis sempurna dengan tegangan yang berbanding lurus terhadap jarak dari sumbu netral. Asumsi-asumsi ini tidak begitu baik.

Berdasarkan beratus-ratus hasil pengujian, peraturan ACI menyebutkan nilai modulus keruntuhan fr sama dengan 7,5 dimana fc’dalam satuan psi.

Kuat tarik beton juga dapat diukur dengan melakukan uji pembelahan-silinder. Sebuah silinder ditempatkan di posisinya pada mesin penguji dan kemudian suatu beban tekan diterapkan secara merata di seluruh bagian panjang dari silinder di dasarnya. Silinder akan terbelah menjadi dua dari ujung ke ujung ketika kuat tariknya tercapai. Kuat tarik pada saat terjadi pembelahan disebut sebagai kuat

pembelahan-silinder (split-cylinder strength) dan dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

fr =

LD P

π

2


(30)

dimana : P = gaya tekan maksimum

L = panjang

D = diameter silinder

Meskipun digunakan bantalan di bawah beban-beban tersebut, beberapa konsentarsi tegangan lokal tetap terjadi selama pengujian dilakukan. Selain itu, terbentuk pula sejumlah tegangan yang membentuk sudut siku-siku terhadap tegangan-tegangan tarik. Akibatnya, nilai-nilai kuat-tarik yang diperoleh tidak terlalu akurat.


(31)

2.4.6 Kuat Geser

Melakukan pengujian untuk memperoleh keruntuhan geser yang betul-betul murni tanpa dipengaruhi oleh tegangan-tegangan lain sangatlah sulit. Akibatnya, pengujian kuat geser beton selama bertahun-tahun selalu menghasilkan nilai-nilai leleh yang terletak di antara 1/3 sampai 4/5 dari kuat tekan maksimumnya.

2.4.7 Kurva Tegangan-Regangan

Hubungan tegangan-regangan beton perlu diketahui untuk menurunkan persamaan-persamaan analisis dan desain juga prosedur-prosedur pada struktur beton. Gambar dibawah memperlihatkan kurva tegangan-regangan tipikal yang diperoleh dari percobaan dengan menggunakan benda uji silinder beton dan dibebani tekan uniaksial selama beberapa menit. Bagian pertama kurva ini (sampai sekitar 40% dari fc’) pada umumnya untuk tujuan praktis dapat dianggap linier. Sesudah mendekati 70% tegangan hancur, materialnya banyak kehilangan kekakuannya sehingga menambah ketidaklinieran diagram. Pada beban batas, retak yang searah dengan arah beban menjadi sangat terlihat dan hampir semua silinder beton (kecuali yang kekuatannya sangat rendah) akan segera hancur.


(32)

Gambar.2.4 Kurva tegangan-regangan untuk berbagai kekuatan beton (Daftar Pustaka no.1)

2.5 Kolom

Definisi kolom menurut SNI-T15-1991-03 adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial desak vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali dimensi lateral terkecil. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktur yang memikul beban dari balok induk maupun balok anak. Kolom meneruskan beban dari elevasi atas ke elevasi yang lebih bawah hingga akhirnya sampai ke tanah melalui`pondasi.


(33)

Keruntuhan pada suatu kolom merupakan kondisi kritis yang dapat menyebabkan runtuhnya (collapse) lantai yang bersangkutan dan juga runtuh total (total collapse) seluruh struktur.

Kolom adalah struktur yang mendukung beban dari atap, balok dan berat sendiri yang diteruskan ke pondasi. Secara struktur kolom menerima beban vertikal yang besar, selain itu harus mampu menahan beban-beban horizontal bahkan momen atau puntir/torsi akibat pengaruh terjadinya eksentrisitas pembebanan. hal yang perlu diperhatikan adalah tinggi kolom perencanaan, mutu beton dan baja yang digunakan dan eksentrisitas pembebanan yang terjadi.

2.6 Balok

Balok adalah bagian struktur yang berfungsi sebagai pendukung beban vertikal dan horizontal. Beban vertikal berupa beban mati dan beban hidup yang diterima plat lantai, berat sendiri balok dan berat dinding penyekat yang di atasnya. Sedangkan beban horizontal berupa beban angin dan gempa.

Balok merupakan bagian struktur bangunan yang penting dan bertujuan untuk memikul beban tranversal yang dapat berupa beban lentur, geser maupun torsi. Oleh karena itu perencanaan balok yang efisien, ekonomis dan aman sangat penting untuk suatu struktur bangunan terutama struktur bertingkat tinggi atau struktur berskala besar.

2.7 Pengantar Gempa

Kerak bumi terdiri dari beberapa lapisan tektonik keras yang disebut litosfer yang mengapung di atas medium fluida yang lebih lunak yang disebut mantle,


(34)

sehingga kerak bumi ini dapat bergerak. Teori yang dipakai untuk menerangkan pergerakan-pergerakan kerak bumi tersebut adalah teori perekahan dasar laut (Sea

Floor Spreading Theory) yang dikembangkan oleh F. V. Vine dan D. H. Mathews

pada tahun 1963 (Irsyam, 2005).

Bersatunya masa batu atau pelat satu sama lain dicegah oleh gaya-gaya friksional, apabila tahanan ultimate friksional tercapai karena ada gerakan kontinyu dari fluida dibawahnya dua pelat yang akan bertumbukan satu sama lain akan menimbulkan gerakan tiba-tiba yang bersifat transient yang menyebar dari satu titik kesuatu arah yang disebut gempa bumi. Gempa bumi yang menimbulkan kerusakan yang paling luas adalah gempa tektonik. Gempa bumi tektonik disebabkan oleh terjadinya pergeseran kerak bumi (lithosfer) yang umumnya terjadi didaerah patahan kulit bumi.

Dalam beberapa dekade belakangan, para insinyur struktur mulai mengalami kemajuan yang berarti dalam memahami perilaku struktur terhadap beban gempa. Kemajuan ini dikombinasikan dengan hasil penelitian modern yang membuat para insinyur struktur dapat mendesain suatu struktur yang aman ketika mengalami beban gempa yang besar, selain itu dapat pula mendesain bangunan yang tetap dapat terus beroperasi selama dan setelah gempa terjadi.

Struktur suatu bangunan bertingkat tinggi harus dapat memikul beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut, diantaranya beban gravitasi dan beban lateral. Beban gravitasi adalah beban mati struktur dan beban hidup, sedangkan yang termasuk beban lateral adalah beban angin dan beban gempa.

Berdasarkan SNI 1726-2002 Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.5. Dimana wilayah gempa 1 adalah wilayah


(35)

dengan kegempaan yang paling rendah dan wilayah gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian wilayah gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap wilayah gempa ditetapkan dalam Tabel

2.1.

Gambar2.5 Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan perioda ulang 500 tahun.

Tabel 2.1 Percepatan Puncak Batuan untuk Masing-masing Wilayah Gempa (Daftar Pustaka no.6).

Wilayah Gempa

Percepatan puncak batuan

dasar (g)

1 0.03

2 0.10

3 0.15

4 0.20

5 0.25

6 0.30


(36)

mengalami pergerakan secara vertikal maupun secara lateral. Pergerakan tanah tersebut menimbulkan percepatan sehingga struktur yang memiliki massa akan mengalami gaya berdasarkan rumus F = m x a. Namun struktur pada umumnya memiliki faktor keamanan yang cukup dalam menahan gaya vertikal dibandingkan dengan gaya gempa lateral. Gaya gempa vertikal harus diperhitungkan untuk unsur-unsur struktur gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih tingkat diatasnya serta balok beton pratekan berbentang panjang. Sedangkan gaya gempa lateral bekerja pada setiap pusat massa lantai.

Berdasarkan UBC 1997, tujuan desain bangunan tahan gempa adalah untuk mencegah terjadinya kegagalan struktur dan kehilangan korban jiwa, dengan tiga kriteria standar sebagai berikut:

a. Tidak terjadi kerusakan sama sekali pada gempa kecil

b. Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan arsitektural tapi bukan merupakan kerusakan struktural

c. Diperbolehkan terjadinya kerusakan struktural dan non struktural pada gempa kuat, namun kerusakan yang terjadi tidak menyebabkan bangunan runtuh.

Beban gempa nilainya ditentukan oleh 3 hal, yaitu oleh besarnya probabilitas beban itu dilampaui dalam kurun waktu tertentu, oleh tingkat daktilitas struktur yang mengalaminya, dan oleh kekuatan lebih yang terkandung didalam struktur tersebut. Peluang dilampauinya beban nominal tersebut dalam kurun waktu umur gedung 50 tahun adalah 10% dan gempa yang menyebabkannya adalah gempa rencana dengan


(37)

periode ulang 500 tahun. Tingkat daktilitas struktur gedung dapat ditetapkan sesuai dengan kebutuhan, sedangkan faktor kuat lebih (f1) untuk struktur gedung secara umum nilainya adalah 1,6. Dengan demikian, beban gempa nominal adalah beban akibat pengaruh gempa rencana yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama didalam struktur gedung, kemudian direduksi dengan faktor kuat lebih (f1).

Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa diatas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan.

Faktor daktilitas struktur gedung (μ) adalah rasio antara simpangan

maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana pada saat mencapai

kondisi diambang keruntuhan (δmax) dan simpangan struktur pada saat terjadinya sendi plastis yang pertama (δy), seperti terlihat pada persamaan di bawah ini:

2.6

Untuk μ =1 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur gedung yang

berprilaku elastik penuh, seangkan μm adalah nilai faktor daktilitas maksimum yang

dapat dikerahkan oleh sistem struktur gedung yang bersangkutan.

2.7.1 Analisis Beban Gempa

Struktur beraturan dapat direncanakan terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana dalam arah masing-masing sumbu utama denah


(38)

struktur tersebut, berupa beban gempa nominal statik ekivalen. Beban geser dasar nominal statik ekivalen (V) yang terjadi di tingkat dasar dapat dihitung menurut persamaan di bawah ini:

Wt 2.7

Dimana C1 adalah nilai faktor respon gempa yang didapat dari respon spektra gempa rencana untuk waktu getar alami fundamental T1, Wt adalah berat total gedung termasuk beban hidup yang sesuai, R adalah faktor reduksi gempa, dan I adalah faktor keutamaan.

Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i menurut persamaan di bawah ini:

2.8

Dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai, zi adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, sedangkan n adalah nomor lantai tingkat paling atas. Ilustrasi dari hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2. 6 Ilustrasi Beban Gempa Nominal Stratik Ekivalen F (Daftar Pustaka no.6)


(39)

Apabila rasio antara tinggi struktur gedung dan ukuran denahnya dalam arah pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0.1 V harus dianggap sebagai beban horizontal terpusat yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat paling atas, sedangkan 0.9 V sisanya harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen.

Untuk struktur gedung tidak beraturan, pengaruh gempa rencana terhadap struktur gedung tersebut harus ditentukan melalui analisis respons dinamik 3 dimensi. Untuk mencegah terjadinya respons struktur gedung terhadap pembebanan gempa yang dominan dalam rotasi, dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, paling tidak gerak ragam pertama (fundamental) harus dominan dalam translasi.

Daktilitas struktur gedung tidak beraturan harus ditentukan yang representatif mewakili daktilitas struktur 3D. Tingkat daktilitas tersebut dapat dinyatakan dalam faktor reduksi gempa (R) representatif, yang nilainya dapat dihitung sebagai nilai rata-rata berbobot dari faktor reduksi gempa untuk 2 arah sumbu koordinat ortogonal dengan gaya geser dasar yang dipikul oleh struktur gedung dalam masing-masing arah tersebut sebagai besaran pembobotnya menurut persamaan ini:

2.9

Dimana Rx danVx0 adalah faktor reduksi gempa dan gaya geser dasar untuk

pembebanan gempa dalam arah sumbu-x, sedangkan Ry dan Vy0 adalah faktor

reduksi gempa dan gaya geser dasar untuk pembebanan gempa dalam arah sumbu-y. Metoda ini hanya boleh dipakai, apabila rasio antara nilai-nilai faktor reduksi gempa untuk 2 arah pembebanan gempa tersebut tidak lebih dari 1,5. Nilai akhir respons


(40)

dinamik struktur gedung terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dalam suatu arah tertentu, tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragam yang pertama. Bila respons dinamik struktur gedung dinyatakan dalam gaya geser dasar nominal V, maka persyaratan tersebut dapat dinyatakan menurut persamaan berikut:

V ≥ 0,8 V1 2.10

Dimana V1 adalah gaya geser dasar nominal sebagai respons ragam yang pertama terhadap pengaruh Gempa Rencana menurut :

2.11

2.7.2. Respon Spektra

Untuk menentukan pengaruh gempa rencana pada struktur gedung, yaitu berupa beban geser dasar nominal statik ekivalen pada struktur gedung beraturan atau gaya geser dasar nominal sebagai respon dinamik ragam pertama pada struktur gedung tidak beraturan, untuk masing-masing wilayah gempa ditetapkan respon spektra gempa rencana.

Respon spektra adalah suatu diagram yang memberi hubungan antara percepatan respon maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman (dumping) dan waktu getar alami sistem SDK tersebut (T).

Bentuk respon spektra yang sesungguhnya menunjukkan suatu fungsi acak yang untuk waktu getar alami (T) meningkat menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai suatu nilai maksimum, kemudian turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Didalam peraturan respon spektra tersebut distandarkan


(41)

(diidealisasikan) sebagai berikut: untuk 0 ≤ T ≤ 0.2 det ik, C meningkat secara linier dari percepatan puncak muka tanah (A0) sampai Am; untuk 0.2 detik ≤ T ≤ Tc, C bernilai tetap C=Am; untuk T > Tc, C mengikuti fungsi hiperbola C = AT/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2A0 dan 3A0, sehingga Am = 2,5 A0 merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan. Contoh gambar respon spektra untuk wilayah gempa 4 dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Respon Spektra Wilayah Gempa 4(Daftar Pustaka no.6)

Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 ≤ T ≤ 0.2 detik terdapat ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam tingkat daktilitas strukturnya, faktor respon gempa (C) dalam kisaran waktu getar alami pendek tersebut nilainya tidak diambil kurang dari nilai maksimumnya untuk jenis tanah yang bersangkutan.

2.8 Falsafah Pembebanan LRFD

Metode ASD (Allowable Strength Design) telah digunakan selama kurun waktu 100 tahun, dan dalam 20 tahun terakhir telah bergeser ke metode perencanaan batas (LRFD, Load and Resistance Factor Design) yang lebih rasional dan


(42)

berdasarkan konsep probabilitas.

Keadaan batas adalah kondisi struktur diatas ambang kemampuan dalam memenuhi fungsi-fungsinya. Keadaan batas dibagi dalam dua kategori yaitu tahanan dan kemampuan layan. Keadaan batas tahanan (keamanan) adalah perilaku struktur saat mencapai tahanan plastis. Keadaan batas kemampuan layan berkaitan dengan kenyamanan penggunaan bangunan, antara lain masalah lendutan, getaran, perpindahan permanen, dan retak-retak. Kriteria penerimaan (acceptence criteria) harus mencakup kedua keadaan batas tersebut. Konsep probabilitas dalam mengkaji keamanan struktur adalah metode keandalan mean value first-order second-moment dimana pengaruh beban (Q) dan tahanan (R) dianggap sebagai variabel acak yang saling tak bergantung, dengan frekuensi distribusi tipikal yang dapat dilihat pada

Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Distribusi Tahanan dan Beban Vs Frekuensi (Mangkoesoebroto,2007)

Agar lebih sederhana maka digunakan variabel R/Q atau ln(R/Q) dengan ln(R/Q) < 0 menunjukkan kegagalan seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.9 berikut ini,


(43)

G ambar 2. 9 Kurva Definisi Kegagalan Struktur(Mangkoesoebroto,2007)

Besaran β σln(R/Q) menjadi definisi kegagalan. Variabel β disebut indeks kegagalan

(reliability index), dan bermanfaat untuk beberapa hal sebagai berikut:

a. Menunjukkan konsistensi perencanaan berbagai jenis komponen struktur. b. Dapat digunakan untuk menemukan metode baru dalam perencanaan

komponen struktur.

c. Dapat digunakan sebagai indikator dalam mengkalibrasi tingkat factor keamanan komponen struktur.

Secara umum, suatu struktur atau komponen struktur dikatakan aman bila hubungan pada Persamaan 2.12 dan Persamaan 2.13 dapat terpenuhi,

Ru ≤ φ Rn 2.12

φRn ≥ ∑γ iQi 2.13

Dimana: Ru adalah tahanan ultimate

φ adalah faktor tahanan,


(44)

γi adalah faktor beban

Qi adalah (pengaruh) beban,

φRn adalah tahanan rencana,

ΣγiQi adalah (pengaruh) beban terfaktor.

2.8.1 Probabilitas Beban

Besaran angka beban yang terdapat pada peraturan pembebanan Indonesia (PBI) adalah angka nominal, yang didapat dari probabilitas beban-beban yang bekerja pada bangunan. Angka tersebut didapatkan dengan analisis pembebanan LRFD, seperti yang dijelaskan di atas dengan memperhitungkan faktor luas tributary bangunan. Angka tersebut biasanya merupakan angka maksimum atau angka terbesar yang pernah terjadi pada bangunan. Pada saat mendesain, beban inilah yang kita jadikan ukuran, karena akan memberikan faktor beban yang lebih besar dibandingkan jika kita menggunakan besaran beban yang lebih kecil.

PBI tidak menjelaskan karakteristik beban beban nominal yang tercantum, apakah merupakan 10% upper tail, atau 5% upper tail. Juga tidak dijelaskan standar deviasi atau koefisien korelasi bagi tiap beban.

Ketika bangunan berada pada masa layannya, maka yang patut menjadi perhatian adalah beban rata-rata yang terjadi, bukan beban maksimal yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, untuk analisa elemen struktur bangunan pada masa layan, diperlukan informasi mengenai beban rata-rata.

2.9 Metode Analisis


(45)

melakukan kajian literatur dan menganalisa perilaku penampang elemen-elemen struktur terhadap beban. Kajian literatur meliputi pembahasan mengenai gaya gempa, pembebanan pada bangunan, dan perhitungan momen inersia.

Setelah modul bangunan sudah ditetapkan, pertama kali akan dilakukan analisis elemen struktur terhadap perubahan inersia penampang. Analisa penampang dilakukan dengan menghitung gaya-gaya dalam yang terjadi dengan menggunakan bantuan program komputer SAP 2000. Setelah gaya-gaya dalam diketahui kemudian dilakukan analisi untuk perhitungan reduksi inersia.

Angka reduksi inersia dianalisis yaitu dengan menghitung tegangan terjadi akibat gaya-gaya dalam tersebut, tegangan yang terjadi ini akan dibandingkan dengan batas tegangan tarik beton. Tegangan yang melebihi tegangan tarik beton akan diabaikan sehingga didapatkan penampang yang baru. Dari penampang tersebut akan didapatkan inersia baru, inersia baru ini akan dibandingkan dengan inersia semula(Ig) sehingga didapat reduksi momen inersia.

Reduksi inersia hasil analisis akan dievaluasi ulang terhadap perubahan gaya-gaya dalam yang terjadi, dan kemudian dianalisa ulang berapa reduksi momen inersianya. Analisa akan dilakukan berulang-ulang kali dan berhenti apabila inersia yang dihasilkan sama dengan inersia yang dimasukkan. Prosedur analisis dapat di lihat pada bagan (flow chart) dibawah ini:


(46)

start

Angka reduksi momen inersia

Input Sap 2000

Analisis Sap 2000

Gaya-gaya dalam (Momen, Lintang, Normal)

Analisis tegangan

Angka reduksi momen inersia

Non-convergen selesai

No Yes

convergen


(47)

BAB III

STUDI KASUS DAN PEMODELAN

3.1 Keretakan Beton

Perilaku mekanik struktur sangat dipengaruhi oleh material yang digunakan. Berdasarkan respon antara gaya tekan dengan deformasi, material dapat dikategorikan menjadi brittle, ductile, dan quasi-brittle. Beton termasuk kedalam material yang bersifat quarsi-brittle.

3.1.1 Retak Akibat Beban Layan

Suatu struktur dapat dikatakan gagal bila tidak memenuhi persyaratan kemampuan layan (serviceability) dan persyaratan kekuatan (strength). Dalam persyaratan kemampuan layan biasanya lendutan struktur dibatasi. Beberapa alasan untuk membatasi lendutan antara lain:

a. Penampakan visual

b. Kerusakan pada elemen non-struktural c. Mengganggu kinerja mesin yang sensitif d. Memicu kerusakan elemen struktural

Lendutan yang terjadi ketika struktur dibebani beban ada dua jenis, yaitu: a. Lendutan elastik (langsung terjadi)

b. Lendutan akibat beban tetap (sustained)

Lendutan akibat beban dapat menyebabkan terjadinya keretakan pada beton. Keretakan pada elemen struktur tidak seragam disemua titik pada elemen struktur tersebut, keretakan biasanya terjadi pada tumpuan dan tengah bentang. Ilustrasi keretakan elemen struktur dapat dilihat pada Gambar 3.1. Beton akan mulai mengalami retak ketika tegangan tarik beton melebihi modulus retaknya.


(48)

Gambar 3.1 Ilustrasi Keretakan Beton Akibat Beban Layan

3.2 Analisa Lentur Pada Balok 3.2.1 Tahap Beton Tanpa Retak

Pada beban-beban yang kecil ketika tegangan-tegangan tarik masih lebih rendah daripada modulus keruntuhan (tegangan tarik pada saat beton mulai retak), seluruh penampang melintang balok menahan lentur, dengan tekan pada satu sisi dan tarik pada sisi lainnya. Gambar menunjukkan variasi tegangan dan regangan untuk beban-beban kecil.

Gambar 3.2 Tahap beton tanpa retak

3.2.2 Tahap Beton Mulai Retak-Tegangan Elastis

Karena beban terus ditingkatkan melampaui modulus keruntuhan balok, retak mulai terjadi di bagian bawah balok. Momen pada saat retak ini mulai


(49)

terbentuk-yaitu ketika tegangan tarik di bagian bawah balok sama dengan modulus keruntuhan disebut momen retak, Mcr. Jika beban terus ditingkatkan, retak ini mulai menyebar

mendekati sumbu netral. Retak terjadi pada tempat-tempat di sepanjang balok dimana momen aktualnya lebih besar daripada momen retak, seperti yang diperlihatkan dalam gambar

Karena sekarang bagian bawah balok sudah retak, terjadilah tahap selanjutnya karena beton pada daerah yang mengalami retak tersebut jelas tidak dapat menahan tegangan tarik-bajalah yang harus melakukannya. Tahap ini akan terus berlanjut selama tegangan tekan pada serat bagian atas lebih kecil daripada setengah dari kuat tekan beton fc’ dan selama tegangan baja lebih kecil daripada titik lelehnya. Tegangan dan regangan pada kisaran ini ditunjukkan pada gambar. Pada tahap ini tegangan tekan berubah-ubah secara linear terhadap jarak dari sumbu netral atau sebagai sebuah garis lurus.

Variasi tegangan-tegangan garis-lurus biasanya terjadi pada balok beton bertulang pada kondisi-kondisi beban-layan normal karena pada tingkat beban tersebut tegangan yang terjadi biasanya lebih kecil daripada 0,5fc’. Untuk menghitung tegangan beton dan baja pada kisaran ini, kita gunakan metode luasan-transformasi. Beban layan atau beban kerja adalah beban-beban yang diasumsikan sesungguhnya terjadi ketika sebuah struktur digunakan atau melakukan fungsi layannya. Ketika menerima beban-beban ini, momen-momen yang terjadi lebih besar daripada momen retak. Sudah jelas, sisi balok yang mengalami tarik akan retak.


(50)

Gambar 3.3 Beton mulai retak - tahap tegangan elastis

Ketika momen lentur cukup besar untuk menyebabkan tegangan tarik pada serat beton terluar lebih besar daripada modulus keruntuhan, seluruh beton pada sisi tarik balok diasumsikan mengalami retak sehingga harus diabaikan dalam perhitungan lentur.

Momen retak sebuah balok biasanya cukup kecil apabila dibandingkan dengan momen beban layannya. Karena itu ketika beban layan diterapkan, bagian bawah balok akan mengalami retak. Tulangan pada sisi tarik balok mulai bekerja menahan tarik yang disebabkan oleh momen yang terjadi.

Pada sisi tarik balok, diasumsikan ada ikatan yang sempurna antara tulangan dan beton. Dengan demikian regangan pada beton dan pada tulangan baja akan memiliki besar yang sama pada jarak yang sama dari sumbu netral. Tetapi meskipun regangan pada kedua bahan itu sama tetapi tegangannya tidaklah sama karena beton dan baja memiliki modulus elastisitas yang berbeda. Dengan demikian, tegangan-tegangan tersebut akan bebanding lurus dengan perbandingan modulus elastisitasnya. Perbandingan modulus baja terhadap modulus beton disebut perbandingan modular


(51)

n = Ec Es

Jika perbandingan modular untuk sebuah balok tertentu bernilai 10, maka tegangan pada baja adalah 10 kali tegangan pada balok pada jarak yang sama dari sumbu netral. Dengan kata lain ketika n=10, satu inci persegi baja akan menerima gaya yang besarnya sama dengan yang diterima 10 in2 beton.

Untuk balok pada Gambar 3.4 tulangan-tulangan baja digantikan oleh suatu luas beton pengganti (nAs) yang ekuivalen, yang diharapkan dapat menahan tarik.

Luas ekuivalen ini disebut sebagai luas transformasi (transformed). Penampang yang dihasilkan atau penampang transformasi dihitung dengan menggunakan metode yang biasa digunakan untuk balok homogen yang elastis. Diperlihatkan juga pada gambar, sebuah diagram yang memperlihatkan variasi tegangan pada balok. Pada sisi tarik, sebuah garis putus-putus dipakai untuk menunjukkan bahwa diagram ini terputus (diskontinu). Disinilah beton diasumsikan mengalami retak dan tidak dapat menahan tarik. Nilai yang diperlihatkan di depan tulangan adalah tegangan pengganti pada beton jika beton dapat menahan tarik. Nilai ini ditunjukkan sebagai fs/n karena harus

dikalikan dengan n untuk mendapatkan tegangan baja fs.


(52)

3.2.3 Tahap Keruntuhan Balok-Tegangan Ultimat

Ketika beban terus ditambah sampai tegangan tekannya lebih besar daripada setengah fc’ retak tarik akan merambat lebih ke atas, demikian pula sumbu netral, sehingga tegangan beton tidak berbentuk garis lurus lagi. Untuk pembicaraan awal ini, kita asumsikan bahwa batang-batang tulangan telah leleh. Variasi tegangan yang terjadi adalah seperti yang diperlihatkan pada gambar.

Untuk menggambarkan lebih jauh tentang ketiga tahap perilaku balok, sebuah diagram momen-kurvatur diperlihatkan pada Gambar 3.6. Untuk diagram ini, θ adalah perubahan sudut balok dalam panjang tertentu yang besarnya dihitung dengan rumus berikut ini dimana ∈ adalah regangan pada serat balok yang berjarak y dari sumbu netral balok.

Θ =

y

3.1


(53)

Gambar 3.6 Diagram momen – kurvatur untuk balok beton bertulang yang mengalami retak (Daftar Pustaka no.3)

Tahap pertama diagram adalah untuk momen-momen kecil yang lebih kecil daripada momen retak Mcr dimana seluruh penampang melintang balok mampu

menahan lentur. Pada kisaran ini, regangan yang tejadi kecil dan diagram hampir vertikal dan menyerupai garis lurus.

Ketika momen bertambah hingga melebihi momen retak, kemiringan kurva akan sedikit berkurang karena balok tidak cukup kaku seperti pada tahap awal sebelum beton mulai retak. Diagram akan mengikuti garis yang hampir lurus dari Mcr

hingga ke titik dimana tulangan mengalami tegangan sampai titik lelehnya. Agar tulangan baja meleleh, diperlukan beban tambahan yang cukup besar untuk meningkatkan lendutan balok.

Setelah tulangan meleleh, balok memiliki kapasitas momen tambahan yang sangat kecil sehingga hanya sedikit saja beban tambahan yang diperlukan untuk secara substansial meningkatkan putaran sudut dan lendutan. Kemiringan diagram sekarang sangat datar.


(54)

3.3 Metode Transformasi Penampang

Metode transformasi penampang untuk beton bertulang dapat dijelaskan sebagai berikut. Luas penampang tulangan baja dan beton ditransformasikan menjadi satu macam penampang bahan serba-sama dengan tujuan untuk menyamakan perilaku dalam mekanisme menahan beban. Meskipun disadari bahwa sifat kedua macam bahan sama sekali berbeda sifatnya, cara transformasi penampang dimaksudkan sebagai langkah penyederhanaan dalam analisis lenturan menurut teori elastisitas. Transformasi dilakukan dengan mengganti luasan penampang baja dengan luasan beton ekivalen (luasan semu). Dengan demikian As adalah luasan penampang tulangan baja yang diganti dengan luas beton ekivalen Abt, sedangkan fs adalah

tegangan baja tarik yang diganti dengan tegangan beton tarik ekivalen fbt.

Dalam upaya mendapatkan luas transformasi, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang pertama, agar tetap berada dalam keseimbangan jumlah gaya tarik bernilai tetap sehingga digunakan persamaan,

As fs = Abt fbt 3.2

Syarat yang kedua, agar tetap tercapai kesesuaian deformasi maka satuan regangan perpanjangan bernilai tetap sehingga,

=

3.3

Dengan menggunakan nilai banding modulus elastisitas,


(55)

Penyelesaian persamaan-persamaan diatas menghasilkan,

Abt = nAs 3.5

Dan, fbt =

Dengan demikian luas beton ekivalen Abt adalah n kali luas penampang batang tulangan baja, sedangkan tegangan tarik ekivalen fbt (tegangan semu) adalah 1/n kali

tegangan tarik sesungguhnya. Dalam hal ini adalah tegangan di dalam batang tulangan baja.

Kedua persamaan terakhir sangat berguna didalam perhitungan perencanaan metoda tegangan kerja karena penampang beton bertulang dianggap diganti dan diperlakukan sebagai penampang dari satu macam bahan saja ialah beton ekivalen. Dengan demikian di daerah tarik, beton ekivalen mengambil alih tugas menahan tarikan. Perlu dicatat bahwa penggunaan penampang transformasi tersebut sangat mudah untuk menghitung tegangan dengan menggunakan rumus lenturan selama hubungan tegangan dan regangan linear.

3.4 Momen Retak

Persentasi luas tulangan jika dibandingkan dengan luas penampang-melintang total suatu balok nilainya cukup kecil (biasanya 2% atau kurang), dan pengaruhnya terhadap properti-properti balok hampir dapat diabaikan selama balok tidak retak. Oleh karena itu, kita dapat memperoleh perhitungan perkiraan tegangan lentur untuk balok seperti ini berdasarkan properti-properti kotor penampang melintang balok.


(56)

Tegangan beton di semua titik yang berjarak y dari sentroid penampang melintang dapat ditentukan dari rumus lentur berikut ini dimana M adalah momen lentur, yang besarnya sama dengan atau lebih kecil daripada momen retak penampang, dan Ig

adalah momen inersia kotor dari penampang melintang :

f =

Ig My

3.6

peraturan ACI menyatakan bahwa momen retak suatu penampang dapat ditentukan dari rumus yang terdapat pada akhir paragraf ini, dimana fr adalah

modulus keruntuhan beton dan yt adalah jarak dari sumbu sentroid penampang ke

serat beton yang mengalami tarik paling besar. Peraturan tersebut mengatakan bahwa

fr dapat diambil sebesar 7,5 untuk beton dengan berat normal dengan fc’ dalam

psi. Momen retak dapat dihitung dengan rumus berikut ini :

Mcr = yt frIg

3.7

3.5 Pengaruh Retak Pada Momen Inersia

Retakan pada beton menyebabkan terjadinya gap dalam beton tersebut, sehingga tegangan tidak dapat ditransfer. Untuk menangulangi hal tersebut, dipasang tulangan untuk menyalurkan tegangan tarik yang terjadi. Dalam batas-batas tertentu beton masih dapat menerima tegangan tarik, fenomena ini biasa disebut kekakuan tarik beton.

Pada bagian yang mengalami keretakan terjadi pengurangan momen inersia, sehingga momen inersia yang digunakan adalah momen inersia retak (Icr). Sedangkan pada bagian yang tidak mengalami keretakan, momen inersia tetap (Ig).


(57)

Sehingga elemen struktur yang mengalami retak akibat beban layan sebenarnya harus dianggap sebagai komponen struktur tidak perismatis. Namun untuk keperluan praktis dilapangan telah dilakukan suatu penyederhanaan dengan menggunakan suatu nilai momen inersia effektif (Ie).

Gambar 3.7 Kurva M Vs φ(MacGregor,2005)

Ketika kekakuan tarik beton secara konservatif diabaikan pada desain flexibel, kekakuan tarik beton direpresentasikan sebagai ”momen inersia efektif, Ie” dengan tujuan untuk memperhitungkan defleksi. Momen inersia efektif beton yang tidak retak lebih besar dibandingkan momen inersia efektif beton yang telah retak. Banyak percobaan empirik yang telah dilakukan untuk mengevaluasi nilai Ie. Yang paling banyak digunakan adalah persamaan Branson’s dimana momen inersia efektif dicari dengan Persamaan 3.8 dan Persamaan 3.9 sebagai berikut:


(58)

=

3.9

Dimana Icr adalah momen inersia pada penampang yang sudah retak, Ig adalah momen inersia pada penampang yang tidak retak, Mcr adalah momen retak dan Ma adalah momen layan yang bekerja. Meskipun persamaan Branson’s sudah banyak diadaptasi pada berbagai peraturan, namun persamaan ini memiliki beberapa kelemahan yaitu:

a. Persamaan didapatkan dari hasil percobaan pengujian balok dengan beban seragam. Karena hal tersebut, persamaan ini tidak memperhitungkan jenis pembebanan yang lainnya, hal itu dapat dibuktikan ketika dicoba dengan melakukan pengujian menggunakan beban tidak seragam didapatkan hasil yang tidak konsisten dan kesalahan lebih dari 100% (Al-Shaikh dan Al-Zaid serta Ghali, 1993).

b. Perhitungan untuk mencari nilai Icr sangat kompleks dan cukup menghabiskan waktu. Beberapa peneliti sudah mencoba untuk mengaproximasi suatu persamaan untuk menghitung Icr (Grossman, 1981).

Karena beberapa kelemahan tersebut, beberapa peneliti mencoba mencari alternatif yang lain dari persamaan Branson’s tersebut. Pada tahun 1981, Grossman mengadakan simplifikasi dari persamaan Branson’s untuk mengeliminasi pengaruh momen inersia retak (Icr). Pada tahun 1993, Al- Shaikh dan Al-Zaid memperkenalkan suatu persamaan untuk menggantikan persamaan Branson’s, yaitu


(59)

= + ( - )

3.10

Dimana Lcr adalah panjang retak, L adalah bentang balok dan m = 0.8ρ Mcr/Ma,

dengan ρ adalah rasio tulangan dalam persen.

3.6 Momen Kurvature

Sebuah momen seragam, M, yang bekerja disepanjang bentang menghasilkan sebuah kurvature ( ) dengan rumus: = seperti yang ditunjukkan pada Gambar

3.8a. Sebuah kurva momen kurvature dapat diplot seperti ditunjukkan pada Gambar 3.8b. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa hingga momen retak, Mcr, tercapai

kemiringan kurva mendekati kekakuan penampang sebelum retak yaitu Ec Ig. Setelah penampang mengalami keretakan kurva berubah drastis, ketika momen ultimate, Mu, tercapai kemiringan kurva didekati dengan kekakuan penampang retak

yaitu Ec Icr. Hubungan antara momen, M, dan kurvature, Φ, berdasarkan persamaan

elastik dapat dilihat pada Persamaan 3.11 dibawah ini:


(60)

Gambar 3.8 Variasi Kekakuan Lentur Dengan Momen (Daftar Pustaka no.3)

Ketika sebuah balok dikenai beban lateral, momen pada balok tersebut tidak lagi seragam disepanjang bentang, Gambar 3.9a menunjukkan sebuah balok dengan perletakan sederhana ketika dikenai beban seragam. Berdasarkan pada diagram momen yang terjadi (Gambar 3.9b), ditengah bentang momen yang terjadi telah melewati momen retak, Mcr, yang menyebabkan balok mengalami keretakan dan kurvature ( ) berubah drastis (Gambar 3.9c). Di daerah dekat perletakan, balok belum mengalami keretakan karena momen yang terjadi belum melebihi Mcr.


(61)

Gambar 3.9 Diagram Momen dan Kurvature untuk Balok Tumpuan Sederhana

Secara teoritis kurva momen kurvature untuk beton bertulang dengan beban lentur dan beban aksial didapatkan dengan menggunakan asumsi ”plane sections

before bending remain plane after bending” serta kurva tegangan-regangan untuk

beton dan tulangan diketahui.

Dalam melakukan desain dengan memperhitungkan beban gempa, kekakuan sebuah

member struktur biasa ditulis sebagai rasio dari deformasi ultimate dengan deformasi

ketika terjadi leleh pertama kali. Efek dari properti penampang terhadap rasio u / y

adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan tulangan tarik menyebabkan kekakuan menurun, karena k dan a meningkat, karena itu menyebabkan y meningkat dan u

menurun.

b. Peningkatan tulangan tekan menyebabkan kekakuan meningkat, karena k dan a menurun, karena itu menyebabkan y menurun dan u meningkat.


(62)

c. Peningkatan kekuatan leleh tulangan menyebabkan kekakuan menurun, karena fy/Es dan a meningkat, karena itu menyebabkan y meningkat

dan u menurun.

Peningkatan kekuatan beton menyebabkan kekakuan meningkat, karena k dan a menurun, karena itu menyebabkan y menurun dan u meningkat.

3.7 Deformasi Lentur

Rotasi dan defleksi dari suatu member struktur dapat dihitung dengan mengintegrasikan kurvature ( ) sepanjang bentang. Kurvature didefinisikan sebagai rotasi per unit panjang member, rotasi antara dua point A dan B dari member terlihat pada Pesamaan 3.12 :

= 3.12 dengan dx adalah panjang elemen member

Gambar 3.10 menunjukkan sebuah kantilever dengan deformasi akibat rotasi dθ

sepanjang elemen dx. Rotasi dθ sebanding dengan dx, dimana adalah kurvature.

Defleksi transversal, dΔ, pada titik A adalah x dθ atau x dx. Sehingga defleksi

antara A dan B dapat dihitung dengan rumus: ΔAB=


(63)

3.8 Faktor Modifikasi Kekakuan

Indonesia memiliki peraturan mengenai modifikasi kekakuan elemen struktur, yaitu SNI 2847-2002.

Berdasarkan SNI 2847-2002 yang mengacu pada ACI 318M-2008 adalah sebagai berikut:

a. Beams: 0.35 Ig b. Kolom: 0.70 Ig

c. Dinding tidak retak: 0.70 Ig d. Dinding retak: 0.35 Ig

3.9 Prototipe Sistem Struktur

Bangunan berada di wilayah gempa 4 dengan memiliki percepatan di batuan dasar sebesar 0.3g. Bangunan terdapat pada tanah sedang. Respon spektranya dapat dilihat pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11 Respon Spektra Wilayah Gempa 4 (SNI 1726-2002)

Model bangunan yang akan ditinjau dalam tugas akhir ini adalah gedung perkantoran dengan sistem struktur balok dan kolom. Gedung memiliki 4 lantai dengan tinggi lantai tipikal 4 m dan jumlah bentang dalam arah x dan arah y adalah


(64)

sama yaitu 3 bentang. Jarak antar bentang dalam arah x adalah 7 m dan dalam arah y adalah 4 m. Material yang digunakan adalah beton dengan f’c = 30 MPa, baja tulangan fy = 400 MPa. Pelat atap memiliki tebal 100 mm, dan plat lantai 120 mm. dimensi dan ukuran penampang adalah sebagai berikut:

a) Kolom lt 1 : 60x60, kolom lt 2-3 : 55x55 b) Balok induk : 30x60

c) Balok anak : 20x40

Beban hidup pelat lantai adalah 250 kg/m2, sedangkan beban hidup pelat atap

adalah 100 kg/m2.

Model bangunan, Denah, dan Tampak pada program Sap 2000 berturut-turut dapat

dilihat pada Gambar 3.12 hingga Gambar 3.14.


(65)

Gambar 3.13 Denah Prototipe Sistem Struktur


(66)

3.10 Pemodelan Elemen Struktur 3.10.1 Pembebanan

Beban yang bekerja pada struktur ini terdiri dari beban mati, beban hidup dan beban gempa.

3.10.1.1 Beban Mati

Beban mati pada struktur terdiri dari berat sendiri struktur (dead load), area loads, dan super imposed dead loads. Pada pemodelan ini beban mati (berat sendiri) akan dikalkulasikan secara otomatis oleh program SAP 2000

Area Loads untuk pelat lantai 2-3adalah :

• penutup lantai (keramik + spesi) = 24 kg/m2

• mechanical dan electrical = 25 kg/m2 49 kg/m2

Super Imposes Dead Loads adalah :

• dinding bata (1/2 bata) = 250 kg/m2

Area Loads untuk pelat atap adalah :

• mechanical dan electrical = 25 kg/m2

Selanjutnya mekanisme transfer beban akan disalurkan berturut-turut pada balok, kemudian kolom dan yang terakhir pada pondasi.

3.10.1.2 Beban Hidup

Sesuai SKBI – 1.3.5.3.1987, besarnya beban hidup yang direncanakan untuk pelat lantai bangunan adalah 250 kg/m2. Sedangkan beban hidup untuk atap atau

bagian atap yang dapat dicapai orang, harus diambil minimum sebesar 100 kg/m2


(67)

3.10.1.3 Beban Gempa

Analisis respons spectrum gempa rencana digunakan sebagai simulasi gempa, yaitu sesuai dengan SNI 03 – 1726 – 2002. Pada struktur ini digunakan analisis respon spectrum wilayah 4 dengan tanah sedang.

3.10.1.4 Kombinasi Pembebanan

Kombinasi yang digunakan pada struktur adalah sesuai dengan SNI 03 -2847-2002 pasal 11.2 yaitu :

1. 1.4DL

2. 1.2DL + 1.6LL1 3. 1.2DL + 1.6LL2

4. 1.2DL + 1.6LL1 + 1.6LL2 5. 0.9DL + 1.0E

6. 1.2DL + 1.0LL1 + 1.0E 7. 1.2DL + 1.0LL2 + 1.0E

8. 1.2DL + 1.0LL1 + 1.0LL2 + 1.0E Keterangan :

a. DL = Dead Load (beban mati)

b. LL1 = Live Load1 (beban hidup pada lantai) c. LL2 = Live Load2 (beban hidup pada atap) d. E = Earthquake (beban gempa)

3.10.2 Pemodelan Balok dan Kolom

Balok dan kolom yang digunakan sesuai dengan model struktur dari bangunan diatas, untuk analisa balok dan kolom maka di gunakan program SAP


(68)

2000. Berikut ini prosedur perhitungan desain balok dan kolom dengan

menggunakan program SAP 2000 V.10.

a. Dari menu Define – CONC – Modify/Show Material, parameter untuk mutu beton dan tulangan dimasukkan.

b. Selanjutnya defenisikan parameter penampang melalui menu perintah Define

– Frame Sections – Add Rectangular. Pada kotak dialog Rectangular

Sections, tetapkan type desain (balok atau kolom) serta tebal penutup beton dengan mengklik tombol Reinforcement sehingga ditampilkan kotak dialog


(69)

Untuk memasukkan nilai reduksi inersia dilakukan dengan cara mengklik tombol Set Modifiers sesuai dengan SNI - 03 - 2847 – 2002 dimana untuk balok 0.35 dan kolom 0.7.

c. Susun data pembebanan

- Perhitungan berat sendiri dilakukan dengan mengaktifkan melalui menu perintah Define – Load Case. Selanjutnya ubah parameter


(70)

Self Weight Multipler = 1

- Beban merata dimasukkan dalam elemen balok melalui Assign –

Frame/Cable/Tendon Loads

- Beban gempa dimasukkan pada setiap lantai melalui Assign –

Frame/Cable/Tendon Loads

- Tahap akhir pembebanan adalah mendefenisikan kombinasi

pembebanan yang akan dipakai dalam perencanaan penampang melalui menu Define – Combinations – Add New Comb.

d. Run program

e. Untuk melihat gaya-gaya dalam yang terjadi seperti Momen, Lintang, dan Normal dilakukan dengan cara mengklik Display Show Forces/frames


(71)

Gambar. Bidang momen

f. Desain penampang, Strength Reduction Factor yng digunakan harus disesuaikan melalui Option – Preferences – Concrete Frame Design, parameter yang terlihat pada menu preferences masih mengacu pada peraturan lama. Untuk yang baru, yaitu SNI - 03 - 2847 – 2002, maka faktor reduksi kekuatan adalah:

o Bending/Tension = 0.8

o Compression (T) = 0.65

o Compression (S) =0.7

o Shear = 0.75

g. Selanjutnya proses desain dimulai melalui menu Design – Concrete Frame

Design – Start Design/Check of Structure. Sebagai hasilnya, pada layar


(72)

Gambar. Out put luas tulangan (mm2)

Yang akan ditinjau pada tugas akhir ini yaitu 1. Balok yaitu pada frame 15

2. Kolom yaitu pada frame 130

Karena, pada frame tersebut terjadi gaya-gaya dalam yang paling maksimum.


(1)

130 300 COMB 1 -401.57 -398.611 0.737 130 350 COMB 1 -395.633 -392.674 0.748 130 400 COMB 1 -389.696 -386.737 0.759

Frame Text Station cm OutputCase Text

SNI 2847 - 2002 Analisis

(Beban Gempa) Selisih

(%)

D D

KN KN

130 0 Gempa -437.193 486.536 10.142

130 50 Gempa -431.256 486.536 11.362

130 100 Gempa -425.318 486.536 12.582

130 150 Gempa -419.381 486.536 13.803

130 200 Gempa -413.444 486.536 15.023

130 250 Gempa -407.507 486.536 16.243

130 300 Gempa -401.57 486.536 17.463

130 350 Gempa -395.633 486.536 18.684

130 400 Gempa -389.696 486.536 19.904

Tabel 4. 36. Bidang Normal Pada Kolom

Frame Text Station cm OutputCase Text

SNI 2847 - 2002 Analisis

(Beban Mati) Selisih

(%)

N N

KN KN

130 0 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 50 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 100 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 150 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 200 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 250 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 300 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 350 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

130 400 COMB 1 -24.831 -24.105 2.924

Frame Text Station cm OutputCase Text

SNI 2847 - 2002 Analisis

(Beban Gempa) Selisih

(%)

N N

KN KN

130 0 Gempa -24.831 270.281 90.813

130 50 Gempa -24.831 270.281 90.813


(2)

130 200 Gempa -24.831 270.281 90.813

130 250 Gempa -24.831 270.281 90.813

130 300 Gempa -24.831 270.281 90.813

130 350 Gempa -24.831 270.281 90.813

130 400 Gempa -24.831 270.281 90.813

Dari tabel diatas dapat disimpulkan berapa % perbedaan gaya-gaya dalam antara hasil analisis dengan peraturan-peraturan yang tersedia :

Tabel 4. 37. Perbedaan gaya-gaya dalam yang terjadi pada Kolom

Peraturan SNI 2847-2002

M (% max) D (% max) N (% max) Analisis

(Akibat Beban Mati)

3.044 0.759 2.924

Analisis

(Akibat Beban Gempa)


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai angka reduksi momen inersia pada kasus tersebut maka ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:

1. Pada kasus ini angka reduksi momen inersia rata-rata hasil analisis : a. Akibat beban mati (Comb 1) pada balok 0.861 Ig dan pada kolom

0.868 Ig.

b. Akibat beban gempa pada balok 0.713 Ig dan pada kolom 0.450 Ig.

2. Perbedaan angka reduksi momen inersia antara peraturan SNI 2847-2002 dan hasil analisis :

a. Akibat beban mati yaitu 59,35% untuk balok dan 13,59% untuk kolom.

b. Akibat beban gempa yaitu 50,91% untuk balok dan 35,71% untuk kolom

3. Selisih gaya-gaya dalam yang paling maksimum antara peraturan SNI 2847-2002 dengan hasil analisis:

a. Balok

Momen (%)

Lintang (%)

Normal (%)

Akibat beban mati 20,344 22,193 4,272


(4)

b. Kolom

Momen (%)

Lintang (%)

Normal (%)

Akibat beban mati 3.044 0.759 2.924

Akibat beban gempa 91.108 19.904 90.813

4. Pada balok perbedaan gaya-gaya dalam yang paling maksimum 22,193% akibat beban mati dan 99,639% akibat beban gempa (>10%) artinya untuk merencanakan suatu bangunan angka reduksi ini tidak bisa dipakai. 5. Untuk kolom perbedaan gaya dalam yang paling maksimum 3,044% (<

10%) akibat beban mati artinya angka reduksi ini bisa dipakai untuk perencanaan struktur bangunan sedangkan akibat beban gempa yang paling maksimum 91,108% (>10%) jadi angka reduksi ini tidak bias dipakai untuk perencanaan struktur bangunan.

5.2 Saran

Beberapa saran dari tugas akhir ini yaitu :

1. Sebaiknya dilakukan analisis yang memperhitungkan faktor beban selain beban mati dan beban gempa.

2. Sebaiknya dilakukan analisa untuk variasi model bangunan yang lain agar dapat dilihat apakah besaran reduksinya sama atau tidak.


(5)

konstruksi, perbedaan antara desain dan aplikasi yang ada dilapangan, dan hal-hal lainnya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nawi Edward G, Reinforced Concrete A Fundamental Approach, State University of New Jersey, New Brunswick, New Jersey

2. Diphohusodo Istimawan, Struktur Beton Bertulang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996

3. Macgregor James G, Reinforced Concrete Mechanics and Design, University of Alberta

4. Maccormac Jack C, Desain Beton Bertulang, Erlangga, Jakarta, 2003

5. Dewobroto Wiryanto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan SAP 2000, Elex Media Komputindo, Jakarta

6. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1726-2003, Tata Cara Perencanaan

Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung.

7. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2847-2003, Tata Cara Perhitungan