Gambaran Keluhan Muskuloskeletal Pada Perajin Sulaman Tangan Di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat Tahun 2010

(1)

GAMBARAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN TANGAN DI JORONG SUBARANG TIGO JORONG

NAGARI KOTO GADANG, SUMATERA BARAT TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh:

SRI MINDAYANI NIM. 061000174

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul:

GAMBARAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN TANGAN DI JORONG SUBARANG TIGO JORONG

NAGARI KOTO GADANG, SUMATERA BARAT TAHUN 2010 Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh

SRI MINDAYANI NIM. 061000174

Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 18 Februari 2010 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

(Dra. Lina Tarigan, Apt. MS) (Ir. Kalsum,M.Kes)

NIP 195908061988112001 NIP 195908131991032001

Penguji II Penguji III

(dr. Halinda Sari Lubis, MKKK) (Eka Lestari Mahyuni, SKM. M.Kes)

NIP 196506151996012001 NIP 197911072005012003

Medan, Februari 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,


(3)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian kepada perajin sulaman tangan terhadap keluhan muskuloskeletal di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang tahun 2010.

Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 50 orang. Sampel yang diambil adalah total populasi.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Hasil penelitian yang diperoleh pada perajin sulaman tangan terhadap keluhan muskuloskeletal dengan sikap kerja membungkuk adalah keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang (68%), pinggang sebanyak 42 orang(84%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%).

Hasil pengukuran intensitas cahaya pada lingkungan kerja perajin sulaman tangan adalah di bawah 500 lux sebanyak 32 orang (64%), 500-1000 lux sebanyak 16 orang (32%) dan di atas 1000 lux sebanyak 2 orang (4%).

Keluhan pada mata pada perajin sulaman tangan adalah keluhan mata tidak nyaman sebanyak 43 orang (86%), mata cepat lelah sebanyak 33 orang (66%), mata mengantuk sebanyak 29 orang (58%), mata berair sebanyak 27 orang (54%), penglihatan buram sebanyak 30 orang (60%), dan sakit kepala sebanyak 35 orang (70%).

Disarankan kepada perajin sulaman tangan agar dapat menambahkan bantalan duduk pada saat bekerja, melakukan relaksasi otot setelah lelah melakukan pekerjaan, pekerja yang bekerja pada intensitas cahaya di bawah 500 lux agar dapat menambah penerangan setempat di titik tempat perajin bekerja dan di atas 1000 lux agar dapat mengatur jarak jendela dengan posisi disaat bekerja, pekerja dapat memfokuskan objek penglihatan jarak jauh setelah mata lelah.


(4)

ABSTRACT

Has researched at hand embroidery craftsmen with musculoskeletal disorder in Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang at 2010.

The population of this research is 50 peoples to be total sampling.This research is a descriptive with cross sectional design.

The result of this research from hand embroidery toward musculoskeletal disorders with bowed posture is fatigue on the right shoulder in 34 peoples (68%), waist in 42 peoples (84%), buttock in 27 peoples (54%), and buttock in 28 peoples (56%).

The result of light intensity measurement in work environment of hand embroidery craftsmen is light intensity below 500 lux on 32 peoples (64%), 500-1000 lux light intensity on16 peoples (32%) and above 1000 lux on 2 peoples (4%).

The eye fatigue in hand embroidery craftsmen are: eye discomfort is 43 peoples (86%), rapid eye fatigue is 33 peoples (66%), sleepy eye is 29 peoples (58%), watery eye is 27 peoples (54%), blurred vision is 30 peoples (60%), and headache is 35 peoples (70%).

Suggest to the hand embroidery for add sit pillow at work, get a relaxation after feel fatigue, workers who worked on the light intensity below 500 lux in order to add a local lighting at the point where craftsmen worked and above 1000 lux can set the distance of work position to the window, workers can focus the distance vision after feel fatigue.


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : SRI MINDAYANI

Tempat/Tanggal Lahir : Payakumbuh / 6 Juni 1988 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 3 dari 5 Bersaudara Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jln. M. Nasif No. 57 Koto Gadang Sumatera Barat Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1994-2000 : SD Negeri 10 Koto Gadang

2. Tahun 2000-2003 : SLTP Swasta Xaverius Bukittinggi 3. Tahun 2003-2006 : SMA Negeri 2 Bukittinggi

4. Tahun 2006-2010 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Tahun 2010”, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penulisan ini, saya menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya sebagai manusia yang tidak luput dari segala kekurangan.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Lina Tarigan, Apt. MS selaku dosen pembimbing I dan Ibu Ir. Kalsum, M. Kes selaku dosen pembimbing II yang dalam penulisan skripsi ini telah banyak meluangkan waktu serta penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.

Selanjutnya tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (FKM USU).

2. Ibu Dra. Lina Tarigan, Apt. MS, selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatera Utara.


(7)

4. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku dosen penguji II dan Ibu Eka Lestari Mahyuni, SKM. M.Kes selaku dosen penguji III yang telah banyak memberikan kritik dan saran yang dapat membangun skripsi ini menjadi lebih baik.

5. Seluruh dosen dan staf FKM USU khususnya Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang telah banyak memberikan masukan dan membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi.

6. Bapak M. Budi Zulfikar A.Md selaku Wali Nagari Koto Gadang beserta staff. 7. Bapak Syafrizal selaku Wali Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang,

yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang.

8. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Papanda (Yusbar Yakub) dan Ibunda (Farilon) yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, dan senantiasa mendo’akan penulis selama ini.

9. Buat saudaraku tersayang, Bang Hendra, Bang Rommi, Oggi dan Ola yang selalu mendukung dan senantiasa mendoakan penulis.

10.Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan kepada penulis, Bu Dia, Papa Dek, Kakak Ikem, Elfa Safitri, Nurul Gusti dan seluruh sanak keluarga yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

11.Tante Yanti, Om Sidi, Uni Opet, beserta keluarga yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.

12.Buat sahabat – sahabatku Dini, Hendra, Aulia, Liza, Eel, Bang Ade, Ade, Uni Suci, Geni, Rika, Iskandar yang telah banyak memberikan saran dalam setiap pengerjaan skripsi.


(8)

13.Teman-teman di FKM, khususnya Departemen K3 (Yeni, Momo, Artiti, Aswin, Kak Manna, Bang Agus, Anggi, Kak Ika, Kak Gita, Kak Siska, kak Monik, Kak Lora dan teman – teman lainya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberi semangat dan bantuan kepada penulis..

14.Teman – teman ikatan mahasiswa minang di USU (IMIB USU), PHBI FKM USU, dan PEMA FKM USU yang telah banyak memberikan penulis pengalaman dan pelajaran yang tidak ternilai harganya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat, dukungan, bantuan dan do’a selama ini.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. ... Tujuan Umum ... 6

1.3.2. ... Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Usaha Sektor Informal ... 7

2.2. Ergonomi ... 10

2.2.1. ... Definisi Ergonomi ... 10

2.2.2. ... Sikap Kerja ... 11

2.3. Pencahayaan ... 13

2.3.1. ... Definisi Pencahayaan ... 13

2.3.2. ... Sumber Cahaya ... 14

2.3.3. ... Pencahayaan yang Baik... 16

2.4. Keluhan Muskuloskeletal ... 18

2.4.1. ... Keluhan Muskuloskeletal Akibat Sikap Kerja ... 18

2.4.2. ... Keluhan pada Mata ... 22

2.5. Kerangka Konsep ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Jenis Penelitian ... 23


(10)

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 23

3.2.2. Waktu Penelitian... 23

3.3 Populasi dan Sampel ... 23

3.3.1. ... Populasi ... 23

3.3.2. ... Sampel ... 23

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

3.4.1. ... Data Primer ... 24

3.4.2. ... Data Sekunder ... 24

3.5. Defenisi Operasional ... 24

3.6. Aspek Pengukuran ... 25

3.7. Teknik Analisa Data ... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 26

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 26

4.1.1. Gambaran Geografis ... 26

4.1.2. Gambaran Demografi ... 26

4.2. Karakteristik Perajin Sulaman Tangan ... 27

4.2.1. Umur ... 27

4.2.2. Jenis Kelamin ... 27

4.2.3. Status Perkawinan... 28

4.2.4. Lama Kerja ... 28

4.2.5. Masa Kerja ... 29

4.3. Fasilitas Kerja ... 29

4.3.1. Fasilitas Kerja pada Proses Pembuatan Motif Sulaman Tangan ... 29

4.3.2. Fasilitas Kerja pada Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan ... 30

4.3.3. Fasilitas Kerja pada Proses Penjahitan Benang (Penyulaman) ... 30

4.4. Hasil Pengamatan Sikap Kerja ... 31

4.4.1. Sikap Kerja pada Proses Pembuatan Motif Sulaman Tangan ... 31

4.4.2. Sikap Kerja pada Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan ... 32

4.4.3. Sikap Kerja pada Proses Penjahitan Benang (Penyulaman) ... 34

4.5. Hasil Pengukuran Intensitas Cahaya ... 35

4.6. Keluhan Muskuloskeletal Ditinjau dari Sikap Kerja ... 37


(11)

5.1. Sikap Kerja ... 41

5.1.1. Sikap Kerja pada Proses Pembuatan Motif Sulaman Tangan ... 41

5.1.2. Sikap Kerja pada Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan ... 42

5.1.3. Sikap Kerja pada Proses Penjahitan Benang (Penyulaman) ... 43

5.2. Keluhan Muskuloskeletal Ditinjau dari Sikap Kerja ... 44

5.3. Intensitas Cahaya ... 45

5.4. Keluhan pada Mata ... 47

BAB VI PENUTUP ... 48

6.1. Kesimpulan ... 48

6.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Lampiran 2. Out Put Penelitian

Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU

Lampiran 4. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Wali Nagari Koto Gadang


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Kelompok Umur di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 27 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Jenis

Kelamin di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 27 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan

Status Perkawinan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 28 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan

Lama Kerja di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 28 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Masa

Kerja di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 29 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Tingkat

Intensitas Cahaya di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 36 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Tingkat

Intensitas Cahaya di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 37 Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Keluhan

Muskuloskeletal Ditinjau dari Sikap Kerja yang Dialami oleh Perajin di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 ... 38 Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Keluhan

pada Mata yang Dialami oleh Perajin di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada Tahun 2010 ... 40


(13)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian kepada perajin sulaman tangan terhadap keluhan muskuloskeletal di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang tahun 2010.

Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 50 orang. Sampel yang diambil adalah total populasi.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Hasil penelitian yang diperoleh pada perajin sulaman tangan terhadap keluhan muskuloskeletal dengan sikap kerja membungkuk adalah keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang (68%), pinggang sebanyak 42 orang(84%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%).

Hasil pengukuran intensitas cahaya pada lingkungan kerja perajin sulaman tangan adalah di bawah 500 lux sebanyak 32 orang (64%), 500-1000 lux sebanyak 16 orang (32%) dan di atas 1000 lux sebanyak 2 orang (4%).

Keluhan pada mata pada perajin sulaman tangan adalah keluhan mata tidak nyaman sebanyak 43 orang (86%), mata cepat lelah sebanyak 33 orang (66%), mata mengantuk sebanyak 29 orang (58%), mata berair sebanyak 27 orang (54%), penglihatan buram sebanyak 30 orang (60%), dan sakit kepala sebanyak 35 orang (70%).

Disarankan kepada perajin sulaman tangan agar dapat menambahkan bantalan duduk pada saat bekerja, melakukan relaksasi otot setelah lelah melakukan pekerjaan, pekerja yang bekerja pada intensitas cahaya di bawah 500 lux agar dapat menambah penerangan setempat di titik tempat perajin bekerja dan di atas 1000 lux agar dapat mengatur jarak jendela dengan posisi disaat bekerja, pekerja dapat memfokuskan objek penglihatan jarak jauh setelah mata lelah.


(14)

ABSTRACT

Has researched at hand embroidery craftsmen with musculoskeletal disorder in Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang at 2010.

The population of this research is 50 peoples to be total sampling.This research is a descriptive with cross sectional design.

The result of this research from hand embroidery toward musculoskeletal disorders with bowed posture is fatigue on the right shoulder in 34 peoples (68%), waist in 42 peoples (84%), buttock in 27 peoples (54%), and buttock in 28 peoples (56%).

The result of light intensity measurement in work environment of hand embroidery craftsmen is light intensity below 500 lux on 32 peoples (64%), 500-1000 lux light intensity on16 peoples (32%) and above 1000 lux on 2 peoples (4%).

The eye fatigue in hand embroidery craftsmen are: eye discomfort is 43 peoples (86%), rapid eye fatigue is 33 peoples (66%), sleepy eye is 29 peoples (58%), watery eye is 27 peoples (54%), blurred vision is 30 peoples (60%), and headache is 35 peoples (70%).

Suggest to the hand embroidery for add sit pillow at work, get a relaxation after feel fatigue, workers who worked on the light intensity below 500 lux in order to add a local lighting at the point where craftsmen worked and above 1000 lux can set the distance of work position to the window, workers can focus the distance vision after feel fatigue.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan dilakukan melalui upaya pelayanan kesehatan yang diarahkan pada program-program seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1992 BAB V pasal 10 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal diselenggarakan melalui pendekatan, pemeliharaan dan peningkatan ( promotif ), pencegahan penyakit ( preventif ), penyembuhan penyakit ( kuratif ) dan pemulihan kesehatan ( rehabilitasi ) yang diselenggarakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.

Setiap orang akan melakukan kegiatan dalam berbagai jenis pekerjaan yang ada untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya. Lahan pekerjaan sebagai sumber ekonomi masyarakat dewasa ini, terutama di kota-kota besar dipenuhi sektor-sektor industri baik formal maupun informal yang pertumbuhannya semakin pesat. Hal ini memicu perkembangan teknologi yang juga semakin canggih. Perkembangan teknologi ini tentunya diharapkan agar dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja dan sumber devisa negara. Walaupun perkembangan teknologi semakin meningkat, tidak menutup kemungkinan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan resiko bahaya yang beragam bentuk dan jenisnya. Oleh karenanya perlu diadakan upaya untuk mengendalikan berbagai dampak negatif tersebut (Susilawati, 1993)


(16)

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan tenaga kerja sekaligus meningkatkan produktivitas kerja. Hal ini tercermin dalam pokok-pokok pikiran dan pertimbangan dikeluarkannya UU nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yaitu bahwa tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan dan setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya. Hak atas jaminan keselamatan ini membutuhkan prasyarat adanya lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi tenaga kerja dan masyarakat di sekitarnya.

Sektor informal saat ini mengalami proses pertumbuhan yang lebih pesat dibandingkan sektor formal, sehingga menjadi salah satu penopang perekonomian di Indonesia. Dari jumlah total tenaga kerja Indonesia sebesar 97 juta orang pada tahun 2008, lebih dari 60 juta orang terserap ke sektor informal (Purnama, 2009).

Keberadaan sektor informal telah membantu mengurangi beban negara akibat penggangguran. Akan tetapi sektor ini memiliki standar kesejahteraan pekerja yang masih jauh dari memuaskan. Umumnya pekerja di sektor informal memiliki beban dan waktu kerja berlebihan. Sementara upah yang diterima pekerja jauh dibawah standar. Pengusaha sektor informal pada umumnya kurang memperhatikan kaidah keamanan dan kesehatan kerja (Icohis, 2009).

Hasil penelitian Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan, sekitar 74% pekerja hingga saat ini belum terjangkau layanan kesehatan kerja yang memadai. Menurut penelitian terakhir yang dilakukan tahun 2006, baru sekitar 26 persen pekerja di sektor formal yang memiliki jangkauan layanan kesehatan kerja yang


(17)

pekerja. Hal ini terjadi karena di sektor informal tidak memiliki sistem pembiayaan kesehatan (Anonimous, 2009).

Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal menjadi buruk. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian Departemen Kesehatan pada 2004 terhadap 8 jenis pekerjaan sektor informal. Hasil penelitian menunjukkan ada berbagai gangguan kesehatan akibat kerja yang ditemukan terjadi pada sektor ini. Misalnya saja, dermatitis kontak pada perajin onix (23%), perajin kulit (22%), perajin alas kaki (20,8%), nelayan (20,8%), dan batu bata (17,2%).Gangguan pada mata banyak dijumpai pada penambangan emas (28,6%), perajin kulit (26,0%), dan perajin alas kaki (14,9%). Sementara gangguan telinga berdenging banyak dijumpai pada perajin batu bata (42,4%), perajin kulit (42%), perajin onix (28,3%), dan nelayan (23,8%).Gangguan pada abdomen berupa nyeri tekan epigastrum banyak ditemukan pada perajin batu bata (45,5%) dan petani kelapa sawit (28%). Gangguan otot dan sendi banyak dijumpai pada perajin batu bata (74,7%), perajin onix (52%), nelayan (41,6%), dan perajin kulit (21,0%) (Icohis, 2009).

Salah satu pekerjaan yang bergerak di sektor informal adalah perajin sulaman tangan (DepKes RI, 1994). Sulaman tangan menghasilkan beberapa jenis sulaman seperti sulaman suji, sulaman kapalo samek, terawang yang terdiri dari terawang kumbang, terawang kasiak, terawang filet / papan, dan lain-lain. Adapun jenis sulaman tersebut dibuat untuk selendang, baju, tas, taplak meja, jilbab, sapu tangan, sarung handphone, dan lain-lain (Anonimous, 2009).

Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat , merupakan daerah yang terkenal dengan penduduknya yang banyak bekerja sebagai perajin sulaman tangan. Kerajinan


(18)

sulaman tangan telah menjadi tradisi oleh penduduk ini. Nagari ini terdiri dari 3 Jorong (dusun). Salah satu jorong di Nagari bernama Jorong Subarang Tigo Jorong. Di jorong ini juga terdapat perajin sulaman tangan (Anonimous, 2009).

Berdasarkan survei pendahuluan diketahui bahwa kerajinan sulaman tangan (pembuatan selendang) merupakan suatu pekerjaan yang prosesnya dilakukan secara sederhana. Adapun proses pekerjaannya yaitu berupa penggambaran motif sulaman disebuah lembaran kain, pemasangan kain kesebuah pamedangan (sejenis tempat yang digunakan untuk meregangkan lembaran kain), dan menjahitkan untaian-untaian benang ke dalam kain tersebut.

Pada proses pembuatan motif sulaman, perajin membuatnya di atas lantai. Perajin membuatnya di atas lantai agar motif yang dihasilkan lebih bagus. Jika dibandingkan dengan membuatnya di atas meja, hasil motif sulaman dirasakan kurang bagus bagi perajin. Lama pembuatan motif sulaman ini berkisar 2-3 jam.

Pada proses penjahitan untaian benang ke dalam kain, perajin duduk di atas lantai. Proses ini menggunakan kedua tangan untuk menjahit. Tangan kanan digunakan untuk menjahitkan benang dari bagian atas dan tangan kiri digunakan untuk menjahitkan benang dari bagian bawah. Proses ini menghabiskan waktu paling lama dibandingkan dengan proses lainnya.

Dalam satu hari, perajin sulaman tangan menghabiskan rata-rata 8-10 jam untuk bekerja. Dimana untuk menghasilkan satu buah selendang sulaman, dibutuhkan waktu ± 1 bulan. Pekerjaan ini dilakukan oleh satu orang perajin untuk semua tahapan dalam proses pekerjaan pembuatan sulaman ini.


(19)

Walaupun proses pekerjaan sulaman tangan ini dirasakan sangat sederhana, akan tetapi pada pelaksanaannya dibutuhkan ketelitian yang sangat cermat dari pekerjanya. Hal ini terdapat pada proses penjahitan benang ke dalam kain yang membutuhkan kecermatan, ketelitian, pengaturan warna yang baik, dan ketajaman mata dalam melihat. Ketajaman mata sangat dibutuhkan pada proses ini. Hal ini dikarenakan pada proses ini mata diharuskan untuk selalu fokus terhadap untaian benang yang telah dijahitkan ke dalam kain. Sehingga sulaman yang dihasilkan memiliki bentuk yang indah. Oleh karenanya, dibutuhkan penerangan yang memadai untuk pekerjaan ini.

Pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang monoton. Dengan posisi duduk di lantai dan membutuhkan waktu yang lama, dapat menyebabkan keluhan pada otot-otot tubuh. Begitu juga dengan keadaan mata yang membutuhkan ketelitian dalam menjahit yang dapat menyebabkan kelelahan pada otot mata.

Beberapa perajin sering mengeluhkan sakit pada bagian pinggang, punggung, dan tangan di saat melakukan pekerjaan. Selain itu, beberapa perajin juga mengeluhkan mata berair dan cepat lelah ketika melakukan pekerjaan mereka.

Oleh karena terdapatnya beberapa keluhan otot dari perajin sulaman, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat Tahun 2010”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah “ Bagaimana gambaran keluhan muskuloskeletal pada perajin


(20)

sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat Tahun 2010”.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat Tahun 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tingkat intensitas cahaya di tempat kerja perajin sulaman di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat Tahun 2010.

2. Untuk mengetahui sikap kerja perajin sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat Tahun 2010.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada perajin dan pengelola sulaman mengenai tingkat intensitas cahaya di tempat kerja, sikap kerja yang baik, dan keluhan muskuloskeletal yang terdapat dalam bekerja.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam penelitian. 3. Sebagai pedoman bagi penelitian selanjutnya.

       


(21)

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Sektor Informal

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaanya.

2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah.

3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.

4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak terpisah dengan tempat tinggal.

5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. 7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara

luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan.

Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994) menjelaskan bahwa sektor informal berasal dari terminologi ekonomi, yang dikenal sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan.


(22)

Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara kecil-kecilan.

Sedangkan menurut Simanjuntak (1985) dalam DepKes RI (1994), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja yang tidak ketat.

2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha kecil-kecilan.

3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan Terbatas atau CV.

4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor informal relatif lebih mudah daripada formal.

Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya penganggur dan setengan penganggur. Oleh karenanya, secara naluri masyarakat ini berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan usaha sektor informal (DepKes RI, 1994).


(23)

Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Kelompok sektor informal desa

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman, menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.

2. Kelompok sektor informal kota

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir, pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau “rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha sektor informal di kota (DepKes RI, 1994).

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perajin sulaman tangan merupakan salah satu usaha sektor informal. Dan usaha ini termasuk kedalam usaha sektor informal desa.


(24)

2.2. Ergonomi

2.2.1. Definisi Ergonomi

Ergonomi atau ergonomics sebenarnya berasal dari kata Yunani yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum. Dengan demikian ergonomi adalah disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Disiplin ergonomi secara khusus akan mempelajari keterbatasan dari kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan tekhnologi-tekhnologi buatannya (Wignjosoebroto, 1995).

Menurut Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004), istilah ergonomi didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat tiga hal yang penting dalam mempelajari ergonomi, antara lain: (Santoso, 2004)

a. Ergonomi menitikberatkan manusia (human-centered).

Ini diterapkan pada manusia dan fokus ergonomi pada manusia merupakan hal yang utama, bukan pada mesin atau peralatan. Ergonomi hanya cocok untuk pengembangan sistem kerja.

b. Ergonomi membutuhkan bangunan sistem kerja yang terkait dengan pengguna. Mesin dan peralatan yang merupakan fasilitas kerja harus disesuaikan dengan performen manusia.


(25)

c. Ergonomi menitikberatkan pada perbaikan sistem kerja.

Suatu perbaikan proses harus disesuaikan dengan perbedaan kemampuan dan kelemahan setiap individu, hal ini harus dirumuskan dengan cara diukur baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam jangka waktu tertentu.

2.2.2. Sikap Kerja

Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus melayani mesin (macam gerak, arah dan kekuatan) (Suma’mur, 1996).

Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: (Santoso, 2004) 1. Prinsip posisi duduk

Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar.

Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan posisi tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi (tidak statis).

Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada


(26)

pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.

Pekerjaan sejauh mungkin dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut:

a. Kurangnya kelelahan pada kaki.

b. Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah. c. Berkurangnya pemakaian energi.

d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989) 2. Kerja Posisi Berdiri

Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki (tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi penahanan yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki, dan hal itu terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami kelelahan.


(27)

Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga kerja dengan posisi berdiri. Contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Granjean (1988) dalam Santoso (2004), merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan, letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku. Dan untuk pekerjaan berat, letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku.

3. Kerja Berdiri Setengah Duduk

Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang telah terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah duduk tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.

Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka sangatlah tidak nyaman.

2.3. Pencahayaan 2.3.1. Definisi Cahaya

Secara sederhana cahaya adalah bentuk energi yang memungkinkan makhluk hidup dapat mengenali sekelilingnya dengan mata. Secara ilmu fisika cahaya adalah


(28)

satu dari beberapa jenis energi gelombang (wave energy) yang disebut sebagai pancaran elektromagnetik (electromagnetic radiation). Sebuah benda akan terlihat apabila ia memancarkan cahaya, baik dari benda sendiri maupun cahaya pantulan yang datang dari sumber cahaya lain dan mengenai benda-benda tersebut. Cahaya juga merupakan suatu bentuk energi yang pembentukannya terjadi dengan dua cara, yaitu pijaran (incandescence) dan pendaran (luminescence) (Istiawan dan Kencana, 2006).

2.3.2. Sumber Cahaya

Cahaya yang cukup untuk pencahayaan ruangan merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Menurut Suptandar (1999) pencahayaan secara garis besar dapat dibagi dalam dua macam, yaitu:

1. Pencahayaan Alam (Natural Lighting)

Yang termasuk dalam cahaya alam adalah cahaya matahari yang merupakan sumber cahaya utama dominan. Adapun cahaya matahari bergantung kepada waktu siang hari, musim, cuaca berawan atau tidak. Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sinar ini sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar yang tinggi.

Cahaya matahari ini berguna selain untuk pencahayaan juga dapat mengurangi kelembapan ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit tertentu seperti TBC, influenza, penyakit mata,


(29)

2. Pencahayaan Buatan (Artificial Lighting)

Cahaya buatan ini meliputi cahaya listrik (cahaya fluorescent), cahaya gas, lampu minyak dan lilin. Cahaya buatan ini sebagai sarana pelengkap untuk pencahayaan ruangan dan sebagainya.

Dewasa ini, ketiga sumber cahaya artificial (buatan) sangat dibutuhkan antara lain dipergunakan pada: (Muhaimin, 2001)

1. Lampu filament (lampu pijar) 2. Lampu fluorescent (lampu neon) 3. Lampu mercury

Cahaya buatan tidak selalu memancarkan cahayanya langsung ke suatu objek penerangan atau bidang kerja. Menurut IES dalam Muhaimin (2001), terdapat 5 klasifikasi sistem pancaran cahaya dari sumber cahaya, yaitu: penerangan tak langsung, penerangan setengah tak langsung, penerangan menyebar (difus), penerangan setengah langsung, dan penerangan langsung. a. Penerangan tak langsung

Pada penerangan tak langsung ini, 90% hingga 100% cahaya dipancarkan ke langit-langit ruangan sehingga yang dimanfaatkan pada bidang kerja adalah cahaya pantulan.

b. Penerangan setengah tak langsung

Pada penerangan setengah tak langsung 60% hingga 90% cahaya diarahkan ke langit-langit. Penerangan ini digunakan pada ruangan yang memerlukan modeling shadow. Penggunaan penerangan ini terdapat pada toko buku, ruang baca dan ruang tamu.


(30)

c. Penerangan menyebar (difus)

Pada penerangan difus, distribusi cahaya ke atas dan bawah relatif merata yaitu berkisar 40% hingga 60%. Penerangan ini menghasilkan cahaya teduh dengan bayangan lebih jelas dibandingkan dengan penerangan tidak langsung dan penerangan setengah tak langsung. d. Penerangan setengah langsung

Penerangan setengah langsung 60% hingga 90% cahayanya diarahkan ke bidang kerja dan selebihnya diarahkan ke langit-langit. Penerangan jenis ini efisien yang biasanya digunakan di kantor, kelas, toko, dan tempat kerja lainnya.

e. Penerangan langsung

Pada penerangan jenis ini, cahaya dipancarkan 90% hingga 100% ke bidang kerja. Kelebihannya yaitu efisiensi penerangan tinggi dan memerlukan sedikit lampu untuk bidang kerja yang luas. Kelemahannya yaitu bayangannya gelap karena jumlah lampunya sedikit maka jika terjadinya gangguan sangat berpengaruh.

2.3.3. Pencahayaan yang Baik

Menurut Suma’mur (1996), penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seseorang tenaga kerja melihat pekerjaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu, serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Sifat-sifat pencahayaan yang baik ditentukan oleh:


(31)

b. Pencegahan kesilauan c. Arah sinar

d. Warna

e. Panas penerangan terhadap keadaan lingkungan

Luminensi merupakan besaran penerangan yang berkaitan erat dengan kuat penerangan. Luminensi lapangan penglihatan yang terbaik adalah dengan kekuatan terbesar di tengah pada daerah kerja dilakukan. Perbandingan terbaik adalah 10:3:1 dari luminensi pusat, daerah sekitar pusat, dan lingkungan luas sekitarnya. Dalam setiap hal, luminensi tidak boleh berbeda melebihi perbandingan 40:1, baik di lapangan penglihatan pekerjaan maupun terhadap lingkungan luar. Sesuai dengan dasar inilah, meja atau mesin sebaiknya tidak ditempatkan mengarah jendela.

Kesilauan dapat terjadi jika perbandingan penyebaran luminensi pada lapangan penglihatan tidak dipenuhi. Terdapat beberapa jenis kesilauan, akan tetapi semunya dikarenakan keterbatasan kemampuan penglihatan. Kesilauan dapat ditimbulkan oleh sumber cahaya, permukaan-permukaan mengkilat atau dari sinar matahari atau langit yang dapat dilihat melalui jendela. Selain sinar, pemantulan sinar oleh permukaan dapat menjadi penyebab kesilauan.

Arah penerangan sangat penting. Sumber-sumber cahaya yang cukup jumlahnya sangat berguna dalam mengatur penerangan secara baik. Sinar-sinar dari berbagai arah meniadakan gangguan oleh bayangan, karena itu lebih baik sumber-sumber cahaya dipasang secara merata di tempat kerja.

Pada umumnya cahaya untuk penerangan hanya terbagi atas tiga macam warna cahaya, yaitu kuning (warm light), putih (day light) dan putih kebiruan (cool white).


(32)

Pemilihan warna tersebut tergantung pada kesan yang ingin ditimbulkan dari suatu objek.

Selain ketiga warna utama tersebut, sinar juga dapat dimodifikasi menjadi berbagai macam warna tergantung pada warna bohlam lampunya. Warna yang ditimbulkan bermacam-macam seperti hijau, biru, merah, ungu, oranye, dan sebagainya. Setiap warna tersebut memiliki efek yang berbeda-beda satu sama lain.

Pada Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja, pasal 14 ayat 8 dijelaskan bahwa penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang halus dengan kontras yang sedang dan dalam waktu yang lama, seperti:

1. Pemasangan yang halus 2. Pekerjaan mesin yang halus

3. Penyemiran yang halus dan pemotongan gelas kaca 4. Pekerjaan kerja yang halus (ukuran-ukuran)

5. Menjahit benang-benang wol yang berwarna tua

6. Akuntan, pemegang buku, pekerjaan steno, mengetik atau pekerjaan kantor yang lama dan teliti

Harus mempunyai kekuatan antara 500-1000 luks.

2.4. Keluhan Muskuloskeletal

2.4.1. Keluhan Muskuloskeletal Akibat Sikap Kerja Tidak Baik


(33)

Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon. Keluhan inilah yang disebut dengan keluhan muskuloskeletal disorers (MSDs) atau cedera pada sistem mukuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan kesehatan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebenan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.

Dalam kehidupan sehari-hari, selalu terjadi aneka ragam kegiatan kegiatan otot statis. Pada keadaan berdiri, sejumlah otot kaki, paha, punggung, dan leher berada dalam kontraksi statis. Oleh karena kerja otot statis inilah, bagian-bagian tubuh dapat dipertahankan berada dalam posisi yang tetap. Jika duduk, kerja otot statis pada tungkai bawah tidak diperlukan, dan beban kerja bagi otot relatif kurang (Suma’mur, 1989).

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi oto melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang


(34)

menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur, 1989).

Menurut Peter (2000) yang dikutip Rizki (2007), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:

1. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal ini sering terjadi maka dapat mempertinggi terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.

2. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secata terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

3. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, dan sebagainya. Semakin jauh posisi tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi terjadinya resiko


(35)

terjadinya kekluhan otot skeletal. Sikap kerja yang tidak alamiah dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.

Menurut Nurmianto (2004), sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut 100%, maka cara duduk tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan.

Menurut Santoso (2004), pekerjaan bubut yang berdiri statis dan tangan menekan handel secara statis, tentu melibatkan banyak otot yang mengalami kontraksi. Namun dilihat dari keluhan klinis bahwa tukang bubut mengalami keleleahan biomekanik terbesar pada bahu kanan, punggung dan pinggang. Hal ini dapat diprediksi dari otot-otot yang menghubungkan antara tangan, bahu, leher dan tulang belakang. Diantara otot tersebut menurut Thompson (1981) adalah otot-otot trapezius, rhomboideus dan latissimus dorsiI. Otot trapezius yang menghubungkan dasar tengkorak tali sendi leher, vertebral pada cervical 7 dan seluruh thoracacic. Sebagaimana pula disebutkan oleh Nederhand (2000) bahwa disfungsi otot cervical dapat dilihat pada upper trapezius muscles. Otot rhomboideus yang mengikat vertebral setelah cervical dan T1-T5. Otot latissimus dorsi mengikat puncak pantat pada panggul, sacrum belakang dan vertebral lumbar dan T5 bawah


(36)

sampai iga 3 bawah. Menurut hasil penelitian McGill (2000) bahwa terjadinya injury terhebat pada tulang belakang ini disebabkan oleh lumbar yang terbebani.

2.4.2. Keluhan pada Mata

Menurut dr Edi Supiandi Affandi SpM dari Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI Asthenopia adalah gejala yang diakibatkan oleh upaya berlebihan dari sistem penglihatan yang berada dalam kondisi kurang sempurna untuk memperoleh ketajaman penglihatan.

Keluhan penderita antara lain mata tak nyaman, iritasi, panas, sakit, cepat lelah, mengantuk, merah dan berair. Penglihatan mata terasa buram, ganda, kemampuan melihat warna menurun. Gejala itu diikuti sakit kepala, bahu, punggung dan pinggang, vertigo serta kembung.

Asthenopia banyak dijumpai pada pemakai kacamata, membaca dekat dan bekerja terus-menerus lebih dari dua jam. Terutama di ruangan yang penerangannya kurang dari 200 lux (Cahyono, 2005).

2.5. Kerangka Konsep

 

  Perajin Sulaman

Tangan

Sikap Kerja

Intensitas Cahaya

Keluhan Muskuloskeletal


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui gambaran keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat tahun 2010.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai keluhan kesehatan pada perajin sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.

3.3.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2010. 3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah semua perajin sulaman tangan (perajin sulaman selendang) di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang berjumlah 50 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah semua anggota populasi yaitu berjumlah 50 orang.


(38)

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara:

1.Observasi terhadap sikap kerja perajin sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Barat.

2.Pemetaan tentang keluhan muskuloskeletal ditinjau dari sikap kerja yang mereka alami dengan menggunakan Nordic Body Map (Santoso, 2004). 3.Wawancara tentang keluhan muskuloskeletal ditinjau dari intensitas cahaya

yang mereka alami dengan menggunakan kuesioner yang bersumber dari Affandi dan pengukuran intensitas cahaya yang menggunakan lux meter. 3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kantor Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yaitu tentang gambaran umum, data penduduk, dan tenaga kerja di Nagari Koto Gadang.

3.5. Defenisi Operasional

1. Perajin sulaman tangan adalah pekerja yang mengerjakan aktivitas menyulam yang menggunakan alat pamedangan.

2. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan sakit terhadap otot-otot tubuh yang dialami perajin sulaman tangan pada saat bekerja yang ditinjau dari intensitas cahaya dan sikap kerja.

3. Intensitas cahaya adalah besarnya jumlah cahaya dalam satuan lux yang diukur dengan lux meter.


(39)

4. Sikap kerja adalah posisi tubuh pada saat perajin sulaman melakukan pekerjaannya.

3.6. Aspek Pengukuran

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan cara pengukuran penerangan setempat, yaitu di titik pada saat perajin melakukan pekerjaan menyulam. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan lux meter dengan standar intensitas cahaya yang diperkenankan yaitu 500-1000 lux. Hasil pengukuran intensitas cahaya dibagi menjadi tiga bagian yaitu di bawah 500 lux, 500-1000 lux dan di atas 1000 lux.

3.7. Teknik Analisa Data

Hasil yang diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner akan diolah dan disajikan ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian dianalisa secara deskriptif untuk menjelaskan keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman tangan ditinjau dari sikap kerja dan intensitas cahaya.

                                     


(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

4.1.1. Gambaran Geografis

Nagari Koto Gadang merupakan tanah dataran yang terletak di antara Gunung Singgalang dan Ngarai Sianok dengan ketinggian 920 – 950 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 27oC dan pada malam hari mencapai 20oC. Nagari Kotogadang memiliki luas wilayah 640 Ha dengan batas-batas sebagai berikut:

 Sebelah Utara dengan Nagari Sianok VI Suku.  Sebelah Selatan dengan Nagari Koto Tuo  Sebelah Timur dengan Guguak Tabek Sarojo  Sebelah Barat dengan Nagari Koto Panjang.

Secara administrasi Nagari Kotogadang terdiri dari 3 jorong:  Jorong Kotogadang

 Jorong Ganting

 Jorong Subarang Tigo Jorong 4.1.2. Gambaran Demografi

Jumlah penduduk Nagari Koto Gadang pada September tahun 2009 sebanyak 2.416 jiwa terdiri dari 1.160 laki-laki dan 1.256 perempuan dengan jumlah kepala keluarga 672KK. Jumlah penduduk tertinggi berada pada Jorong Kotogadang, yakni 1.468 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah berada di Jorong Ganting yakni 313 jiwa.


(41)

4.2. Karakteristik Perajin Sulaman Tangan 4.2.1. Umur

Keadaan umur perajin sulaman di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 4.1.:

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Kelompok Umur di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persen (%)

1 ≤ 31 25 50

2 >31 25 50

Jumlah 50 100

Pembagian kelompok umur didasarkan atas nilai median umur responden yaitu 31 tahun. Untuk mencegah timbulnya frekuensi nol pada kelompok tertentu yang menyebabkan ketidakseimbangan proporsi umur.

Berdasarkan tabel 4.1. dapat diketahui bahwa frekuensi umur ≤31tahun sama dengan umur >31tahun.

4.2.2. Jenis Kelamin

Keadaan jenis kelamin perajin sulaman di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 4.2.:

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Jenis Kelamin di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

No Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persen (%)

1 Laki-laki 1 2

2 Perempuan 49 98

Jumlah 50 100

Berdasarkan tabel 4.2. dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar berada pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 49 orang (98%).


(42)

4.2.3. Status Perkawinan

Keadaan status perkawinan perajin sulaman di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 4.3.:

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Status Perkawinan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

No Status

Perkawinan

Jumlah

(Orang) Persen (%)

1 Kawin 45 90

2 Belum kawin 5 10

Jumlah 50 100

Berdasarkan tabel 4.3. dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar berada pada status kawin yaitu sebanyak 45 orang (90%).

4.2.4. Lama Kerja

Keadaan lama kerja perajin sulaman di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 4.4.:

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Lama Kerja di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

No Lama Kerja (Jam) Jumlah (Orang) Persen (%)

1 ≤ 8 28 56

2 > 8 22 44

Jumlah 50 100

Lama kerja dibedakan atas ≤8 jam dan >8 jam. Hal ini didasarkan atas batas lama kerja yang diperkanankan yaitu selama 8 jam per hari.

Berdasarkan tabel 4.4. dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden bekerja dengan lama kerja 8 jam yaitu sebanyak 28 orang (56%).


(43)

4.2.5. Masa Kerja

Keadaan masa kerja perajin sulaman di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 4.5.:

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Masa Kerja di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

No Masa Kerja (Tahun) Jumlah (Orang) Persen (%)

1 ≤ 6 28 56

2 > 6 22 44

Jumlah 50 100

Masa kerja dibedakan atas nilai tengah (median) yaitu 6 tahun. Hal ini untuk mencegah timbulnya frekuensi nol pada kelompok tertentu yang menyebabkan ketidakseimbangan proporsi masa kerja.

Berdasarkan tabel 4.5. dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden bekerja dengan masa kerja ≤ 6 tahun yaitu sebanyak 28 orang (56%).

4.3. Fasilitas Kerja

4.3.1. Fasilitas Kerja pada Proses Pembuatan Motif Sulaman Tangan

Pada proses pembuatan motif sulaman tangan dibutuhkan beberapa alat dan perlengkapan kerja yang digunakan perajin, yaitu antara lain:

1. Pulpen yang digunakan untuk menggambarkan motif sulaman tangan.

2. Kertas minyak yang digunakan untuk menggambarkan motif sulaman tangan sebelum digambarkan ke dalam sebuah kain.

3. Kertas karbon yang digunakan untuk menduplikasi motif sulaman tangan dari kertas minyak untuk dipindahkan ke kain.


(44)

4.3.2. Fasilitas Kerja pada Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan

Pada proses pemasangan kain ke pamedangan dibutuhkan beberapa alat dan perlengkapan kerja yang digunakan perajin, yaitu antara lain:

1. Pamedangan yang digunakan sebagai tempat untuk meregangkan kain yang akan disulam.

2. Kain perca berukuran 10x200 cm dan 10x67cm yang digunakan untuk mamasukkan kayu pada pamedangan.

3. Jarum yang digunakan untuk memasukkan benang ke dalam kain yang akan disulam.

4. Benang yang digunakan untuk menjahitkan kain perca dengan kain yang telah digambar motif sulaman

5. Tali yang digunakan untuk mengikatkan kain perca ke pamedangan. 4.3.3. Fasilitas Kerja pada Proses Penjahitan Benang (Penyulaman)

Pada penjahitan benang (penyulaman) dibutuhkan beberapa alat dan perlengkapan kerja yang digunakan perajin, yaitu antara lain:

1. Jarum yang digunakan untuk memasukkan benang ke dalam kain yang akan disulam.

2. Benang yang digunakan untuk menyulam ke dalam kain. 3. Gunting yang digunakan untuk memotong benang.

Semua peralatan ini diletakkan di atas kain yang telah diregangkan oleh pamedangan.


(45)

4.4. Hasil Pengamatan Sikap Kerja

4.4.1. Sikap Kerja pada Proses Pembuatan Motif Sulaman Tangan

Pada proses ini, motif sulaman dibuat disebuah kertas minyak dengan menggunakan pulpen. Setelah itu motif ini diduplikasi dengan menggunakan kertas karbon untuk dibuat ke dalam kain, dimana kain terletak dibagian paling bawah, kertas karbon di bagian tengah, dan kertas minyak berada paling atas.

Pada proses ini, perajin duduk di atas lantai tanpa menggunakan meja kerja. Pada saat bekerja, perajin harus membungkuk untuk menggambar motif sulaman tangan. Waktu yang diperlukan untuk membuat motif sulaman tangan ini berkisar 2-3 jam. Dalam pembuatan ini, apabila perajin merasakan lelah, maka perajin tersebut akan berhenti sejenak untuk menghilangkan rasa lelah.

Gambar 4.1. Pembuatan motif sulaman tangan

Dari gambar 4.1. dapat diketahui bahwa perajin membuat motif sulaman dalam keadaan duduk di lantai. Kedua bagian kaki dilipat atau bersila, tangan kanan digunakan untuk menggambar motif sulaman, sedangkan tangan kiri digunakan untuk


(46)

menumpu dan menahan kertas minyak agar tidak berpindah dari tempatnya. Bagian punggung agak membungkuk ke depan, dikarenakan perajin membuat motif sulaman di atas lantai.

4.4.2. Sikap Kerja pada Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan

Setiap pinggiran dari kain yang telah digambar dengan motif sulaman akan disambungkan dengan kain perca dengan cara dijahitkan. Kain perca tersebut dilipat dan pertemuan lipatan tersebut disambungkan ke kain yang telah digambar dengan motif, sehingga terbentuk sebuah rongga pada kain perca tersebut. Ke dalam rongga tersebut dimasukkan kayu dari pamedangan. Masing-masing kayu dari setiap sisi kain akan diikatkan dengan tali di setiap sudut pamedangan, sehingga kain tersebut dapat diregangkan. Waktu yang digunakan untuk proses ini adalah sekitar 2 jam.

Pada proses ini, disaat menyambungkan kain perca dengan kain yang sudah digambar motif sulaman, perajin dapat melakukannya dengan cara duduk di lantai ataupun duduk di kursi. Perajin tidak membutuhkan meja kerja pada proses ini. Pada saat pemasangan ke pamedangan, perajin duduk di lantai. Pada saat pemasangan kain bermotif sulaman ke pamedangan, pekerja melakukannya dalam keadaan berdiri, duduk dan jongkok.


(47)

Gambar 4.2. Pemasangan kain ke dalam pamedangan dalam posisi berdiri yang membungkuk

Gambar 4.3. Pemasangan kayu ke dalam kain perca


(48)

Gambar 4.2. adalah gambar perajin memasukkan kayu ke dalam kain perca yang telah disambungkan dengan kain sulaman. Perajin melakukannya dengan posisi berdiri dan terkadang agak membungkuk. Pada gambar 4.3. dapat diketahui bahwa perajin melakukan pekerjaannya dengan sikap kerja jongkok. Postur tubuh perajin bertumpu pada kedua kaki. Pada bagian ini anggota tubuh yang banyak bergerak adalah lengan. Gambar 4.4. adalah gambar perajin melakukan pekerjaannya dalam posisi duduk.

4.4.3. Sikap Kerja pada Proses Penjahitan Benang (Penyulaman)

Penjahitan benang ke dalam kain ini membutuhkan waktu yang lama. Untuk menghasilkan satu selendang, dibutuhkan waktu lebih kurang 1 bulan. Posisi perajin pada proses ini yaitu duduk di lantai. Perajin terkadang duduk bersila atau bersimpuh, dan terkadang juga dengan kaki yang diluruskan ke depan. Perajin bekerja dengan sikap kerja yang monoton, dimana perajin hanya melakukan proses penjahitan benang ke dalam kain secara terus menerus.


(49)

Gambar 4.5. Kegiatan penjahitan benang (menyulam)

Gambar 4.5. adalah gambar perajin sedang menyulam. Posisi perajin yaitu duduk. Tangan kanan berada di atas pamedangan dan tangan kiri berada di bawah pamedangan. Kedua tangan digunakan dalam proses penyulaman. Pada saat bekerja, perajin harus sedikit membungkukkan punggung agar dapat melihat lebih jelas benang yang dijahitkan. 

4.5. Hasil Pengukuran Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan selama dua hari. Hari pertama dilakukan dari pukul 11.30-15.30 WIB dan hari kedua dilakukan dari pukul 09.00-15.30 WIB. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan disiang hari dengan alasan perajin pada umumnya lebih banyak melakukan kegiatan menyulam pada siang hari. Sumber pencahayaan pada kedua pengukuran ini adalah pencahayaan alami (matahari).

Terdapat beberapa perajin yang melakukan aktivitas menyulam di malam hari. Akan tetapi, pengukuran tidak dilakukan pada malam hari dikarenakan, tidak semua perajin yang melakukan aktivitas ini pada malam hari. Apabila perajin melakukan aktivitas menyulam pada malam hari, maka beberapa perajin menggunakan


(50)

penerangan setempat (cahaya buatan) pada saat bekerja. Keadaan intensitas cahaya pada perajin sulaman tangan di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 4.6.:

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Tingkat Intensitas Cahaya di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

Tempat Kerja Perajin Sulaman

Hari Pertama

Tempat Kerja Perajin Sulaman

Hari Kedua Besar

Intensitas Cahaya (Lux)

Besar Intensitas Cahaya (Lux)

1 448 26 596 2 442 27 793 3 549 28 366 4 1487 29 448 5 320 30 56 6 584 31 468 7 177 32 65 8 289 33 363 9 60 34 869 10 85 35 685 11 283 36 615 12 153 37 430 13 262 38 162 14 345 39 872 15 451 40 720 16 395 41 371 17 1078 42 628 18 871 43 659 19 273 44 716 20 542 45 633 21 239 46 216 22 204 47 207 23 352 48 371 24 119 49 682 25 123 50 304


(51)

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Tingkat Intensitas Cahaya di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

Intensitas cahaya dibedakan atas <500 lux, 500-1000 lux, dan >1000 lux. Hal ini didasarkan atas tingkat intensitas cahaya yang diperkenankan untuk pekerjaan menyulam yaitu 500-1000 lux.

Berdasarkan Tabel 4.7. dapat diketahui bahwa frekuensi perajin sulaman tangan dengan intensitas cahaya terbanyak berada pada intensitas di bawah 500 lux sebanyak 32 orang (64%). Frekuensi perajin sulaman dengan intensitas cahaya yang memenuhi syarat 500-1000 lux yaitu 16 orang (32%) dan frekuensi perajin sulaman tangan dengan intensitas di atas 1000 lux sebanyak 2 orang (4%).

4.6. Keluhan Muskuloskeletal Ditinjau dari Sikap Kerja

Untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal menggunakan nordic body map yang ditanyakan sesaat setelah bekerja. Hasil dari pemetaan keluhan muskuloskeletal yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 4.8. sebagai berikut:

Intensitas Cahaya (Lux)

Jumlah (n)

Persen (%)

<500 32 64 500-1000 16 32

>1000 2 4


(52)

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Keluhan Muskuloskeletal Ditinjau dari Sikap Kerja yang Dialami oleh Perajin di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

NO JENIS KELUHAN Ya Tidak Total %

n % n %

1 Sakit kaku di leher 20 40 30 60 50 100 2 Sakit di bahu kiri 24 48 26 52 50 100 3 Sakit di bahu kanan 34 68 16 32 50 100 4 Sakit lengan atas kiri 12 24 38 76 50 100

5 Sakit di punggung 33 66 17 34 50 100

6 Sakit lengan atas kanan 19 38 31 62 50 100 7 Sakit pada pinggang 42 84 8 16 50 100

8 Sakit pada bokong 27 54 23 46 50 100

9 Sakit pada pantat 28 56 22 44 50 100

10 Sakit pada siku kiri 0 0 50 100 50 100 11 Sakit pada siku kanan 2 4 48 96 50 100 12 Sakit lengan bawah kiri 5 10 45 90 50 100 13 Sakit lengan bawah kanan 7 14 43 86 50 100 14 Sakit pada pergelangan tangan

kiri 5 10 45 90 50 100

15 Sakit pada pergelangan tangan

kanan 6 12 44 88 50 100

16 Sakit pada tangan kiri 13 26 37 74 50 100 17 Sakit pada tangan kanan 17 34 33 66 50 100 18 Sakit pada paha kiri 18 36 32 64 50 100 19 Sakit pada paha kanan 19 38 31 62 50 100 20 Sakit pada lutut kiri 22 44 28 56 50 100 21 Sakit pada lutut kanan 22 44 28 56 50 100 22 Sakit pada betis kiri 9 18 41 82 50 100 23 Sakit pada betis kanan 8 16 42 84 50 100 24 Sakit pada pergelangan kaki

kiri 5 10 45 90 50 100

25 Sakit pada pergelangan kaki

kanan 5 10 45 90 50 100

26 Sakit pada kaki kiri 11 22 39 78 50 100 27 Sakit pada kaki kanan 11 22 39 78 50 100


(53)

Berdasarkan tabel 4.8. di atas dapat diketahui bahwa perajin sulaman tangan mengalami keluhan muskuloskeletal yaitu keluhan pada leher sebanyak 20 orang (40%), bahu kirisebanyak 24 orang (48%), bahu kanan sebanyak 34 orang (68%), lengan atas kiri sebanyak 12 orang (24%), punggug sebanyak 33 orang (66%), lengan atas kanan sebanyak 19 orang (38%), pinggang sebanyak 42 orang (84%), bokong sebanyak 27 orang (54%), pantat sebanyak 28 orang (56%), siku kanan sebanyak 2 orang (4%), lengan bawah kiri sebanyak 5 orang (10%), lengan bawah kanan sebanyak 7 orang (14%), pergelangan tangan kiri sebanyak 5 orang (10%), pergelangan tangan kanan sebanyak 6 orang (12%), tangan kiri sebanyak 13 orang (26%), tangan kanan sebanyak 17 orang (34%), paha kiri sebanyak 18 orang (36%), paha kanan 19 orang (38%), lutut kiri sebanayak 22 orang (44%), lutut kanan sebanyak 22 orang (44%), betis kiri sebanyak 9 orang (18%), betis kanan sebanyak 8 orang (16%), pergelangan kaki kiri sebanyak 5 orang (10%), pergelangan kaki kanan sebanyak 5 orang (10%), kaki kiri sebanyak 11 orang (22%), dan kaki kanan sebanyak 11 orang (22%).


(54)

4.7. Keluhan pada Mata

Untuk mengetahui keluhan padmataa menggunakan kuisioner yang bersumber dari Affandi yang ditanyakan sesaat setelah bekerja. Hasil wawancara yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 4.9. sebagai berikut:

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Menurut Keluhan pada Mata yang Dialami oleh Perajin di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang pada tahun 2010

No JENIS KELUHAN Ya Tidak Total %

n % n %

1 Mata tidak nyaman 43 86 7 14 50 100

2 Iritasi mata 18 36 32 64 50 100

3 Mata panas 2 4 48 96 50 100

4 Mata cepat lelah 33 66 17 34 50 100

5 Mengantuk 29 58 21 42 50 100

6 Mata berair 27 54 23 46 50 100

7 Penglihatan buram 30 60 20 40 50 100

8 Penglihatan ganda 18 32 32 64 50 100

9 Sakit kepala 35 70 15 30 50 100

10 Vertigo 13 26 37 74 50 100

11 Perut kembung 18 36 32 64 50 100

Berdasarkan tabel 4.9. di atas dapat diketahui bahwa perajin sulaman tangan mengalami keluhan pada mata yaitu keluhan mata tidak nyaman sebanyak 43 orang (86%), iritasi mata sebanyak 18 orang (36%), mata panas sebanyak 2 orang (4%), mata cepat lelah sebanyak 33 orang (66%), mata mengantuk sebanyak 29 orang (58%), mata berair sebanyak 27 orang (54%), penglihatan buram sebanyak 30 orang (60%), penglihatan ganda sebanyak 18 orang (36%), sakit kepala sebanyak 35 orang (70%), vertigo sebanyak 13 orang (26%), dan perut kembung sebanyak 18 orang (36%).


(55)

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sikap Kerja

5.1.1. Sikap Kerja pada Proses Pembuatan Motif Sulaman Tangan

Menurut Suma’mur (1989), pekerjaan sejauh mungkin dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja sambil duduk adalah (1) kurangnya kelelahan pada kaki, (2) terhindarnya sikap yang tidak alamiah, (3) berkurangnya pemakaian energi, dan (4) kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.

Pembuatan motif sulaman dilakukan dengan cara duduk, akan tetapi pembuatan ini dilakukan dengan duduk di lantai, bukan duduk di kursi seperti yang dikemukakan oleh Suma’mur. Berdasarkan pengamatan pada perajin sulaman tangan, terdapat sikap kerja yang salah dan kurang ergonomis pada proses kerja ini. Sikap tersebut yaitu posisi duduk di lantai dalam waktu yang cukup lama yaitu 2-3 jam dan yang terkadang jongkok pada saat membuat motif sulaman. Bekerja di lantai, menjadikan lantai sebagai meja kerja dan kursi kerja, akibatnya membuat perajin bekerja dalam posisi punggung yang membungkuk. Selain itu tangan kiri harus bertumpu di lantai agar dapat menopang tubuh.

Sikap ini sering dilakukan dikarenakan menurut perajin akan menghasilkan motif sulaman yang lebih bagus dibandingkan membuat di atas meja. Sikap tubuh yang tidak alami selama proses kerja harus dihindari, dimana posisi jongkok sebaiknya tidak dilakukan oleh perajin sulaman tangan. Sebaiknya perajin menggambar motif sulaman di atas meja tangan yang memiliki ketinggian lebih kurang 70cm dengan kemiringan meja 300-450. Hal ini bertujuan untuk mengurangi


(56)

sikap kerja membungkuk, sehingga perajin tidak harus duduk di lantai pada saat bekerja.

5.1.2. Sikap Kerja pada Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan

Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih baik dalam posisi duduk. Posisi duduk juga dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka sangatlah tidak nyaman.

Pada saat melakukan pemasangan kain ke pamedangan, perajin melakukannya dengan posisi berdiri, duduk, dan jongkok. Hal ini dikarenakan sesuai kebutuhan pekerjaan. Perajin harus duduk pada saat menjahitkan sambungan kain perca dengan kain yang dimotif sulaman dan pada saat mengikatkan kain perca ke pamedangan. Perajin harus berdiri dengan sedikit membungkuk dan juga jongkok untuk memasukkan kayu ke dalam kain perca.

Sikap kerja pada saat proses kerja ini telah sesuai dengan pendapat Suma’mur yang menyatakan bahwa posisi kerja yang baik yaitu bergantian antara posisi duduk dan posisi berdiri. Akan tetapi, posisi kerja pada proses ini masih terdapat sikap kerja yang kurang ergonomis yaitu posisi kerja yang berdiri sambil membungkuk dan dalam posisi jongkok. Pekerjaan ini tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pengerjaannya yaitu 2 jam. Dalam proses ini, perajin yang terkadang harus berdiri sambil membungkuk dan juga jongkok pada saat bekerja, dapat menghindari hal tersebut dengan cara berdiri tegak atau duduk.


(57)

5.1.3. Sikap Kerja pada Proses Penjahitan Benang (Penyulaman)

Posisi duduk pada otot rangka dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri (back pain) dan terhindar cepat lelah. Menurut Richard Ablett (2001) saat ini terdapat 80% orang hidup setelah dewsa mengalami nyeri pada bagian-bagian tubuh belakang karena berbagai sebab dan karena back pain ini mengakibatkan 40% orang tidak masuk kerja.

Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat (Suma’mur, 1989)

Pada proses penjahitan benang atau penyulaman, perajin bekerja dalam posisi duduk di lantai, baik duduk bersimpuh, bersila, ataupun kaki yang diluruskan ke depan, akan tetapi perajin lebih banyak bekerja dengan cara duduk bersila dan bersimpuh. Perajin lebih banyak duduk dengan cara ini dikarenakan perajin lebih merasa nyaman dengan posisi duduk seperti itu di bandingkan dengan duduk dengan cara kaki yang diluruskan. Duduk dengan cara kaki yang diluruskan dirasakan perajin lebih cepat membuat keadaan pinggang dan punggung cepat lelah.

Dalam proses ini, sikap perajin pada saat duduk tidak ergonomis yaitu membungkuk. Hal ini dikarenakan proses penyulaman membutuhkan ketelitian sehingga bagian punggung harus dibungkukkan agar dapat melihat jahitan sulaman lebih teliti.


(58)

5.2. Keluhan Muskuloskeletal Ditinjau dari Sikap Kerja

Berdasarkan hasil nordic body map di atas dapat diketahui bahwa perajin sulaman tangan mengalami keluhan muskuloskeletal ditinjau dari sikap kerja yaitu keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang (68%), punggung sebanyak 33 orang (66%), pinggang sebanyak 42 orang (84%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%).

Menurut Nurmianto (2004), sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut 100%, maka cara duduk tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan.

Keluhan pada bahu kanan dapat terjadi dikarenakan pekerjaan menyulam banyak menggunakan tangan kanan pada proses pekerjaannya. Hal ini juga ditambah dengan tinggi alat kerja (pamedangan) yang membuat posisi bahu kanan agak terangkat. Posisi lengan kanan banyak melakukan aktivitas penyulaman, sehingga otot-otot pada lengan kanan bekerja secara dinamis. Sedangkan pada bahu kanan, otot-otot bekerja secara statis. Apabila otot bekerja secara statis, maka akan dapat menimbulkan keluhan pada otot itu sendiri.


(59)

membungkuk pada saat melakukan pekerjaan menyulam. Sikap kerja ini dapat menyebabkan tekanan pada tulang belakang meningkat menjadi 190% dari keadaan biasanya (100%). Selain itu, keluhan ini dirasakan oleh karena perajin bekerja dengan posisi duduk dalam jangka waktu yang lama tanpa mengubah posisi kerja, di bawah kondisi tekanan kompresi yang terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri, sakit dan rasa kebal (mati rasa).

Sikap kerja ini dapat dicegah dengan cara duduk dengan posisi yang bergantian. Perajin dapat duduk bersimpuh atau bersila yang bergantian. Selain itu, perajin dapat memberikan bantalan duduk pada saat duduk di lantai. Tujuan dari penggunaan bantalan duduk ini agar tekanan pada saat duduk dapat disebarkan, sehubungan dengan berat badan pada titik persinggungan antar permukaan dengan daerah yang lebih luas.

5.3. Intensitas Cahaya

Pada Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja, pasal 14 ayat 8 dijelaskan bahwa penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang halus dengan kontras yang sedang dan dalam waktu yang lama harus memiliki intensitas cahaya 500-1000 lux.

Untuk pekerjaan menyulam termasuk dalam kategori intensitas cahaya 500-1000 lux. Pada pengukuran intensitas cahaya di Jorong Subarang Tigo Jorong Nagari Koto Gadang Tahun 2010 dapat diketahui bahwa 32 orang (64%) responden memiliki intensitas cahaya di bawah 500 lux, 16 orang (32%) memiliki intensitas cahaya


(60)

memenuhi syarat yaitu 500-1000 lux, dan 2 orang (4%) memiliki intensitas cahaya di atas 1000 lux.

Pengukuran intensitas cahaya yang berada di bawah 500 lux dikarenakan oleh kurangnya jumlah intensitas cahaya pada saat bekerja. Perajin menjadikan matahari sebagai sumber pencahayaan utama dalam bekerja. Hal yang menyebabkan kurangnya intensitas cahaya adalah cahaya yang masuk terhalangi oleh jendela yang tidak terbuka secara keseluruhan, sehingga menimbulkan bayangan pada saat bekerja, jumlah ventilasi baik jendela ataupun pintu tidak banyak, sehingga ruangan pada saat bekerja menjadi tidak terang, dan cuaca yang sering hujan menyebabkan sinar matahari terhalangi oleh awan.

Pengukuran intensitas cahaya yang memenuhi syarat 500-1000 lux mendapatkan sumber pencahayaan dari matahari. Keadaan ventilasi yang cukup banyak, tidak adanya bayangan yang ditimbulkan dari jendela pada saat bekerja, serta cuaca yang cukup mendukung, menyebabkan pencahayaan pada saat bekerja dapat memenuhi syarat intensitasnya.

Pengukuran intensitas cahaya yang berada di atas 1000 lux dikarenakan pada saat bekerja, perajin melakukan pekerjaannya tepat di samping jendela, sehingga cahaya matahari yang ada tidak terhalangi masuk ke dalam rumah. Keadaan cuaca cerah pada saat pengukuran, sehingga tidak ada awan yang menghalangi datangnya sinar matahari.


(61)

5.4. Keluhan pada Mata

Menurut dr Edi Supiandi Affandi SpM dari Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI Asthenopia adalah gejala yang diakibatkan oleh upaya berlebihan dari sistem penglihatan yang berada dalam kondisi kurang sempurna untuk memperoleh ketajaman penglihatan. Keluhan penderita antara lain mata tak nyaman, iritasi, panas, sakit, cepat lelah, mengantuk, merah dan berair. Penglihatan mata terasa buram, ganda, kemampuan melihat warna menurun. Gejala itu diikuti sakit kepala, bahu, punggung dan pinggang, vertigo serta kembung.  

Pada perajin sulaman tangan di Jorong Subarang tigo Jorong Nagari Koto Gadang tahun 2010, keluhan muskuloskeletal yang ditinjau dari intensitas cahaya yaitu antara lain: mata tidak nyaman sebanyak 43 orang (86%), mata cepat lelah sebanyak 33 orang (66%), mata mengantuk sebanyak 29 orang (58%), mata berair sebanyak 27 orang (54%), penglihatan buram sebanyak 30 orang (60%), dan sakit kepala sebanyak 35 orang (70%). Ketidaknyamanan pada mata, mata cepat lelah, mengantuk, mata berair, penglihatan buram, dan sakit kepala dapat terjadi oleh karena pencahayaan yang berada di bawah intensitas 500 lux dan di atas 1000 lux. Hal ini juga ditambah dengan keadaan bahwa pekerjaan ini membutuhkan ketelitian yang cermat, sehingga mata harus tetap fokus jarak dekat pada saat menyulam, sehingga memicu untuk terjadinya keluhan pada mata.

         


(62)

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

1. Sikap kerja perajin sulaman pada proses pembuatan motif sulaman kurang ergonomis yaitu perajin bekerja dengan cara duduk di lantai dan membungkuk.

2. Sikap kerja perajin sulaman pada proses pemasangan kain ke pamedangan kurang ergonomis yaitu membungkuk dan jongkok.

3. Sikap kerja perajin sulaman pada proses penjahitan benang (penyulaman) tidak ergonomis yaitu membungkuk.

4. Tingkat intensitas cahaya pada perajin sulaman yaitu di bawah 500 lux sebanyak 32 orang (64%), 500-1000 lux sebanyak 16 orang (32%), dan di atas 1000 lux sebanyak 2 orang (4%).

5. Keluhan muskuloskeletal ditinjau dari sikap kerja yaitu keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang (68%), pinggang sebanyak 42 orang (84%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%). 6. Keluhan muskuloskeletal ditinjau dari intensitas cahaya yaitu : mata tidak

nyaman sebanyak 43 orang (86%), mata cepat lelah sebanyak 33 orang (66%), mata mengantuk sebanyak 29 orang (58%), mata berair sebanyak 27 orang (54%), penglihatan buram sebanyak 30 orang (60%), dan sakit kepala sebanyak 35 orang (70%).


(63)

6.2. Saran

1. Pembuat motif sulaman tangan sebaiknya menggunakan meja kerja. 2. Perajin dapat menambahkan bantalan duduk pada saat bekerja.

3. Perajin sebaiknya melakukan relaksasi otot setelah lelah melakukan pekerjaan.

4. Pekerja yang bekerja pada intensitas cahaya di bawah 500 lux agar dapat menambahan penerangan setempat di titik tempat perajin bekerja dan di atas 1000 lux agar dapat mengatur jarak jendela dengan posisi kerja.

5. Pekerja dapat memfokuskan objek penglihatan jarak jauh jika mata telah lelah.

                                                 


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2006. Letak Geografis Koto Gadang. http:// www.kotogadang-pusako.com. Diakses tanggal 17 November 2009

---, 2007. 74 Persen Pekerja Belum Terjangkau Layanan Kesehatan Memadai. http://www.pusdikmnakes.or.id. Diakses tanggal 17 November 2009

Cahyono, Herry Putut. Hubungan Penerangan dan Jarak Pandang ke Layar Monitor Komputer dengan Tingkat Kelelahan Mata Petugas Operator Komputer Sistem Informasi RSO Prof. Dr. R Soeharso Surakarta Tahun. Skripsi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat UNNES. Semarang

Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992

---, 1994. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia. Jakarta.

---, 2002 Upaya Kesehatan Kerja Bagi Perajin. Jakarta

Icohis, 2006. Pemerintah Mulai Sentuh Sektor Informal. http://www.majalahfarmacia.com. Diakses tanggal 17 November 2009

Istiawan, Saptono dan Ira Puspa Kencana, 2006. Ruang Artistik dengan Pencahayaan. Penebar Swadaya. Jakarta

Muhaimin, 2001. Tekhnologi Pencahayaan. PT. Refika Aditama. Bandung

Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Penerbit Guna Widya. Surabaya

Susilawati, Endang. 1993. Dampak Pencahayaan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja di PT. Pertekstilan T. D. Pardede Tahun 1993. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Medan

Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan, serta Penerangan dalam Tempat Kerja

Purnama, Dewi, 2008. Sektor Informal Serap 60 Juta Pekerja.

http://www.kompas.com. Diakses tanggal 17 November 2009

Rizki, Ahmadi., 2007. Gambaran Sikap Kerja Terhadap Keluhan Kesehatan Pekerja Tukang Sepatu di Pusat Industri Kecil (PIK) Menteng Medan Tahun 2007. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Medan


(1)

Sakit pada Lutut Kiri

22 44,0 44,0 44,0

28 56,0 56,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit pada Lutut Kanan

22 44,0 44,0 44,0

28 56,0 56,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit pada Betis Kiri

9 18,0 18,0 18,0

41 82,0 82,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit pada Betis Kanan

8 16,0 16,0 16,0

42 84,0 84,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit pada Pergelangan Kaki Kiri

5 10,0 10,0 10,0

45 90,0 90,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit pada Pergelangan Kaki Kanan

5 10,0 10,0 10,0

45 90,0 90,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

Sakit pada Kaki Kiri

11 22,0 22,0 22,0

39 78,0 78,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit pada Kaki Kanan

11 22,0 22,0 22,0

39 78,0 78,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Tidak nyaman pada mata

43 86,0 86,0 86,0

7 14,0 14,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Iritasi pada mata

18 36,0 36,0 36,0

32 64,0 64,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Panas pada mata

2 4,0 4,0 4,0

48 96,0 96,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Mata cepat lelah

33 66,0 66,0 66,0

17 34,0 34,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

mengantuk

29 58,0 58,0 58,0

21 42,0 42,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Mata berair

27 54,0 54,0 54,0

23 46,0 46,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Penglihatan buram

30 60,0 60,0 60,0

20 40,0 40,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Penglihatan Ganda

18 36,0 36,0 36,0

32 64,0 64,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sakit kepala

35 70,0 70,0 70,0

15 30,0 30,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Vertigo

13 26,0 26,0 26,0

37 74,0 74,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

Perut kembung

18 36,0 36,0 36,0

32 64,0 64,0 100,0

50 100,0 100,0

ya tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Frequencies

Statistics

Intensitas Cahaya Rata-Rata 50

0 Valid

Missing N


(5)

Intensitas Cahaya Rata-Rata

1 2,0 2,0 2,0

1 2,0 2,0 4,0

1 2,0 2,0 6,0

1 2,0 2,0 8,0

1 2,0 2,0 10,0

1 2,0 2,0 12,0

1 2,0 2,0 14,0

1 2,0 2,0 16,0

1 2,0 2,0 18,0

1 2,0 2,0 20,0

1 2,0 2,0 22,0

1 2,0 2,0 24,0

1 2,0 2,0 26,0

1 2,0 2,0 28,0

1 2,0 2,0 30,0

1 2,0 2,0 32,0

1 2,0 2,0 34,0

1 2,0 2,0 36,0

1 2,0 2,0 38,0

1 2,0 2,0 40,0

1 2,0 2,0 42,0

1 2,0 2,0 44,0

1 2,0 2,0 46,0

2 4,0 4,0 50,0

1 2,0 2,0 52,0

1 2,0 2,0 54,0

1 2,0 2,0 56,0

1 2,0 2,0 58,0

1 2,0 2,0 60,0

1 2,0 2,0 62,0

1 2,0 2,0 64,0

1 2,0 2,0 66,0

1 2,0 2,0 68,0

1 2,0 2,0 70,0

1 2,0 2,0 72,0

1 2,0 2,0 74,0

1 2,0 2,0 76,0

1 2,0 2,0 78,0

1 2,0 2,0 80,0

1 2,0 2,0 82,0

1 2,0 2,0 84,0

1 2,0 2,0 86,0

1 2,0 2,0 88,0

1 2,0 2,0 90,0

1 2,0 2,0 92,0

1 2,0 2,0 94,0

1 2,0 2,0 96,0

1 2,0 2,0 98,0

1 2,0 2,0 100,0

50 100,0 100,0 56 60 65 85 119 123 153 162 177 204 207 216 239 262 273 283 289 304 320 345 352 363 366 371 395 430 442 448 448 451 468 542 549 584 596 615 628 633 659 682 685 716 720 793 869 871 872 1078 1487 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(6)

Statistics

Intensitas Cahaya Rata-Rata 50

0 Valid

Missing N

Intensitas Cahaya Rata-Rata

32 64,0 64,0 64,0

16 32,0 32,0 96,0

2 4,0 4,0 100,0

50 100,0 100,0

<500 500-1000 >1000 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent