Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat

(1)

PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN

TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT

TESIS

Oleh: SRI MINDAYANI

107032111/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN

TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI MINDAYANI 107032111/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Proposal : PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG

SUMATERA BARAT

Nama Mahasiswa : Sri Mindayani

Nomor Induk Mahasiswa : 107032111

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E) (Ir. Kalsum, M.Kes)

Ketua Anggota

Dekan


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 13 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E ANGGOTA : 1. Ir. Kalsum, M.Kes

2. Dr. Ir. Gerry Silaban, M. Kes 3. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN

TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT

TESIS

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

Sri Mindayani 107032111/IKM


(6)

ABSTRAK

Perajin sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang belum menerapkan fasilitas kerja (pamedangan) yang ergonomis dalam bekerja.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 36 orang dengan jumlah sampel sebanyak 26 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group.

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sikap kerja sebelum intervensi fasilitas kerja berada pada level tindakan tinggi dan sedang. Sesudah intervensi fasilitas kerja, terjadi perbaikan sikap kerja menjadi level tindakan menjadi kecil. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,01) dan selesai bekerja (p=0,01) kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,325) dan selesai bekerja (p=0,498) kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja.

Perajin sulaman tangan disarankan agar dapat menggunakan fasilitas kerja yang telah didesain secara ergonomis, melakukan relaksasi selama bekerja, perlunya membuat meja kerja (pamedangan) yang adjustable dan penahan lumbar agar dapat mengurangi keluhan muskoloskeletal dan perlunya dukungan dari pemerintah agar dapat mensosialisasikan manfaat intervensi fasilitas kerja yang diperoleh secara kongkrit kepada perajin sulaman tangan.

Kata Kunci : Fasilitas kerja, Sikap Kerja, Keluhan Muskoloskeletal, Perajin Sulaman Tangan


(7)

ABSTRACT

Hand embroidery industry is one of the forms of informal sectors in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat which has not yet applied an ergonomic working facilities in its daily activity.

The purpose of this experimental study with pretest-posttest with control group design was to analyze the influence of work posture on musculoskeletal disorder with the intervention of working facilities in the hand embroidery workers in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. The populations of this study was 36 embroidery workers and 26 of them were selected to be samples for this study.

The result of this research, before the working facility intervention, their work posture was on the high and medium levels. After working facility intervention, their work posture was improved to small level. The result of Wilcoxon test showed work posture had influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.01) and after they finished working (p=0.01)in the experiment group before and after working facility intervention; and work posture did not have any influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.325) and after they finished working (p=0,498)in the control group before and after the working facility intervention.

The hand embroidery workers are suggested to use the working facilities which have been ergonomically design, to do some relaxation when they are working,

it’s needed to make an adjustable work (pamedangan) and using a lumbar brace to

minimize the musculoskeletal disorder. The support from the government is also needed to socialize to the hand embroidery workers about the benefit of working facility intervention obtained in a concrete way.

Key Words : Work Facility, Work Posture, Musculoskeletal Disorders, Hand Embroidery


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat

dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Magister di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari begitu banyak yang memberi dukungan, bimbingan, informasi, bantuan moril maupun materi dan kemudahan dari berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E. dan Ir. Kalsum, M. Kes selaku pembimbing yang telah memberi perhatian, dukungan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan hingga selesainya tesis ini.


(9)

5. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K, selaku penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat menyempurnakan tesis ini. 6. dr. Linda T. Maas, M.P.H, dr, Bisara L. Tobing, M.P.H, Lita Sri Andayani,

S.K.M, M.Kes dan Asfriyati, S.K.M, M.Kes yang telah banyak memberikan pengetahuan, pengalaman berharga dan dukungan kepada penulis selama menuntut ilmu di FKM USU.

7. Wali Nagari Koto Gadang Nurdin Nursid, S.Sos. MH yang telah memberi izin untuk peneliti melakukan penelitian di Nagari Koto Gadang.

8. Dr. Eng. Lusi Susanti yang sangat baik dan bermurah hati memberikan bantuan kepada penulis dalam peminjaman kursi antropometri.

9. Seluruh staf dosen dan staf pegawai di Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberi ilmu dan bantuan kepada penulis.

10. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Papanda (Yusbar Yakub) dan Ibunda (Farilon) yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, dan senantiasa

mendo’akan penulis selama ini.

11. Buat saudaraku tersayang, Bang Hendra, Bang Rommi, Oggi dan Ola yang selalu mendukung dan senantiasa mendoakan penulis.

12. Buat sahabat-sahabatku, Liza, Dini, Hendra, Eel dan Aulia yang telah banyak memberikan dukungan dan saran selama ini dalam pengerjaan tesis ini.

13. Teman-teman di S2 FKM USU khususnya minat studi Kesehatan Kerja dan MKLI (Kak Noni, Aswin, bang Yuda, Pak Harto, Kak Meli, Pak Patar, bang


(10)

Nanda, Aisyah, Kak Dewi, Kak Cut, Kak Listautin, dan Kak Lisda dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu).

14. Teman-teman Teknik Industri USU dan UNAND (Kak Eza, Yos, Taufik, Bayu, Eka, Adnan, Ridho, Clara, dan lain-lain) yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan pemahaman mengenai masalah-masalah tesis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2012 Penulis

Sri Mindayani 107032111/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama penulis Sri Mindayani, lahir di Payakumbu tanggal 6 Juni 1988, jenis kelamin perempuan, beragama Islam, anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Syafnir dan Farilon, pada saat ini belum menikah. Penulis bertempat tinggal di Nagari Koto Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam Sumatera Barat.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 10 Koto Gadang pada tahun 2000. Menamatkan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) Swasta Xaverius Bukittinggi tahun 2003 dan menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bukittinggi tahun 2006. Penulis menamatkan pendidikan S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2010.

Riwayat pekerjaan, pada tahun 2011 menjadi staf administrasi di Akademi Kebidanan Widya Husada Medan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Hipotesis ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Sektor Informal ... 11

2.2. Ergonomi ... 14

2.3. Sikap Kerja ... 15

2.4. Desain Stasiun Kerja ... 19

2.5. Keluhan Muskuloskeletal ... 32

2.6. Landasan Teori ... 34

2.7. Kerangka Konsep ... 35

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Jenis Penelitian ... 36

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 36

3.2.2. Waktu Penelitian ... 37

3.3 Populasi dan Sampel... 37

3.3.1. Populasi ... 37

3.3.2. Sampel ... 37

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 38

3.4.1. Data Primer ... 38

3.4.2. Data Sekunder ... 38

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 38


(13)

3.5.2. Definisi Operasional ... 38

3.6. Metode Pengukuran ... 39

3.7. Metode Analisis Data ... 49

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Daerah Penelitian ... 50

4.1.1. Gambaran Geografis ... 50

4.1.2. Gambaran Demografi ... 50

4.2. Karakteristik Perajin Sulaman Tangan ... 51

4.2.1. Umur ... 51

4.2.2. Jenis Kelamin ... 51

4.2.3. Status Perkawinan ... 52

4.2.4. Masa Kerja ... 52

4.3. Proses Kerja ... 53

4.4.1. Pembuatan Motif Sulaman Tangan ... 53

4.4.2. Proses Pemasangan Kain ke Pamedangan... 53

4.4.3. Proses Penjahitan (Penyulaman) ... 53

4.4. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan ... 54

4.5. Fasilitas Kerja ... 55

4.5.1. Fasilitas Kerja sebelum Perancangan ... 55

4.5.2. Fasilitas Kerja sesudah Perancangan ... 55

4.6. Sikap Kerja ... 60

4.6.1. Sikap Kerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 60

4.6.2. Sikap Kerja sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 65

4.7. Keluhan Muskuloskeletal ... 69

4.7.1. Keluhan Muskuloskeletal sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 69

4.7.2. Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 71

4.8. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 73

BAB 5. PEMBAHASAN ... 79

5.1. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan ... 79

5.2. Sikap Kerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja... 84

5.3. Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 86

5.4. Perancangan Fasilitas Kerja ... 89

5.5. Sikap Kerja Setelah Intervensi Fasilitas Kerja ... 92

5.6. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 94

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

6.1. Kesimpulan ... 97


(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN ... 100


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Skor Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA ... 42

3.2. Skor Postur Leher (Neck) REBA ... 43

3.3. Skor Postur Kaki (Legs) REBA ... 43

3.4. Skor Beban (Load) REBA ... 44

3.5. Skor Postur Lengan Atas (Upper Arm) REBA ... 44

3.6 Skor Postur Lengan Bawah (Lower Arm) REBA ... 44

3.7. Skor Postur Pergelangan Tangan (Wrist) REBA ... 45

3.8. Skor Postur Coupling REBA ... 45

3.9. Tabel A REBA ... 46

3.10. Tabel B REBA ... 46

3.11. Tabel C REBA ... 47

3.12. Skor Aktivitas REBA ... 47

3.13. Nilai Level Tindakan REBA ... 47

4.1. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Kelompok Umur di Nagari Koto Gadang ... 51

4.2. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Jenis Kelamin di Nagari Koto Gadang ... 51

4.3. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Status Perkawinan di Nagari Koto Gadang ... 52


(16)

4.4. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Masa

Kerja di Nagari Koto Gadang ... 52

4.5. Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 61

4.6. Tabel A REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 62

4.7. Tabel B REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 62

4.8. Tabel C REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63

4.9. Skor Aktivitas REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63

4.10. Nilai Level Tindakan REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63

4.11. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 64

4.12. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 66

4.13. Tabel A REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 66

4.14. Tabel B REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 67

4.15. Tabel C REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 67

4.16. Skor Aktivitas REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 68

4.17. Nilai Level Tindakan REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja... 68

4.18. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 69

4.19. Distribusi Frekuensi Kategori Keluhan Muskuloskeletal sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 69


(17)

4.20. Distribusi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 71 4.21. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi

Fasilitas Kerja pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 72 4.22. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan

Total Skor sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 73 4.23. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah

Intervensi Fasilitas Kerja pada Kelompok Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 74 4.24. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi

Fasilitas Kerja pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 75 4.25. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi

Fasilitas Kerja pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 76 4.26. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah

Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 77 4.27. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah

Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 78


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil ... 26

2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya ... 26

2.3. Kerangka Konsep... 35

3.1. Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA ... 42

3.2. Postur Leher (Neck) REBA ... 43

3.3. Postur Kaki (Legs) REBA ... 43

3.4. Ukuran Beban (Load) REBA... 43

3.5. Postur Lengan Atas (Upper Arm) REBA ... 44

3.6. Postur Lengan Bawah (Lower Arm) REBA... 44

3.7. Postur Pergelangan Tangan (Wrist) REBA ... 45

4.1. Rancangan Fasilitas Kerja (Kursi Kerja) ... 56

4.2. Rancangan Fasilitas Kerja (Pamedangan)... 57

4.3. Sikap Kerja Perajin Sulaman Tangan sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 61


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian ... 100

2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 101

3. Kuesioner Penelitian ... 102

4. Gambar Rancangan Fasilitas Kerja ... 105

5. Lembar Observasi Sikap Kerja dengan Metode REBA ... 106

6. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat... 107

7. Distribusi Frekuensi Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan yang Telah Dilakukan Uji Keseragaman ... 110

8. Penilaian Sikap Kerja Dengan Metode REBA sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja ... 111

9. Penilaian Sikap Kerja Dengan Metode REBA sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja ... 113

10. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Memulai Bekerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 115

11. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 117

12. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Memulai Bekerja pada Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 119

13. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Perlakuan Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 120


(20)

14. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 121 15. Uji Normalitas Data Antropometri ... 122 16. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 126 17. Output Output Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman

Tangan sebelum Bekerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 128 18. Output Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan

sesudah Bekerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 134 19. Output Keluhan Muskoloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Mulai

Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 141 20. Output Keluhan Muskoloskeletal sesudah Intervensi pada Saat

Mulai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 148 21. Output Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi pada Saat

Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 153 22. Output Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi pada Saat

Selesai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 160 23. Uji Kolmogorov Smirnov Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan


(21)

ABSTRAK

Perajin sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang belum menerapkan fasilitas kerja (pamedangan) yang ergonomis dalam bekerja.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 36 orang dengan jumlah sampel sebanyak 26 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group.

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sikap kerja sebelum intervensi fasilitas kerja berada pada level tindakan tinggi dan sedang. Sesudah intervensi fasilitas kerja, terjadi perbaikan sikap kerja menjadi level tindakan menjadi kecil. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,01) dan selesai bekerja (p=0,01) kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,325) dan selesai bekerja (p=0,498) kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja.

Perajin sulaman tangan disarankan agar dapat menggunakan fasilitas kerja yang telah didesain secara ergonomis, melakukan relaksasi selama bekerja, perlunya membuat meja kerja (pamedangan) yang adjustable dan penahan lumbar agar dapat mengurangi keluhan muskoloskeletal dan perlunya dukungan dari pemerintah agar dapat mensosialisasikan manfaat intervensi fasilitas kerja yang diperoleh secara kongkrit kepada perajin sulaman tangan.

Kata Kunci : Fasilitas kerja, Sikap Kerja, Keluhan Muskoloskeletal, Perajin Sulaman Tangan


(22)

ABSTRACT

Hand embroidery industry is one of the forms of informal sectors in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat which has not yet applied an ergonomic working facilities in its daily activity.

The purpose of this experimental study with pretest-posttest with control group design was to analyze the influence of work posture on musculoskeletal disorder with the intervention of working facilities in the hand embroidery workers in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. The populations of this study was 36 embroidery workers and 26 of them were selected to be samples for this study.

The result of this research, before the working facility intervention, their work posture was on the high and medium levels. After working facility intervention, their work posture was improved to small level. The result of Wilcoxon test showed work posture had influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.01) and after they finished working (p=0.01)in the experiment group before and after working facility intervention; and work posture did not have any influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.325) and after they finished working (p=0,498)in the control group before and after the working facility intervention.

The hand embroidery workers are suggested to use the working facilities which have been ergonomically design, to do some relaxation when they are working,

it’s needed to make an adjustable work (pamedangan) and using a lumbar brace to

minimize the musculoskeletal disorder. The support from the government is also needed to socialize to the hand embroidery workers about the benefit of working facility intervention obtained in a concrete way.

Key Words : Work Facility, Work Posture, Musculoskeletal Disorders, Hand Embroidery


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Industrialisasi dalam pembangunan Indonesia telah berkembang pesat di semua sektor, baik formal maupun informal. Perkembangan tersebut bukan saja menyajikan kesejahteraan bagi kehidupan bangsa, namun juga menyajikan dampak yang merugikan terhadap kesehatan pekerja ( Naiem, 2010).

Sektor informal pada saat ini memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia, dimana menurut data BPS (2010) terdapat 116 juta jiwa angkatan kerja dan dari jumlah tersebut 107,41 juta jiwa yang benar-benar bekerja. Jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal diperkirakan 73,67% dan 31,42% bekerja di sektor formal. Angka ini akan bergeser kearah pekerja sektor informal dikarenakan banyaknya perusahaan formal yang menutup atau merelokasi usahanya keluar Indonesia dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyebabkan bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal (DepKes RI, 2008).

Hasil penelitian Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan, sekitar 74% pekerja hingga saat ini belum terjangkau layanan kesehatan kerja yang memadai. Menurut penelitian terakhir yang dilakukan tahun 2006, baru sekitar 26 persen pekerja di sektor formal yang memiliki jangkauan layanan kesehatan kerja yang memadai. Cakupan pelayanan kesehatan kerja di sektor informal hanya mencakup 1%


(24)

pekerja. Hal ini terjadi karena di sektor informal tidak memiliki sistem pembiayaan kesehatan (Anonimous, 2007).

Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal menjadi buruk. Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004) terhadap 8 jenis pekerjaan sektor informal, menunjukkan ada berbagai gangguan kesehatan akibat kerja yang ditemukan terjadi pada sektor ini, antara lain: (Arnita, 2006)

Gangguan Kesehatan Jenis Pekerjaan Perajin Onix (%) Perajin Kulit (%) Perajin Alas Kaki (%) Nelayan (%) Pekerja Batu Bata (%) Penambang Emas (%) Petani Kelapa Sawit (%) Dermatitis

kontak 23 22 20,8 20,8 17,2 - -

Gangguan

mata - 26 14,9 - 28,6 -

Gangguan telingan berdenging

28,3 42 - 23,8 42,4 - -

Gangguan abdomen (nyeri tekan epigastrum)

- - - - 45,5 - 28

Gangguan otot dan sendi

52 21 41,6 74,7 - -

Dalam hal cedera kerja, cedera umum yang paling banyak adalah cedera punggung yang ditemukan hampir di seluruh jenis pengaturan kerja dari pekerja konstruksi sampai pekerja rumah sakit (Everly, 1985). Diperkirakan 80% populasi akan mengalami cidera punggung bawah pada suatu saat dalam hidup mereka. Kerusakan punggung dan tulang belakang, suatu masalah kesehatan berat, merupakan


(25)

penyebab kecacatan ketiga pada orang usia kerja. Keterbatasan yang diakibatkan oleh nyeri punggung bawah pada seseorang sangat berat. Kerugian ekonomis, dalam hal ini hilangnya produktivitas, bisa mencapai biliun dolar. Jumlah kunjungan ke dokter akibat nyeri punggung bawah merupakan yang kedua setelah penyakit saluran napas atas (Brunner dan Suddarth, 2002).

Buruknya status kesehatan tersebut berasal dari ketidakseimbangan interaksi antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan yang dialami oleh pekerja (Naiem, 2010). Beban kerja dalam pekerjaan merupakan tuntutan tugas yang harus dilakukan pekerja untuk menyelesaikan tugasnya. Beban kerja ini salah satunya tergantung pada karakteristik tugas dan material pekerjaan seperti karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja (Wignjosoebroto, 2008).

Peralatan pada saat ini sudah berkembang menjadi kebutuhan pokok pada berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan teknologi merupakan penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas untuk berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu, disisi lain akan terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin timbul. Hal ini tidak akan terjadi jika dapat diantisipasi berbagai risiko yang mempengaruhi kehidupan para pekerja.

Berbagai risiko tersebut yaitu kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat menyebabkan kecacatan atau kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua


(26)

pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomi (DepKes, 2010).

Faktor manusia atau pekerja memegang peranan penting pada dunia industri terutama dalam hal keselamatan instalasi. Kesalahan manusia dapat disebabkan karena rancangan stasiun kerja yang tidak baik. Manusia sebagai pelaku harus menjadi patokan dalam merancang stasiun kerja sehingga alat yang dibuat menyesuaikan dengan data antropometri dan perilaku manusia. Untuk itu perlu diketahui data ukuran antropometri dan perilaku manusia dalam bekerja. Dengan memasukkan pertimbangan ergonomi dalam perancangan stasiun kerja maka kesalahan manusia dalam pengoperasian alat diharapkan secara sistematis menjadi berkurang (Darlis, 2009).

Stasiun kerja merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan berkenaan dengan upaya peningkatan produktivitas kerja. Kondisi kerja yang tidak memperhatikan kenyamanan, kepuasan, keselamatan dan kesehatan kerja tentunya akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja manusia. Dalam perancangan atau redesain stasiun kerja itu sendiri harus diperhatikan peranan dan fungsi pokok dari komponen-komponen sistem kerja yang terlibat yaitu manusia, mesin/peralatan dan lingkungan fisik kerja.

Desain stasiun kerja memiliki peranan penting dalam meningkatkan kenyamanan dan produktivitas kerja. Para operator dalam melakukan pekerjaannya, seringkali bekerja dengan alat yang terlalu kecil atau tidak sesuai dengan postur tubuh, posisi kerja yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi yaitu seperti


(27)

terlalu membungkuk, jangkauan tangan yang tidak normal, sehingga dari posisi kerja operator dapat mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan yaitu kelelahan dan rasa nyeri pada punggung akibat duduk yang tidak ergonomis, timbulnya rasa nyeri pada bahu dan kaki akibat ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerjanya

(Wignjosoebroto, 2008).

Faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas kerja yaitu sikap kerja. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang kadang-kadang cenderung membuat tidak nyaman. Kondisi kerja seperti ini memaksa

pekerja selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang “aneh” dan kadang-kadang juga harus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan pekerja cepat lelah, membuat banyak kesalahan atau menderita cacat tubuh (Wignjosoebrtoto, 2008).

Kerajinan sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal yang banyak dilakukan masyarakat di Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. Pekerjaan ini dilakukan di rumah masing-masing perajin sulaman tangan. Kerajinan sulaman tangan ini merupakan kerajinan tradisional di Nagari Koto Gadang yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat dan peluang usaha yang cukup potensial di daerah ini.

Fasilitas yang digunakan untuk kerajinan sulaman tangan hanya membutuhkan satu fasilitas kerja utama yang disebut dengan pamedangan. Pamedangan berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk meregangkan kain yang


(28)

nantinya akan di sulam. Kerajinan sulaman tangan juga membutuhkan peralatan seperti jarum dan gunting, serta membutuhkan beraneka ragam benang baik warna maupun jenisnya, yang fungsinya untuk mengkreasikan sulaman yang akan dibentuk. Proses pengerjaan sulaman tangan ini cukup sederhana, yaitu perajin hanya bekerja dengan cara menusukkan jarum yang berisi benang pada kain yang telah diregangkan di atas pamedangan. Akan tetapi, terdapat kesulitan dalam pengerjaan sulaman tangan ini, yaitu perajin dituntut untuk teliti pada saat menyulam, kecermatan dan mampu mengatur perpaduan warna benang, agar sulaman yang dihasilkan berkualitas baik.

Pamedangan yang dijadikan sebagai alat untuk meregangkan kain merupakan peralatan utama dalam proses kerajinan sulaman tangan. Pamedangan berbentuk seperti meja kerja, dengan ukuran panjang sekitar 2 meter, sesuai dengan ukuran selendang yang akan disulam, dan lebar sekitar 60-80 cm. Tinggi dari pamedangan ini sekitar 30-40 cm, sehingga pada saat melakukan pekerjaan, perajin sulaman haruslah bekerja dengan cara duduk di lantai.

Pengerjaan sulaman tangan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu untuk menyelesaikan satu sulaman tangan untuk pembuatan selendang dibutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan. Rata-rata perajin dalam sehari menghabiskan waktunya untuk menyulam sekitar 8-10 jam. Karena proses kerjanya yang sederhana dan dilakukan dalam waktu yang lama, maka pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang monoton.


(29)

Ergonomi memiliki peranan penting yang dapat menimbulkan masalah kesehatan pada perajin sulaman tangan. Pamedangan yang berfungsi sebagai fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan dirasakan kurang ergonomis, dikarenakan tinggi meja kerjanya hanya sekitar 30-40 cm dan tidak adanya kursi kerja pada saat melakukan pekerjaan. Menurut Grandjean (1988), meja kerja yang direkomendasikan memiliki ketinggian sekitar 55-71 cm dan tinggi kursi kerja yaitu 38-54 cm.

Keadaaan fasilitas kerja yang kurang ergonomis akan berdampak pada sikap kerja perajin selama melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat dari sikap kerja perajin yaitu duduk bersila atau duduk di bangku kecil. Menurut Nurmianto (2004), bekerja dengan sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adannya masalah-masalah punggung. Tekanan pada tulang belakang akan meningkat. Selain bekerja dengan sikap duduk di lantai ataupun duduk di bangku kecil, terdapat beberapa sikap kerja yang kurang ergonomis pada perajin sulaman tangan ini. Hal ini dapat dilihat pada saat perajin melakukan penyulaman, di mana posisi lengan kanan yang sedikit terangkat ke atas. Posisi lengan kanan yang sedikit terangkat ini dikarenakan perajin harus meletakkan tangan kanannya di atas pamedangan untuk menusukkan jarum dari atas kain sulaman.

Sikap kerja yang kurang ergonomis lainnya yaitu ada kecenderungan perajin untuk menundukkan kepala pada saat melakukan proses penyulaman. Hal ini dikarenakan proses penyulaman yang membutuhkan ketelitian. Ketelitian ini membutuhkan ketajaman mata dalam melihat variasi warna dalam sulaman. Oleh karena itu posisi mata harus didekatkan ke sulaman agar warna yang dihasilkan


(30)

dalam sulaman tidak salah. Posisi mendekatkan mata ke sulaman menyebabkan kepala agak sedikit menunduk, di mana posisi leher pun akan miring beberapa derajat ke bawah. Karena harus menundukkan kepala pada saat melakukan pekerjaannya, maka posisi punggung perajin harus sedikit membungkuk.

Posisi membungkuk pada saat melakukan pekerjaan dalam waktu yang lama akan menyebabkan masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan (Nurmianto, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Mindayani (2010), perajin sulaman di Nagari Koto Gadang Jorong Subarang Tigo Jorong (84% perajin sulaman tangan) mengeluhkan rasa sakit di bagian pinggang selama melakukan pekerjaan sulaman tangan. Selain itu juga terdapat terdapat keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang (68%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%). Banyaknya keluhan muskuloskeletal yang dirasakan pada perajin sulaman tangan, menjadikan mereka tidak nyaman dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. Tentunya hal ini akan berdampak pada penurunan produktivitas kerja perajin sulaman tangan.


(31)

Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometri, faal, biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam mendesain suatu produk maka harus berorientasi pada production friendly, distribution friendly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam mendesain suatu produk yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia pemakainya atau human centered design. Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk, baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetika maupun secara ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Darlis, dkk, 2009). Ketidaknyamanan dalam bekerja dan keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman tangan akan dapat berkurang jika peralatan kerja yang digunakan disesuaikan dengan keadaan/postur tubuh perajin (ergonomis).

Oleh karena terdapatnya beberapa keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman tangan pada saat melakukan pekerjaannya yang mungkin disebabkan oleh karena fasilitas kerja dan sikap kerjanya yang kurang ergonomis, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto

Gadang Sumatera Barat”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah sejauh mana sikap kerja mempengaruhi keluhan muskoloskeletal


(32)

dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskoloskeletal melalui intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.

1.4. Hipotesis

Adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal melalui intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi kepada perajin sulaman tangan mengenai sikap kerja yang ergonomis dalam melakukan pekerjaannya melalui intervensi fasilitas kerja.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam penelitian. 3. Sebagai pedoman bagi penelitian selanjutnya.


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Sektor Informal

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaanya.

2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah.

3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.

4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak terpisah dengan tempat tinggal.

5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.

7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan.

Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994) menjelaskan bahwa sektor informal berasal dari terminologi ekonomi, yang dikenal


(34)

sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan. Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara kecil-kecilan.

Sedangkan menurut Simanjuntak (1985) dalam DepKes RI (1994), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja yang tidak ketat.

2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha kecil-kecilan.

3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan Terbatas atau CV.

4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor informal relatif lebih mudah daripada formal.

Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya penganggur dan setengan penganggur. Oleh karenanya, secara naluri masyarakat ini


(35)

berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan usaha sektor informal (DepKes RI, 1994).

Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Kelompok sektor informal desa

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman, menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.

2. Kelompok sektor informal kota

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir, pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau

“rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha

sektor informal di kota (DepKes RI, 1994).

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perajin sulaman tangan merupakan salah satu usaha sektor informal. Dan usaha ini termasuk kedalam usaha sektor informal desa.


(36)

2.2. Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “ergon”

berarti kerja dan”nomos”berarti hukum atau aturan. Jadi secara ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan anatara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehinga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi baik (Tarwaka, 2004).

Secara umum tujuan penerapan ergonomi yaitu:

1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.

3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, 2004).


(37)

2.3. Sikap Kerja

Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus

melayani mesin (macam gerak, arah dan kekuatan) (Suma’mur, 1996).

Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: (Santoso, 2004) 1. Prinsip Posisi Duduk

Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Di samping itu lebih cekatan dan mahir.

Namun sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah-masalah-masalah punggung. Operator dengan sikap duduk yang salah akan menderita pada bagian punggungnya. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan (Nurmianto, 2004).


(38)

Kenaikan tekanan tersebut dapat meningkat dari suatu perubahan dalam lekukan tulang belakang yang terjadi pada saat duduk. Suatu keletihan pada pinggul sekitar 900 tidak dapat dicapai hanya dengan rotasi dari tulang pada sambungan paha (persendian tulang paha).

Urat-urat lutut (hamstring) dan otot-otot gluteal pada bagian belakang paha dihubungkan sampai bagian belakang pinggul dan menghasilkan suatu rotasi parsial dari pinggul (pelvis), termasuk tulang ekor (sacrum). Hal tersebut hanya menghasilkan 600-900 kelebihan putar pinggul dengan rotasi pada persendian tulang paha itu sendiri. Oleh sebab itu, perolehan 300 dari rotasi pinggul (pelvis) searah dengan lekukan tulang belakang kearah belakang (lordosis) dan bahkan memperkenalkan suatu lekukan tulang belakang kearah depan (kyphosis) (Nurmianto, 2004).

Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar.

Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan posisi tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi (tidak statis).


(39)

Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.

Pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut:

a. Kurangnya kelelahan pada kaki.

b. Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah. c. Berkurangnya pemakaian energi.

d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989) 2. Kerja Posisi Berdiri

Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki (tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi penahanan yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki, dan hal itu


(40)

terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami kelelahan.

Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga kerja dengan posisi berdiri. Contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Grandjean (1988) dalam Santoso (2004), merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan, letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku. Dan untuk pekerjaan berat, letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku.

3. Kerja Berdiri Setengah Duduk

Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang telah terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah duduk tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.

Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara

posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka sangatlah tidak nyaman.


(41)

2.4. Desain Stasiun Kerja

Salah satu fungsi ergonomi yang menitik beratkan pada penyesuaian desain terhadap manusia adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerjaan, mesin dan sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan sehingga manusia dapat hidup dan bekerja secara sehat, aman, nyaman dan efisien. Sedangkan Pulat (1992) menawarkan konsep desain produk untuk mendukung efisiensi dan keselamatan dalam penggunaan desain produk. Konsep tersebut adalah desain untuk reabilitas, kenyamanan, lamanya waktu pemakaian, kemudahan dalam pemakaian, dan efisien dalam pemakaian. Agar desain produk dapat memenuhi keinginan pemakainya maka harus dilakukan melalui beberapa upaya pendekatan sebagai berikut ini: (Tarwaka, 2004)

1. Mengetahui kebutuhan pemakai. 2. Fungsi produk secara detail.

3. Melakukan analisis pada tugas-tugas desain produk. 4. Mengembangkan produk.

5. Melakukan uji terhadap pemakai produk.

Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometris, faal, biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam mendesain suatu produk maka harus berorientasi pada production friendly,


(42)

distribution firndly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, di dalam mendesain suatu produk yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia pemakainya (human centered design) (Sutalaksana, 1999). Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetis maupun secara ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Tarwaka, 2004).

1. Pendekatan dalam Desain Stasiun Kerja

Secara umum baik dalam memodifikasi atau meredesain stasiun kerja yang sudah ada maupun mendesain stasiun kerja yang baru, para perancang sering dibatasi oleh faktor finansial maupun teknologi seperti: keluasaan modifikasi, ketersediaan ruangan, lingkungan, ukuran frekuensi alat yang digunakan, kesinambungan pekerjaan dan populasi yang menjadi target. Dengan demkian, desain dan redesain harus selalu memperhatikan antara kebutuhana biologis operator dengan kebutuhan stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi dalam alat dalam stasiun kerja. Untuk kesesuaian tersebut perlu mempertimbangkan antropometri dan lokasi elemen mesin terhadap posisi kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak dan interface antara tubuh operator dengan mesin. Di samping itu, teknik dalam mendesain stasiun kerja harus mulai dengan mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada faktor-faktor seperti etnik, jenis kelamin, umur, dan lain-lain (Tarwaka, 2004).

Menurut Das dan Sengupta (1993) dalam Tarwaka (2004), pendekatan secara sistemik untuk menentukan dimensi stasiun kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:


(43)

1. Mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada etnik, jenis kelamin dan umur.

2. mendapatkan data antropometri yang relevan dengan posisi pemakai.

3. dalam pengukuran antropometri perlu mempertimbangkakn pakaian, sepatu dan posisi normal.

4. menentukan kisaran ketinggian dari pekerjaan utama. Penyediaan kursi dan meja kerja yang dapat distel, sehingga operator dimungkinkan bekerja dengna sikap duduk maupun berdiri secara bergantian.

5. Tata letak dari alat-alat tangan, kontrol harus dalam kisaran jangkauan optimum.

6. menempatkan display yang tepat sehingga operator dapat melihat objek dengan pandangan yang tepat dan nyaman.

7. Review terhadap desain stasiun kerja secara berkala.

2. Aplikasi Antropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja

Setiap desain produk, baik produk yang sangat sederhana maupun produk yang sangat komplek, harus berpedoman kepada antropometri pemakainya. Menurut Sanders dan McCormick (1987); Pheasant (1988) dan Pulat (1992) bahwa antropometri adalah desain tentang sesuatu yang dipakai orang. Selanjutnya Annis dan McConville (1996) membagi aplikasi ergonomi dalam kaitannya dengan antropometri menjadi dua devisi utama:

1. Pertama, ergonomi berhadapan dengan tenaga kerja, mesin beserta sarana pendukung lainnya dan lingkungan kerja. Tujuan ergonomi dari devisi ini


(44)

adalah untuk menciptakan kemungkinan situasi terbaik pada pekerjaan sehingga kesehatan fisik dan mental tenaga kerja dapat terus dipelihara serta efisiensi produktivitas dan kualitas produk dapat dihasilkan dengan optimal. 2. Kedua, ergonomi berhadapan dengan karakteristik produk pabrik yang

berhubungan dengan konsumen atau pemakai produk. (Tarwaka, 2004)

Dalam setiap desain peralatan dan stasiun kerja, keterbatasan manusia harus selalu diperhitungkan, di samping memperhatikan kemampuannya dan kebolehannya. Mengingat bahwa setiap manusia berbeda satu sama lainnya, maka aplikasi data antropometri dalam desain produk dapat meliputi: desain untuk orang ekstrim (data terkecil atau terbesar), desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari populasi dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan data persentil-50 (Sanders dan McCormick, 1987). Namun demikian, dalam pengumpulan data antropometri yang akan digunakan untuk mendesain suatu produk, harus memperhitungkan variabilitas populasi pemakai seperti variabilitas ukuran tubuh secara umum, variasi jenis kelamin, variasi umur dan variasi ras atau etnik (Tarwaka, 2004).

Ada dua bentuk pengukuran pada antropometri yaitu pengukuran statis (structural) yaitu tubuh manusia yang berada dalam posisi diam, dan pengukuran dinamis (fungsional) yaitu tubuh diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang bergerak. Data antropometri diterapkan untuk membahas dan merancang barang serta fasilitas secara ergonomi agar didapat kepuasan si pengguna. Kepuasan tersebut dapat


(45)

berupa kenyamanan maupun kesehatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu anatomi, fisiologi, fisikologi, kesehatan dan keselamatan kerja, perancangan dan manajemen.

Dalam mengukur data antropometri ini banyak ditemui perbedaan atau sumber variabilitas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran yang pada akhirnya akan digunakan dalam perancangan suatu produk. Beberapa sumber variabilitas yang merupakan faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia yang menyebabkan adanya perbedaan antara satu populasi dengan populasi lain yaitu (Stevenson,1989: Nurmianto 1991):

1. Keacakan/random 2. Jenis kelamin

3. Suku bangsa (ethnic variabelity) 4. Usia

5. Pakaian

6. Faktor kehamilan pada wanita 7. Cacat tubuh secara fisik

Adapun pendekatan dalam penggunaan data antropometri adalah sebagai berikut (Nurmianto,1991):

a. Pilihlah simpangan baku yang sesuai sebagai dasar perancangan yang dimaksud.

b. Carilah data pada rata-rata dan distribusi dari dimensi yang dimaksud untuk populasi yang sesuai.


(46)

c. Pilihlah nilai persentil yang sesuai sebagai dasar perancangan. d. Pilihlah jenis kelamin yang sesuai.

Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai rata-rata (mean) dan simpangan baku (standart deviasi) dari suatu distribusi normal (Nurmianto, 1991). Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai rata-rata dan simpangan baku yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus 1 dan 2 sebagai berikut :

X = Σ× ……….. (1)

n Dimana :

X = Rata-rata

ΣX = Jumlah data yang akan dihitung n = Jumlah sampel

Σ (×i - ×)²

σ× = √ i= 1 ………. (2)

n – 1 Dimana :

σ× = Simpangan baku (Standar Deviasi) × = rata-rata

× = nilai data n = jumlah sampel


(47)

Untuk uji keseragaman data digunakan uji dengan menggunakan peta kontrol

dengan tingkat keyakinan 99% (3σ) untuk masing-masing kriteria. Adapun rumus pengujian keseragaman data tersebut dapat dilihat pada rumus 3 berikut:

BKA= X + 3σ× ……….(3)

BKB= X –3σ×

Jika X min>BKB dan Xmax < BKA maka data seragam. Dimana :

BKA = batas atas BKB = batas bawah

Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Misalnya 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95% persentil: 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil.

Besarnya nilai persentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi normal pada gambar 1. Dalam pokok bahasan antropometri, 95 persentil menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil tubuh berukuran kecil. Jika diinginkan dimensi untuk akomodasi 95 % populasi maka 2,5 dan 97,5 persentil adalah batas rentang yang dapat dipakai dan ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 serta tabel antropometri masyarakat Indonesia (Nurmianto,1991).


(48)

Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil

Gambar 2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya Keterangan:

1. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung kepala)

20

16 15


(49)

2. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak 3. Tinggi bahu dalam posisi tegak

4. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)

5. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak 6. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat

sampai dengan kepala)

7. Tinggi mata dalam posisi duduk 8. Tinggi bahu dalam posisi duduk

9. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus) 10. Tebal atau lebar paha

11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut

12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut atau betis

13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk

14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha 15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk)

16. Lebar pinggul atau pantat

17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung 18. Lebar perut

19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus


(50)

21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari 22. Lebar telapak tangan

23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan 24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai

dengan telapak tangan ang terjangkau lurus ke atas vertikal

25. Tinggi jangakauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya nomor 24 tetapi dalam posisi duduk

26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan.

Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya, maka prinsip-prinsip yang harus diambil didalam aplikasi data antropometri tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini :

a. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim. Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk, yaitu :

i. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-ratanya.


(51)

ii. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas dari populasi yang ada ).

b. Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran tertentu.

Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh. Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya bisa dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk mendapatkan rancangan yang fleksibel, semacam ini maka data antropometri yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th percentile. c. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.

Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang diperlukan dalam proses perancangan produk ataupun fasilitas kerja, maka ada beberapa saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti berikut :

i. Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan tersebut.

ii. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut, dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data struktural body dimension ataukah functional body dimension.


(52)

iii. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi, diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita, dll.

iv. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata.

v. Pilih presentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah nilai percentile yang lain yang dikehendaki.

vi. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai. Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes), dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2008)

3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Duduk

Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Granjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain: pembebanan pada kaki; pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi (Tarwaka, 2004).


(53)

Namun demikian posisi duduk dengan sikap duduk terlalu lama dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga cepat lelah. Sedangkan Clark (1996), menyatakan bahwa desain stasiun kerja dengan posisi duduk mempunyai derajat stabilitas tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan, dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2 jam. Di samping itu tenaga kerja juga dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.

Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka unttuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh, perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan dengan posisi duduk. Untuk maksud tersebut, Pulat (1992) memberikan pertimbangann tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk adalah sebagai berikut: (Tarwaka, 2004)

1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki

2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan 3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar

4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih dari 15 cm dari landasan kerja

5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi 6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama

7. Seluruh objek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan posisi duduk


(54)

Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukurann tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya. Fleksi lutut membentuk 900 dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki (Pheasant, 1988). Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Sanders dan McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut:

1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik. 2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks

dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit menurun.

3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang berlebihan.

2.5. Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan


(55)

musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikiann keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).

Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:

1. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dkeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.

2. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan ,mencangkul, membelah kayu besar, angkat angkut, dan


(56)

sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. 3. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitas tubuh, maka semakin tinggi pula terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja. Sikap kerja tidak alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidak sesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja.

2.6. Landasan Teori

Keluhan otot skeletal umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi dengan durasi pembebanan yang panjang. Bila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri pada otot (Grandjean, 1988).


(57)

Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah, faktor penyebab sekunder (tekanan, getaran, dan mikroklimat) dan penyebab kombinasi (umur, jenis kelamin, kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh). Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalanya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Sikap kerja tidak alamiah pada umunya terjadi karena karakteristik tuntutan tugas, fasilitas (alat kerja) dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.

2.7. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Keluhan Muskoloskeletal Sikap Kerja

Intervensi Fasilitas Kerja


(58)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group (Notoatmodjo, 2005). Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random dan diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal apakah ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kontrol.

Dalam penelitian ini kelompok eksperimen adalah kelompok yang menggunakan pamedangan yang didesain dengan keadaan ergonomis yang dinlai selama satu bulan, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang menggunakan pamedangan yang telah ada. Pengukuran keluhan muskuloskeletal dilakukan sebelum dan sesudah intervensi.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.


(59)

3.4.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari 2012 – Juni 2012.

3.3. Populasi dan Sampel 3.4.2. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah semua perajin sulaman tangan (perajin sulaman selendang) di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang berjumlah 36 orang.

3.4.3. Sampel

Dalam penelitian ini jumlah sampel sebanyak 26 orang, di mana diambil dilakukan kirteria inklusi yaitu:

1. Tidak menggunakan obat-obat penghilang rasa sakit seperti obat-obat rematik dan sejenisnya.

2. Lama kerja yaitu 8 jam per hari 3. Bersedia menjadi sampel

Adapun kriteria eksklusi dari penelitian ini yaitu: 1. Reumatik


(60)

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara:

1. Observasi terhadap sikap kerja perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Barat dengan menggunakan metode REBA.

2. Pengukuran data antropometri perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang dengan menggunakan kursi antropometri.

3. Wawancara tentang keluhan muskuloskeletal dengan menggunakan Nordic Body Map.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kantor Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yaitu tentang gambaran umum dan data penduduk di Nagari Koto Gadang.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas (x) dari penelitian ini adalah fasilitas kerja dan sikap kerja. b. Variabel terikat (y) dari penelitian ini adalah keluhan muskuloskeletal. 3.5.2. Definisi Operasional

1. Fasilitas kerja adalah peralatan yang digunakan untuk menyulam, dimana dalam hal ini yang menjadi fasilitas kerja yaitu pamedangan.

2. Sikap kerja adalah posisi tubuh perajin selama melakukan pekerjaan penyulaman.


(61)

3. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan yang dirasakan perajin pada otot-otot skeletalnya selama melakukan pekerjaannya.

3.6. Metode Pengukuran

1. Pengukuran Antropometri Tubuh Perajin Sulaman Tangan

a. Tetapkan anggota tubuh yang mana yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan tersebut.

b. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut, dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data struktural body dimension ataukah functional body dimension.

c. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi, diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk tersebut.

d. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata.

e. Pilih presentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah nilai percentile yang lain yang dikehendaki.

f. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai. Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila diperlukan (Wignjosoebroto, 2008).


(62)

Adapun ukuran-ukuran tubuh yang diukur meliputi:

27. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung kepala) 28. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak

29. Tinggi bahu dalam posisi tegak

30. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)

31. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak 32. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat

sampai dengan kepala)

33. Tinggi mata dalam posisi duduk 34. Tinggi bahu dalam posisi duduk

35. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus) 36. Tebal atau lebar paha

37. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut

38. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut atau betis

39. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk 40. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan

paha

41. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk) 42. Lebar pinggul atau pantat

43. Lebar dari dada dalam keadaan membusung 44. Lebar perut


(63)

45. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus

46. Lebar kepala

47. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari 48. Lebar telapak tangan

49. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan

50. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai dengan telapak tangan ang terjangkau lurus ke atas vertikal

51. Tinggi jangakauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya nomor 24 tetapi dalam posisi duduk

52. Jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan.

Setelah data antropometri pekerja didapat dilakukan uji keseragaman dan uji kecukupan data sampel. Data antropometri yang berdistribusi normal didapat dengan uji kenormalan data (One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test). Setelah itu data dikelompokkan sesuai dengan prinsip perancangan.

2. Pengukuran/Penilaian Sikap Kerja

Pengukuran /penilaian sikap kerja dengan menggunakan metode REBA yaitu suatu metode penilaian postur kerja untuk menilai faktor resiko gangguan tubuh secara keseluruhan (Stanton, 2005). Untuk penilaian sikap kerja dibantu dengan


(64)

menggunakan kamera, di mana sikap kerja selama melakukan proses penyulaman akan difoto agar dapat diamati secara lebih detail.

Postur tubuh dengan penilaian pada masing-masing grup terdiri atas 2 grup, yaitu:

1. Grup A yang terdiri dari postur tubuh kiri dan kanan dari batang tubuh (trunk), leher (neck), dan kaki (legs).

2. Grup B yang terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), dan pergelangan tangan (wrist).

Grup A:

a. Batang Tubuh (Trunk

Gambar 3.1. Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA Tabel 3.1. Skor Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA

Pergerakan Skor Skor Perubahan

Posisi normal 1

+1 jika batang tubuh berputar/bengkok/bungkuk 0-200 (ke depan dan belakang) 2

< -200 atau 20-600 3


(1)

6. Panjang Polipepteal

NO Ppo Fa(x) z Fe(x) D

rata-rata stdev 1 41 0.0385 -1.5897 0.0559 0.0175 44.9885 2.5089 2 41.2 0.0769 -1.5100 0.0655 0.0114 44.9885 2.5089 3 41.5 0.1154 -1.3904 0.0822 0.0332 44.9885 2.5089 4 41.5 0.1538 -1.3904 0.0822 0.0716 44.9885 2.5089 5 41.7 0.1923 -1.3107 0.0950 0.0973 44.9885 2.5089 6 42.2 0.2308 -1.1114 0.1332 0.0976 44.9885 2.5089 7 43 0.2692 -0.7926 0.2140 0.0552 44.9885 2.5089 8 43 0.3077 -0.7926 0.2140 0.0937 44.9885 2.5089 9 44 0.3462 -0.3940 0.3468 0.0006 44.9885 2.5089 10 44.3 0.3846 -0.2744 0.3919 0.0073 44.9885 2.5089 11 44.5 0.4231 -0.1947 0.4228 0.0003 44.9885 2.5089 12 45 0.4615 0.0046 0.5018 0.0403 44.9885 2.5089 13 45 0.5000 0.0046 0.5018 0.0018 44.9885 2.5089 14 45.5 0.5385 0.2039 0.5808 0.0423 44.9885 2.5089 15 45.7 0.5769 0.2836 0.6116 0.0347 44.9885 2.5089 16 46 0.6154 0.4032 0.6566 0.0412 44.9885 2.5089 17 46.4 0.6538 0.5626 0.7131 0.0593 44.9885 2.5089 18 46.4 0.6923 0.5626 0.7131 0.0208 44.9885 2.5089 19 46.5 0.7308 0.6025 0.7266 0.0042 44.9885 2.5089 20 46.6 0.7692 0.6423 0.7397 0.0296 44.9885 2.5089 21 47 0.8077 0.8018 0.7887 0.0190 44.9885 2.5089 22 47.5 0.8462 1.0010 0.8416 0.0046 44.9885 2.5089 23 48 0.8846 1.2003 0.8850 0.0004 44.9885 2.5089 24 48 0.9231 1.2003 0.8850 0.0381 44.9885 2.5089 25 48.2 0.9615 1.2801 0.8997 0.0618 44.9885 2.5089 26 50 1.0000 1.9975 0.9771 0.0229 44.9885 2.5089 Dmaks 0.0976 D Tabel 0.259 Hipotesa TERIMA


(2)

0 10 20 30 40 50 60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Panjang Popliteal

Panjang Polipepteal BKA


(3)

7. Lebar Bahu

NO LB Fa(x) z Fe(x) D

rata-rata stdev 1 30.9 0.0385 -1.7572 0.0394 0.0010 37.8115 3.9332 2 31.4 0.0769 -1.6301 0.0515 0.0254 37.8115 3.9332 3 33 0.1154 -1.2233 0.1106 0.0048 37.8115 3.9332 4 33.8 0.1538 -1.0199 0.1539 0.0000 37.8115 3.9332 5 33.8 0.1923 -1.0199 0.1539 0.0384 37.8115 3.9332 6 35 0.2308 -0.7148 0.2374 0.0066 37.8115 3.9332 7 35.4 0.2692 -0.6131 0.2699 0.0007 37.8115 3.9332 8 35.5 0.3077 -0.5877 0.2784 0.0293 37.8115 3.9332 9 36 0.3462 -0.4606 0.3226 0.0236 37.8115 3.9332 10 36.7 0.3846 -0.2826 0.3887 0.0041 37.8115 3.9332 11 37 0.4231 -0.2063 0.4183 0.0048 37.8115 3.9332 12 37.2 0.4615 -0.1555 0.4382 0.0233 37.8115 3.9332 13 37.4 0.5000 -0.1046 0.4583 0.0417 37.8115 3.9332 14 37.8 0.5385 -0.0029 0.4988 0.0396 37.8115 3.9332 15 38 0.5769 0.0479 0.5191 0.0578 37.8115 3.9332 16 38.5 0.6154 0.1750 0.5695 0.0459 37.8115 3.9332 17 38.5 0.6538 0.1750 0.5695 0.0844 37.8115 3.9332 18 39.2 0.6923 0.3530 0.6380 0.0543 37.8115 3.9332 19 39.6 0.7308 0.4547 0.6753 0.0554 37.8115 3.9332 20 40 0.7692 0.5564 0.7110 0.0582 37.8115 3.9332 21 40.2 0.8077 0.6073 0.7282 0.0795 37.8115 3.9332 22 40.2 0.8462 0.6073 0.7282 0.1180 37.8115 3.9332 23 41.5 0.8846 0.9378 0.8258 0.0588 37.8115 3.9332 24 44 0.9231 1.5734 0.9422 0.0191 37.8115 3.9332 25 45.5 0.9615 1.9548 0.9747 0.0132 37.8115 3.9332 26 47 1.0000 2.3361 0.9903 0.0097 37.8115 3.9332 Dmaks 0.1180 D Tabel 0.259 Hipotesa TERIMA


(4)

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Lebar Bahu

Lebar Bahu BKA BKB


(5)

8. Rentangan Tangan

NO RT Fa(x) z Fe(x) D

rata-rata stdev 1 136.6 0.0385 -1.8253 0.0340 0.0045 150.1077 7.4003 2 137 0.0769 -1.7712 0.0383 0.0387 150.1077 7.4003 3 138.2 0.1154 -1.6091 0.0538 0.0616 150.1077 7.4003 4 138.4 0.1538 -1.5821 0.0568 0.0970 150.1077 7.4003 5 141.1 0.1923 -1.2172 0.1118 0.0805 150.1077 7.4003 6 144 0.2308 -0.8253 0.2046 0.0262 150.1077 7.4003 7 146 0.2692 -0.5551 0.2894 0.0202 150.1077 7.4003 8 147 0.3077 -0.4199 0.3373 0.0296 150.1077 7.4003 9 149.1 0.3462 -0.1362 0.4458 0.0997 150.1077 7.4003 10 149.8 0.3846 -0.0416 0.4834 0.0988 150.1077 7.4003 11 149.9 0.4231 -0.0281 0.4888 0.0657 150.1077 7.4003 12 150 0.4615 -0.0146 0.4942 0.0327 150.1077 7.4003 13 150.4 0.5000 0.0395 0.5158 0.0158 150.1077 7.4003 14 150.9 0.5385 0.1071 0.5426 0.0042 150.1077 7.4003 15 151.6 0.5769 0.2017 0.5799 0.0030 150.1077 7.4003 16 151.8 0.6154 0.2287 0.5904 0.0249 150.1077 7.4003 17 152.6 0.6538 0.3368 0.6319 0.0220 150.1077 7.4003 18 153 0.6923 0.3908 0.6520 0.0403 150.1077 7.4003 19 153.9 0.7308 0.5125 0.6958 0.0349 150.1077 7.4003 20 155.3 0.7692 0.7016 0.7585 0.0107 150.1077 7.4003 21 156.7 0.8077 0.8908 0.8135 0.0058 150.1077 7.4003 22 158.1 0.8462 1.0800 0.8599 0.0138 150.1077 7.4003 23 159.5 0.8846 1.2692 0.8978 0.0132 150.1077 7.4003 24 160.4 0.9231 1.3908 0.9179 0.0052 150.1077 7.4003 25 160.5 0.9615 1.4043 0.9199 0.0417 150.1077 7.4003 26 161 1.0000 1.4719 0.9295 0.0705 150.1077 7.4003 Dmaks 0.0997 D Tabel 0.259 Hipotesa TERIMA


(6)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Rentangan Tangan

Rentangan Tangan BKA