Tidak berbeda dengan Taksu maka Pengrurah sebagai pengawal, penjaga wilayah dalam memberikan rasa aman; yang kemudian “dirumahkan” di
SanggahMrajan, juga tidak tinggal diam dalam menopang manusia untuk menjamin mendapatkan hak-hak atas kemakmuran dan kesejahteraan dan rasa
aman ini. Pengrurah ini juga disebut dengan Dalem Gumi, artinya penguasa dunia, dalam hal ini yang dimaksudkan perannya yang lebih dominan kepada hal-hal
yang berkaitan dengan materi duniawi, manusia Hindu bisa menjadi kaya, sehat tidak terlepas dari keberadaan Palinggih ini. Dari Palinggih ini manusia akan
mampu memancarkan kekuatan yang lebih “kasar” dan lebih bersifat fisik, seperti contoh ditakuti orang lain. Hal ini dikarenakan adanya saudara empat dharma,
artha, kama dan moksa yang dikelola di Palinggih ini, yang memang tidak pernah meninggalkan manusia sejak lahir sampai akhir hayat nanti. Demikian pula orang
yang lebih suka mempelajari “kesaktian” atau “kawisesan”, maka dukungan dari kekuatan Palinggih ini sangat berperan. Oleh karena itu untuk orang-orang
tertentu yang mengandalkan kekuatan fisik dalam hidupnya, Palinggih Pengrurah ini berperan besar.
B. Fungsi SanggahMrajan
Secara umum fungsi tempat pemujaan adalah sebagai sarana untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasi-Nya dan untuk memuja roh suci
leluhur. Sedangkan fungsi tempat pemujaan secara khusus adalah untuk meningkatkan kwalitas kesucian umat, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu umat Hindu wajib
mengusahakan dirinya secara inividu menghubungkan dirinya dengan roh suci leluhurnya kepada Sang Hyang Widhi. Hubungan yang bersifat individu ini
dimaksudkan agar Sang Hyang Atma yang berada dalam diri manusia dapat berhubungan dengan Sang Hyang Widhi.
Dengan demikian fungsi SanggahMrajan adalah untuk mmuja roh suci atau atma yang telah disebut Dewa Pitara. Dalam beberapa sumber pustaka
disebutkan bahwa yang disthanakanditempatkan di Kamulan adalah Sang Hyang Atma roh suci.
Apabila keluarga kecil sudah berkembang menjadi keluarga-keluarga baru, maka masing-masing keluarga baru itu akan membuat SanggahMrajan baru
ditempat tinggal mereka yang baru. Kecuali, keluarga-keluarga baru itu tetap tinggal di dalam wilayah pekarangan yang sama. SanggahMrajan yang baru itu,
walaupun secara fisik bentuk dan strukturnya tidak berbeda, namun secara filosofis; fungsinya berbeda dari SanggahMrajan Inti yang menjadi pokok,
sehingga SanggahMrajan turunan ini lebih berfungsi sebagai “penyawangan penghayatan” saja. Pembuatan SanggahMrajan yang baru juga menunjukkan
bahwa keluarga baru itu sudah mandiri. Perkembangan anggota keluarga seiring dengan bertambahnya waktu
maka secara garis besar dapat dibedakan beberapa jenis SanggahMrajan yang disebut Pura Kawitan, yaitu:
1. SanggahMrajan yang disungsung atau dikelola oleh satu atau lebih
keluarga yang mempunyai garis keturunan yang paling dekat.
2. Pura Dadia yang disungsung atau dikelola oleh sejumlah keluarga yang
mempunyai satu garis keturunan, umumnya yang masih berada dalam satu desa para penyungsung Pura Dadia tersebut.
3. Pura Padharman yang disungsung atau dikelola oleh sejumlah keluarga
yang merupakan satu garis keturunan, dan keluarga tersebut telah berpencar keberbagai wilayah.
6
Yang dimaksud Sang Hyang Atma adalah merupakan bagian dari BrahmanHyang Widhi, maka Atman pada hakekatnya memiliki sifat sempurna
dan kekal abadi. Sehingga yang dipuja disini adalah roh suci leluhur yang telah menyatu dengan Siva.
Keberadaan SanggahMrajan disetiap keluarga Hindu juga merupakan cerminan bahwa betapapun umat Hindu ingin selalu dekat dengan leluhur dan
juga Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Walaupun disadari bahwa semua itu bersifat gaib semata-mata, dan kedekatan ini diwujudkan dengan keberadaan
SanggahMrajan. Sebagai manusia, umat Hindu ingin mendekati yang gaib-gaib itu, melalui bhakti mendekatkan yang gaib-gaib itu dengan mewujudkan melalui
bangunan-bangunan Palinggih yang ada dalam SanggahMrajan. Hanya umat Hindu perlu memahami simbol-simbol yang ada di SanggahMrajan dan peran
serta pemanfaatannya, agar tidak menyalahi aturan agama. Kenyataan dilapangan memperlihatkan bahwa umat Hindu sering mengabaikan kesakralan
SanggahMrajan, ketika melaksanakan upacara di SanggahMrajan harus dipilah-
6
I Ngurah Adi Nala Wiratmaja, Murdha Agama hindu, Upada Sastra 1997,h. 186-187
pilah, upacara yang boleh atau harus dilaksanakan di SanggahMrajan atau di luar; terutama menyangkut masalah cuntaka kotortidak suci.
Keinginan umat Hindu untuk selalu “mendekatkan” diri kepada Sang Hyang Widhi, terutama leluhur yang telah suci, yaitu Bhatara Hyang Guru,
merupakan konsep pembelajaran rohani Hindu yang disebut dengan “upanishad”. Upa artinya dekat, ni artinya duduk dan sad artinya kaki. Maka, Upanishad
artinya duduk didekat kaki sang guru untuk mendengarkan ajaran-ajaran kerohanian.
7
SanggahMrajan di Bali merupakan akar dari sistim pembelajaran rohani Hindu, yaitu upanishad. Oleh karena itu sesungguhnya SanggahMrajan
merupakan dari ajaran-ajaran Hindu, seperti contohnya dalam hal Catur Varga
empat tujuan hidup yang terjalin erat satu dengan yang lainnya, Catur Asrama empat lapangan hidup yang berdasarkan petunjuk kerohanian, Catur Purusa
Artha empat tujuan hidup manusia. Keberadaan SanggahMrajan sangat berarti bagi umat Hindu yang sudah
menjalani kehidupan berumah tangga atau grhasta. Dimana para grhastin wajib melaksanakan puja setiap bulan purnama dan bulan gelap tilem; upacara ini
disebut Dasarpurnamasa.
8
Agar para grhastin menikmati Soma, yaitu minuman para dewa. Artinya, menikmati kehidupan berumah tangga dengan saling
mengasihi, rukun, bahagia dan sejahtera. Soma diartikan sebagai manis, kenikmatan dari kebahagiaan yang bersumber kepada Tuhan Yang Maha Esa.
9
7
Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, Yogyakarta: 1988h. 73
8
G, Pudja, Sarasamuccaya, Proyek Pembinaan Sarana keagamaan Hindu,1985,h. 65
9
Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu,h.178
Dari penjelasan beberapa kutipan lontar tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa yang di sembah melalui Sanggah Kamulan adalah Sang Hyang Atma yang
telah mancapai alam ke dewa. Tujuan untuk mensthanakan roh suci leluhur di Sanggah Kamulan adalah agar keturununannya dapat melaksanakan pemujaan
kapada leluhur Pitra Puja. Ini merupakan salah satu sradha atau keimanan yang penting bagi umat Hindu yaitu melaksanakan pitra puja, pitra puja adalah
mendoakan orang yang telah meninggal atau leluhur, karena melupakan leluhur berakibat sengsara. Hal ini ditegaskan dalam lontar Purwabhumi Kamulan sebagai
berikut:
Ring wus mangkana, ikang daksina pangadegan Sang Dewa Pitara tiniutunakena maring Sanggah Kamulan, yan lanang unggahkena maring tengen,
yan wadon unggahkena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni, winastu jaya jaya de sang pandita kina bhaktyanana mwah dening swarganya
mwang santana nira. Telas mangkana, tutug saparikramnya, puja simpen praline kadi lagi. Ikang adegan wenang lukar sapokaranya wenang geseng akena juga,
pushadika, winadahan nyuh gading sah kwangi pendem ring ulwaning Sanggah Kamulan saharamnya dening kekidung kekawinsahawruhanira. Mangku
kramanya benering kaprawirtinta marakrti ring kawitan, yan tan samangkana tan tutug ikang pali-pali sang dewa pitara, maneher sira gawang tan molih unggwen
tan ana pasenetanya, dadi kasambatsara santananya mwang wandu warganya, pada ya katepu tegah de sang guru pitaranya, ya dadi gering ambeda-beda tan
manut tataning ashoda, maugering mangyat mangyut among panglaku, amungsangkrama, ayan, Iwang mwang kena gering angrerepe edan-edanan, kena
bayu sangkara, ogan tunggah, anglinyep mwah kadik meling kena sungsung baru satus akutus kwehnya sungsung hane ika pada tinahanan pwadena sanggahnya
kowos boros sakwehning raja drwenya henti tanpakrama, satata rumasa kurang ring pangan pangan kinum, apa kerugan dening kala bhutamwang dengen. Apan
sang dewa pitaranya seaawase tan ane linggih, tan hana jeneknya dening santanya kurang tuna prakerti tuna pangewruh, tuna pangsa kewale wruh mangrasani wareg
mwang lapa tan maphala prawrti ring raga sarira, tan pkrti ring kawitan.
Artinya: Setelah itu daksina palinggih Sang Dewa Pitara disthanakan di Kamulan,
kalau laki-laki roh suci di sathanakan diruang bagian kanan, kalau perempuan disathanakan diruang kiri dari Kamulan, disana bersatu dengan Dewa hyangnya
dulu, oleh Sang Pandita ia diberikan puja jaya-jaya, hendaknya disembah oleh semua warga keturunannya. Setelah demikian selesai tata caranya, dan barulah
dilakukan pralina dengan puja penyimpenan. Daksina palinggih itu boleh di “lukar” terus dibakar, abunya dimasukkan ke dalam kelapa gading disertai dengan
kewangen lalu ditanam di belakang Sanggah Kamulan dibarengi dengan kidung kekawin yang diketahui oleh keluarganya. Begitulah cara yang benar untuk
berbakti kepada leluhur. Kalau tidak seperti itu tidaklah selesai upacara untuk Dewa Pitara, Sang Dewa Pitara akan berkeliaran tidak mendapat tempat, tidak ada
tempatnya yang pasti, maka diumpatlah keturunan dan keluarganya, semuanya tertimpa penyakit, disakiti oleh Dewa Pitaranya, itulah yang menyebabkan
datangnya penyakit yang aneh-aneh, tidak bisa diobati menurut ketentuan usada. Muncul penyakit ajaib, tingkah laku yang tidak patut, hati rusak, ayan, bingung,
lemas, murung, lupa ingatan, dan juga menyebabkan boros, kekayaannya habis tanpa sebab, selalu kurang makan dan minum, sebab telah dirusak oleh bhuta kala;
karena selamanya Dewa Pitara tidak mempunyai tempat. Atau tempatnya tidak menentu, karena keturunannya kurang berbakti, kurang pengetahuan, kurang
perasaan, karena hanya tahu merasakan kenyang dan lapar, tidak berjasa pada diri sendiri dan tidak pula berbakti kepada leluhur.
10
Dari penjelasan lontar Purwa Bhumi Kamulan ini sangat jelas bahwa salah satu fungsi SanggahMrajan adalah sebagai tempat mensthanakanmenempatkan
roh suci leluhur Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan.
11
Dewa Pitara yang disthanakanditempatkan di Sanggah Kamulan telah mencapai alam kedewaan atau alam Tri Murti, maka Dewa Pitara itu diidentikkan
dengan Tri Murti, Pengindentikkan Dewa Pitara dengan Tri Murti ini dimungkinkan karena dalam ajaran agama Hindu dikenal adanya konsepsi Moksa
yaitu luluh bersatunya PitaraAtma dengan Dewa Tuhan.
12
10
Wiana, Palinggih di Pamrajan, 23-24
11
Wawancara Pribadi dengan I Made Biasa. Jakarta 24 maret 2007
12
Wiana, Palinggih di Pamrajan, 26-27
Karena Dewa Pitara itu indentik dengan Tri Murti, maka Dewa Pitara yang bersthanabertempat di Kamulan disebut “Bhatara Hyang Guru”. Bhatara Hyang
di sini adalah Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siva, dalam peran- Nya sebagai guru umat manusia. Terlihat adanya penyatuan antara roh leluhur
dengan Siva Guru.
C. SanggahMrajan Sebagai Media Transformasi Ajaran Hindu