Sanggah Kamulan Pengertian SanggahMrajan

rumahnya yang disebut sentong tengah yang merupakan ruang suci, berfungsi sebagai tempat pemujaan, baik untuk leluhur maupun pemujaan kepada Tuhan. 22 C.Jenis Palinggih di SanggahMrajan Jenis-jenis palinggih di SanggahMrajan terbagi menjadi dua jenis yaitu palinggih inti dan palinggih pelengkap. Palinggih inti adalah Sanggah Kamulan dan palinggih pelengkap adalah palinggih taksu dan palinggih pengrurah.

1. Sanggah Kamulan

Kamulan berarti permulaan, atau asal, sebab asal dan nenek moyang. Kamulan juga artinya candi tempat suci permulaan. 23 Kamulan juga berasal dari kata “mula” yang berarti akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber. Bentuk umum dari palinggih ini ada dua, bentuk pertama sederhana disebut Kamulan Biasa. Bangunan ini menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah atau dasar disebut bataran, bagian tengah merupakan badannya dan bagian atas yang merupakan ruangan yang jumlahnya tiga beserta dengan atapnya. Ketiga ruangan ini langsung menjadi penyangga atapnya. Bentuk yang kedua disebut Kamulan Banjah atau Kamulan Agung. Kamulan Banjah bentuknya lebih megah dari bentuk pertama. Bagian dasar atau batarannya lebih luas, karena sebagian untuk letak badan palinggih dan sebagian untuk meletakkan tiang sebanyak dua buah untuk menyangga sebagian atapnya. Di atas bataran terletak badan 22 Wawancara Pribadi dengan I Ketut Sudana Rimawan. Jakarta, 17 Maret 2007 23 P.J, Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, Gramedia Pustaka Utama: 2000h. 679 palinggih, bagian atas dari palinggih itu terdapat tiga ruang yang menyangga setengah dari atap bangunan. Atap bagian depan di Sangga oleh dua buah tiang yang bertumpu pada bataran palinggih. Kedua tiang panjang di depan itu disebut Saka Ada. 24 Berdasarkan simbolisme dari dewa-dewa Trimurti, pada bangunan suci tempat pemujaan, maka atapnya berwarna hitam simbol Visnu, badan bangunan berupa kayu berwarna putih simbol IsvaraSiva dan dasarnya atau batarannnya berwarna merah simbol Brahma. Pada masa lalu di Bali untuk membangun tempat pemujaan atau palinggih para dewa, bahan-bahan yang dipergunakan sesuai dengan simbolisme warna tersebut, dipilih bahan lokal yang memenuhi persyaratan simbolisme dan arsitektur, kuat dan harmonis serta serasi. Bahan yang berwarna hitam dipilih ijuk. Bagian tengah tempat menghaturkan sesaji dipilih bahan padas atau kayu yang berwarna putih. Sedangkan dasar bangunan palinggih sebagai simbolisme berwarna merah, dipilih bahan batu berwarna merah. Dengan majunya teknologi, maka bahan-bahan bangunan palinggih ini banyak yang mempergunakan genteng, seng atau sirap untuk atap, atau sebelumnya dari bahan semen beton. Penggantian bahan-bahan tradisional dengan bahan hasil teknologi modern dapat saja dilakukan asal selalu ingat akan simbolisme warna Trimurti ini, yaitu hitam-putih-merah, yang merupakan kekuatan magic religius yang amat tinggi, tidak saja terhadap warnanya tetapi juga terhadap bahannya. Bahan alami dengan warna alami akan jauh memberikan 24 Wiana, Palinggih di Pamrajan, Denpasar, Upada Sastra: 1992h. 28 dampak positif keagamaan didalam jiwa sanubari manusia, yang masih erat hubungannya dengan alam sekitar. Berdasarkan lontar Purwa Gama Sesana, Kusuma Dewa dan Gong Wesi, Kamulan adalah palinggih Tri Murti Hyang Kamimitan Hyang Kamulan yang pembangunannya berdasarkan Asta kosala-kosali aturan membuat bangunan rumah dan aturan membuat bangunan suci 25 Kebiasaan umat Hindu di Jawa untuk memuja leluhur melalui candi menjadi hilang, karena ada rasa takut akan datangnya penampakan roh-roh jahat yang mengganggu. Akhirnya umat Hindu di Jawa menggunakan makam sebagai tempat memuja leluhur, oleh kerena itu makam disebut juga candi. Bagi mereka membangun batu nisan sebuah makam adalah candi. Tetapi belakangan ini umat Hindu di Jawa sudah mulai melakukan Pitra Puja dirumah masing-masing. Pitra Puja adalah mendoakan orang yang telah meninggal, yang dilaksanakan melalui dua tahapan acara. Yang pertama, mengadakan selamatan, mengundang para tetangga tanpa membedakan agama Hindu maupun agama yang lannya seperti Islam, Budha, Kristen dan lainnya, dengan sesaji berupa makanan, terutama nasi beserta lauk pauknya. Acara ini dipimpin oleh orang tua yang khusus menangani acara-acara seperti ini. Tidak ada peserta yang menggunakan pakaian atau busana sembahyang, sehingga tidak bisa dibedakan agama masing-masing yang hadir. Tetapi untuk yang beragama Islam, mereka tidak boleh memakan seperti lauk pauk yang telah dihidangkan, dan hanya buah- 25 Suka Duka Hindu Dharma, Himpunan Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, DKI 1996, h. 9 buahan yang di perbolehkan untuk dimakan. Pemimpinnya akan menyampaikan maksud dari acara ini, yang bernuansa agama. Setelah selesai, lalu semua makanan yang ada dibagi-bagikan kepada semua peserta. Acara tahap kedua hanya dihadiri oleh umat Hindu yang telah berganti busana sembahyang. Sarana yang disajikan untuk leluhur sudah bernuansa Hindu Jawa, ada tumpeng, canang, gedang ayu, kembang setaman, kelapa gading, cok bakal. Sama halnya dengan selamatan tadi, acara ini diawali dengan pemberitahuan akan maksud acara ini. Acara ini dipimpin oleh Pemangku setempat dengan doa-doa pitra puja Hindu. Walaupun pitra puja ini sudah berjalan, namun tidak adanya tempat khusus, paling tidak untuk meletakkan sesaji, menyebabkan acara ini kurang dihayati. Seandainya ada tempat khusus seperti ruang suci yang dilengkapi tempat untuk menghaturkan sesaji itu, mungkin wujudnya sederhana seperti “pelangkiran”; maka prosesi pitra puja akan lebih terasa kesakralannya. Apabila setelah dilaksanakan upacara “nyewu”, yaitu upacara seribu hari setelah kematian, yang disebut juga “njurung suksma”; dimana kemudian roh leluhur yang telah suci ini bisa dilinggihkan diruang suci. Hal ini akan mengurangi frekwensi umat Hindu di makam, karena roh leluhur sudah berada di rumah. Setiap hari mereka akan bisa menuju leluhurnya, sekaligus selalu merasa dekat. Umat Hindu Jawa sudah bepikir untuk memiliki Sanggah Kamulan versi Jawa, karena mereka sudah menerima dengan baik tentang pengabenan jenazah, dan menginginkan agar roh leluhurnya di linggihkandibangun di suatu tempat yang indentik dengan Sanggah Kamulan.

2. Palinggih Taksu