Karena Dewa Pitara itu indentik dengan Tri Murti, maka Dewa Pitara yang bersthanabertempat di Kamulan disebut “Bhatara Hyang Guru”. Bhatara Hyang
di sini adalah Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siva, dalam peran- Nya sebagai guru umat manusia. Terlihat adanya penyatuan antara roh leluhur
dengan Siva Guru.
C. SanggahMrajan Sebagai Media Transformasi Ajaran Hindu
Sampai saat ini pemahaman SanggahMrajan sebagai media transformasi ajaran Hindu belum banyak dimengerti oleh umat Hindu, meskipun ini merupakan
proses pembelajaran sebagai bagian dari pendidikan agama Hindu sejak dini dalam setiap keluarga.
13
Beberapa upacara penting yang dilaksanakan di SanggahMrajan merupakan upaya pemanfaatan SanggahMrajan sebagai media trasformasi ajaran
agama Hindu antara lain, Garbhadhana. Upacara ini di Bali disebut Magedong- gedongan, di Jawa disebut Mitu Bulanin sedangkan di India disebut Garbhadhana.
Menurut agama Hindu acara ini berkaitan dengan pembentukan watak si calon bayi. Hal ini dapat terjadi dengan tidak langsung yaitu melalui perikehidupan dan
pikiran-pikiran orang tuanya dan terutama perasaan sang ibu yang akan berpengaruh pada watak si jabang bayi.
13
Rai Tjok Sudharta, Manusia Hinda dari Kandungan sampai Perkawinan, Dharma Naradha: 1993h. 2
Selain itu adalagi upacara Kambuhan, yaitu setelah bayi berusia 42 hari, melalui proses upacara penyucian dan dengan melukat; barulah bapak, ibu dan
bayinya dibawa ke SanggahMrajan untuk bersembahyang.
14
Idealnya, semua upacara Manusia Yadnya korban suci yang ditujukan kepada sesama manusia, selama memungkinkan selayaknya dilaksanakan di
SanggahMrajan; terutama untuk anak-anak. Atau semua upacara yang dilaksanakan di rumah besar atau kecil semunya diawali di SanggahMrajan dan
diakhiri dengan menghaturkan bhakti bersama-sama di SanggahMrajan. Sehingga, walaupun dikatakan bahwa pendidikan dalam agama Hindu
sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan. Namun, justru dalam usia “emas” seorang anak usia 2-5 tahun, ternyata transformasi ajaran agama Hindu melalui
media SanggahMrajan sangat kurang. Karena anak-anak kurang dilibatkan dalam setiap kegiatan di SanggahMrajan, yang ada hanyalah manghaturkan bhakti
setiap 210 hari yaitu hari piodalan SanggahMrajan. Sementara dalam pengelolaan SanggahMrajan dalam keseharian anak-anak jarang dilibatkan, kecuali anak
perempuan. Itupun terbatas pada saat-saat menghaturkan banten saiban setiap hari, mesegeh setiap kliwon.
Urusan sesaji termasuk urusan SanggahMrajan selama ini lebih banyak diserahkan kepada kaum wanita, sementara kaum laki-lakinya hanya
menghaturkan bakti setiap PurnamaTilem dan Piodalan. Tilem adalah saat bulan tudak memberikan sinarnya bulan mati, Piodalan adalah upacara pemujaan
kehadapan Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya lewat sarana
14
Sudharta, Manusia Hindu dari Kandungan sampau Perkawinan,h. 26
pemujaan. Sementara anak laki-laki sangat jarang terlibat langsung, Artinya, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa kaum pria Hindu, tidak setiap hari
bersembahyang di SanggahMrajan. Akibatnya, mudah diduga bahwa transformasi ajaran agama Hindu yang
seharusnya sejak dini bisa terjadi melalui SanggahMrajan, tidak dapat barjalan dengan baik. Sehingga tidak banyak yang mengetahui makna filosofis
SanggahMrajan. Akibatnya keberadaan SanggahMrajan di setiap rumah tangga hanya sebatas sebagai identitas Hindu yang sering dianggap sebagai beban hidup.
D. SanggahMrajan Sebagai Media Komunikasi Dengan Leluhur