Struktur, makna, dan fungsi mantra Hindu Jawa.

(1)

i ABSTRAK

Anabrang, Desmond W.S. 2015. “Struktur, Makna, dan Fungsi Mantra Hindu Jawa”. Skripsi Strata I (S1) Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini menyampaikan hasil penelitian dari rangkaian mantra kedalaman Hindu Jawa. Ada tiga masalah yang dijawab dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana struktur mantra-mantra Hindu Jawa? Kedua, apa makna mantra-mantra Hindu Jawa? Ketiga, apa fungsi mantra-mantra Hindu Jawa secara filosofis, religius, dan edukatif?

Jenis penelitian ini merupakan penelitian dasar. Penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Data diperoleh dari sumber tertulis yang didapatkan dari buku-buku yang ditulis oleh Ida Pedanda Djajakoesoema, dan sumber lisan dari anak Ida Pedanda Djajakoesoema yang bernama Agung Harjuno. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik nonpartisipan atau teknik simak bebas libat cakap. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode agih, metode padan, dan dilanjutkan dengan padan pragmatis. Pemaparan hasil analisis data dilakukan dengan metode informal dan metode formal.

Dari hasil penelitian, penulis menemukan struktur mantra yang berupa kata Hong sebagai pembuka, bagian tubuh mantra yang merupakan puji-pujian, bagian akhir mantra yang merupakan permohonan, diksi mantra yang mengacu pada Bahasa Jawa dan Jawa Kuna, dan gaya bahasa mantra yang ditemukan pada salah satu mantra dalam bentuk majas metafora. Berdasarkan pencarian makna dengan mencari makna referensialnya, penulis menemukan bahwa secara garis besar, rangkaian mantra-mantra memiliki makna yang mengakui kebesaran Tuhan, dan mensyukuri manifestasi Tuhan. Berdasarkan pencarian fungsi filosofis, dipahami bahwa tribawana adalah salah satu filosofi dasar dari mantra-mantra Hindu Jawa. Berdasarkan fungsi religius, dipahami bahwa tujuan masyarakat Hindu Jawa adalah untuk mencapai moksa dan keseimbangan tribawana. Berdasarkan fungsi edukatif, dipahami bahwa secara umum rangkaian mantra-mantra berfungsi untuk mengajarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang maha esa, dan menghargai seluruh

manifestasi Tuhan.


(2)

2

ABSTRACT

Anabrang, Desmond. 2015. “Structure, Meaning, and Function of Javanese Hindu Mantras”. Thesis for Undergraduate (S1) Indonesian Literature

Studies Programme, Indonesian Literature Majors, Faculty of

Literature, Sanata Dharma University.

This thesis is the result of research from a series of Hindu Javanese sacred mantras. Regarding to the Hindu Javanese mantras, this research examines three important points contained/within the mantras; the structure of various configurations found in the opening, body, and end of the mantras along with the dictation and the style of language used in the mantras, the meaning in regards to the intent of the mantras, and the function in regards to the philosophy, religion and educative aspects.

This kind of research is basic and was done in three stages; the gathering of data, the analysis of data, and the explanation of the results of the analysis of the data. This data was obtained with the method of research and non-participatory techniques, from written sources by the books of Ida Pedanda Djajakowsoema and from oral source from the son of Ida Pedanda Djajakoesoema, Agung Harjuno. The analysis of the data was done with the agih method,padanmethod, and finally with pragmaticpadan. The explanation of the result of the analysis of the data was done with both an informal as well as a formal method.

From the result of the research, the writer has found that the structure of the mantra uses the word Hong as an opening of each mantra. The body of the mantra is in the form of worship, and then end of the mantra is in the form of supplication. The diction of the mantra is based on the Javanese and the ancient Javanese language. The style of language in the mantra that is found in one of the mantras is in the form of metaphore. Based on the search for the meaning by looking for the referential meanings, the writer also found that the meaning of most of the mantras is an affirmation and surrender to God. Based on the search for the function, by exploring the philosophical function, it can be understood that Tribawana is one of the basic philosophical concepts of the Hindu Javanese mantras. Based on the religious function, it can be understood that the goal of the Hindu Javanese community is to achieve moksa and the balance of Tribawana. Based on the educational function, it can be understood that most of the mantras has a function to teach that God is great, and to appreciate God’s manifestation.


(3)

STRUKTUR, MAKNA, DAN FUNGSI MANTRA HINDU JAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Disusun Oleh

Desmond Wahyu Sekarbatu Anabrang 104114014

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

STRUKTUR, MAKNA, DAN FUNGSI MANTRA HINDU JAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Disusun Oleh

Desmond Wahyu Sekarbatu Anabrang 104114014

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

ST習 甲

α

UI¥今

IPザ

Π

ttCSIMぶ

TRA=INDU JAW^

Tan‐

ga1 7 AguStus 2015

PrOi Dr.I.PFlp101nO Battadi,M.Ⅱ

u■

Penlbilllbing II

Drs. Yoseph Yapi Taum,l\{.Hum. -fanggal T Agustus 2015

Pembimbing

I

Deslllond l■│││││■■i■■││■ ││

111

│││ ││││‐‐│‐

■‐ │ ‐■ │■■ ││

‐‐│ ‐ ││││││■

││││││‐ │││

│■ ‐

│││││││


(6)

STRUKTUR,MAKNA,DAN FUNGSIPIANTRA IIINDU JAWA

dipersiapkan dan ditulis oleh Desmond Wahyu Sekarbatu Anabrang

NIM:|A4ifiAl4

telah dipertahankan di depan panitia penguji

pa.da tanggal 14 Juli 201 5

Dan dinyatakan memettuhi sYarai

Nama Lengkap

: Drs. Hery Antoto, M.Hum.

: S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum"

: Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum

Drs.Yoseph Yapi Taum,M`Hum.

-Keむua

Sekeretans

Allgpta

Yogyakarta,14 Juli 2015‐

Fakultas Sastra

.F.X Siswadi,M.A,


(7)

Sab/a menyatakall dcngan sesung騨lllya bahWa skripsi ymg saya tllis ini

ti‐dak mcmuat bagiall kttya orang lain, kecuali yang tOlah disσbutkan dalam

kuttpan dall dattar plstaktt sebrttailnalla layttmp karylill■ liahi

Yogyakaia,14 Juli 2015

Penulis

Dcsmolld Wall「Sekarba毎たLabrang


(8)

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang beFtandatang`避 di bawah ini,saya mahttisⅥ ra U=ivcFtttaS Sな ata Ettar"a:

Nama:Desmond`品Fahyu Sckarbatll Anabrang

N卜[:104114014

Delni p電 輛 軸 gall ilmu peng鏡 由u響

,saF lll壷厳 kan kcpada poゅustakaan

Universitas Sanata Dharna kttya ilmiah saンa yang btt■ld■l11・lStrtLktuF,Mtta,

d‐an Fungst Malltra Hindu Jawa"beserta p∝ 鍛at ya,gdむalukan 01la ada).

Dcllgan deFlliki爆 1, saya lllttb金饉kan kepada perpustakaan uni、 eFSitaS Sanata

Dharma hak unttk ttcllvl勢‐an, lllellgalihkan ttal■ bcllttk lnedia laill, meng01ahlya atau dal〔m bentuk panま 虚an data,l■telldisttbusikan sectta telbatas,

dan ll■olllpublikttikall di itttelllet atau lllcdia lain untllk kepelltingall akadcluis

talllpa perill lne■linta i2il■ da五 saya lnaupun nlcll■berilcan royalti k‐ epada saヽra

sclama tttap菫,cttcamtlllFlltal ttma saya s(も 錦五pellulis.

Demikittl p輌

ゞ嚢aan illl saya buat derlgan scbcllattya.

Dib■lat di YogFkaFta

Pada‐ 1'anggalr 14 Juli12015


(9)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Struktur, Makna, dan Fungsi Mantra Hindu Jawa”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, nasihat, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan dan mengucapkan penghargaan sebagai rasa terima kasih yang sebesar–besarnya kepada:

1. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar, teliti, dan selalu siap sedia membimbing serta mendampingi penulis ketika mengalami kesulitan selama proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga atas semangat dan perhatian yang telah beliau berikan, semoga akan menjadi motivasi bagi penulis untuk melangkah ke depan. 2. Dr. Yoseph Yapi Taum M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang

dengan penuh kesabaran dan perhatian, selalu siap sedia membimbing serta memberi saran, masukan, dan pemikiran.

3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., selaku Kaprodi Sastra Indonesia dan penguji yang dengan sabar serta perhatian dalam membantu proses penyusunan karya ilmiah ini, dan segala masukan atau saran yang beliau sampaikan. 4. Seluruh dosen Program Studi Sastra Indonesia Drs. B. Rahmanto,


(10)

plltu wlantt SU,MA,yttg tcltt lllentberlkall bekal ihu keprada pcll■ lliS.

SegcnaptkaFyawan Faktttas Sattra atas bantuannya selama菫 ■.

5.Kcdlla orallg tua ponuliち Ag,s lsllle/o lsllugFOhO dan Nia Fliam ttas

duku=gall dal■ dOa yang dttak terbatas.

6. Sciuruh keluarga bcttr kakёk teFCinta

ム鮮s S●CbCkti yttg tel由 =cnlberiktt sttang麟

,IIlotivasl,dan keceFlaalllllya.

7.Andira ICri亜

亀蕊霞 よ

'kttlgall,doaっ

dan m∝ivaSi yallg terus―FnCnttus.

8.TcIIt雛‐telllm sastra I轟 Onesia drari seluruh angkatall,tttan―telllan

Beralltak,Sa」よ ―

A■熱

ぅdan seltlrllh telnan― temm yallg tidak disebutkan

llttIIII Selalli ada lltt tallpa henti―helltinya lncll■bclll sttangat.

Akhir kata,lpellulis lncllⅣ ■dan bahwa segala sesuatu tiada yang setllpllFlla=

Dcmikittjutt Skipsi illijaull datt kescnlp● IIlaall.olcll sebめ i毎

,S● 騨la k五 tik da■

sattn yattg lncl■bangult penulis tcnma dcngan tcFbika_Pclllllis berharap sclllo‐3a

壺ipsiini bttslna baj lllasprakat.

rOgyakaFta,14」

=li 201 5

Pel]llliζ

Desmond Wallp SCkarbat■lAnおrang


(11)

viii

MOTTO

“Tradition is a roadmap to the future”


(12)

Fliam-ix

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Kakek tercinta yang perjuangannya

tidak akan pernah saya lupakan.

Kepada orang tuaku atas dorongan

doa, semangat, kasih sayang, dan

pengorbanannya yang tak ada

henti-hentinya hingga skripsi ini bisa

terselesaikan


(13)

x ABSTRAK

Anabrang, Desmond W.S. 2015. “Struktur, Makna, dan Fungsi Mantra Hindu Jawa”. Skripsi Strata I (S1) Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini menyampaikan hasil penelitian dari rangkaian mantra kedalaman Hindu Jawa. Ada tiga masalah yang dijawab dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana struktur mantra-mantra Hindu Jawa? Kedua, apa makna mantra-mantra Hindu Jawa? Ketiga, apa fungsi mantra-mantra Hindu Jawa secara filosofis, religius, dan edukatif?

Jenis penelitian ini merupakan penelitian dasar. Penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Data diperoleh dari sumber tertulis yang didapatkan dari buku-buku yang ditulis oleh Ida Pedanda Djajakoesoema, dan sumber lisan dari anak Ida Pedanda Djajakoesoema yang bernama Agung Harjuno. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik nonpartisipan atau teknik simak bebas libat cakap. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode agih, metode padan, dan dilanjutkan dengan padan pragmatis. Pemaparan hasil analisis data dilakukan dengan metode informal dan metode formal.

Dari hasil penelitian, penulis menemukan struktur mantra yang berupa kata Hong sebagai pembuka, bagian tubuh mantra yang merupakan puji-pujian, bagian akhir mantra yang merupakan permohonan, diksi mantra yang mengacu pada Bahasa Jawa dan Jawa Kuna, dan gaya bahasa mantra yang ditemukan pada salah satu mantra dalam bentuk majas metafora. Berdasarkan pencarian makna dengan mencari makna referensialnya, penulis menemukan bahwa secara garis besar, rangkaian mantra-mantra memiliki makna yang mengakui kebesaran Tuhan, dan mensyukuri manifestasi Tuhan. Berdasarkan pencarian fungsi filosofis, dipahami bahwa tribawana adalah salah satu filosofi dasar dari mantra-mantra Hindu Jawa. Berdasarkan fungsi religius, dipahami bahwa tujuan masyarakat Hindu Jawa adalah untuk mencapai moksa dan keseimbangan tribawana. Berdasarkan fungsi edukatif, dipahami bahwa secara umum rangkaian mantra-mantra berfungsi untuk mengajarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang maha esa, dan menghargai seluruh manifestasi Tuhan.


(14)

xi

ABSTRACT

Anabrang, Desmond. 2015. “Structure, Meaning, and Function of Javanese Hindu Mantras”. Thesis for Undergraduate (S1) Indonesian Literature Studies Programme, Indonesian Literature Majors, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This thesis is the result of research from a series of Hindu Javanese sacred mantras. Regarding to the Hindu Javanese mantras, this research examines three important points contained/within the mantras; the structure of various configurations found in the opening, body, and end of the mantras along with the dictation and the style of language used in the mantras, the meaning in regards to the intent of the mantras, and the function in regards to the philosophy, religion and educative aspects.

This kind of research is basic and was done in three stages; the gathering of data, the analysis of data, and the explanation of the results of the analysis of the data. This data was obtained with the method of research and non-participatory techniques, from written sources by the books of Ida Pedanda Djajakowsoema and from oral source from the son of Ida Pedanda Djajakoesoema, Agung Harjuno. The analysis of the data was done with the agih method,padanmethod, and finally with pragmaticpadan. The explanation of the result of the analysis of the data was done with both an informal as well as a formal method.

From the result of the research, the writer has found that the structure of the mantra uses the word Hong as an opening of each mantra. The body of the mantra is in the form of worship, and then end of the mantra is in the form of supplication. The diction of the mantra is based on the Javanese and the ancient Javanese language. The style of language in the mantra that is found in one of the mantras is in the form of metaphore. Based on the search for the meaning by looking for the referential meanings, the writer also found that the meaning of most of the mantras is an affirmation and surrender to God. Based on the search for the function, by exploring the philosophical function, it can be understood that Tribawana is one of the basic philosophical concepts of the Hindu Javanese mantras. Based on the religious function, it can be understood that the goal of the Hindu Javanese community is to achieve moksa and the balance of Tribawana. Based on the educational function, it can be understood that most of the mantras has a function to teach that God is great, and to appreciate God’s manifestation.


(15)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

KATA PENGANTAR... vi-vii HALAMAN MOTTO... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN... ix

ABSTRAK... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii-xiv DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR BAGAN... xvi

BAB I : PENDAHULUAN... 1-13 1.1 Latar Belakang Masalah... 1-3 1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4-5 1.5 Tinjauan Pustaka... 5-6 1.6 Landasan Teori... 6

1.6.1 Struktur Wacana Mantra... 7

1.6.2 Kajian Makna Referensial………... 7-8 1.6.3 Kajian Fungsi…………... 8-9 1.7 Metode dan Teknik Penelitian... 9

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 10

1.7.2 Metode dan Tahap Analisis Data... 10-13 1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data... 13-14 1.8 Sistematika Penyajian... 14


(16)

xiii

BAB II STRUKTUR MANTRA HINDU JAWA... 15-31 2.1 Pengantar... 15 2.2 Struktur Mantra Hindu Jawa…………... 15 2.2.1 Bagian Awal Mantra Hindu Jawa………... 15-17 2.2.2 Bagian Tubuh Mantra Hindu Jawa... 18-22 2.2.3 Bagian Penutup Mantra Hindu Jawa... 22-24 2.2.4 Diksi Mantra Hindu Jawa………....25-28 2.2.5 Gaya Bahasa Mantra Hindu Jawa………... 28-31

BAB III MAKNA MANTRA HINDU JAWA………... 32-64 3.1 Pengantar... 32 3.2Makna Referensial Mantra Hindu Jawa………... 32-33

3.2.1 Mantra

Vertikal... 33 3.2.1.1 Mantra Vertikal Pertama “Kebesaran

Tuhan”…....... 33-36 3.2.1.2 Mantra Vertikal Kedua “Manifestasi Tuhan pada

Alam………...………... 36-42 3.2.1.3 Mantra Vertikal Ketiga “Manusia Sebagai

Dewa”………..……… 42-44 3.2.2 Mantra Horizontal………... 45

3.2.2.1 Mantra Horizontal Pertama “Manifestasi Tuhan Pada Manusia”... 45-52

3.2.2.2 Mantra Horizontal Kedua “Penjabaran Unsur Diri”………....………….... 52-59 3.2.2.3 Mantra Horizontal Ketiga “Rangkuman Rangkaian

Mantra”…………...………….……… 59-63 3.2.3 Mantra Penutup “Harapan Kedamaian”………. 63-64


(17)

xiv

BAB IV FUNGSI MANTRA HINDU JAWA... 65-92 4.1 Pengantar………... 65 4.2 Fungsi Filosofis Mantra Hindu Jawa………. 65-70 4.3 Fungsi Religius Mantra Hindu Jawa……….. 70-74 4.4 Fungsi Edukatif Mantra Hindu Jawa………... 74

4.4.1 Fungsi Edukatif Mantra Pertama “Kebesaran

Tuhan”……….…...………..…... 75-76 4.4.2 Fungsi Edukatif Mantra Kedua “Manifestasi Tuhan Pada

Alam”………..………...………. 76-81 4.4.3 Fungsi Edukatif Mantra Ketiga “Manusia Sebagai

Dewa…………..……….……… 80-81 4.4.4 Fungsi Edukatif Mantra Keempat “Manifestasi Tuhan Pada

Manusia”……….……...……… 82-87 4.4.5 Fungsi Edukatif Mantra Kelima “Penjabaran Unsur

Diri”………….………...………….………... 87-88 4.4.6 Fungsi Edukatif Mantra Keenam “Rangkuman Rangkaian

Mantra dan

Tribawana”……….…………..………….. 88-89 4.4.7 Fungsi Edukatif Mantra Ketujuh “Harapan

Kedamaian”……….………....…... 89-90

BAB V PENUTUP……….……….………..…... 90-115

5.1 Kesimpulan………..……….. 90-95 5.2 Saran………..……….. 96

DAFTAR PUSTAKA... 97 GLOSARIUM... 98-110


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Contoh Mantra ... 1

Tabel 2. Contoh Mantra ... 2

Tabel 3. Gaya Bahasa Mantra “Penjabaran Unsur Diri”... 29

Tabel 4. Rangkuman Rangkaian Mantra dan Tribawana... 31

Tabel 5. Fungsi Religius dalam Mantra... 72

Tabel 6. Fungsi Edukatif Mantra “Kebesaran Tuhan”... 75

Tabel 7. Fungsi Edukatif Mantra “Kebesaran Tuhan”... 75

Tabel 8. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan pada Alam”... 78

Tabel 9. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan pada Alam”... 78

Tabel 10. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan pada Alam” ... 79

Tabel 11. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan pada Alam” ... 80

Tabel 12. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan pada Alam”... 80

Tabel 13. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan pada Alam”... 81

Tabel 14. Fungsi Edukatif Mantra “Manusia Sebagai Dewa” ... 82

Tabel 15. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan Pada Manusia”... 84

Tabel 16. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan Pada Manusia” ... 84

Tabel 17. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan Pada Manusia”... 85

Tabel 18. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan Pada Manusia”... 86


(19)

xvi

Tabel 20. Fungsi Edukatif Mantra “Manifestasi Tuhan Pada Manusia”... 87 Tabel 21. Fungsi Edukatif Mantra “Penjabaran Unsur Diri” ... 89-90 Tabel 22. Fungsi Edukatif Mantra “Penjabaran Unsur Diri” ... 90 Tabel 23. Fungsi Edukatif Mantra “Rangkuman Rangkaian Mantra... 91 Tabel 24. Fungsi Edukatif Mantra “Harapan Kedamaian”... 92

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Tribawana ... 70 Bagan 2. Tribawana ... 76


(20)

BABI

PENDAⅡ ULUAN

1.1 Latar Belakang

Objek penelitian ini adalah mantra Hindu Jawa yang ditemukan dalam ritual-ritual Hindu Jawa. Mantra berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna 'doa' atau permohonan (Soedjijono, et

al 1987:13).

Menurut Sudjiman (1986:8-9) mantra adalah susunan kata yang berunsur puisi seperti rima dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib atau dapat menimbulkan kekuatan gaib. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2009:987), mantra adalah

perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib (rnisal dapat

menyembuhkan, mendatangkan celaka, dsb). Melalui pendapat Sudjiman dan

KBBI, penulis dapat menyimpulkan bahwa mantra adalah susunan kata yang memiliki unsur puitis maupun magis, dan memiliki kekuatan gaib. Berikut adalah

contoh mantra yang digunakan dalam ritual Hindu Jawa:

Tabel l. Contoh Mantra

Mantra dalam Bahasa Asli Mantra dalarn Bahasa Indonesia

肋 κg 肋

Sang Hyang Murbeng Dumadi 'Tuhan yang maha tahu'

Kang hanyipta jagad raya ' Yan g menciptakan jagad r ay a' Sarta sedaya dumadi 'Beserta segala yang tercipta'

D alem hanyemba h sungkem

hamarikelu

'Saya menyembah sujud dengan sepenuh hati'


(21)

Hangluhuraken paduka ‘Meluhurkan engkau’

Namung paduka ingkang kula sembah ‘Hanya Engkau yang hamba sembah’

Hinggih Sang Hyang Widhi ‘Yaitu Tuhan Yang Maha Esa’

Tabel 2. Contoh Mantra

Mantra dalam Bahasa Asli Mantra dalam Bahasa Indonesia

Sang Hyang Sitoresmi, kuasaning Sang Hyang Widhi

‘Sang Hyang maha pengasih kuasa Tuhan Yang Maha Esa’

Haparing cahya daya katresnan dating sedaya gesang

‘Memberikan daya cahaya cinta kasih kepada segala kehidupan’

Sang Hyang Kartika, kuasaning Sang Hyang Widhi

‘Sang Hyang bintang kuasa Tuhan Yang Maha Esa’

Haparing sifat watak dating sedaya gesang

‘Memberikan sifat watak kepada segala kehidupan’

Contoh dalam Tabel 1 maupun Tabel 2 dapat disebut sebagai mantra karena memiliki unsur-unsur puisi dan memang digunakan pada berbagai macam ritual Hindu Jawa, yang memiliki kekuatan unsur gaib.

Dalam penelitian ini, mantra Hindu Jawa dipilih sebagai objek penelitian karena alasan-alasan berikut.Pertama, mantra-mantraHindu Jawa tidak selalu berbau mistis, melainkan terdapat beragam keunikan dalam bahasa yang digunakan.Kedua, mantra-mantra Hindu Jawa adalah bagian dari kebudayaan Jawa yang mulai ditinggalkan.Ketiga, belum ditemukannya penelitian tentang mantra-mantra Hindu Jawa.


(22)

Hindu Jawa. Pada pembahasan struktur, penulis akan melakukan pembahasan struktur mantra pada bagian awal, struktur mantra pada bagian tubuh, struktur mantra pada bagian penutup, diksi dan gaya bahasa. Hal kedua yang dibahas dalam skripsi ini adalah makna mantra-mantra Hindu Jawa. Dalam membahas makna, penulis akan mengkaji mantra-mantra Hindu Jawa melalui makna referensialnya. Pembahasan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam pada setiap bagian mantra. Dengan begitu pembaca akan mengerti bahwa terdapat pelajaran kehidupan dan konsep filosofis yang sesungguhnya berseberangan dengan bacaan berbau mistis.

Hal ketiga yang dibahas dalam skripsi ini adalah fungsi dalam mantra-mantra Hindu Jawa.Mantra-mantra-mantra ini memiliki berbagai macam fungsi bagi umatnya. Beberapa fungsi yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah fungsi filosofi, fungsi religius, dan fungsi edukatif. Dengan membahas beberapa fungsi ini, pembaca akan mengerti secara menyeluruh mengapa umat merasa bahwa mantra, maupun kepercayaannya, memiliki fungsi yang nyata dalam kehidupan mereka.

Uraian tersebut membuktikan bahwa mantra-mantra Hindu Jawa mengandung struktur, makna dan fungsi.Berdasarkan semua penjelasan tersebut, struktur makna dan fungsi mantra-mantra Hindu Jawa menjadi pokok permasalahan di dalam penelitian ini.


(23)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dalam butir 1.1, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana struktur mantra-mantra Hindu Jawa? 1.2.2 Apa makna mantra-mantra Hindu Jawa?

1.2.3 Apa fungsi mantra-mantra Hindu Jawa secara filosofis, religius, dan edukatif?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan mantra Hindu Jawa. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan struktur mantra-mantra Hindu Jawa. 1.3.2 Mendeskripsikan makna mantra-mantra Hindu Jawa.

1.3.3 Mendeskripsikan fungsi mantra-mantra Hindu Jawa secara filosofis, religius, dan edukatif.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah deskripsi tentang struktur, makna, dan fungsi dari mantra Hindu Jawa yang ditemukan dalam sebuah ritual kedalaman masyarakat Hindu Jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hasil penelitian akan menyajikan teori tentang struktur, makna, dan fungsi mantra. Manfaat penelitian ini dapat


(24)

dilihat dari dua hal, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Terdapat dua manfaat teoretis dari penelitian ini, yaitu untuk menambah khazanah mengenai struktur, makna, dan fungsi mantra Hindu Jawa, dan mengungkap salah satu sisi budaya masyarakat Hindu Jawa, meliputi kearifan kulturalnya. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan struktur, makna, dan fungsi mantra Hindu Jawa sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Hindu Jawa.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang mantra sebelumnya pernah dilakukan oleh Soedjijono dkk

(1987:13-17) dengan judul Struktur dan Isi Mantra Bahasa Jawa Timur.Pada

penelitian ini dijelaskan bahwa ciri khas mantra adalah tidak selalu dapat dipahami artinya untuk dapat membangkitkan suasana magis.Suasana sakral dan efek magis yang dimaksudkan di sini adalah bahwa mantra menunjuk kepada dunia di luar batas-batas kemampuan wajar manusia, dunia di luar kekuasaan hukum alam, alam gaib, sebagai pengaruh dari kekuatan sakti.

Abdulrachman, dkk.(1996:2) dalam bukunya yang berjudul Fungsi Mantra

dalam Masyarakat Banjar menjelaskan bahwa mantra sebagai kata magi (

magic-word) dimaksudkan untuk memperoleh satu kekuatan bagi orang yang

mengucapkannya.Tetapi pada beberapa masyarakat, mantra tidak sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan penggunanya karena ada yang menyangkut nilai positif dan bersifat defensif.


(25)

Yusri Yusuf, dkk. (2001) dalam bukunya yang berjudul Struktur dan Fungsi

Mantra Bahasa Aceh menjelaskan bahwa ketika manusia masih percaya pada

kekuatan animisme dan dinamisme (yakni pada waktu manusia masih sangat percaya kepada kekuatan supranatural), mantra digunakan untuk memuja kekuatan supranatural itu dengan harapan kekuatan tersebut tidak akan mendatangkan bala kepada manusia. Rasa takut dan tekanan yang dirasakan oleh manusia yang dibarengi dengan pemujaan telah membuat manusia mengadakan berbagai macam upacara yang dimaksudkan untuk memohon sesuatu kepada kekuatan itu.

Dengan melihat penelitian Abdulrachman dkk, Yusri Yusuf dkk dan Soedjijono dkk, dapat disimpulkan bahwa belum pernah dilakukan penelitian yang mengangkat mantra-mantra Hindu Jawa.Melalui penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa dalam penelitian-penelitian sebelumnya, sebuah mantra masih memiliki suasana yang sangat mistis, dan belum dapat secara murni dipahami makna filosofis dan pelajaran hidup yang terkandung di balik kesan kemistisannya.

1.6 Landasan Teori

Dalam landasan teori ini dipaparkan pengertian struktur, makna, dan fungsi ketika digunakan untuk mendalami mantra-mantra Hindu Jawa.


(26)

1.6.1 Struktur Wacana Mantra

Sebagaimana dibicarakan di depan, mantra adalah susunan kata yang memiliki unsur puitis maupun magis, dan memiliki kekuatan gaib. Pada penelitian ini, mantra dianggap sebagai sebuah wacana.Wacana yang dimaksud adalah

berbagai perkataan maupun ucapan dalam bentuk mantra oleh Rsi / Pandita dan

umat dalam ritual kedalaman Hindu Jawa, yang kemudian direkam secara tertulis.Sebagai sebuah wacana, ketujuh mantra yang diteliti dalam penelitian ini juga memiliki unsur-unsur yang berkesinambungan pada bagian awal / pembuka wacana, tubuh / isi wacana, dan penutup wacana.Dilihat sebagai sebuah struktur, ketiga bagian tersebut memiliki berbagai fungsi yang berbeda.Bagian awal wacana berfungsi sebagai pembuka wacana, bagian tubuh wacana berfungsi sebagai pemapar isi wacana, dan bagian penutup berfungsi sebagai penanda akhir wacana (Baryadi 2002: 14). Dengan demikian pembahasan struktur mantra akan dilakukan dengan menganalisa struktur wacana pada bagian awal, tubuh, dan penutup mantra.

1.6.2 Kajian Makna Referensial

Menurut Chaer (1990:33) makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih

tepat sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance – internal – phenomenon).Jadi

dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual) (Chaer, 1990:28).Sesungguhnya jenis atau tipe makna dapat


(27)

dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Dalam penelitian ini makna hanya akan dibedakan berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, untuk kemudian dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial. Makna-makna referensial inilah yang kemudian didefinisikan dan digunakan sebagai alat untuk membedah makna mantra-mantra Hindu Jawa.

1.6.3 Kajian Fungsi

Untuk lebih memahami pengkajian fungsi, perlu dipahami juga beberapa pendapat tentang teori fungsionalisme.Menurut kamus Bahasa Inggris Merriam

Webster (www.merriam-webster.com/dictionary/functionalism), fungsionalisme

adalah sebuah teori yang memberikan penekanan pada hubungan pola maupun institusi di dalam masyarakat dan hubungan mereka dalam melindungi keberlangsungan budaya maupun kesatuan masyarakat.Melalui penjelasan ini dapat dimengerti bahwa sesungguhnya yang paling dirasakan manusia dari agama adalah dampak, dan bukan hanya keberadaan suatu agama saja.Dampak yang dimaksud dari timbulnya sebuah agama adalah kemudian inti dari pembahasan fungsi mantra Hindu Jawa.Besarnya peran dampak sebuah agama juga ditekankan pada fungsionalisme yang didalami dalam ilmu filsafat.Menurut ensiklopedi filsafat (http://www.iep.utm.edu/functism/), fungsionalisme adalah sebuah teori tentang tingkat pemahaman alami mental manusia. Tingkat pemahaman mental manusia diidentifikasi melalui apa yang kemudian dilakukan, dan bukan hanya sebatas memahami suatu hal.


(28)

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan analitis, dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dikembalikan pada tiga hal: ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan. Untuk itu semua, manusia lari kepada agama, karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan yang definitif dalam menolong manusia (Hendropuspito, 1985:38).Dalam penelitian ini pengertian agama mengarah kepada rangkaian mantra Hindu Jawa. Untuk mendalami pembahasan fungsi dalam mantra Hindu Jawa, pembahasan akan dibagi menjadi tiga fungsi, yaitu fungsi filosofi, fungsi religius, dan fungsi edukatif. Fungsi filosofi akan menjabarkan salah satu fungsi filosofi utama masyarakat Hindu Jawa, dan penerapan filosofi tersebut. Fungsi religius akan menjabarkan wujud empiris, dan supra-empiris dari mantra-mantra Hindu Jawa. Fungsi edukatif akan menjabarkan beragam fungsi-fungsi mantra yang mampu menyampaikan nilai-nilai pengajaran kehidupan pada masyarakat Hindu Jawa.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) pengumpulan data, (ii) analisis data dan (iii) penyajian hasil analisis data setiap tahap dilaksanakan dengan metode tertentu. Berikut dijelaskan masing-masing tahap dalam penelitian ini.


(29)

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah struktur, makna, dan fungsi mantra-mantra Hindu Jawa, sedangkan data penelitian ini adalah mantra-mantra Hindu Jawa.Data diperoleh dari sumber tertulis maupun lisan.Sumber tertulis didapatkan dari dokumentasi mantra-mantra Hindu Jawa dalam buku Mantram Kedalaman Perguruan Raja Yoga Bulu Merak “Wedha Prakarti” Indonesia oleh Ida Pedanda Djaja Koesoema. Sedangkan sumber lisan akan didapatkan dari putra Ida Pedanda Djajakoesoema, Agung Harjuno.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak. Metode simak adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan menyimak langsung penggunaan bahasa. Teknik yang digunakan dalam tahap pengumpulan data, adalah teknik nonpartisipan atau teknik simak bebas libat cakap dengan mengamati dan mencatat wacana mantra yang terdapat dalam buku dokumentasi mantra-mantra Hindu Jawa oleh Ida Pedanda Djaja Koesoema.Data yan sudah terkumpul diteliti berdasarkan struktur, maksud dan fungsi.

1.7.2 Metode dan Tahap Analisis Data

Penelitian ini akan menganalisis mantra Hindu Jawa dengan tiga metode. Untuk menganalisis struktur, akan digunakan metode agih. Metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993:15). Pada metode agih akan digunakan teknik dasar bagi unsur langsung, yaitu teknik analisis data dengan cara membagi suatu satuan lingual datanya menjadi beberapa unsur. Unsur tersebut dipandang


(30)

sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Kemudian analisis akan dilanjut dengan teknik baca markah, yaitu teknik yang menganalisis pemarkahan untuk menunjukkan kejatian satuan lingual atau identitas konstituen tertentu; dan kemampuan membaca

peranan pemarkah itu (marker) berarti kemampuan menentukan kejatian yang

dimaksud.

Berikut merupakan contoh penerapan metode agih dengan teknik dasar bagi unsur langsung.

(1)

(a) Hong

(b) Sang Hyang Surya

(c) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(d) Haparing cahya dhumateng sadaya gesang

(e) Sang Hyang Bagaskara

(f) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(g) Haparing tumuwuh dhumateng sadaya gesang

Mantra di atas dibagi menjadi lima baris yang ditandai dengan alfabet a, b, c, d, e, f, dan g. Dalam contoh tersebut, juga dapat ditemukan pemarkah pada awal mantra yang berupa kata Hong. Kata ini ditemukan pada setiap awal mantra. Kemudian kata Sang Hyang,

yang selalu mengawali nama Tuhan maupun manifestasinya. Penggunaan paragraf juga digunakan pada setiap pemujian bentuk manifestasi Tuhan.

Untuk menganalisis makna akan digunakan metode padan, yaitu metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi

bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto,


(31)

kejatian atau identitas objek penelitian (Kesuma, 2007:47), pada metode padan ini, akan digunakan subjenis metode padan referensial. Metode padan referensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa.Referen bahasa adalah kenyataan atau unsur luar bahasa yang ditunjuk satuan kebahasaan (Kridalaksana, 2001:186).Metode padan referensial itu digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Kesuma, 2007:48).

Berikut merupakan contoh penerapan metode padan dengan subjenis metode padan referensial.

(2)

Hong

Kata Hong adalah sebuah kata referensial karena kata Hong memiliki referen yang mengacu pada suatu situasi yang kosong, hening, tetapi penuh dengan isi.Yang dimaksud dengan kosong tetapi penuh isi adalah situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Penggunaan kata Hong di awal juga berfungsi sebagai pengantar bagi umat untuk mencapai tahap kosong yang penuh isi tersebut.

Untuk menganalisis fungsi, akan digunakan metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis adalah suatu metode padan yang alat penentunya adalah mitra wicara (Sudaryanto, 1993:13).Metode ini digunakan karena fungsi dalam penelitian ini, dapat dimengerti sebagai dampak langsung dari mantra-mantra dan ritual yang dapat dirasakan oleh umat Hindu-Jawa.Dengan demikian untuk dapat mengolah data-data fungsi tersebut, haruslah digunakan sudut pandang mitra wicara.


(32)

(3)

Hong

Sang Hyang Murbeng Dumadi Kang hanyipta jagad raya Sarta sadaya dumadi

Dalem hanyembah sungkem hamarikelu Hangluhuraken paduka

Namung paduka ingkang kawula sembah Hinggih Sang Hyang Widhi

Melalui contoh di atas, penulis dapat merasakan adanya pesan yang diajarkan agar selama umat menjalani kehidupan selalu mengingat keberadaan Tuhan.Melalui kesadaran bahwa Tuhan telah menciptakan segala yang ada, umat diharapkan dapat dengan ikhlas menyembah Tuhan tanpa perlu mempertimbangkan sosok Tuhan dengan permasalahan duniawi.Hal ini karena segala yang ada di dunia, beserta segala permasalahannya adalah bagian dari ciptaan Tuhan.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data.Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode formal dan metode informal.Hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode informal, yaitu dengan menggunakan kata-kata yang biasa yaitu kata-kata yang bersifat denotative dan bukan kata-kata yang bersifat konotatif.Penyampaian hasil analisis data dalam penelitian ini juga menggunakan metode formal, yaitu memanfaatkan berbagai lambang, tanda, singkatan dan sejenisnya(Sudaryanto, 1993:145).Dalam skripsi ini penyajian skripsi secara


(33)

formal dilakukan dengan tabel, bagan, dan tanda panah ( ).

1.8 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab I, pendahuluan.Bab pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian.Latar belakang menguraikan alasan mengapa penulis melakukan penelitian.Rumusan masalah menjelaskan masalah-masalah yang ditemukan dalam penelitian.Tujuan penelitian mendeskripsikan tujuan diadakan penelitian.Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini.Tinjauan pustaka mengemukakan pustaka yang pernah membahas tentang idiom.Landasan teori menyampaikan teori yang digunakan sebagai landasan penelitian.Metode penelitian merincikan teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik penyampaian hasil analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini.Sistematika penyajian menguraikan urutan hasil penelitian dalam skripsi ini.Bab II berisi tentang uraian dan analisis struktur mantra Hindu Jawa.Bab III berisi tentang uraian dan analisis makna mantra Hindu Jawa.Bab IV berisi tentang uraian dan analisis fungsi mantra Hindu Jawa.


(34)

15

BAB II

STRUKTUR MANTRA HINDU JAWA

2.1 Pengantar

Dalam penelitian ini, pembahasan struktur mantra akan dibagi menjadi lima, yaitu pembahasan struktur mantra pada bagian awal, struktur mantra pada bagian tubuh, struktur mantra pada bagian penutup, diksi dan gaya bahasa.

2.2 Struktur Mantra Hindu Jawa

Tidak berbeda dengan beragam literatur lain, mantra Hindu Jawa juga memiliki struktur yang dapat diidentifikasi. Struktur mantra Hindu Jawa ini akan diidentifikasi dengan membedah lebih jauh bagian awal, tubuh, penutup mantra Hindu Jawa, dan juga diksi maupun gaya bahasa yang digunakan.

2.2.1 Bagian Awal Mantra Hindu Jawa

Dibandingkan bagian lain dari keseluruhan rangkaian mantra kedalaman, bagian awal adalah bagian yang selalu sama. Dalam ritual-ritual yang menggunakan mantra kedalaman, seorang pandhita akan memulai sebuah mantra

dengan mengucapkan “Hong..”, untuk kemudian diikuti oleh umat. Kata Hong

dapat ditemukan pada seluruh awal mantra kedalaman yang berjumlah tujuh mantra. Berikut adalah paragraf pertama dari ketujuh mantra tersebut.


(35)

(4)

Hong...

Sang Hyang Merbeng Dumadi Kang hanyipta jagad raya Sarta sadaya dumadi

Dalem hanyembah sungkem hamarikelu Hangluhuraken paduka

Namung paduka ingkang kawula sembah Hinggih Sang Hyang Widhi...

(5)

Hong...

Sang Hyang Surya

Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing cahya dhumateng sadaya gesang...

(6)

Hong...

Sukma sejati dewa kang linuwih Hinggih Sang Guru Sejati

Dados warananing Sang Hyang Widhi

Haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha keslametan...

(7)

Hong...

Kang maha suci

Kuasaning Sang Hyang Widhi Haparing daya suci...


(36)

(8)

Hong...

Sedulurku keblat papat kalima pancer Kakang kawah, adi ari-ari

Kakang mbarep, adi wuragil...

(9)

Hong...

Hong wilaheng hawigena Hong bawana langgeng Hong hyang hyang hyang

Suksma sejati dewa kang linuwih Sang Hyang Jagad, Hyang Nagaraja Pamonging jagad, Hyang Ismaya

Dhanyanging tanah Jawa, Eyang Kopek...

(10)

Hong...

Sidhem sidhem sidhem Hong...

Dapat dilihat bahwa seluruh awal dari ketujuh mantra kedalaman yang

ditunjukkan pada mantra (4)-(10) menggunakan kata Hong.Beberapa kata Hong

dapat ditemukan pula pada bagian tubuh seperti pada mantra (9), atau pada bagian

penutup seperti pada mantra (10), tetapi penggunaan kata Hong pada bagian tubuh

dan penutup tidak memiliki pola yang tetap.Dengan begitu dapat dipastikan

bahwa selain karena alasan makna atau filosofis, kata Hong juga berfungsi


(37)

2.2.2 Bagian Tubuh Mantra Hindu Jawa

Berbeda dengan bagian awal mantra-mantra dalam rangkaian mantra kedalaman, bagian tubuh mantra memiliki bentuk yang seluruhnya hampir berbeda.Hal ini karena setiap mantra memiliki tujuan yang berbeda, maka isi mantra juga berbeda. Meskipun bentuk dan isi yang berbeda pada bagian tubuh dari setiap mantra, tetapi dapat ditemukan sedikit kemiripan dari setiap mantra,

yaitu ditemukannya kalimat Sang Hyang yang diikuti dengan nama Tuhan dalam

berbagai wujud. Berikut adalah potongan dari bagian tubuh mantra tersebut.

(11)

Sang HyangMerbeng Dumadi Kang hanyipta jagad raya Sarta sadaya dumadi

Dalem hanyembah sungkem hamarikelu Hangluhuraken paduka

Namung paduka ingkang kawula sembah

HinggihSang HyangWidhi...

(12)

Sang HyangSurya

Kuasaning Sang HyangWidhi

Haparing cahya dhumateng sadaya gesang...

(13)

Sukma sejati dewa kang linuwih Hinggih Sang Guru Sejati


(38)

Haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha keslametan...

(14)

Kang maha suci

Kuasaning Sang HyangWidhi

Haparing daya suci...

(15)

Sang HyangWening

Suksma sejati, jabang bayiku Hu teguh rahayu slamet

(16)

Suksma sejati dewa kang linuwih

Sang HyangJagad, Hyang Nagaraja Pamonging jagad, Hyang Ismaya

Dhanyanging tanah Jawa, Eyang Kopek...

Dari keseluruhan tujuh mantra dalam rangkaian mantra kedalaman, enam mantra seperti yang ditampilkan pada mantra (11) hingga (16) memiliki frasa

Sang Hyang yang kemudian diikuti dengan nama Tuhan dalam berbagai

wujudnya. Sedangkan pada mantra ketujuh dalam keseluruhan rangkaian mantra

kedalaman, tidak memiliki frasa Sang Hyang karena mantra terakhir tersebut

merupakan mantra penutup, sedangkan mantra-mantra sebelumnya merupakan

mantra isi, sehingga frasa Sang Hyang dibutuhkan sebagai pujian kepada nama

Tuhan. Berbeda dengan kata Hong pada awal mantra yang bersifat sebagai

pembuka, frasa Sang Hyang pada bagian tubuh mantra bersifat sebagai pujian.


(39)

rangkaian mantra kedalaman memiliki kemiripan, yaitu hampir seluruh bagian tubuh mantra-mantra tersebut mengandung beragam puji-pujian yang menyebabkan digunakannya beragam ekspresi nama Tuhan yang didahului frasa

Sang Hyang.

Selain isi dari beberapa mantra yang memiliki beberapa kemiripan, terdapat struktur penataan paragraf pada bagian tubuh mantra yang memiliki tujuan tertentu dalam beberapa mantra.Penataan paragraf yang dimaksud tampak pada tubuh dua mantra.

(17)

Hong

Sang Hyang Surya

Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing cahya dhumateng sadaya gesang

Sang Hyang Bagaskara Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing tumuwuh dhumateng sadaya gesang

Sang Hyang Bagaspati

Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing lestari dhumateng sadaya gesang

Sang Hyang Jagad

Kuasaning Sang Hyang Widhi Haparing dumadosing wujud gesang


(40)

Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing cahya daya katresnan dhumateng sadaya gesang

Sang Hyang Kartika

Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing sifat watak dhumateng sadaya gesang

(18)

Hong

Kang maha suci

Kuasaning Sang Hyang Widhi Haparing daya suci

Kang maha mulya

Kuasaning Sang Hyang Widhi Haparing kamulyan

Kang maha agung

Kuasaning Sang Hyang Widhi Haparing cekap tirah hing kabegjan

Kang maha purba

Kuasaning Sang Hyang Widhi Haparing handarbeni hing kadonyan

Kang maha kuasa

Kuasaning Sang Hyang Widhi

Haparing kalenggahan kuasa hangatur hing kadonyan

Kuasa kuasaning kuasa Isih kuasa Kang Maha Kuasa


(41)

Gilang gumilang tan hana pindane

Sang Hyang Widhi yen ngendika hakarana warana

Kedua mantra di atas adalah satu-satunya mantra yang bagian tubuhnya dipilah-pilah dengan bentuk paragraf.Pada kedua mantra (17) dan (18), pembagian paragraf dilakukan dengan tujuan untuk menyebutkan beragam bentuk manifestasi Tuhan.Hal ini terbukti dengan pengucapan manifestasi Tuhan yang kemudian

diikuti dengan frasa kuasaning Sang Hyang Widhi.

2.2.3 Bagian Penutup Mantra Hindu Jawa

Dibandingkan bagian pembuka dan bagian tubuh, bagian penutup adalah bagian yang paling berbeda.Pada bagian penutup dari ketujuh mantra yang menjadi rangkaian dalam mantra kedalaman, hanya ditemukan sedikit kesamaan bentuk dan maksud seperti pada bagian pembuka, atau bagian tubuh.Berikut adalah bagian akhir dari ketujuh mantra tersebut.

(19)

...Namung Paduka ingkang kawula sembah Hinggih Sang Hyang Widhi

(20)

...Sang Hyang Kartika

Kuasaning Sang Hyang Widhi


(42)

(21)

...Haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha Keslametan

(22)

...Kuasa kuasaning kuasa Isih kuasa kang maha kuasa

Gilang gumilang tan hana pindhane

Sang Hyang Widhi yen ngendika hakarana warana

(23)

...Sang Hyang Wening Suksma sejati, jabang bayiku Hu – Teguh – Rahayu – Slamet

(24)

...Pamoning jagad, Hyang Ismaya Dhanyanging Tanah Jawa, Eyang Kopek

(25)

...Sidhem, sidhem, sidhem Hong....


(43)

Dari ketujuh bagian akhir mantra di atas, dapat dipastikan bahwa bagian akhir mantra-mantra tersebut tidak memiliki kesamaan bentuk seperti pada bagian pembuka.Tetapi pada kelima bagian akhir mantra dari tujuh keseluruhan mantra, ditemukan gejala-gejala yang mirip dengan bagian tubuh mantra, yaitu

ditemukannya kata-kata Sang Hyang, atau pada kasus ini salah satu mantra hanya

menggunakan kata Hyang.Hal ini dapat dilihat pada mantra (19),(20),(21),(22),

dan (23). Seperti pada bagian tubuh mantra, kebanyakan kata-kata Sang Hyang

adalah wujud dari puji-pujian kepada Tuhan, tetapi pada bagian akhir mantra (19),

kata Sang Hyang digunakan tidak sebagai bentuk puji-pujian melainkan sebagai

bentuk harapan. Bagian akhir mantra yang berwujud harapan juga ditemukan pada mantra (20).Sedangkan mantra (25) hanyalah mantra penutup dari keseluruhan rangkaian mantra-mantra kedalaman. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa dengan mengamati bagian akhir dari mantra-mantra kedalaman, tidak ditemukan kesamaan bentuk dari keseluruhan mantra seperti pada bagian pembuka, tetapi

ditemukan beberapa kata-kata Sang Hyang atau Hyang pada sebagian besar

mantra. Hal ini karena sebagian besar akhir mantra bersifat puji-pujian. Sedangkan pada bagian akhir mantra yang lain tidak ditemukan kesamaan bentuk atau maksud. Terlebih karena bagian akhir mantra-mantra ini tidak berisi pujian, melainkan harapan dan penutup dari keseluruhan rangkaian mantra-mantra kedalaman.


(44)

2.2.4 Diksi Mantra Hindu Jawa

Dalam mantra-mantra Hindu Jawa yang dikaji dalam penelitian ini, sebagian kata berasal dari bahasa Jawa dan Jawa kuna.Bahasa Jawa kuna

kemudian banyak diadopsi oleh kebudayaan Hindu, seperti kata Sang Hyang

Widhi yang berarti Tuhan. Atau kata Hong yang digunakan di awal setiap doa,

yang berarti kekosongan. Penggunaan kata Hong hanya ditemukan di Hindu Jawa,

karena pada mantra-mantra Hindu di Bali atau daerah lain, banyak digunakan kata

Aum, yang kurang lebih bermakna sama. Agar perbedaan lebih tampak, berikut

adalah contoh mantra pembuka dalam upacara vertikal Hindu Jawa, dan mantra

Tri Sandya yang merupakan salah satu mantra utama dalam Hindu Bali.

(Mantra pembuka dalam upacara vertikal Hindu Jawa)

(26)

Hong

Sang Hyang Murbeng Dumadi Kang hanyipta jagad raya Sarta sadaya dumadi

Dalem hanyembah sungkem hamarikelu Hangluhurake paduka

Namung paduka ingkang kawula sembah Hinggih Sang Hyang Widhi

(Bagian pembuka dalam mantra Trisandya yang merupakan salah satu

mantra pokok Hindu- Bali)

(27)

Aum

bhùr bhvah svah tat savitur varenyam


(45)

bhargo devasya dhimahi dhiyo yo nah pracodayàt

Selain penggunaan kata di awal doa yang berbeda meski maknanya sama, hal lain yang perlu diamati adalah penggunaan kata yang berarti Tuhan yang memiliki istilah berbeda. Pada mantra kedalaman Hindu Jawa, banyak dijumpai

istilah Sang Hyang Widhi, atau nama-nama lain untuk Tuhan yang juga diawali

kata Sang dan Hyang, seperti Sang Hyang Murbeng Dumadi yang berarti Tuhan

yang maha tahu. Sedangkan pada kebanyakan mantra yang digunakan Hindu Bali,

banyak digunakan istilah-istilah dari Sansekerta seperti bhùr bhvah svah yang

memiliki arti Tuhan. Lain halnya dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu Bali,

mereka akan menggunakan istilah Sang Hyang Widhi untuk menyebut Tuhan.

Melalui pengamatan dan hasil wawancara dengan putra Ida Pedanda Djajakoesoema, Agung Harjuno, penulis menyadari bahwa pemilihan diksi dalam Hindu Jawa memiliki poros yang berbeda dengan Hindu Bali. Diksi dalam Hindu Jawa berporos pada Bahasa Jawa, dan Jawa kuna.Sedangkan Hindu Bali berporos pada Bahasa Sansekerta.Hal ini lagi-lagi dapat dibuktikan dengan mantra penutup Hindu Jawa dan Hindu Bali. Dalam Hindu Jawa, sebuah mantra ditutup dengan

Hong sidem sidem sidem, Hong. Sedangkan dalam Hindu Bali, sebuah mantra

ditutup dengan Aum santi santi santi, Aum.Kedua kalimat yang digunakan untuk

menutup sebuah mantra memiliki arti “kedamaian”.Hanya saja sidhem adalah

Bahasa Jawa kuna, dan santi adalah Bahasa Sansekerta.Dengan begitu dapat

disimpulkan bahwa fenomena penggunaan istilah Sang Hyang Widhi dalam


(46)

dari budaya Jawa Kuna.Kemungkinan hal ini adalah akibat dari berpindahnya secara besar-besaran umat Hindu di Jawa ke Bali pada awal masa kerajaan Islam di Jawa.

Selain penggunaan bahasa Jawa Kuna, penggunaan kata dalam mantra didominasi oleh kata-kata dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan juga

merupakan bahasa Jawa Krama / bahasa Jawa yang halus, yang biasa digunakan

untuk berbicara dengan orang yang dihormati, hal ini ditemukan pada hampir seluruh rangkaian mantra kedalaman kecuali pada salah satu mantra yang menggunakan Bahasa Jawa Ngoko. Berikut adalah mantra tersebut.

(28)

Hong

Sedulurku keblat papat kalima pancer Kakang kawah, adi ari-ari

Kakang mbarep, adi wuragil

Sedulurku kang manggon hing jagad wetan, jagad kidul, jagad kulon, jagad lor

Karep putih, abang, kuning, ireng Karsa Putih, abang, kuning, ireng Sedulurku kang metu bareng sak uwat Mati seje panggonan

Kakang sabdo palon, kakang naya genggong Kaki mong, nini mong

Ibu abang, bapa putih Ibu abang, gendongen aku Bapa putih, aling-alingana aku Sang Hyang Wening

Suksma sejati, jabang bayiku Hu teguh rahayu slamet


(47)

Berbeda dengan mantra lainnya, mantra ini menggunakan Bahasa Jawa Ngoko karena ditujukan pada diri sendiri.Hal ini dipercaya sebagai tahap pertama dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam Hindu Jawa dipercaya bahwa terdapat

tiga dunia, yaitu dunia mikro kosmos(bawana alit) yang berarti hubungan

manusia dengan diri sendiri, dunia makro kosmos (bawana gede) yang berarti

hubungan manusia dengan alam semesta / dunia sekitar, dan nurkosmos(bawana

pepadhang) yang berarti hubungan manusia dengan sang pencipta. Pemilihan

Bahasa Jawa Ngoko dalam mantra ini dikarenakan ini adalah sebuah mantra

mikro kosmos atau bawana alit, yang bertujuan untuk mengenali dan

membersihkan diri sendiri sebelum dapat menuju kedua dunia lainnya, terutama Tuhan.

Adapun penggunaan bahasa Indonesia dapat ditemukan pada beberapa mantra, namun hal ini sedikit diragukan, karena bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh Sansekerta, begitu juga Bahasa Jawa, dan Bahasa Jawa kuna. Bahkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia diadopsi langsung dari Bahasa Jawa. Contoh kata yang kita kenali dalam bahasa Indonesia yang digunakan dalam mantra ini adalah sejati, suci, maha dan kuasa.

2.2.5 Gaya Bahasa Mantra Hindu Jawa

Pembahasan gaya bahasa mantra Hindu Jawa akan menyinggung majas, karena dalam penulisan mantra-mantra Hindu Jawa ditemukan beberapa majas yang digunakan. Sebagian besar majas yang digunakan adalah majas


(48)

metafora.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2009:1020), majas

metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata untuk menyatakan maksud

yang lain menyatakan maksud yang lain bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Berdasarkan pengertian ini, majas metafora ditemukan dalam salah satu mantra berikut:

Tabel 3. Gaya Bahasa Mantra “Penjabaran Unsur Diri”

Mantra dalam Bahasa Asli Mantra dalam Bahasa Indonesia

Hong Hong

Sedulurku keblat papat kalima pancer 'Saudaraku yang ada pada keempat

arah'

Kakang kawah, adi ari-ari 'Kakak air ketuban, adik placenta'

Kakang mbarep, adi wuragil 'Kakak sulung, adik bungsu'

Sedulurku kang manggon hing jagad wetan, jagad kidul, jagad kulon, jagad lor

'Saudaraku yang bertempat di Timur, Selatan, Barat, Utara'

Karep putih, abang, kuning, ireng 'Keinginan emosional putih, merah,

kuning, hitam'

Karsa Putih, abang, kuning, ireng 'Keinginan sublimatif putih, merah,

kuning, hitam'

Sedulurku kang metu bareng sak uwat 'Saudaraku yang berasal dari satu

wadah'

Mati seje panggonan 'Mati di lain tempat'

Kakang sabdo palon, kakang naya genggong

'Kakak sabdo palon, kakak naya

genggong'

Kaki mong, nini mong 'Kaki mong (sel sperma pria), nini

mong (sel telur wanita)'

Ibu abang, bapa putih 'Ibu merah (sel telur wanita), bapak

putih (sel sperma pria)'


(49)

Bapa putih, aling-alingana aku 'Bapak putih, lindungilah aku'

Sang Hyang Wening 'Dewa Wening '

Suksma sejati, jabang bayiku 'Suksma sejati, jabang bayiku'

Majas metafora pertama pada mantra tersebut adalah istilah kakak sulung dan adik

bungsu yang berarti air ketuban dan ari-ari / placenta. Hal ini mengacu pada

proses melahirkan, dimana sebelum bayi dilahirkan didahului dengan air ketuban,

dan sesudah bayi dilahirkan diikuti dengan ari-ari / placenta. Kedua adalah

perumpamaan wadah yang mengacu pada rahim seorang ibu yang bersifat sebagai

wadah calon anak.Ketiga adalah kaki mong dan bapak putih, merupakaan

perumpaan sel sperma yang berarti bibit cikal bakal sebelum lahirnya seorang

bayi. Keempat adalah nini mong dan ibu merah, merupakan perumpaan sel telur

wanita yang berarti proses awal mula terciptanya suatu kehidupan. Majas

metafora terakhir adalah istilah cahaya yang mengacu pada jalan

kebenaran.Perumpaan ini ditemukan pada mantra berikut.

Tabel 4. Gaya Bahasa Mantra “Rangkuman Rangkaian Mantra dan Tribawana”

Mantra dalam Bahasa Asli Mantra dalam Bahasa Indonesia

Hong Hong

Sukma sejati dewa kang linuwih ‘Sukma sejati dewa yang paling utama’

Hinggih Sang Guru Sejati ‘Yaitu guru sejati’

Dados warananing Sang Hyang


(50)

Haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha keslametan

‘Menjadi tuntunan kepada cahaya dan keselamatan’

Majas metafora tidak banyak ditemukan pada mantra-mantra lain. Hal ini dikarenakan mantra lain digunakan dalam ritual yang mengacu pada dewa-dewa maupun manifestasi dewa yang mendiami dunia, sehingga banyak digunakan simbolisasi. Sedangkan pada mantra yang memiliki banyak majas dipercaya sebagai mantra yang mengacu pada diri sendiri, sehingga banyak digunakan majas sebagai perumpaan agar lebih mudah dipahami.Dengan begitu penulis dapat menyimpulkan bahwa penggunaan majas digunakan sebagai alat untuk lebih memahami unsur filosofis dalam jasmani manusia, sedangkan pada wujud yang lebih suci, majas dirasa kurang pantas digunakan, sehingga penulis mantra lebih banyak mengacu pada simbolisasi.


(51)

32

BAB III

MAKNA MANTRA HINDU JAWA

3.1 Pengantar

Untuk mencari makna dalam rangkaian mantra Hindu Jawa yang juga dikenal sebagai mantra kedalaman, penulis akan meneliti makna referensial dari setiap mantra. Menurut Chaer (2009: 64), kata-kata yang mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Sebagai contoh, kata suling merupakan sebuah kata bermakna referensial, karena kata suling memiliki referen yang mengacu kepada

sebuah alat tiup tradisional yang terbuat dari bambu yang bernama “suling”.

Untuk mempermudah pendalaman makna referensial mantra, penulis akan memberi kode huruf dan angka pada awal setiap baris.

3.2 Makna Referensial Mantra Hindu Jawa

Keseluruhan rangkaian mantra kedalaman Hindu Jawa dibagi menjadi tujuh mantra dengan tujuan penggunaan maupun makna yang berbeda. Secara umum kelompok mantra dibagi menjadi dua bagian, yaitu tiga mantra pertama yang dikenal sebagai mantra vertikal / mantra yang mengarah pada Tuhan, dan tiga mantra berikutnya yang dikenal sebagai mantra horizontal / mantra yang mengarah pada kehidupan di dunia baik kehidupan yang tampak maupun yang


(52)

tidak tampak. Dalam mendalami makna referensial dari setiap mantra, penulis akan membagi mantra-mantra ke dalam ketiga bagian tersebut, agar lebih mudah dipahami perubahan referensi yang digunakan pada setiap pengelompokan mantra.

3.2.1 Mantra Vertikal

Rangkaian mantra vertikal berjumlah tiga mantra, jumlah ini bukanlah tanpa alasan.Angka tiga merupakan angka yang istimewa bagi masyarakat Jawa, terutama masyarakat Hindu Jawa. Hal ini dikarenakan salah satu filosofi

mendasar dari masyarakat Hindu Jawa adalah filosofi tribawana / pemahaman

tentang tiga dunia, yang meliputi Tuhan, dunia, dan diri sendiri (pemahaman

filosofi tribawana akan dijelaskan secara lebih jelas pada bab berikutnya). Ketiga

mantra yang dianggap sebagai bagian dari kelompok mantra vertikal juga mewakili tiga dunia tersebut. Mantra vertikal pertama adalah mantra yang secara khusus mengacu pada Tuhan, mantra vertikal kedua adalah mantra yang mengacu pada manifestasi Tuhan di dunia / alam sekitar, sedangkan mantra vertikal ketiga adalah mantra yang mengacu pada berkat Tuhan yang diberikan di dalam diri setiap manusia.

3.2.1.1 Mantra Vertikal Pertama “Kebesaran Tuhan”

Mantra vertikal pertama adalah juga mantra pembuka. Dalam membaca mantra ini, tangan umat berada di depan kening dengan dupa.


(53)

(28)

(a) Hong

(b) Sang Hyang Murbeng Dumadi

(c) Kang hanyipta jagad raya

(d) Sarta sadaya dumadi

(e) Dalem hanyembah sungkem hamarikelu

(f) Hangluhuraken paduka

(g) Namung paduka ingkang kawula sembah

(h) Hinggih Sang Hyang Widhi

Mantra pembuka dalam rangkaian mantra vertikal pertama dibuka dengan

kata Hong, seperti pada mantra (28a).Kata Hong adalah sebuah kata referensial

karena kata Hong memiliki referen yang mengacu pada suatu situasi yang kosong,

hening, tetapi penuh dengan isi.Yang dimaksud dengan kosong tetapi penuh isi

adalah situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Penggunaan kata Hong di

awal juga berfungsi sebagai pengantar bagi umat untuk mencapai tahap kosong yang penuh isi tersebut.

Pada mantra (28b), dituliskan Sang Hyang Murbeng Dumadi, yang

memiliki referen yang mengacu pada sosok Tuhan yang memiliki beragam kemampuan, salah satunya adalah kemampuannya sebagai sosok yang maha

tahu.Pada mantra (28c), dituliskan Kang hanyipta jagad raya yang dapat


(54)

raya”.Frasa dalam mantra (28c) memiliki referen yang mengacu pada sosok

Tuhan yang disebut pada bagian mantra (28b) yang berbunyi Sang Hyang

Murbeng Dumadi.Tidak jauh berbeda dengan (28c), pada bagian mantra (28d),

frasa sarta sadaya dumadi yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia

sebagai “beserta segala yang tercipta”, juga merupakan frasa yang memiliki referen yang mengacu kepada sosok Tuhan pada bagian mantra (28b). Secara keseluruhan bagian mantra (28b) hingga (28d) merupakan satu kesatuan deskripsi Tuhan.Secara lengkap bagian mantra ini dapat dipahami dalam Bahasa Indonesia sebagai “Tuhan yang maha tahu yang menciptakan jagad raya beserta segala yang tercipta”.

Pada mantra bagian (28e) dituliskan Dalem hanyembah sungkem

hamarikelu, yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “saya

menyembah sujud dengan sepenuh hati”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada ketulusan seorang umat untuk mengakui dan mengikuti secara total sosok Tuhan seperti yang sudah digambarkan pada bagian mantra (28b) hingga

(28d). Pada mantra bagian (28f) dituliskan Hangluhuraken paduka, yang dapat

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “meluhurkan Engkau”. Frasa ini memiliki referen yang hampir sama seperti pada bagian (28e), yaitu mengacu pada tindakan seorang umat yang mengakui keluhuran sosok Tuhan yang disebutkan pada bagian mantra (28b) hingga (28d).

Sedikit berbeda dengan bagian-bagian mantra pada sebelumnya, bagian

mantra (28g) yang berisi namung paduka ingkang kawula sembah, yang dapat


(55)

sembah”, tidak mengacu pada sosok Tuhan pada awal mantra. Meskipun demikian frasa bagian (28g) tetap memiliki referen karena mengacu pada tindakan seorang umat yang hanya menyembah satu-satunya sosok Tuhan yang disebutkan pada bagian mantra (28h).Sedangkan pada bagian mantra (28h), dituliskan

hinggih Sang Hyang Widhi.Frasa ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia sebagai “yaitu Tuhan Yang Maha Esa”.Bagian mantra ini kurang lebih merupakan pengulangan dari bagian (28b), yang memiliki referen yang mengacu pada sosok Tuhan yang memiliki beragam kemampuan, salah satunya adalah kemampuannya sebagai sosok yang maha esa.

Melihat lebih jauh ke dalam mantra pertama pada rangkaian mantra vertikal, dapat dipahami bahwa sesungguhnya mantra ini secara sederhana menggambarkan betapa seorang manusia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan mengakui kebesaran Tuhan.Selain makna di balik mantra pertama dalam rangkaian mantra vertikal, mantra pertama ini juga memperlihatkan suatu pola penulisan yang menarik. Yaitu cara penulis mantra meletakkan subjek utama mantra (Tuhan) di awal, kemudian menjabarkan kebesaran Tuhan, maupun peran manusia pada Tuhan, dan di akhir kemudian diberikan penekanan ulang pada sosok Tuhan seperti yang ditekankan pada awal mantra.

3.2.1.2 Mantra Vertikal Kedua “Manifestasi Tuhan pada Alam”

Mantra vertikal kedua adalah mantra yang menggambarkan rasa syukur pada manifestasi Tuhan di dunia.Manifestasi-manifestasi Tuhan dalam rangkaian mantra Hindu Jawa banyak digambarkan sebagai sesosok dewa.Dalam mantra


(56)

kedua ini, digambarkan enam sosok dewa, yang sesungguhnya adalah enam berkat Tuhan yang diberikan kepada manusia melalui alam. Dalam membaca mantra ini kedua telapak tangan umat disatukan di depan hidung.

(29)

(a) Hong

(b) Sang Hyang Surya

(c) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(d) Haparing cahya dhumateng sadaya gesang

(e) Sang Hyang Bagaskara

(f) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(g) Haparing tumuwuh dhumateng sadaya gesang

(h) Sang Hyang Bagaspati

(i) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(j) Haparing lestari dhumateng sadaya gesang

(k) Sang Hyang Jagad

(l) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(m) Haparing dumadosing wujud gesang

(n) Sang Hyang Sitoresmi

(o) Kuasaning Sang Hyang Widhi

(p) Haparing cahya daya katresnan dhumateng sadaya gesang

(q) Sang Hyang Kartika

(r) Kuasaning Sang Hyang Widhi


(57)

Mantra pembuka dalam rangkaian mantra vertikal kedua dibuka dengan

kata Hong, seperti pada mantra (29a).Kata Hong adalah sebuah kata referensial

karena kata Hong memiliki referen yang mengacu pada suatu situasi yang kosong,

hening, tetapi penuh dengan isi.Yang dimaksud dengan kosong tetapi penuh isi

adalah situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Penggunaan kata Hong di

awal juga berfungsi sebagai pengantar bagi umat untuk mencapai tahap kosong yang penuh isi tersebut.

Pada mantra (29b) dituliskan Sang Hyang Surya yang memiliki referen

yang mengacu pada manifestasi Tuhan yang berwujud sebagai Dewa Surya.Sosok Dewa Surya sebagai manifestasi Tuhan dijelaskan pada bagian mantra (29c) yang

berisi Kuasaning Sang Hyang Widhi.Frasa ini memiliki referen yang mengacu

pada Dewa Surya sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada bagian (29d), dijelaskan wujud nyata dari manifestasi Tuhan yang disebut sebagai

Dewa Surya, yaitu haparing cahya dhumateng sadaya gesang, yang bisa

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “memberi cahaya kepada seluruh kehidupan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu kepada Dewa Surya yang juga merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.Secara utuh paragraf pertama pada mantra ini mendeskripsikan berkat Tuhan yang telah diberikan kepada manusia melalui manifestasinya yaitu Dewa Surya yang secara langsung telah memberi cahaya kepada seluruh kehidupan di bumi.

Pada paragraf berikutnya yaitu bagian (29e), dituliskan manifestasi Tuhan

yang kedua, yaitu Sang Hyang Bagaskara.Frasa pertama dalam paragraf kedua ini


(58)

Bagaskara sebagai manifestasi Tuhan dijelaskan pada bagian mantra (29f) yang

berisi Kuasaning Sang Hyang Widhi.Frasa ini memiliki referen yang mengacu

pada Dewa Bagaskara sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada bagian (29g), dijelaskan wujud nyata dari manifestasi Tuhan yang disebut

sebagai Dewa Bagaskara, yaitu haparing tumuwuh dhumateng sadaya gesang,

yang bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “memberi pertumbuhan kepada seluruh kehidupan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu kepada Dewa Bagaskara yang juga merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.Secara utuh paragraf kedua pada mantra ini mendeskripsikan berkat Tuhan yang telah diberikan kepada manusia melalui manifestasinya yaitu Dewa Bagaskara yang secara langsung telah memberikan pertumbuhan kepada seluruh kehidupan di bumi.

Pada paragraf ketiga frasa pertama (29h), dituliskan manifestasi Tuhan

yang ketiga, yaitu Sang Hyang Bagaspati.Frasa pertama dalam paragraf ketiga ini

memiliki referen yang mengacu kepada sosok Dewa Bagaspati. Sosok Dewa Bagaspati sebagai manifestasi Tuhan dijelaskan pada bagian mantra (29i) yang

berisi Kuasaning Sang Hyang Widhi.Frasa ini memiliki referen yang mengacu

pada Dewa Bagaspati sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada bagian (29j), dijelaskan wujud nyata dari manifestasi Tuhan yang disebut sebagai

Dewa Bagaspati, yaitu haparing lestari dhumateng sadaya gesang, yang bisa

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “memberi kelestarian kepada seluruh kehidupan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu kepada Dewa Bagaspati yang juga merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.Secara utuh


(59)

paragraf ketiga pada mantra ini mendeskripsikan berkat Tuhan yang telah diberikan kepada manusia melalui manifestasinya yaitu Dewa Bagaspati yang secara langsung telah memberikan kelestarian kepada seluruh kehidupan di bumi.

Pada paragraf keempat frasa pertama (29k), dituliskan manifestasi Tuhan

yang keempat, yaitu Sang Hyang Jagad.Frasa pertama dalam paragraf keempat ini

memiliki referen yang mengacu kepada sosok Dewa Jagad. Sosok Dewa Jagad sebagai manifestasi Tuhan dijelaskan pada bagian mantra (29l) yang berisi

Kuasaning Sang Hyang Widhi.Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada

Dewa Jagad sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada bagian (29m), dijelaskan wujud nyata dari manifestasi Tuhan yang disebut sebagai Dewa

Jagad, yaitu haparing dumadosing wujud gesang, yang bisa diterjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia sebagai “mewujudkan terwujudnya seluruh kehidupan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu kepada Dewa Jagad yang juga merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.Secara utuh paragraf keempat pada mantra ini mendeskripsikan berkat Tuhan yang telah diberikan kepada manusia melalui manifestasinya yaitu Dewa Jagad yang secara langsung telah mewujudkan seluruh kehidupan di bumi.

Pada paragraf kelima frasa pertama (29n), dituliskan manifestasi Tuhan

yang kelima, yaitu Sang Hyang Sitoresmi.Frasa pertama dalam paragraf kelima ini

memiliki referen yang mengacu kepada sosok Dewa Sitoresmi. Sosok Dewa Sitoresmi sebagai manifestasi Tuhan dijelaskan pada bagian mantra (29o) yang

berisi Kuasaning Sang Hyang Widhi.Frasa ini memiliki referen yang mengacu


(60)

bagian (29p), dijelaskan wujud nyata dari manifestasi Tuhan yang disebut sebagai

Dewa Sitoresmi , yaitu haparing cahya daya katresnan dhumateng sadaya

gesang, yang bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “memberi

cahaya kekuatan cinta kasih kepada seluruh kehidupan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu kepada Dewa Sitoresmi yang juga merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.Secara utuh paragraf kelima pada mantra ini mendeskripsikan berkat Tuhan yang telah diberikan kepada manusia melalui manifestasinya yaitu Dewa Sitoresmi yang secara langsung telah memberikan kekuatan agar seluruh kehidupan di bumi dapat saling mencintai dan mengasihi.

Pada frasa pertama (29q), paragraf keenam, yang juga merupakan paragraf

terakhir, dituliskan manifestasi Tuhan yang keenam yaitu Sang Hyang

Kartika.Frasa pertama dalam paragraf keenam ini memiliki referen yang mengacu

kepada sosok Dewa Kartika. Sosok Dewa Kartika sebagai manifestasi Tuhan

dijelaskan pada bagian mantra (29r) yang berisi Kuasaning Sang Hyang

Widhi.Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada Dewa Kartika sebagai

manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada bagian (29s), dijelaskan

wujud nyata dari manifestasi Tuhan yang disebut sebagai Kartika, yaitu haparing

sifat watak dhumateng sadaya gesang yang bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia sebagai “memberi sifat watak kepada seluruh kehidupan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu kepada Dewa Kartika yang juga merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.Secara utuh paragraf keenam pada mantra ini mendeskripsikan berkat Tuhan yang telah diberikan kepada manusia melalui manifestasinya yaitu Dewa Kartika yang secara langsung telah memberikan sifat


(61)

watak kepada seluruh kehidupan di bumi.

Keseluruhan mantra ini merupakan pengingat sekaligus rasa syukur pada berkat-berkat tuhan yang telah diberikan pada manusia di dunia dalam bentuk manifestasi-manifestasinya.Melalui mantra ini, seorang manusia diharapkan mampu menyadari betapa dirinya dikelilingi oleh berkat Tuhan.Melalui mantra ini umat juga disadarkan untuk menghargai alam di sekitarnya, karena alam ini tidaklah jauh berbeda dari seorang manusia.Alam di sekitar manusia juga merupakan buah dari manifestasi Tuhan.

3.2.1.3 Mantra Vertikal Ketiga “Manusia Sebagai Dewa”

Mantra vertikal ketiga adalah mantra yang menggambarkan rasa syukur seorang manusia atas diberikannya kehidupan/roh oleh Tuhan.Karena masyarakat Hindu Jawa mempercayai bahwa roh manusia adalah salah satu manifestasi Tuhan / dewa yang paling sempurna. Dalam mantra ini manifestasi Tuhan yang

berbentuk roh manusia disebutkan sebagai dewa kang linuwih, dalam Bahasa

Indonesia dewa kang linuwih dapat diterjemahkan sebagai dewa yang paling

unggul. Manusia disebut sebagai dewa kang linuwih karena keberadaan seorang

manusia merupakan akumulasi dari keberadaan berbagai berkat Tuhan/Dewa. Dalam membaca mantra ini kedua telapak tangan umat disatukan di depan dada.

(30)

(a) Hong

(b) Sukma sejati dewa kang linuwih

(c) Hinggih Sang Guru Sejati


(62)

(e) Haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha keslametan

Sama seperti mantra pada rangkaian mantra kedalaman lainnya, mantra

pembuka dalam rangkaian mantra vertikal ketiga dibuka dengan kata Hong,

seperti pada mantra (30a).Kata Hong adalah sebuah kata referensial karena kata

Hong memiliki referen yang mengacu pada suatu situasi yang kosong, hening,

tetapi penuh dengan isi.Yang dimaksud dengan kosong tetapi penuh isi adalah

situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Penggunaan kata Hong di awal

juga berfungsi sebagai pengantar bagi umat untuk mencapai tahap kosong yang penuh isi tersebut.

Baris kedua (30b) dalam mantra vertikal terakhir adalah sukma sejati dewa

kang linuwih yang dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “sukma

sejati dewa yang paling utama”.Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada roh

manusia yang disebut sebagai sukma sejati yang memang dianggap sebagai

sebuah manifestasi Tuhan yang paling sempurna.Pada baris kedua (30c),

dituliskan hinggih Sang Guru Sejati.Frasa ini dapat diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia sebagai “Yaitu guru sejati”.Frasa Sang Guru Sejati memiliki referen wujud roh manusia yang telah menemukan kesucian diri maupun keseimbangan antara duniawi dan surgawi yang mengacu pada baris sebelumnya

(30b). Secara keseluruhan baris (30b) dan (30c) berarti suksma sejati adalah

sungguh-sungguh dewa yang paling utama ketika sebuah suksma sejati telah

menemukan keseimbangan dan mencapai titik pertemuan dengan Sang Guru Sejati.


(63)

(30e). Pada baris (30d) dituliskan dados warananing Sang Hyang Widhi, yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “menjadi sarana Tuhan

Yang Maha Esa”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada sosok suksma

sejati yang telah menemukan Sang Guru Sejati (seperti yang dijelaskan pada baris

sebelumnya) sehingga dapat menjadi sarana dari Tuhan.Sedangkan pada baris

(30e) dituliskan haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha keslametan yang

dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “menjadi tuntunan kepada cahaya dan keselamatan”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada baris-baris sebelumnya, sehingga karena menjadi sarana Tuhan Yang Maha Esa,

suksma sejati dewa kang linuwih yang telah menemukan Sang Guru Sejati dapat

menjadi tuntunan kepada jalan hidup yang lebih baik.

Secara garis besar mantra vertikal yang terakhir ini menjelaskan bahwa di dalam setiap diri manusia terdapat rohyang merupakan akumulasi dari segala manifestasi Tuhan di dunia, sehingga manusia merupakan wujud kehidupan yang paling unggul.Dengan kelebihan ini, manusia diharapkan dapat mencari keseimbangan dalam kehidupan dan menemukan Sang Guru Sejati. Karena setelah menemukan Sang Guru Sejati kemudian seorang manusia dapat sungguh-sungguh menjadi sarana Tuhan dan menemukan kebahagiaan maupun keselamatan.


(1)

Pepadhang

Kata yang menggambarkan sebuah situasi yang terang oleh suatu sumber cahaya.Kata dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “cahaya”.

Purba

Kata dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “mengetahui”.Kata ini digunakan untuk mewakili sifat Tuhan yang maha tahu.

S

Sabdo Palon

Suatu sosok dalam filosofi Hindu Jawa yang menggambarkan sel sperma pria. Sadaya

Sebuah kata dalam Bahasa Jawa yang mengacu pada suatu situasi di mana seluruh hal yang diacu terlibat / terpilih.Kata dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “segalanya”.

Saha

Kata sambung dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “dan”.

Sang Hyang Bagaskara

Sosok Tuhan sebagai Dewa Bagaskara yang memberkati makhluk hidup dengan kemampuan untuk bertumbuh.


(2)

Sang Hyang Bagaspati

Sosok Tuhan sebagai Dewa Bagaspati yang memberkati makhluk hidup dengan memberikan kelestarian.

Sang Hyang Jagad

Sosok Tuhan sebagai Dewa Jagad yang memberkati makhluk hidup dengan memberikan jagad raya sebagai wadah untuk hidup.

Sang Hyang Kartika

Sosok Tuhan sebagai Dewa Kartika yang memberkati makhluk hidup dengan memberikan sifat dan watak.

Sang Hyang Murbeng Dumadi

Sosok Tuhan sebagai pencipta segala hal yang terdapat di alam semesta. Sang Hyang Sitoresmi

Sosok Tuhan sebagai Dewa Sitoresmi yang memberkati makhluk hidup dengan memberikan kemampuan untuk mengasihi.

Sang Hyang Surya

Sosok Tuhan sebagai matahari yang memberikan cahaya dan kehangatan pada seluruh makhluk hidup di dunia.

Sang Hyang Wening

Tingkatan spiritual bagi seorang manusia yang telah memahami dan mendalami berbagai unsur di dalam tubuh manusia secara spiritual.


(3)

Sosok Tuhan sebagai sumber segala cahaya-cahaya manifestasi Tuhan. Sarta

Kata dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “serta”.

Sedulur

Seorang anggota keluarga.Saudara.Memiliki hubungan darah. Teman yang sudah sangat dekat sehingga disebut sebagai saudara

Seje

Menandakan suatu hal yang berlainan. Tidak sama. Sidhem

Kata dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “damai”.

Suksma

Istilah dalam Hindu Jawa yang berarti roh manusia. Suksma Sejati

Sebuah tahap dalam mengembangkan spiritualitas pribadi di mana seorang individu telah menemukan keseimbangan tribawana dan mampu menguasai keempat hawa nafsu baik maupun buruk.

Sungkem

Sebuah kata dalam Bahasa Jawa yang menggambarkan tindakan yang dilakukan untuk memohon doa restu atau ekspresi rasa hormat pada orang yang lebih tua atau sosok yang lebih agung. Tindakan ini biasa dilakukan dengan menundukkan kepala


(4)

ke tangan orang yang lebih tua. T

Tirah

Suatu keadaan yang lebih dari cukup. Kata tirah merupakan bentuk lain dari kata dalam Bahasa Jawa turah.

Tumuwuh

Sebuah kata dalam Bahasa Jawa yang menggambarkan suatu hal yang bertumbuh. Tribawana

Tiga dunia yang meliputi, pribadi seorang manusia, alam, dan Tuhan. U

Uwat

Suatu wadah yang digunakan untuk menampung suatu benda. W

Warananing

Sebuah benda atau makhluk hidup yang dijadikan sebuah media untuk menyampaikan suatu hal.Kata dalam Bahasa Jawa yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “sarana”.

Wetan

Arah mata angin Timur. Wuragil


(5)

BIOGRAFI

Desmond Wahyu Sekarbatu Anabrang lahir di New South Wales, Australia, pada tanggal 17 Desember 1990. Kedua orang tua Desmond merupakan seniman batik yang menetap di Yogyakarta. Hidup dengan latar belakang kesenian yang kental mengarahkan Desmond untuk gemar menulis puisi, dan lagu. Karena kegemarannya ini, setelah menamatkan masa studinya di SMA Laboratorium Kr. Satya Wacana Salatiga, Desmond memutuskan untuk melanjutkan masa studinya di jurusan Sastra Indonesia, Sanata Dharma, Yogyakarta.

Selama masa studinya di Sastra Indonesia, Desmond sangat aktif dengan beragam kegiatan prodi, Bengkel Sastra. Selain sebagai mahasiswa yang aktif dalam kegiatan program studi, Desmond juga banyak terlibat dalam kegiatan kebudayaan di Rumah Budaya Babaran Segaragunung, dan program pertukaran mahasiswa oleh Erasmus Mundus. Setelah merasa puas dengan beragam kegiatan yang dilalui semasa studi, akhirnya penulis menyelesaikan studinya dengan menyusun skripsi berjudul “Struktur, Makna, dan Fungsi Mantra Hindu Jawa”, dan lulus pada bulan Juli 2015.


(6)