Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, persaingan antar perusahaan semakin ketat. Kualitas hasil dari sebuah perusahaan, turut berperan dalam menentukan bertahan atau tidaknya perusahaan dalam suatu kompetisi yang terjadi di dalam dunia bisnis. Perusahaan merupakan wadah interaksi dari berbagai komponen, seperti sumber daya manusia, sumber daya finansial, sumber daya fisik, dan sumber daya informasi. Interaksi- interaksi tersebut tentunya diwujudkan guna mencapai tujuan perusahaan. Di sebagian besar organisasi, kinerja para karyawan individual merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan organisasional. Dengan kinerja yang tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kinerja dan kemajuan perusahaan. Kebutuhan-kebutuhan tenaga kerja terampil di dalam berbagai bidang sudah merupakan tuntutan dunia global yang tidak dapat ditunda. Terlebih dimasa krisis yang melanda, maka seharusnya kesadaran bahwa adanya tuntutan untuk membuat perencanaan pengembangan SDM yang berkualitas Rivai, 2005. Selain karyawan dalam organisasi dapat menjadi keunggulan bersaing, mereka juga bisa menjadi liabilitas atau penghambat Robert dan John, 2009. Dengan demikian, karyawan sebagai sumber yang produktif dan terbina dapat diarahkan sebagai tenaga kerja yang efektif dan efisien. Perusahaan dapat dikatakan berhasil dilihat dari sejauhmana perusahaan tersebut mampu menghasilkan produktivitas tinggi, dimana modal utama dari keberhasilan sebuah perusahaan dalam hal produktivitas ialah sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan, pertama, besarnya biaya yang dikorbankan untuk tenaga kerja sebagai bagian dari biaya yang terbesar untuk pengadaan produk atau jasa: kedua, masukan pada sumber daya manusia lebih mudah dihitung daripada masukan-masukan lain, seperti modal. Menghitung berapa jumlah karyawan lepas dari masalah perbedaan keterampilan dan intensitas kerja dan jumlah jam kerja mereka jauh lebih mudah daripada mencari informasi mengenai faktor-faktor produksi lainnya. Disamping itu, perlu pula diingat bahwa kemajuan teknologi yang mempermudah cara pembuatan barang berasal dari perkembangan faktor tenaga kerja lebih dari faktor lain manapun, maka kedudukan tenaga kerja sebagai unsur pengukur produktivitas nampaknya semakin sulit digoyahkan. Rozenweig dan Fremon, 1991. Kinerja individu adalah kesediaan seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya. Rivai, 2005 . Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki Helfert dalam Rivai, 2009. Rivai 2005 menyebutkan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan yang dibuat pekerja, tujuan yang khusus, komitmen, umpan balik, situasi, pembatasan, perhatian pada setiap kegiatan, usaha, ketekunan, ketaatan, kesediaan untuk berkorban dan memiliki standar yang jelas. Muafi 2003 dalam jurnalnya menuliskan bahwa Abraham Maslow mengakui, untuk mencapai aktualisasi diri adalah dengan cara memuaskan empat kebutuhan yang berada pada tingkatan yang ada di bawahnya. Orang yang mengaktualisasikan diri lebih didorong oleh metamotivasi metamotivation. Nampaknya ada kontribusi yang besar tentang pentingnya spiritual seseorang yang berpengaruh pada psikis seseorang dalam bekerja, di mana secara signifikan akan berpengaruh dengan peningkatan kinerjanya McCormick., Donald W, 1994; Strawbridge, William J. et al, 1997; Mitroff, Ian I., Elizabeth A Denton, 1999; Lewis, Jefrey S., Gary D. Geroy, 2000. Pada kenyataannya, secara umum karyawan terus didorong oleh kebutuhan- kebutuhan universal yang tersusun mulai tingkat yang paling bawah sampai dengan yang tertinggi dan biasanya cenderung mengabaikan kebutuhan spiritual dalam hidupnya. Masalahnya adalah karyawan sebagai individu cenderung selalui ingin melayani kepentingannya sendiri dan bila mereka tidak berbuat demikian maka perilaku mereka dapat dikatakan tidak kondusif bagi efisiensi yang optimal dalam penggunaan sumber daya Chapra, 2000. Negara-negara Eropa yang demokratis, aman dan makmur, juga Amerika serikat yang menguasai ekonomi dunia, merupakan negara-negara yang selalu mengalami kegoncangan jiwa. Hal ini disebabkan karena mereka lebih menekankan pada dimensi luar tingkah laku manusia dan mengabaikan dimensi spiritualitas Fromm, 1960 dalam Mursi, 1997; Najati, 1982; Lewis, Jefrey S., Gary D. Geroy, 2000. Dalam konteks manusia sebagai subjek hidup, terkait dengan kinerja karyawan dalam sebuah perusahaan, bahwa dalam proses pencapaian tujuan perusahaan, manusia menjadi elemen pokok dalam aktivitas pencapaian tujuan tersebut. Kecanggihan mesin-mesin teknologi mutakhir dalam sebuah perusahaan akan menjadi sia – sia jika manusianya tidak memiliki sikap mental dalam melaksanakan proses produksi. Manusia sebagai komponen pokok dalam aktivitas produksi tidak pernah diberikan porsi seimbang, sehingga dalam melakukan proses kerjanya, karyawan merasa tenang, nyaman dan aman, artinya memiliki sikap mental yang baik dalam berproduksi, yaitu memiliki, tanggung jawab kerja, sebagai wujud sense of belonging dan sense of responsibility terhadap perusahaan dimana dia bekerja. Bekerja merupakan kegiatan manusia untuk mengubah keadaan tertentu dari suatu alam lingkungan. Perubahan itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan, mempertahankan hidup, dan memelihara hidup yang pada dasarnya semuanya untuk memenuhi tujuan hidup. Tujuan hidup melalui bekerja meliputi tujuan yang khusus dan pengelompokkan kerja yang menimbulkan rasa berprestasi sense of accomplishment dalam diri individu pekerja tersebut sehingga melalui bekerja dan pertumbuhan pengalaman, seseorang akan memperoleh kemajuan dalam hidupnya. Dalam proses bekerja itulah, seseorang dapat dilihat bagaimana kinerjanya Rivai, 2005. Dalam kaitannya dengan kepentingan perusahaan, faktor manusia karyawan sebagai salah satu komponen produksi menjadi sentral dalam aktivitas produksi. Perusahaan sebagai sebuah organisasi yang dilengkapi dengan perangkat – perangkat hukum peraturan berupaya mengolah dan mengelola manusia ini dalam rangka meningkatkan kinerja karyawan. Sebuah organisasi perusahaan tidak dapat lepas dari sistem nilai, maka perusahaan harus membangun sistem nilai ini, dalam kerangka membangun perilaku karyawan secara mendasar, bukan sekedar reka budaya yang terkait dengan logika dan cara pandang rasionalitas semata, dan hanya menggunakan parameter untung rugi, tetapi diperlukan sistem nilai yang sangat terkait dengan nilai – nilai keyakinan atas sebuah kebenaran agama dan kepercayaan. Dalam budaya kerja, potensi keyakinan ini atau yang disebut sistem nilai ini, dapat menjadi pendorong yang paling kuat terhadap segala aktivitas hidup, termasuk bekerja. Sistem nilai sebuah perusahaan yang sudah baik, akan melahirkan prilaku atau sikap mental karyawan yang baik, sikap mental ini akan nampak dalam proses interaksi produksi karyawan yang satu dengan karyawan lainnya, misalnya, seorang karyawan yang mampu memisahkan permasalahan pribadi dan tugas kerja, kemampuan menghargai sesama karyawan, kemampuan bersikap respect pada atasan, kemampuan menahan diri dari masalah yang dihadapi dalam proses produksi, kemampuan menghargai kelebihan rekan kerja, kemampuan sadar atas kelemahan diri sendiri dan sikap sosial lainnya yang terkait secara emosional. Swinton and Pattison dalam Gilbert 2007 mendefinisikan bahwa Spiritualitas diartikan sebagai aspek penting dalam eksistensi manusia yang berhubungan dengan struktur yang memberikan makna secara signifikan dan mengarahkan hidup seseorang dan dapat membantu seseorang menghadapi perubahan dalam hidup. Hal ini dikaitkan dengan pencarian makna, tujuan, pengetahuan diri, hubungan yang bermakna, cinta dan kesadaran akan nilai-nilai suci. Ini mungkin atau tidak mungkin berkaitan dengan sistem agama secara khusus. Danah Zohar dan Ian Marshall 2005 mengatakan bahwa manusia, organisasi, dan budaya yang memiliki atau menerapkan unsur spiritualitas akan lebih lestari, karena mereka mengembangkan sifat-sifat yang mencakup visi yang lebih luas dan berbasis nilai, kepedulian dan empati global, pemikiran jangka-panjang, spontanitas yang berarti juga fleksibilitas, kesanggupan untuk bertindak berdasarkan keyakinan- keyakinan terdalam, kemampuan untuk berkembang di tengah-tengah keragaman, dan kesanggupan untuk belajar dan mengambil segi positif dari kemalangan. Dalam semangat yang serupa dengan spiritualitas, maka hal tersebut yang digunakan untuk merengkuh makna, nilai, dan tujuan terdalam. Dalam sebuah jurnal ” Journal of Management Inquiry” 2007; Driscoll and Wiebe tentang “Technical Spirituality at Work: Jacques Ellul on Workplace Spirituality” dituliskan bahwa dalam studi yang telah dilakukan tentang literatur spiritualitas ditemukan bahwa dari sebagian besar hasil penelitiannya dapat ditemukan atau di ambil hipotesa tentang hubungan antara spiritualitas dengan kinerja organisasi. Dent Higgins, 2005. Beberapa penelitian ini juga mempertimbangkan bahwa spiritualitas dapat mempengaruhi profitabilitas dan nilai shareholders. e.g., Milliman, Czaplewski, Ferguson, 2003; Thompson, 2000. Oleh karena itulah, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara Spiritualitas dengan kinerja karyawan. Asumsi peneliti, dengan semakin menanamkan nilai-nilai spiritualitas dalam bekerja, maka karyawan individu tersebut akan memiliki kinerja yang lebih baik. Begitupun sebaliknya, jika karyawan individu tidak menanamkan nilai-nilai spiritualitas dalam dirinya ketika bekerja, maka hal tersebut mengurangi dirinya untuk menjadi pekerja dengan reputasi kinerja yang baik. 1.2.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah Spiritualitas adalah aspek penting berupa semangat atau energi dalam diri seseorang yang dapat memberikan makna secara signifikan dan mengarahkan hidup seseorang untuk mencapai eksistensi diri. Kinerja adalah kemampuan seseorang dalam mencapai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

1.2.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara spiritualitas Meaning, connected, transcendence, value, becoming dengan kinerja karyawan PT. Heriromadiali?”. 1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara spiritualitas Meaning, connected, transcendence, value, becomingdengan kinerja karyawan PT. Heriromadiali.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khazanah psikologi pada umumnya dan pada bidang kajian psikologi industri organisasi pada khususnya.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini memberikan atau berperan sebagai salah satu solusi yang bisa diterapkan disebuah perusahaan, sehingga perusahaan tersebut dapat mengupayakan usaha-usaha baru untuk lebih meningkatkan kinerja karyawan di perusahaan organisasi.

1.4. Sistematika Penulisan