Pasca Konsili Vatikan II

2. Pasca Konsili Vatikan II

Sikap Gereja terhadap agama-agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari apa yang dirumuskan dalam Nostra Aetate seperti yang terungkap dalam NA 2: Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama. Gereja memandang dengan penghargaan yang tulus cara hidup dan cara bertindak, peraturan dan ajaran agama-agama itu, yang biarpun dalam hal banyak berbeda dengan apa yang dipahami dan diajarkan Gereja, toh tidak jarang memantulkan cahaya Kebenaran, yang menerangi semua manusia.” 43 Penilaian teologis mengenai tradisi agama-agama berangkat dari prinsip bahwa semua manusia diselamatkan oleh dan dalam Kristus. Berikut adalah beberapa ayat yang berbicara mengenai hal tersebut: Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana keselamatan Allah itu sudah mulai sejak awal penciptaan. Sebab penciptaan sendiri merupakan pencetusan awal keselamatan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, janji keselamatan Allah kepada semua manusia diwartakan. Dan janji keselamatan Allah itu terpenuhi dalam diri Kristus. Allah Putra yang menjelma menjadi manusia. Yesus Kristuslah Sang Penyelamat satu-satunya yang dengan wafat di salib menuntaskan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Yesus Kristus mati di salib sebagai tebusan bagi semua orang. 1 Tim 2:3-7 43 Lih Riyanto, Dialog Agama, h. 83, dan Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana Jakarta: Yayasan Obor, 1993, h. 310, dan Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama Ende: Arnoldus Ende Flores, 1966, h. 32. “Maka Kristus adalah Penebus dan Penyelamat bagi semua orang.” Kis 2:38; 4:12; 10:43 Dalam Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal terbitan Lembaga Alkitab Indonesia 44 Gereja memandang setiap tradisi-tradisi keagamaan merupakan ungkapan hasil rahmat Allah. Sebagaimana yang diajarkan oleh Bapa Gereja, seperti Ireneus dan Clemens dari Alexandria yang meyakini bahwa Allah juga menyatakan diri-Nya di luar kekeristenan. Namun pernyataan Allah tersebut tidak sempurna seperti dalam kesempurnaan iman Kristen. Sebab Kristus adalah pemenuhan definitif Wahyu Allah, maka tradisi-tradisi keagamaan memiliki keterarahan kepada Kristus. disebutkan bahwa “…Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia.” 1 Tim 2: 5-6 dan dalam Kisah Para Rasul pasal 4 ayat 12 yang menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, menurut penulis, adalah tanda bahwa sebenarnya Allah menginginkan semua manusia selamat melalui peran Kristus. Akan tetapi, tidak semua manusia mengenal Kristus sebagai penyelamat, sehingga Kasih Allah yang universal bertentangan dengan peran Yesus yang partikular. Hal tersebut memicu perdebatan di kalangan teolog Kristen. Inilah yang berusaha dijawab oleh Gereja Katolik Roma dengan teori “iman implisit” atau “Kristen Anonim” Karl Rahner. 45 44 Lih Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal, cet ke-3 Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2008, h. 319. 45 Riyanto, Dialog Agama, h. 84-85. Inilah yang disebut oleh Karl Rahner sebagai Kristen Anonim atau dalam istilah Gereja “Iman implisit”, yaitu iman yang disatu pihak perlu bagi keselamatan ̶ sejauh memenuhi syarat yang dituntut pembenaran dan keselamatan kekal, yaitu pengharapan dan cinta kasih kepada Tuhan dan manusia ̶ tetapi dilain pihak iman itu tercetus tanpa hubungan eksplisit dan sadar atas imannya kepada Kristus. 46 Istilah imam implisit atau Kristen anonin tidak tertulis dalam dokumen-dokumen konsili Vatikan II, akan tetapi istilah tersebut tersirat dalam beberapa dokumennya, antara lain: Lumen Gentium, seterusnya disingkat menjadi LG konstitusi dogmatik tentang Gereja 13, mengenai hubungan antara Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi seluruh manusia dengan agama-agama lain pada umumnya, LG 16, tentang keterarahan mereka yang belum menerima Injil kepada Umat Allah yang baru dalam Kristus sebagai kepalanya, LG 17, berisi penetapan Kristus sebagai dasar penyelamatan seluruh dunia oleh Allah di satu pihak dan semakin tidak sedikitbanyak manusia yang belum mengenal Kristus di pihak lain, Gaudium et Spes konstitusi pastoral tentang Gereja dalam dunia modern 22, tentang partisipasi semua manusia dalam misteri Paskah Kristus, dan Nostra Aetate deklarasi hubungan Gereja dengan agama bukan Kristen 2 yang berisi Dengan kata lain iman implisit adalah kesaksian atas Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa pengakuan Kristus sebagai juru selamat. 46 Riyanto, Dialog Agama, h. 86-87, Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, h. 30, dan Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h 39. mengenai nilai-nilai keselamatan yang hadir dalam tradisi-tradisi keagamaan lain. 47 Dengan demikian Gereja mengakui bahwa iman implisit atau Kristen anonim dapat menjadi syarat yang cukup untuk keselamatan. Sebab mereka yang bukan karena kesalahnnya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati yang tulus mencari Allah, serta karena terdorong oleh rahmat dengan perbuatan mereka berusaha memenuhi kehendak Allah yang dikenal melalui suara hatinya, mereka itu dapat memperoleh keselamtan abadi. Sungguh apa yang benar dan baik dari agama- agama lain dipandang oleh Gereja sebagai persiapan akan Injili. 48 Istilah “persiapan Injili” preparation Evangelica pertama kali dicetuskan oleh Eusebius dari Cesarea yang dimaksudkan sebagai paham mengenai apa-apa yang baik, benar, dan suci dari agama-agama lain. Persiapan Injili adalah ide-ide yang baik dan benar mengenai Allah, jiwa manusia serta kebenaran-kebenaran yang ditampilkan dalam berbagai ritual keagamaan. Persiapan Injili merangkum pengertian dan praktik hubungan antara Allah dengan manusia serta hubungan antara manusia yang dikatakan dapat menjadi persiapan yang tepat untuk wahyu Injili. Persiapan Injili juga mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sejarah manusia selalu ada dalam bimbingan Allah. Allah mendidik manusia dalam sejarahnya agar manusia siap menerima Wahyu Kristus. Agama-agama lain 47 Riyanto, Dialog Agama, h. 86. 48 Riyanto, Dialog Agama, h. 91. disebut sebagai persiapan akan Injili, bila sejauh agama tersebut mengajarkan ajaran-ajaran yang membuat para pemeluknya terbuka akan kebenaran Injil. 49 Oleh karena itu, Gereja mengajak umatnya agar melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama lain, memelihara dan mengembangkan hal-hal yang baik, spiritual dan moral, maupun nilai-nilai sosio-kultural yang terdapat di kalangan orang-orang tersebut. Gereja pun berusaha membina dan memelihara hubungan baik dengan kepercayaan- kepercayaan lain demi kepentingan seluruh umat manusia, mengutuk keras tindakan diskriminasi kepada siapa pun, karena hal itu bertentangan dengan semangat Kristus. 50 Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II lebih terbuka, dialogis dan telah benar-benar menghilangkan sikap eksklusif mereka. Hal tersebut ditandai dengan dikeluarkannya dokumen Nostra Aetate yang berisi sikap Gereja terhadap agama non-Kristen. Jika diperhatiakn, sikap toleran Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari sebelumnya . Kristus merupakan kepenuhan dari agama -agama lain , dengan kata lain , agama-agama yang bukan Kristen ̶ walaupun eksistensinya diakui oleh Gereja ̶ memerlukan Kristus sebagai jalan Final menuju keselamatan, 49 Riyanto, Dialog Agama, h. 92. 50 Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama, h. 32-37. meskipun mereka tidak menyadari kehadiran Kristus sebagai iman implisit maupun sebagai Kristen anonim. 34

BAB III PAUL F. KNITTER

A. Riwayat Hidupnya

Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago. 1 Pada usianya yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada tahun 1958 setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua tahun novisit, Knitter resmi menjadi anggota “Divine Word Missionaries” SDV, singkatan dari Societas Verbi Divini sebagai seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari kehidupannya yang dipengaruhi oleh keberadaan agama lain terutama setelah ia mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses mencari titik persamaan agama Kristen dengan agama lain 2 sebagai langkah awal misi pertobatan. Setelah meraih gelar sarjana muda filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962, ia mulai merasakan bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya. 3 Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma, pada 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober 1962. Pada 1965 Karl Rahner menjadi guru besar tamu di Universitas Gregorian 1 Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi Union Theological Seminary New York, http:www.utsnyc.eduPage.aspx?pid=381 2 Bagi Knitter adaptasi missioner merupakan langkah awal untuk mengakui nilai-nilai positif dari agama-agama lain. Hal ini, pada perkembangan selanjutnya, sangat mempengaruhi perspektif teologisnya. 3 Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 4-6, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 29-31.