mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu, perlu reinterpretasi klaim kristologi tradisional akan keunikan Yesus.
Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya, absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru
bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satu-satunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan
penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan
mengembangkan kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi
juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang universal.
C. Konvergensi Agama-Agama
Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, bahwa rumusan teologi agama- agama Knitter berujung pada suatu dialog antar-agama. Untuk itu, Knitter
mengajukan sebuah pendekatan atau konteks bersama yang dapat mempertemukan beragam tradisi agama-agama, namun tradisi-tradisi tersebut tetap dalam
kepelbagaiannya masing-masing. Bagi Knitter, ada semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang
sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, suatu konteks
bersama yang di dalamnya terdapat berbagai masalah yang kompleks. Konteks ini membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat bersama-sama
memahami dan memberi makna satu sama lain. Namun mengusulkan Allah, dan bukan gereja atau Kristus, sebagai basis bersama, secara implisit, para teolog tidak
sadar tetapi masih imperialistis memaksakan pemahaman-pemahaman tertentu tentang yang ilahi atau Yang Tertinggi, kepada orang-orang percaya lain. Seperti
kebanyakan umat Buddhis
74
, mereka mungkin malah tidak ingin berbicara tentang Allah, atau mereka mengalami Yang Tertinggi sebagai sunyata, yang sama sekali
tidak atau sedikit sekali berhubungan dengan apa yang orang Kristen alami dan disebut sebagai Allah.
75
Jadi konteks bersama tersebut tidak boleh berawal dan berbasis dari sebuah dasar bersama commond ground yang dimiliki semua agama, seperti yang
diusulkan beberapa teolog, common essence A. Toynbee atau universal faith W.C. Smith, B. Lonergen atau mystical faith W. Stace, Th. Merton. F. Schuon.
Gagasan tersebut ditolak Knitter karena merupakan bentuk lain dari foundationalism atau objectivism. Apa yang sama dalam berbagai masalah ini maupun dalam konteks
74
Menurut penulis, maksud Knitter dengan memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak semua
agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global
bagi Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda, walaupun dengan respon yang tidak satu.
75
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 286.
yang dimaksudkan oleh Knitter
76
adalah pengalaman atas kenyataan penderitaan yang mengerikan, penderitaan yang menguras kehidupan dan membahayakan masa
depan umat manusia. Tetapi, penderitan bukan hanya meliputi manusia, melainkan semua makhluk lainnya termasuk bumi. Bagi para teolog pembebasan, konteks
bersama ini adalah pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi, artinya pengutamaan untuk bekerja dengan dan untuk para korban dunia ini.
77
Oleh karena keadaan yang memprihatinkan dari penderitaan-penderitaan dunia ini, ada sekelompok orang yang berusaha merumuskan suatu etika global yang
dapat dipakai sebagai dasar yang dapat menuntut sikap bersama untuk mengatasi semua krisis yang ada. Salah satunya adalah Hans Küng yang berpendapat bahwa
masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan
diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai tujuan itu.
Etika global semacam itu, yang diperlukan untuk melestarikan aksi global tidak bisa dirumuskan tanpa sumbangan agama. Dalam berbagai simbol dan naratif
yang sangat berbeda-beda, agama menawarkan kepada para pengikutnya suatu visi
76
Walaupun Knitter tidak setuju dengan “jembatan” filosofis-historis dan religius-mistik, tampaknya Knitter sejalan dengan para teolog model mutualitas yang menggunakan jembatan etis-
praktis sebagaimana yang akan terlihat dalam pembahasan selanjutnya.
77
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 288, Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 84, dan Joas Adiprasetya, Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F.
Knitter, h. 148.
tentang pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih baik. Keyakinan religius bahwa visi pengharapan ini
bisa terlaksana didorong dan dikuatkan oleh energi yang dimiliki agama untuk menjalankan keyakinan itu, menghimpun kita semua untuk tujuan itu, apa pun yang
terjadi. Inilah kontribusi dari visi dan energi yang dapat dan harus diberikan agama dalam merumuskan dan menindaklanjuti suatu etika global.
Usulan Küng ini, walaupun barangkali lebih kompleks dari yang diduganya, dan walaupun harus dilaksanakan dengan lebih berhati-hati dalam bentuk yang lebih
berbeda dari yang diusulkannya, merupakan pandangan yang akan diterima oleh lebih banyak orang dan bangsa-bangsa di dunia ini. Masyarakat membutuhkan bentuk-
bentuk kerjasama etis baru yang bisa dipakai untuk melaksanakan dialog dan konsensus etis yang baru, dan untuk inilah, semua agama – secara bersama-sama,
bukan sendiri-sendiri – memainkan peranan yang sangat penting.
78
Dengan kata lain, apabila agama-agama dunia dapat menyadari kemiskinan dan penindasan sebagai masalah bersama, apabila mereka dapat memiliki komitmen
bersama, yang diungkapkan dalam bentuk yang berbeda-beda, untuk menyingkirkan kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka akan mempunyai dasar untuk menyebrangi
ketidaksebandingan dan perbedaan-perbedaan mereka, untuk saling mendengar dan memahami yang lain dan kemungkinan diubah di dalam prosesnya.
78
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 101-108.
Pemahaman tentang peranan sentral pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi di dalam dialog antar-agama berarti bahwa evolusi dalam sikap-sikap
Kristen terhadap agama-agama lain telah berkembang dari eklesiosentrisme kepada kristosentrisme kemudian teosentrisme, sikap-sikap tersebut harus terus berlanjut
dengan apa yang disebut sebagai “kerajaan sentrisme” atau yang lebih universal “soteriosentrisme.”
79
Konteks bersama ini, berkaitan dengan pandangan Jon Sobrino mengenai kristologi dan misi Yesus. Sebagaimana yang dikutip Knitter dalam bukunya
Menggugat Arogansi Kekeristenan, Sobrino menegaskan bahwa, Pertama, “Yesus bukanlah yang pokok pada diri-Nya sendiri” kristosentris, kedua, “Yang pokok bagi
Yesus tidak hanya Allah,” maksudnya adalah, Yesus tidak hanya mewartakan Allah, Allah tidak hanya dan sama sekali tidak secara absolut merupakan referansi utama
Yesus Teosentris, ketiga, “Pokok perhatian Yesus juga bukan Gereja atau Kerajaan surga” eklesiosentris. Namun “yang utama bagi Yesus adalah Kerajaan Allah”
Soteriosentris.
80
79
Knitter memakai kata Yunani soteria sebagai istilah yang heuristik atau petunjuk arah untuk menegaskan bahwa keperihatinan terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan dapat menjadi
titik berangkat atau pertemuan untuk berdialog. Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 53, dan Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 291.
Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan tindakan-Nya untuk
perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya, terutama yang menderita. Singkatnya, bagi Sobrino, Kerajaan Allah adalah “segala
80
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 177.
sesuatu yang memajukan kesejahteraan manusia dan menghilangkan penderitaan.”
81
Pendekatan soteriosentris dapat dibedakan dari kristosentrime atau teosentrisme, yaitu dalam soteriosentrisme adanya pengakuan yang eksplisit bahwa di
hadapan misteri soteria, tidak satu pun perantara atau sistem lambang yang mutlak. Perspektif soteria yang diberikan oleh seorang perantara selalu terbuka untuk
diperjelas, dilengkapi, barangkali dikoreksi oleh pandangan-pandangan perantara- perantara lain.
Dari penjelasan Jon Sobrino, yang dimaksud Knitter dengan soteria, yaitu upaya mensejahterakan dan membebaskan orang-orang yang tertindas dari penderitaan,
termasuk penderitaan dunia, dalam istilah Knitter, eko-manusiawi.
82
Knitter megajukan kriteria soretiosentris, di mana tidak perlu menggiring pada suatu bentuk fondasionalisme di luar praksis pembebasan dan dialog. kriteria
soteriosentri berfungsi sebagai sebuah perangkat yang heurustis dan bukan sebagai sebuah basis yang didefinisikan. Kriterianya dapat dikenal hanya di dalam praksis
sesungguhnya dalam bergumul untuk mengatasi penderitaan dan penindasan dan hanya dalam praksis dialog. Misalnya, apa cara terbaik untuk menghapuskan
penderitaan dan penindasan? Analisis sosial-budaya apakah yang dibutuhkan? Transformasi pribadi atau perubahan kesadaran apakah yang dibutuhkan?
Pengutamaan kaum miskin tidak meberikan jawaban-jawaban yang sudah baku terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, titik tolak untuk bergumul
81
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 179-180.
82
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 298.
bersama, menuju jawaban-jawaban yang diberiakan dalam pengutamaan fundamental untuk, dan dalam komitmen kepada, kaum tertindas. Meskipun kemungkinan ada
kesepakatan umum tentang bagaimana meningkatkan keadilan dan menyingkirkan penindasan, setaip agama atau tradisi akan mempunyai pemahamannya sendiri
tentang apa yang dilahirkan oleh soteria atau pembebasan.
83
Jadi, untuk menghindari relativisme, imperialisme dan fondasionisme, Knitter mengajukan semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun
suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama. Konteks bersama akan membantu agama-agama untuk menilai satu sama lain. Konteks bersama tersebut
adalah soteriasentris Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan
tindakan-Nya untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya, terutama yang menderita, termasuk bumi yang semakin lama semakin
rusak. Konteks ini lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab global. Meletakkan tanggung jawab global sebagai konteks bersama, bukanlah sebagai pereduksian
agama pada moralitas. Namun, berdasarkan unsuru-unsur hakiki yang ada dalam agama, yaitu spirit transformatif. Agama-agama pada dasarnya bertujuan mengantar
orang pada transformasi diri, disamping itu faktanya bahwa ajaran agama memilki sumber etis yang tidak hanya mengarah pada dunia lain eskatologi.
83
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 295-297.
D. Dialog Korelasional dan Tanggung Jawab Global