hanya berbicara yang sama perlu dihindari. Namun, harus ada sesuatu yang sama di antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog.
23
Model ini telah melampaui apa yang dikenal sebagai model penggantian eksklusivisme, dan telah menyeberangi jembatan kaum gereja
Katolik dengan model pemenuhan inklusivisme. Citra yang sering digunakan penganut model mutualitas untuk menggambarkan berbagai
implikasi dari prospek mereka adalah “menyeberangi sungai Rubicon.”
24
Ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling mengisi, yang merupakan isyarat bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model
mutualitas,
25
a. Jembatan Filosofis-Historis
yaitu:
Jembatan ini bertumpu pada dua pilar: keterbatasan historis dari semua agama
26
23
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 130-132.
dan kemungkinan filosofis bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Tokoh yang
24
Sungai yang memisahkan kekuasaan Romawi dengan wilayah lain. Ungkapan ini menggambarkan keberanian Julius Caesar memasuki medan wilayah baru yang penuh dengan
berbagai kemungkinan baru maupun ketidakpastian baru. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama- Agama, h.133.
25
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.133.
26
Umat beragama hanya mampu memahami fenomena dari Yang Nyata, tetapi tidak mampu memahami Yang Nyata dalam dirinya sendiri atau nomena-Nya. Inilah yang disebut relativisme
historis. Dengan demikian, tidak ada satu agama pun yang dapat menganggap kebenaran penuh, final, dan tak tersaingi tentang Yang Ilahi karena pengetahuan manusia secara historis maupun sosial
terbatas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 135-139.
terkenal dengan perspektif ini adalah John Hick dengan teori “revolusi Kopernikus”. Singkatnya, menurut Hick bahwa pusat religious semua
agama yang memungkinkan terciptanya dialog yang setara bukanlah gereja eklesiosentris, bukan pula pada Kristus kristosentris,
melainkan pada Allah teosentris. Sadar bahwa citra Allah sering kali diartikan “buatan agama
Kristen”, dan juga Islam, serta agama-agama seperti Buddha tidak berbicara tentang Allah atau suatu Makhluk Ilahi, Hick kemudian
memakai istilah “yang Nyata” atau yang “benar-benar Nyata” sebagai pusat semua agama.
27
b. Jembatan Religius-Mistik
Berbeda dengan jembatan filosofis-historis, pendekatan religious-mistik menekankan bahwa apa yang terdapat di pusat tiap
agama Yang Ilahi adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia baik individu maupun kelompok.
Yang Ilahi lebih dari pada apa yang diketahui agama namun justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Oleh karena itu,
Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia, biarkanlah
27
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 134-135.
Yang Ilahi beragam seperti halnya agama. Salah satu tokoh yang terkenal dengan pendekatan ini adalah Raimundo Pannikar.
28
c. Jembatan Etis-Praktis