itu, masalah penderitaan dunia dan manusia merupakan asas bersama dalam dialog agama-agama.
30
4. Model Penerimaan
Model ini merupakan reaksi terhadap kekurangan model-model sebelumnya; model penggantian dan pemenuhan lebih menekankan
partikularitas satu agama sehingga validitas agama-agama lain hancur, model mutualitas lebih menitikberatkan pada universalitas dari semua agama
sehingga menutupi perbedaan partikularitas yang ada.
31
Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa, melainkan, lebih jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan”
dalam setiap agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi juga berbeda dalam tujuan dan keselamatan. Sebagai contoh, apa yang
diartikan oleh umat Buddha dengan pencerahan dalam tingkat kebahagiaan yang non-persona jelas-jelas berbeda dengan apa yang umat Kristen artikan
dengan persekutuan dengan Tuhan yang penuh kasih, keduanya merupakan titik-tujuan yang berbeda, dua “pemenuhan” yang berbeda, karena hal tersebut
merupakan dua realitas yang berbeda.
32
30
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 165.
Umat Buddha tiba di Nirwana, umat Kristen tiba dalam persekutuan dengan Tuhan, mereka semua bahagia. Oleh
31
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 205.
32
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 227-228.
karena itu, perbedaan bukan hanya sesuatu yang bisa diterima secara temporer, tetapi sesuatu yang ingin diterima secara permanen.
Salah satu tokoh dari pendekatan ini adalah S. Mark Heim. Ia mengusulkan satu konsep bahwa semua agama yang berbeda-beda
memimpikan dan berusaha mencapai salvations, bukan salvation, bahwa ada lebih dari satu keselamatan di antara berbagai agama.
33
Selain mengakui bahwa tujuan akhir eskatologis tiap agama berbeda- beda, Heim menambahkan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Wujud
Ilahi Devine Being atau Tuhan. Perbedaan agama terjadi karena adanya perbedaan Tuhan. Untuk menjelaskan maksud tersebut kepada umat Kristen,
Heim menggunakan kerangka teologi tradisional Kristen, bahwa Tuhan berbentuk Tritunggal.
Jadi, usaha yang dilakukan teolog penganut model mutualitas untuk mencari persamaan atau
satu tujuan yang sama di antara berbagai agama, bahwa walaupun agama- agama berbeda, semua agama memiliki satu tujuan yang sama Yang Nyata,
harus dihindari.
34
33
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 228.
Hal ini berarti bahwa semua umat beragama harus
34
Melalui wahyu Yesus sebagai Kristus dan di dalam apa yang dialami Yesus sebagai yang Ilahi, umat Kristen merasa dan berusaha menjelaskan perasaan mereka bahwa Yang Ilahi itu bukanlah
satu realitas. Yang Ilahi itu juga banyak, banyak dalam cara Allah berhubungan dengan dunia, serta banyak pula dalam cara Allah berhubungan dengan dirinya sendiri. Lih Knitter, Pengantar Teologi
Agama-Agama, h. 230.
menggali keberadaan dan kehidupan mereka dalam perbedaan yang memunculkan hubungan antar agama, yaitu melaui dialog.
Ketika dialog dilakukan, para penganut model mutualitas merasa perlu menanggalkan sesuatu yang absolut dari berbagai agama agar dialog dapat
berjalan seimbang. Berbeda dengan model tersebut, Heim berpendapat bahwa justru berbagai yang absolut itu merupakan substansi dan energi untuk
berdialog. Dalam dialog, peserta dialog harus tetap mempertahankan perbedaannya masing-masing. Dengan begitu, umat beragama yang berbeda-
beda akan saling berdialog dan belajar. Perbedaan yang tak dapat dihindari ini, bagi Heim disebut “pluralisme orientasional.”
35
Perspektif semacam ini juga tercermin dalam apa yang diusahakan Knitter dalam tahun-tahun terakhir perjalanan teologisnya. Knitter mengajukan sebuah model
baru, setidaknya Knitter bukan orang pertama yang mengajukan pendekatan seperti ini,
36
pendekatan yang lebih korelasional terhadap agama-agama lain dengan alasan bahwa, esklusivisme telah menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan antar
agama sehingga perlu dihindari dan dikoreksi. Begitupun inklusivisme, telah memunculkan ambiguitas terhadap kebenaran agama-agama lain,
37
35
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 233-234.
di samping
36
Perhatikan pembahasan tentang model penerimaan di atas.
37
Maksud ambiguitas disini adalah, agama-agama lain benar dan mampu menyelamatkan manusia, namun tidak sempurna sebagaimana agamanya. di satu sisi benar, di sisi lain tidak
sempurna. Lih Paul F. Kintter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua Jakarta: Gunung Mulia, 2008, h. 41.
adanya keyakinan bahwa orang-orang dari latar belakang religius yang berbeda dapat berdialog dan saling memahami untuk dapat membuat pembicaraan bermanfaat,
memperkaya dan mungkin transformatif.
38
Oleh karena itu, suatu pendekatan korelasional terhadap penganut agama lain berusaha menghilangkan bahasa
“absolutis”. Sehingga, klaim bahwa umat Kristen memiliki kata akhir yang diberikan Allah atas semua kebenaran dapat dihindari.
39
Dalam hubungan dengan agama-agama lain, teologi pluralis atau korelasional pertama-tama mengakui, menegaskan, merangkul, dan menggumuli perbedaan-
perbadaan yang nyata, jelas, bahwa tradisi-tradisi keagamaan memang berbeda dan kadang tidak bisa dibandingkan di antara berbagai tradisi agama.
Hal ini senada dengan apa yang telah diupayakan para teolog model mutualitas seperti John Hick dan Raimundo Pannikar.
40
Kemudian mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain
bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai. Bagi Knitter inilah yang disebut “kesamaan yang kasar” di antara berbagai tradisi.
41
38
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 60-61.
Keberagaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, melainkan suatu kekayaan
yang harus diterima dan disambut oleh semua agama, sebab kita tidak dapat
39
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42.
40
Perbedaan disini seperti yang telah dikatakan Heim di atas bahwa agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, mereka bahkan berbeda dalam tujuan dan Tuhan. Knitter, Pengantar
Teologi Agama-Agama, h. 259.
41
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 45.
menghindari atau menutup mata dari keragaman agama di sekitar kita.
42
Akan tetapi, perlu ditekankan kehati-hatian terhadap pengakuan adanya kemungkinan nilai dari agama-agama lain. Seperti yang dikatakan Schubert Odgen,
kebanyakan tokoh Kristen yang pluralis terlalu cepat mengatakan “ada banyak agama yang benar.” Generalisasi sepintas tersebut sama kelirunya atau mungkin sama
berbahayanya kalau dikatakan bahwa “semua orang Amerika itu demokratis.” Jika melihat sejarah bagaimana agama-agama telah dipakai sebagai alat manipulasi dan
eksploitasi, seperti di Ambon dan Poso, diperlukan bukti sebelum menyatakan bahwa semua agama baik dan bernilai.
Jadi, biarkanlah perbedaan diversitas agama terjadi.
43
Peringatan ini juga diperkuat oleh pendapat Hick, bahwa perbedaan tetap bermasalah, tidak semua jalan atau agama mengarah pada
puncak gunung Yang Nyata. Hal ini disebabkan dalam sejarah agama, Yang Nyata seringkali digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok
lain.
44
42
Agama-agama jelas berbeda dan tidak mungkin mengumpulkan mereka dalam satu “kata akhir” atau apa yang disebut Hick sebagai “Yang Nyata”. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-
Agama, h. 9, dan Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-70.
Namun, Hick tetap dalam pendiriannya bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Inilah yang membedakan cara pandang Hick
dengan perspektif Knitter terhadap agama-agama lain.
43
Dalam konteks ini, Knitter mencontohkan India sebagai negara yang pemerintahannya menjadikan agama sebagai objek eksploitasi untuk melanggengkan kekuasaan.
44
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 139-140.
Knitter mengkritik para teolog pluralis, seperti Hick, bahwa mereka seringkali mengabaikan bahkan menyelewengkan diversitas bahwa agama-agama benar-benar
berbeda termasuk perbedaan keselamatan. Memaksakan semacam asas bersama
45
dan aturan main bersama dalam berdialog telah membuat para teolog pluralis terjebak dalam imperialisme. Para teolog pluralis tidak sadar bahwa asas dan aturan main
bersama tersebut seringkali merupakan perspektif dari satu agama. Hal senada seperti yang diungkapkan S. Mark Heim bahwa kalau mereka meyakini Tuhan sebagai yang
absolut bagi semua agama tanpa menyebut Tuhan siapa yang mereka maksud, mereka telah menjadikan dirinya menjadi Tuhan.
46
Jadi terhadap pernyataan bahwa banyak agama yang benar adalah betul dan memang hal itu merupakan kenyataan, akan tetapi bukan berarti semuanya benar dan
memiliki tujuan yang sama. Setiap agama memiliki tujuannya masing-masing. Hal ini merupakan sikap kehati-hatian Knitter yang hampir menyerupai sikap Heim terhadap
berbagai agama lain. Menurut penulis, pandangan Knitter terhadap berbagai agama lain tidak terlepas dari pengaruh Mark Heim. Namun, penulis belum menemukan
argumen yang menunjukkan bahwa Knitter setuju dengan pandangan Heim mengenai perbedaan agama yang mungkin disebabkan akibat perbedaan Tuhan.
45
Asas bersama yang dimaksud seperti yang diusulkan beberapa teolog, common essence A. Toynbee atau universal faith W.C. Smith, B. Lonergen atau mystical faith W. Stace, Th.
Merton. F. Schuon.
46
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 187-189.
Dalam perspektif pluralis atau model mutualitas, umat Kristen menolak dan menghindari diri dari berbagai kata sifat seperti “hanya satu-satunya”, “definitif”,
“superior”, “absolut”, “final”, “tak terlampaui”, “total” untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus sang Kristus. Knitter menambahkan, tanpa
mengklaim bahwa semua agama setara equal, sehingga relativisme dapat dihindari.
47
Dengan demikian umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain bukan hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin possibly akan menemukan
kebenaran dan kebaikan di dalamnya, seperti apa yang diyakini oleh para teolog pendekatan model penerimaan inklusif seperti Rahner, tetapi bahwa mereka lebih
mungkin probably menemukannya Equal disini seperti apa yang telah dibahas di atas bahwa semua agama,
dalam diversitasnya memiliki tujuan universal atau keselamatan yang sama.
48
Teologi korelasional memungkinkan umat Kristen berpegang pada kemungkinan, dan mendorong probabilitas, bahwa sumber kebenaran dan
transformasi yang mereka sebut Allah dari Yesus Kristus memilki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada
yang telah dinyatakan dalam Yesus. Maksudnya adalah sumber kebenaran dan keselamatan bukan hanya dapat diperoleh melalui Kristus, agama-agama lain pun
memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, namun dengan jalannya masing-masing. tanpa harus menanggalkan perbedaan.
47
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42.
48
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 45-48.
Model teologi agama-agama yang pluralistik-korelasional bukan hanya menegaskan kemungkinan tetapi juga realitas umat beragama yang otentik lainnya
dan karena itu menegaskan adanya agama-agama benar lainnya. Sampai sejauh mana hal ini bisa dibandingkan dengan yang lainnya, dapat diketahui hanya melalui dialog.
Semua usaha membangun teologi agama-agama harus dimulai dengan dialog dengan agama-agama lain.
49
Oleh karena itu, model korelasional yang diusulkan Knitter juga menegaskan hakikat agama yang relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan
bertindak bersama. Walau pun model ini mengakui adanya perbedaan dan partikularitas radikal dan tidak terhidarkan di antara semua agama, ia juga mengakui
adanya hubungan antar-sesama yang muncul dari ketidaksempurnaan dalam diri semua agama.
Dengan demikian, karena kapelbagaian berbagai agama harus diakui dan dijaga, dan karena kepelbagaian itu diyakini bernilai dan penting secara
potensial bagi semua orang, maka kandungan yang bernilai dari agama-agama tersebut harus dibagi dan dikomunikasikan, agama-agama dunia harus berdialog.
50
Perspektif teologi agama-agama Paul F. Knitter, teologi korelasional dan bertanggung jawab secara global,
51
49
Knitter, Teologi Agama-Agama, h. 261-264.
menolak klaim-klaim kebenaran dan keselamatan
50
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 48-49.
51
Dalam hal ini, Knitter mengajukan dukungan kultural bagi model korelasional dan bertanggung jawab secara global, yaitu kesadaran akan yang lain, bahwa kita tidak dapat menutup
mata dari keberagaman agama yang ada disekitar kita, kesadaran akan sejarah, bahwa semua agama, pengetahuan yang kita peroleh, terbatas pada konteks sejarah. Jadi perlu reinterpretasi ulang terhadap
yang hanya dimiliki satu agama eksklusivisme, klaim bahwa Kristus merupakan kata akhir dari semua agama inklusivisme, bahkan melampaui pluralisme yang
menyatakan banyak agama yang benar karena agama-agama merupakan manifestasi Tuhan di dunia dalam berbagai tingkat cakrawala pikiran manusia sehingga semua
agama relatif. Meskipun secara filosofis Knitter menggunakan perspektif ini, ia merasa perspektif tersebut belum cukup untuk merangkul semua agama.
Perbedaan fundamental antara Knitter dan Hick dalam memandang agama- agama lain terletak pada penerimaan dan penghargaan Knitter terhadap agama-agama
lain tanpa mencari kesamaan teologis sebagaimana yang diupayakan Hick dengan pendekatan teosentris. Bagi Knitter biarlah agama-agama tetap berbeda tanpa
melepaskan keunikan masing-masing. Namun tetap menerima dan menghargai kebenaran dalam setiap agama. Walaupun ia sangat berhati-hati dengan pengakuan
adanya nilai kebenaran dalam suatu agama. Hal ini dilakukannya untuk menghindari penyalahgunaan agama demi kepentingan suatu kelompok tertentu.
Cara pandang Knitter dengan penekanan terhadap diversitas agama-agama, tapi juga mengkritik absolusitas dan normativitas Kristus yang telah mapan dalam
doktrin Kristen, menurut penulis, merupakan upayanya untuk menghilangkan
klaim-klaim agama yang telah terbentuk oleh sejarah, kesadaran imperiatif moral dialog, bahwa dialog di antara agama-agama tidak lagi suatu kemewahan tetapi merupakan kebutuhan teologis, jadi
untuk menemukan kebenaran kita sendiri, kita harus berdialog dengan kebenaran dari yang lain, Kesadaran akan tanggung jawab bagi dunia, bahwa umat beragama tidak hanya terfokus pada dialog
antar-iman, penderitaan yang lain termasuk dunia merupakan tanggung jawab semua agama. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-83.
eksklusivisme dan inklusivisme dalam Kristen. Namun tetap mempertahankan keunikan Kristus sebagai sesuatu yang unik dalam agama Kristen. Menurut penulis
keunikan yang dimaksud Knitter dalam setiap agama adalah sesuatu yang membuat agama tersebut spesial, khusus dan berbeda dari agama-agama lain
̶ seperti Kristus dan Kerajaan Allah dalam Kristen, Gaotama dan Sunyata dalam Buddha
̶ bukan yang menyebabkan suatu agama menjadi absolut, normatif dan final.
52
Dengan demikian, pandangan Knitter terhadap agama-agama lain terbuka terhadap kemungkinan bahwa, secara filosofis, ada banyak agama yang benar dan
menyelamatkan, karena merupakan manifestsi dari Tuhan yang satu, dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah menyentuh dan merubah
dunia, namun tetap menekankan diversitas agama-agama. Selain mengakui eksistensi agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara Kristen
dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini doktrin agama mereka masing-masing namun tetap terbuka terhadap perbedaan
tersebut. Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam
berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain. Oleh karena
itu, ketika berdialog setiap agama tidak perlu menanggalkan keunikannya masing- masing sebagai komitmen terhadap agama yang dianutnya. Akan tetapi, yang perlu
dihilangkan adalah sikap eksklusif dan inklusif dari setiap agama.
52
Lihat selengkapnya di pembahasan mengenai “Arti Kesetiaan Pada Yesus”.
B. Arti Kesetiaan Pada Yesus
Mengakui kebenaran agama-agama lain, bagi Knitter tidak berarti meningglkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus.
Kesetiaan, bagi Knitter, bukan sesuatu yang dimiliki seseorang tetapi lebih merupakan sesuatu yang dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Atas
dasar itu, sumber dari iman yang setia tidak hanya terdapat dalam Injil atau Kitab Suci ortodoksi. Akan tetapi ada keharusan menghubungkan atau menerapkan apa
yang kita dengar dari Kitab Suci dalam kehidupan yang real ortopraksis. Oleh karena itu, ada dua sumber dari mana seharusnya menghayati iman dan membangun
kesetiaan, Kitab Suci dan kehidupan nyata praksis. Kesetiaan pada tradisi Kristen, khususnya pada Kitab Suci “yang normatif”,
bersumber dari kata yang benar ortodoksi yang berakar dalam tindakan yang benar ortopraksis. Jadi kesetiaan terhadap Yesus tidak hanya merupakan pengakuan dan
keyakinan terhadap-Nya. Namun kesetiaan itu juga berarti sejauh mana seseorang dapat mengikuti hidup dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Yesus
53
53
Lih Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 130-135, dan Leonard Swidler dan Paul Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter Maryknoll: Orbis Books,
1997, h. 14.
. Tetapi, bagaimana umat Kristen dapat memahami keunikan Yesus sedemikian rupa sehingga