Riwayat Hidupnya PAUL F. KNITTER

34

BAB III PAUL F. KNITTER

A. Riwayat Hidupnya

Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago. 1 Pada usianya yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada tahun 1958 setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua tahun novisit, Knitter resmi menjadi anggota “Divine Word Missionaries” SDV, singkatan dari Societas Verbi Divini sebagai seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari kehidupannya yang dipengaruhi oleh keberadaan agama lain terutama setelah ia mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses mencari titik persamaan agama Kristen dengan agama lain 2 sebagai langkah awal misi pertobatan. Setelah meraih gelar sarjana muda filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962, ia mulai merasakan bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya. 3 Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma, pada 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober 1962. Pada 1965 Karl Rahner menjadi guru besar tamu di Universitas Gregorian 1 Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi Union Theological Seminary New York, http:www.utsnyc.eduPage.aspx?pid=381 2 Bagi Knitter adaptasi missioner merupakan langkah awal untuk mengakui nilai-nilai positif dari agama-agama lain. Hal ini, pada perkembangan selanjutnya, sangat mempengaruhi perspektif teologisnya. 3 Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 4-6, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 29-31. tempat Knitter menuntut ilmu. Melalui gagasan-gagasan Rahner, sikap teologis Knitter terhadap agama lain mulai bergeser dari eksklusivisme menjadi lebih terbuka terhadap agama lain, inklusivisme. Setelah memperoleh gelar lisensiat bidang teologi di Roma 1968, ia melanjutkan studi ke Universitas Münster, Jerman 1972 dibawah bimbingan Karl Rahner dengan tesis berjudul “Sikap Katolik Terhadap Agama-Agama Lain”. Karena ada kesamaan judul dengan disertasi orang lain di Roma, ia disarankan untuk menulis hal yang sama dalam sudut pandang Protestan Kontemporer. Akhirnya Knitter pindah ke Universitas Marburg, Jerman 1972 di bawah bimbingan Prof. Carl Heinz Ratschow, Penasehat bantuan dari Prof. Rudolf Bultman, dengan judul disertasi “Menuju Suatu Teologi Agama-Agama Protestan”. Hal tersebut menjadikannya sebagai orang Katolik Roma pertama yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg. 4 Pada 1972 Knitter mulai mengajar mata kuliah teologi agama-agama di Teologi Union Katolik Catholic Theological Union, Chicago, sebagai asisten profesor studi doktrinal. Pada 1975 ia keluar dari SDV dan pindah ke Universitas Xavier, Cincinnati, Ohio dan mengajar studi yang sama. Dari mata kuliah yang diajarkannya dan perjumpaan dengan orang beragama lain yang lebih baik dari orang Kristen yang dikenalnya, Knitter merasakan jembatan Rahner mulai goyah. 4 Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-8, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 31-34. dan Paul F. Knitter, http:www.utsnyc.eduPage.aspx?pid=381 Oleh karena itu ia mulai mencari pedomanperspektif baru dalam memandang “sesuatu yang religius” di luar teori Kristen anonim Rahner. Di antara sekian banyak pedoman yang dipercaya dan berani yang digunakannya tercermin dalam dua tokoh, Raimundo Panikkar dan Thomas Merton sebelum akhirnya ia membaca buku Hans Küng, On Being a Christian 1976. Menurt Knitter, kritik Küng terhadap teori Kristen anonim telah membuatnya keluar dari jembatan Rahner, akan tetapi ia tidak sependapat dengan Küng, dan itu dianggapnya salah, ialah mengenai finalitas Kristus. Pada 1985 Knitter menulis buku No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions sebagai survei kritis atas sikap Kristen. Sebelumnya pada 1984 ia dan istrinya, Cathy, menjadi anggota “Santuary Movement”, yaitu suatu organisasi oikumenis dari berbagai gereja dan sinagoge yang memberi bantuan dan tempat perlindungan bagi para pengungsi korban perang El Savador, Amerika Tengah. Dari kegiatan organisasi ini, Knitter mengunjungi El Savador dan Nikaragua dengan membawa misi kemanusiaan. Di sana ia menyaksikan langsung bagaimana penderitaan yang dialami masyarakat El Savador. Oleh karena itu, bagi Knitter teologi pembebasan bukan saja sebagai “metode baru”, tetapi suatu pemahaman baru tentang agama dan kesetiaan sebagai murid Yesus dengan mendahulukan mereka yang tertindas sebagai tuntutan. Hal ini berpengaruh terhadap cara berteologinya di mana ia tidak dapat menjalankan teologi agama-agama kecuali ada kaitannya dengan teologi pembebasan. 5 5 Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 34- 39. Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama- agama dan teologi pembebasan yang ia sebut sebagai teologi korelasional yang bertanggung jawab secara global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa keprihatinan terhadap mereka yang menderita Suffering Others dan terhadap mereka yang berkeyakinan lain religious Others merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya ditiadakan. 6 Hal tersebut mempengaruhi tulisannya, Toward a Liberation Theology of Religions, dalam buku yang ditulis Knitter bersama John Hick dan beberapa teolog untuk melihat sejauh mana pengaruh pluralisme di antara para teolog Kristen dengan judul The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions 1987. 7 Sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun CRISPAZ Umat Kristen untuk perdamaian di El Savador, Knitter aktif dalam berbagai kelompok perdamaian dan keadilan di Cincinnati. Ia telah mengunjungi El Savador dan Nikaragua selama musim panas 84, 85, 86, 88, 90, 91 dan Januari 95, 96 untuk mempelajari situsi politik dan kehidupan gereja-gereja disana. 8 Pada 1991 Knitter mengunjungi India selama lima bulan cutinya. Di sana ia menemukan bahwa dialog dan pembebasan harus merupakan dua segi dari 6 Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 14-15. 7 Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 11-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39. 8 Paul F. Knitter, http:www.utsnyc.eduPage.aspx?pid=381 agenda yang sama. Hal ini telah berlangsung di India, diantara umat Hindu, Kristen dan Muslim yang bersatu memerangi penindasan selama berabad-abad. Disamping hal tersebut, ia juga belajar bahwa penderitan bukan hanya meliputi manusia, tetapi semua makhluk lainnya termasuk bumi. Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu dialog harus dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog antar- agama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi sebagai agenda yang paling mendesak. 9 Pada 2002 Knitter menjadi Profesor Emeritus Teologi di Xavier University sebelum ia bergabung dengan Uni Theologi Seminary, New York pada 2007. Sebagian besar penelitian dan tulisan Knitter berkaitan dengan pluralisme agama dan dialog antar-agama. Sejak menulis buku No Other Name? 1985, Knitter telah menjelajahi bagaimana komunitas beragama di dunia dapat bekerja sama dalam mempromosikan kesejahteraan manusia dan ekologi, hal tersebut ia tuangkan dalam buku One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue Global Responsbility 1995 dan Jesus and the Other Names: Christian Mission and Global Responsibility 1996, dan survei kritis tentang pendekatan Kristen terhadap agama lain: Introducing Theologies of Religions Orbis Books, 2002. Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan The Myth of Religious Superiority Orbis Books. Saat ini proyek tulisannya 9 Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 14-15, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39- 42. dijadwalkan dipublikasikan pada awal tahun 2009, adalah Without Buddha I Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing Back. 10

B. Karya-karyanya