B. Arti Kesetiaan Pada Yesus
Mengakui kebenaran agama-agama lain, bagi Knitter tidak berarti meningglkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus.
Kesetiaan, bagi Knitter, bukan sesuatu yang dimiliki seseorang tetapi lebih merupakan sesuatu yang dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Atas
dasar itu, sumber dari iman yang setia tidak hanya terdapat dalam Injil atau Kitab Suci ortodoksi. Akan tetapi ada keharusan menghubungkan atau menerapkan apa
yang kita dengar dari Kitab Suci dalam kehidupan yang real ortopraksis. Oleh karena itu, ada dua sumber dari mana seharusnya menghayati iman dan membangun
kesetiaan, Kitab Suci dan kehidupan nyata praksis. Kesetiaan pada tradisi Kristen, khususnya pada Kitab Suci “yang normatif”,
bersumber dari kata yang benar ortodoksi yang berakar dalam tindakan yang benar ortopraksis. Jadi kesetiaan terhadap Yesus tidak hanya merupakan pengakuan dan
keyakinan terhadap-Nya. Namun kesetiaan itu juga berarti sejauh mana seseorang dapat mengikuti hidup dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Yesus
53
53
Lih Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 130-135, dan Leonard Swidler dan Paul Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter Maryknoll: Orbis Books,
1997, h. 14.
. Tetapi, bagaimana umat Kristen dapat memahami keunikan Yesus sedemikian rupa sehingga
tetap setia pada kesaksian Kristen, dan pada saat yang sama sungguh-sungguh terbuka terhadap pembicaraan dan kerja sama yang otentik dengan iman orang lain?
Untuk itu, di bawah ini, penulis memaparkan bagaimana reinterpretasi Knitter terhadap klaim kristologi tradisional
54
Bagi Knitter, Yesus Kristus itu unik, namun dengan keunikan yang ditetapkan oleh kemampuannya berelasi dengan figur agama lain yang juga unik. Dengan kata
lain, keunikan yang dikemukakan Knitter adalah keunikan relasional atas keunikan Yesus Kristus sebagai dokrtin
dalam Kristen.
55
, bahwa Yesus sungguh-sungguh dan bukan satu-satunya transformasi Allah di dunia. Muhammad,
Musa, dan Gaotama juga merupakan transformasi itu.
56
54
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan” Kis 4:12. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Yesus merupakan satu-satunya jalan keselamatan, dengan kata lain kristologi tradisional menekankan finalitas, absolusitas, dan nomativitas
Yesus. Kristologi semacam ini seperti yang diakui dan diyakini oleh penganut model penggantian. Pembahasan ini merupakan kritik Knitter terhadap model penggantian, pemenuhan, dan juga model
mutualitas.
Keunikan relasional, bagi Knitter, konsisten dengan pendirian teologis pluralisme yang teosentris. Yesus dalam
pelayanannya sebagai juru selamat terarah pada Allah, sama seperti figur agama lain pun terarah pada Allah. Semua figur agama yang ada terkait dan terhubung satu sama
55
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 162-167.
56
Leonard Swidler dan Paul Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter, h. 10-11.
lain, terarah pada satu Allah,
57
Dalam Jesus and the Other Names, Knitter berusaha membuat klarifikasi mengenai terminologi unik. Baginya, unik tidak perlu menunjukkan tidak adanya
sesuatu yang lain. Keunikan seseorang lebih berarti sesuatu yang membuat ia spesial, khusus dan berbeda, yang tanpanya orang itu tidak menjadi pribadi sebagaimana
adanya ia. Dengan menghilangkan kualitas unik tersebut kita akan berjumpa dengan pribadi yang lain.
dan bahkan lebih jauh lagi, penulis membahasnya dalam poin selanjutnya, kepada soteriosentrisme.
58
Knitter mencoba untuk memperlihatkan dasar Alkitabiah dari keunikan Yesus. Pertama, sejak semula karya Yesus terarah kepada Allah Bapa, atau tepatnya
pada kerajaan Allah. Yesus tidak memberitakan diri-Nya sendiri, tetapi mewartakan datangnya kerajaan Allah yang membawa keselamatan bagi manusia. Dari sini
Knitter sebenarnya mengusulkan suatu istilah lain untuk menggantikan teosentrisme, yaitu kingdomsentrisme
59
57
Ini merupakan perspektif teologi agama-agama Knitter ketika berada pada model mutualitas. Selanjutnya ia akan beralih ke model penerimaan. Lih Knitter, Menggugat Arogansi
Kekeristenan, h. 145-146, dan Joas Adiprasetya, Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter, dalam Soegeng Hardiyanto, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa
Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, h. 145.
atau soteriasentrisme.
58
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 169.
59
Knitter bukan orang pertama yang menggunakan istilah tersebut. Kingdomsentrisme atau berpusat pada Kerajaan Allah merupakan kristologi dan misi Yesus yang diperkenalkan oleh Jon
Sobrino. Lih pada pembahasan konversi agama-agama.
Kedua, kristologi yang yang dipaparkan dalam Alkitab sejak semula beragam tidak pernah ada definisi tentang siapa Kristus, tetapi yang ada adalah interpretasi-
interpretasi tentang siapa Kristus. Jadi tidak boleh ada satu kristologi interpretasi atas Kristus yang bisa dimutlakkan dan meniadakan kristologi lainnya.
Ketiga, klaim Kristus sebagai juruselamat satu-satunya tidak boleh dipandang secara tekstual, melainkan lebih sebagai ungkapan konvensional. Hal ini membuat
kita bisa lebih terbuka pada pengakuan-pengakuan iman agama-agama lain
60
. Maksud utama bahasa dan gelar-gelar kristologis Perjanjian Baru bukanlah
menawarkan pernyataan-pernyataan ontologis yang definitif tentang pribadi atau karya Yesus, melainkan memampukan manusia untuk merasakan kuasa serta daya
tarik visi Yesus dan kemudian untuk pergi dan melakukan hal yang sama,
61
Menurut Knitter, akan lebih tepat secara penggembalaan efektif, bila kita menyebut klaim-kliam Perjanjian Baru mengenai Yesus sebagai bahasa aksi. Ia
disebut satu-satunya atau anak satu-satunya bukan terutama untuk memberikan kepada kita pernyataan-pernyataan teologis-filosofis yang definitif, dan bukan
terutama untuk menyisihkan yang lainnya, melainkan untuk mendorong aksi atau praktik komitmen total kepada visi dan jalan-Nya, terhadap hal-hal yang Yesus selalu
menempatkan diri di bawahnya, yaitu kerajaan kasih, kesatauan dan keadilan. seperti
sifat kasih terhadap semua orang tanpa memandang ras dan agama.
60
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 299-300, Joas Adiprasetya, Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter, h. 145-146, dan Knitter, Menggugat
Arogansi Kekeristenan, h. 176-182.
61
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307-308.
Guna melayani dan mengembangkan kerajaan ini, ada keinginan untuk berdialog dan bekerja dengan orang lain dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa
ada guru-guru dan pembebas-pembebas serta juruselamat-juruselamat lain yang dapat menolong kita memahami dan bekerja demi kerajaan itu dalam cara-cara yang belum
pernah kita dengat atau berada di luar imajinasi kita. barang siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita Mrk. 9:40. Dengan demikian, kristologi pembebasan
mengizinkan dan bahkan menuntut kita mengakui kemungkinan hadirnya pembebas lainnya dari agama-agama lain.
62
Pemahaman Kristen tradisional mengenai Yesus Kristus sebagai suara Allah yang normatif, definitif, dan final perlu ditata kembali guna menghindari posisi-posisi
absolut yang telah dimapankan dan menghalangi dialog yang sungguh-sungguh korelasional. Dalam hal ini, Knitter mencoba mengaitkan topik keunikan Kristus
dengan praksis pembebasan, antara teologi agama-agama dan teologi pembebasan yang kaitannya terletak pada pentingnya praksis. Menurutnya, kristologi yang harus
diupayakan adalah yang berbasis pada praksis.
63
Pertama, pengakuan dan pewartaan Kristen bahwa Yesus adalah pernyataan Allah yang final dan normatif tak dapat berhenti pada perumusan doktrin atau
pengalaman personal. Keunikan Kristus dapat dikenal dan ditegaskan hanya dalam praksis keterlibatan historis.
Sehubungan dengan ini, ada empat hal yang penting, yaitu:
62
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 308-309.
63
Joas Adiprasetya, Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter, h. 147.
Praksis merupakan titik tolak bagi semua kristologi, ia tetap menjadi kriterium bagi semua kristologi karena segala sesuatu yang diketahui atau dikatakan mengenai
Yesus harus terus-menerus dikonfirmasikan, diperjelas dan mungkin dikoreksi di dalam praksis, yaitu dengan tindakan menghidupkan visi-Nya di dalam konteks-
konteks sejarah yang berubah. Kita tidak dapat mulai mengenal siapa Yesus dari Nazaret itu kecuali kalau
kita mengikuti Dia, mempraktikan pesan-Nya di dalam hidup kita. Dari sinilah proses perumusan gelar-gelar Perjanjian Baru untuk Yesus; gelar-gelar itu adalah buahnya,
kerugma penuh sukacita, yang digali dari pengalaman mengikuti Dia. Karena pengalaman ini berbeda-beda menurut berbagai komunitas dan konteks jemaat-jemaat
perdana, gelar-gelar Yesus pun berkembang. Oleh karena itu, tidak ada satu pun yang kita katakan mengenai Yesus itu final, tidak ada gelar yang diberikan kepada Kristus
yang dapat dimutlakkan.
64
Jadi, secara kongkret, bahwa bila kita tidak terlibat di dalam praksis dialog Kristen dengan agama-agama lain, mengikuti Kristus, menerapkan pesan-Nya, di
dalam dialog dengan orang-orang percaya lainnya, kita tidak dapat mengalami dan mengukuhkan apa arti keunikan dan normativitas Kristus.
65
64
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 299-300, dan Joas Adiprasetya, Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter, h. 147.
65
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 300.
Kedua, mengutamakan ortopraksis di atas ortodoksi, maksudnya ialah bahwa keprihatinan utama suatu teologi pembebasan agama-agama
66
yang soteriosentris bukanlah kepercayaan yang benar tentang keunikan Kristus, melainkan praktik yang
benar dengan agama-agama lain, dalam memperluas kerajaan dan soteria-Nya. Kejelasan tentang apakah Kristus dan bagaimana Ia menjadi satu Tuhan dan
juruselamat, maupun kejelasan tentang doktrin lain mana pun, mungkin penting, tetapi tidak lebih lebih penting dibandingkan dengan melaksanakan pengutamaan
kaum miskin dan nonpribadi.
67
Menurut Knitter orang Kristen tidak membutuhkan kejelasan dan kepastian ortodoksi mengenai Yesus sebagai Juruselamat “satu-satunya” atau “final” atau
“universal” guna mengalami dan sepenuhnya, menyerahkan diri mereka demi kebenaran yang membebaskan dalam pesan-Nya. Apa yang memang diketahui orang
Kristen, berdasarkan praksis mereka dalam mengikuti Yesus, adalah bahwa pesan- Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan
penindasan, bahwa pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan
66
Dalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen 1987, Knitter menulis judul “Menuju Theologi Pembebasan Agama-Agama” Towards a Liberation Theology of Religions. Dalam buku
tersebut ia memperkenalkan suatu teologi agama-agama yang berhubungan, sengaja dihubungkan oleh Knitter, dengan teologi pembebasan dan ia menyebutnya sebagai teologi pembebasan agama-agama.
Sejalan dengan perkembangan pemikirannya, model tersebut berubah menjadi teologi korelasional yang bertanggung jawab secara global, seperti yang terdapat dalam kedua bukunya, Satu Bumi Banyak
Agama dan Menggugat Arogansi Kekeristenan.
67
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 301.
mengembangkan kerajaan Allah. Tidak mengetahui apakah Yesus itu unik, apakah Ia adalah firman Allah yang final dan normatif untuk segala zaman, tidaklah menggangu
komitmen untuk melakukan praksis mengikuti Dia dan bekerja sama dengan agam- agama lain, untuk membangun kerajaan.
68
Jadi, penekanan pada pentingnya praksis tidak lantas membuat orang Kristen dapat memiliki alasan untuk mengatakan bahwa finalitas dan normativitas Yesus
telah utuh dan dipenuhi. Data mengenai praksis Yesus tidak memadai untuk menekankan keunikan Kristus.
Ketiga, Kriteria soteriosentris untuk dialog antar-agama yang terkandung di dalam pengutamaan kaum tertindas menawarkan kepada orang Kristen perangkat-
perangkat untuk secara kritis menguji dan barangkali merevisi pemahaman tradisional tentang keunikan Kristus, bahwa Kristus adalah satu-satunya sarana, jalan
keselamatan
69
Dalam perjuampaan dengan orang-orang percaya dan jalan-jalan lain, para teolog Kristen dapat menemukan bahwa meskipun ada juruselamat-juruselamat lain
di dalam tradisi-tradisi lain, Yesus dari Nazaret tetap tampil bagi mereka sebagai pembebas yang unik dan bagaimanapun juga istimewa, sebagai Dia yang
mempersatuakan dan menggenapi semua upaya lain menuju soteria. Kemungkianan lain, orang Kristen mungkin menemukan bahwa agama-agama lain dan tokoh-tokoh
. Klaim tersebut perlu ditafsir ulang agar umat Kristen dapat berdialog secara korelasional dengan umat agama lain tanpa adanya hirarki.
68
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 302.
69
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 303.
agama lain menawarkan cara dan visi pembebasan yang sejajar dengan apa yang diwartakan Yesus, bahwa tidak mungkin menggolongkan juruselamat atau makhluk
yang mendapat pencerahan dalam pengertian memperingkatkan mereka. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya
yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang universal. Universalitas dan keunikannya tidak akan
eksklusif ataupun inklusif, tetapi saling melengkapi. Meskipun demikian, pencermatan-pencermatan tentang keunikan dan finalitas
pada akhirnya dibuat atau tidak tidaklah penting dalam analisi terkahir, sejauh bahwa kita dengan semua orang dan agama, mencari dahulu kerajaan dan keadilannya.
Atas dasar itu, jika metode kristologi pembebasan memperlihatkan mengapa klaim normatif bagi Yesus, bahwa Yesus adalah satu-satunya, tidaklah mungkin,
maka jelas itu bahwa hal itu sebenarnya tak perlu. Jika memang titik perhatian kita terletak pada praksis, maka pertanyaan doktiner mengenai keunikan Kristus menjadi
tak begitu perlu.
70
Keempat, Dengan memahami dan mengukuhkan keutamaan otopraksis, orang beriman, dapat ditolong untuk melihat bahwa di dalam menerima pandangan-
pandangan baru tentang Yesus,
71
70
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 303-304, dan Joas Adiprasetya, Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter, h. 147.
mereka bukan hanya sekedar setia pada kesaksian
71
Mengenai berbagai kemungkinan paham nonabsolutis atau nondefinitif Kristus, para teolog seperti mengalami kesulitan terhadap paham tersebut. Ada dua alasan yang dikemukakan Küng
terhadap kesulitannya itu, pemahaman tersebut cenderung mengasingkan dirinya dari komunitas
Perjanjian Baru dan tradisi, melainkan juga ditantang untuk memiliki komitmen, yang bahkan lebih mendalam kepada Kristus dan Injil-Nya.
72
Orang-orang Kristen yang ditantang dan dimampukan untuk menciptakan hubungan antara pengalaman mereka sendiri, Injil dan praksis yang membebaskan,
akan setuju bahwa hakikat menjadi Kristen adalah melakukan kehendak Bapa dari pada mengetahui atau menekankan bahwa Yesus adalah satu-satunya atau yang
terbaik dari kelompok itu. Malah, psikologi kasih dan komitmen tampaknya mengatakan bahwa semakin mendalam dan semakin kukuh komitmen seseorang
kepada suatu jalan atau orang tertentu, ia akan semakin terbuka kepada keindahan atau kebenaran jalan-jalan dan orang-orang lain. Orang Kristen dapat diajak untuk
melihat bahwa komitmen mereka terhadap Yesus ataupun kemampuan mereka untuk menyembah-Nya lex orandi tidak akan perlu dijungkirbalikkan hanya karena ada
yang lain yang seperti Dia.
73
Jadi, pengakuan akan nilai agama-agama lain tidak mengurangi kesetiaan umat
Kristen terhadap Kristus, bahkan memampukan mereka untuk
imannya gereja dan akan cenderung mengurangi kedalaman dan kekukuhan komitmen pribadi orang- orang Kristen kepada Yesus Kristus. Keraguan-keraguan ini didasarkan pada bentrokan yang disadari
terjadi antara pandangan-pandangan nonabsolutis yang baru tentang Kristus dangan kepekaan naluriah dalam hal iman yang dimiliki seluruh umat beriman. Jadi, bila kristologi-kristologi baru ini
mempunyai masa depan di lingkungan teologi Kristen, kristologi ini membutuhkan sebuah perantaraan gerejawi yang lebih baik agar dapat diterima oleh umat, kristologi ini perlu disosialisasikan. Lih
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 304-306.
72
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307.
73
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307.
mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu, perlu reinterpretasi klaim kristologi tradisional akan keunikan Yesus.
Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya, absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru
bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satu-satunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan
penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan
mengembangkan kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi
juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang universal.
C. Konvergensi Agama-Agama