Kesimpulan Runtuhnya Orde Baru, dengan Indikator- Latar Belakang Masalah

A. Kesimpulan Runtuhnya Orde Baru, dengan Indikator-

indikator politik militer di akhir Orde Baru ...................................... 115 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 120 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah terjadi tragedi nasional gerakan tiga puluh September 1965 atau lebih dikenal dengan G-30SPKI yang gagal, maka suksesi kepemimpinan nasional terjadi dalam keadaan tidak normal. Pada tahun 1966 Soeharto menerima surat perintah 11 Maret 1966 dari presiden Soekarno dan diberi kekuasaan eksekutif untuk mengamankan keadaan. Hal ini menggambarkan bahwa secara nonsubstansial Soeharto telah menjadi pemimpin nasional. Tampuk kekuasaan nasional nonsubstansial yang berada di tangan Soeharto pada tahun 1967 lewat sidang umum MPRS telah memindahkan seluruh kekuasaan eksekutif kepada Soeharto, dan secara resmi Soekarno tidak memiliki kekuasaan apapun. 1 Pada saat pertama Jenderal Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, hal ini menandai berakhirnya rezim Orde Lama dan lahirnya rezim baru yaitu Orde Baru. Pada masa awal kelahirannya, Orde Baru yang diidentikkan dengan Soeharto sebagai presiden yang berlatar belakang militer telah menyadari bahwa tugas dari kaum militer bukanlah untuk membuat kebijakan-kebijakan perekonomian. 2 Dia mempercayakan pembuatan kebijakan ekonomi tersebut kepada orang-orang sipil, khususnya kepada sekelompok ahli ekonomi dari Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro. Hal ini 1 Eep Saefulloh Fatah, Agenda – Agenda Besar Demokratisasi Psca Orde Baru, Bandung: Mizan, cet.I, h.163 2 Noor Azmah Hidayah, Millah Jurnal Studi Agama, Yogyakarta: Magister Studi Islam UII, vol.IV,h.49 ditandai dengan pengiriman beberapa orang dari kelompok ini oleh presiden Soeharto ke Universitas California-Berkeley untuk mengikuti pelatihan yang berkenaan dengan upaya stabilitas ekonomi dalam negeri, di samping bantuan dari sebuah perutusan dana moneter internasional yang dikirim ke Jakarta untuk pertama kalinya memperjelas posisi hutang luar negeri Indonesia. Ciri terpenting bentuk daripada perpolitikan yang dijalankan oleh Orde Baru pada masa awal terbentuknya rezim ini tahun 1967-1990 adalah dominannya peran politik militer melalui penerapan ideologi “dwifungsi ABRI” sehingga mensubordinasikan kekuatan politik lain secara relatif penuh. Sekalipun secara de facto ”dwifungsi ABRI” telah dijalankan bersamaan dengan sejarah awal terbentuknya republik, namun perumusan dwifungsi ABRI sebagai sebuah konsepsi dan ideologi politik baru terjadi pada dekade 1950-an. 3 Dalam pidatonya A.H. Nasution pada saat dies natalis Akademi Militer Nasional di Magelang, 11 Nopember 1958 mengintrodusir konsepsi “jalan tengah “tentang posisi dan peran militer di Indonesia. 4 A.H. Nasution tidak menginginkan ABRI dalam posisi dan peran militer model negara Barat yang hanya menjadi kekuatan HANKAM Pertahanan dan Keamanan, dan tidak pula dalam posisi militer model negara-negara junta militer sebagai diktator. Menurut Nasution, ABRI harus mengambil posisi “jalan tengah” yaitu dengan menjalankan 3 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah Dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional Bandung: PT.Remaja Rosda Karya 2000 ,cet I Edisi II, hal.135 4 Ibid, hal,135 fungsi sosial politik lain sambil tetap menghindari terbentuknya dominasi politik militer atas sipil. 5 Namun dalam perkembangan politik kemudian, konsepsi jalan tengah Nasution diberi baju baru oleh rezim Orde Baru dipenghujung tahun 1960-an, setelah Soeharto menjabat sebagai presiden RI. Baju baru itu, berupa konsep “ dwifungsi ABRI “ yang dihasilkan melalui seminar AD II ditahun 1966 melegitimasikan tidak saja peran politik militer terbatas, melainkan dalam prakteknya sebuah kekuasaan politik yang sangat luas. 6 Dilihat dari sisi pertarungan pemikiran politik, ideologi dwifungsi ABRI yang kemudian disosialisasikan dan dimapankan dalam praktek politik Orde Baru adalah hasil pertarungan antar tiga versi pemikiran tentang peranan militer dalam politik yang berkembang diawal kelahiran Orde Baru, yaitu: versi Soeharto – Ali Murtopo, versi A. H. Nasution, dan juga versi Mohammad Hatta. Soeharto sebagai presiden dan Ali Murtopo menginginkan peran militer yang besar untuk melakukan stabilisasi kehidupan politik. Nasution juga menginginkan peran militer yang besar, namun kemudian segera dikurangi dari waktu ke waktu sejalan dengan berkurangnya tingkat krisis sosial, ekonomi dan politik warisan Orde Lama. Berbeda dengan keduanya, Hatta malah menyarankan militer untuk kembali ke tangsi atau barak untuk membuka jalan bagi Orde Baru merealisasikan janji-janji demokratisasi dan keadilan sosialnya. 7 5 A.H.Nasution, Kekarjaan ABRI Jakarta : Seruling Mas,1971,cet. I, hal.19 6 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional , hal.136 7 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik Jakarta: CSIS,1974,cet.I, hal.92 Maka, dwifungsi ABRI dalam persepsi penguasa Orde Baru adalah melibatkan militer dalam proses politik dan pemerintahan baik di tingkat lokal maupun nasional secara luas. Elemen-elemen yang terlibat dalam proses politik dan pemerintahan, seperti birokrasi, partai politik, parlemen, dan badan eksekutif secara umum, hampir tidak ada satu pun yang steril dari penetrasi militer. 8 Setelah terjadinya perdebatan antara ke tiga versi pemikiran di atas mengenai peran dan fungsi militer dalam politik nasional, maka pada akhirnya versi Soeharto - Ali Murtopo yang diterima untuk diterapkan. Ali Murtopo merupakan seorang intelektual militer yang sangat anti dengan Islam. Ali Murtopo ketika itu memangku jabatan sebagai komandan Intelijen yang merekayasa tentang politik Islam. 9 Dengan demikian, diterimanya versi Soeharto dan Ali Murtopo yang sangat Islamifobia anti dengan gerakan Islam politik dan memusuhi Islam, dan tergesernya versi Nasution dan Hatta, tidak saja menyebabkan Nasution harus terdepak dari lingkaran kekuasaan dan dibatasi peranannya dalam pemerintahan Soeharto, namun lebih jauh lagi berimplikasi terhadap keterbukaan jalan bagi akumulasi kekuasaan ekonomi dan politik militer dan jalan untuk mereduksi dan bahkan melenyapkan peran dan aktivitas politik Islam dari arena perpolitikan di Indonesia. Budaya politik Orde Baru dengan jargon politiknya ideologi “Depelopmentalisme “atau ideologi paham pembangunan ekonomi nasional yang digagas dan dikembangkannya, kemudian dijadikan sebagai instrumen legitimasi rezim. Ideologi yang dikonsepsikan oleh Orde Baru pada saat itu melalui sebuah 8 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrsi Ala Orde Baru, Masalah Dan Masa Depan demokrasi Terpimpin Konstitusional, hal. 136 9 S. Yusnanto, et al, Gerakan Militan Islam Jakarta: The Ridep Institute, 2003, cet. II, hal 8 langkah rekayasa politik, karena dengan rekayasa politik tersebut Orde Baru menyakini dapat menciptakan stabilitas politik nasional. Dan dengan demikian ideologi yang telah dikonsepsikannya dapat diterapkan. Dalam langkah penerapan ideologi inilah Orde Baru pada akhirnya mewajibkan pengamalan Pancasila secara mutlak dalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Cara ini merupakan salah satu langkah Orde Baru untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Orde Baru beralasan bahwa pembangunan ini tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya kestabilan politik. Sebab itu kestabilan merupakan syarat mutlak yang harus ada. Masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin telah membuktikan kegagalannya dalam pembangunan yang disebabkan tidak adanya kestabilan politik atau keadaan negara yang dipenuhi oleh kegiatan politik yang banyak ditandai oleh perdebatan ideologis yang tidak habis-habisnya serta perebutan kursi dan jabatan antar kelompok elit bangsa, sehingga energi pemerintah tercurahkan hanya untuk mengurusi masalah-masalah yang dapat menghambat pembangunan. Pada masa awal Orde Baru dengan diterapkan konsep Soeharto dan Ali Murtopo tentang dwifungsi ABRI berdampak terhadap timbulnya perasaan dan pikiran bahwa keterlibatan Islam dalam politik praktis cenderung mengganggu kestabilan politik. Orde Baru dengan konsep dwifungsinya yang dijalankan oleh ABRI telah menganggap bahwa gerakan Islam politik yang dijalankan oleh kelompok aktivis politik Islam yang ketika itu diwakili oleh Masyumi sebagai gerakan ekstrem kanan. ABRI pada saat itu telah menggap bahwa Masyumi sama dengan PKI, yaitu menyimpang dari Pancasila dan UUD 45, dan menyatakan akan menindak tegas setiap individu atau kelompok yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 45. 10 Ini dibuktikan dengan pernyataan ABRI ketika pada tanggal 21 Desember 1966 dalam pertemuan komandan militer wilayah ABRI, yang dipimpin oleh Jenderal Panggabean, seorang Katolik yang taat, bahwa pembentukan politik Islam yang terorganisasi akan menjadi tantangan terhadap rezim baru dan kepemimpinan militer. Sikap ini juga berakar dari antagonisme budaya masa lalu antara santri dan abangan, karena kebanyakan pejabat tinggi pada waktu itu berkultur abangan sekuler. 11 Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa Soeharto yang juga ditopang oleh ABRI tidak menyukai pengorganisasian kembali politisasi Islam. Usaha menghidupkan atau memformulasikan kembali agama Islam sebagai sebuah alat gerakan politik, seperti pada masa Orde Lama, dimana Islam oleh kelompok politik tertentu telah dijadikan sebagai sebuah ideologi untuk kepentingan politik mereka, dan itu oleh Orde Baru telah dipersamakan dengan radikalisme Islam. Ali Murtopo yang Islamfobia ini diangkat oleh Soeharto sebagai salah satu dari dua belas perwira staf pribadi Soeharto, sebagai pembantu politik kepercayaannya. Dalam menjalankan tugas dan perannya Ali Murtopo yang Islam fobia bersekutu dengan kelompok Katolik dan tokoh Jawa. Tidak mengherankan jika kebijakan politik pada awal pemerintahan Orde Baru banyak merugikan kaum muslimin, karena kelompok Ali Murtopo yang memegang kendali pemerintahan didominasi orang-orang yang cenderung memusuhi Islam. Dalam pikiran kelompok ini, Islam merupakan potensi yang amat membahayakan apabila diberi kesempatan untuk terlibat di 10 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik; Era Orde Baru Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu 2001, cet. I, hal.36 11 Ibid, hal. 36 dalam membuat dan mengatur kebijakan pemerintahan negara. Menurut asumsi mereka, Islam itu identik dengan “ Darul Islam “ atau negara Islam dengan hukum Islamnya. Sehingga mereka cenderung untuk menghancurkan dan melenyapkan peran politik Islam. Oleh karena itu pandangan yang dimiliki Orde Baru mengenai politik Islam adalah pandangan yang menganggap Islam tidak lebih dari sebuah agama dalam pengertian ibadah yang sempit dan soal-soal kemasyarakatan yang tidak bersifat politik praktis. 12 Orde Baru pada tahun 1973 dalam rangka menciptakan stabilitas politik dan kehidupan masyarakat telah menetapkan beberapa kebijakan yaitu pemerintah pada tahun 1973 telah memutuskan untuk melakukan restrukturisasi sistem kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh partai politik, kecuali Golkar harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai Islam; NU, Parmusi, PSII dan Perti digabung dalam partai baru yaitu PPP Partai Persatuan Pembangunan , yang tidak mencantumkan kata-kata Islam, baik dalam namanya maupun dalam asasnya. Sedangkan lima partai lain yang berlatar belakang nasionalis PNI, IPKI dan Murba , Parkindo dan Katolik digabung dalam Partai Demokrasi Indonesia PDI . Dan pada tahun 1985 pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila untuk seluruh partai politik dan organisasi massa. Setelah Pancasila dikukuhkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan, tentu tidak boleh ada lagi perdebatan ideologi kenegaraan dan kemasyarakatan, karena semua rakyat dan bangsa Indonesia, melalui MPR, telah 12 Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti 1991,cet.I hal.80 menyatakan kebulatan tekadnya untuk menganggap Pancasila sebagai satu- satunya asas dalam kehidupan kenegaraan, politik dan kemasyarakatan. Langkah-langkah dan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh aktor- aktor politik Orde Baru tersebut merupakan sebuah langkah atau kebijakan dalam rangka Orde Baru untuk melenyapkan peran dan aksi kelompok politik Islam atau yang disebut dengan depolitisasi politik Islam. Oleh karena itu depolitisasi politik Islam berarti sebuah usaha dan kegiatan yang diorganisasikan secara sistemik dan prosedural oleh ABRI sebagai aktor utama Orde Baru untuk melenyapkan dan menyingkirkan formalisasi ideologi Islam dari kehidupan panggung politik nasional. Peranan dan pengaruh presiden Soeharto yang berlatar belakang militer dan di topang oleh ABRI sebagai penyokong utama penyelenggaraan kekuasaan yang sangat besar dan tak terbatas atau suatu kekuasaan yang telah menjelma menjadi suatu kekuasaan absolut atau otoriter. Dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Orde Baru dari masa awal kekuasaannya hingga tahun 1990 yang ABRI sebagai pilar utamanya telah memainkan peranan yang sangat besar dalam menyingkirkan Islam sebagai gerakan politik atau golongan Islam politik tidak akan mendapat tempat lagi untuk hidup dan bernapas dalam suatu alam di mana Pancasila telah dikukuhkan sebagai satu-satunya sumber kehidupan sosial dan politik di negara Indonesia. 13 Pergantian rezim kekuasaan pemerintahan baru membuat kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam menaruh harapan yang sangat besar untuk 13 Ibid, hal.82 memainkan peran politik mereka. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama demokrasi terpimpin benar-benar disudutkan oleh presiden Soekarno. Ini dikarenakan mereka merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosio-keagamaan dan sebagainya yang telah behasil menghancurkan PKI dan menjatuhkn rezim Soekarno, dan mereka sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional. Sejarah politik Islam di Indonesia sejak dulu memang sering dipakai hanya sebagai instrumen atau alat oleh kekuasaan pemerintahan. Harapan umat Islam untuk politik keislamannya ternyata membuat umat Islam harus gigit jari dan kembali bergumul seperti pergumulannya dimasa Orde Lama. 14 Realita kegagalan politik Islam untuk berkiprah, yaitu dengan ditolaknya rehabilitasi partai Masyumi oleh rezim Orde Baru pada 17 Mei 1967. Kenyataan ini dipertegas oleh pernyatan presiden Soeharto, bahwa “ militer tidak menyetujui rehabilitasi kembali partai Masyumi “. Dari pernyataan ini nampak jelas bahwa kalangan militer masih amat curiga terhadap politik Islam. Seperti dicatat oleh Harold Crouch, ini terutama amat terasa di kalangan “ perwira – perwira yang pernah terlibat dalam pertempuran bersenjata melawan Darul Islam dan pemberontakan pemberontakan regional lainnya yang dilakukan oleh kaum muslim ”. Dan sebagai ganti dari partai Masyumi pemerintah memberikan izin untuk mendirikan Partai Muslimin Indonesia PARMUSI, hal ini disepakati oleh 14 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total Jakarta: Darul Falah, 1998, cet.I hal.32 Orde Baru setelah terjadi negosiasi antara aktivis politik Islam dengan pemerintah Orde Baru. Kesediaan Orde Baru untuk mendirikan partai tersebut, setelah pemerintah Orde Baru mempertimbangkan bahwa ketiadaan mekanisme politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan konstituen politik Islam di atas akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih dalam, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka ke arah ekstrimisme politik yang lebih membahayakan. Akan tetapi pemberian izin tersebut telah diikuti dengan pembatasan dan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah terhadap para mantan aktivis partai Islam Masyumi, kalau tidak , dilarang sama sekali. Yang lebih penting lagi, obsesi memperoleh kemenangan mutlak di seluruh wilayah Indonesia telah mengakibatkan rezim Orde Baru, yang didominasi oleh kelompok militer ABRI, menggunakan langkah koersif dan kooptasi untuk mempengaruhi hasil pemilu. 15 Berbagai perkembangan setelah pemilu I Orde Baru 1971 hanya memperbesar rasa frustasi umat Islam. Kekalahan dalam pemilu tidak hanya tercermin dalam merosotnya wakil Islam di parlemen. Dan ini juga tampak dalam komposisi kabinet baru pemerinthan Orde Baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam benar-benar mulai dikebiri. Salah satu kasus yang paling jelas mengindikasikan hal itu, yaitu mulai memudarnya dominasi NU Nahdatul Ulama di Departemen Agama Depag. Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang peran dan pengaruh hegemoni politik militer ABRI 15 Ibid, hal.34 serta pandangan militer tahun 1967–1990 terhadap politik Islam di Indonesia. Bermula dari persoalan dan permasalahan diatas maka penulis bermaksud menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PERAN POLITIK MILITER ABRI ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA “Studi hegemoni politik militer Orde Baru terhadap politik Islam tahun 1967 – 1990”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah