Pandangan Umat Islam Indonesia Terhadap Politik Kenegaraan

BAB II POTRET POLITIK ISLAM ERA AWAL ORDE BARU SAMPAI 1990

A. Pandangan Umat Islam Indonesia Terhadap Politik Kenegaraan

Indonesia Negara Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, secara kuantitas umat Islam sebagai komponen masyarakat sipil yang terbesar merasa memiliki hak dan tanggungjawab terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kemajuan bangsa dan negara ini. Hal ini dikarenakan umat Islam telah berperan besar dalam sejarah kelahiran negara bangsa Indonesia. Islam sebagai sebuah agama dan Islam sebagi sebuah ajaran telah hadir jauh sebelum wujud negara Indonesia tampak. Dan ia hadir dalam denyut jantung dari pra embrio sampai menjadi embrio yang pada akhirnya lahir apa yang disebut dengan bangsa Indonesia. 16 Umat Islam Indonesia bukan hanya hadir sebagai bangsa Indonesia, tapi ia telah banyak melahirkan atau menjadi ibu kandung dari pergerakan nasional sampai mengantarkan bangsa ini kepintu gerbang kemerdekaan untuk lepas dari cengkeraman bangsa penjajah dan penindas. Setelah negara bangsa Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, maka sejak saat itu bangsa Indonesia memasuki tahapan baru dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara. Pada tahun-tahun awal pasca revolusi kemerdekaan di negeri yang mayoritas 16 Adi Sasono, dalam pengantar; Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat Nurcholish Madjid-Mohammad Roem, Jakarta: Djambatan, hal.XIX penduduknya Islam ini diwarnai dengan pergulatan demokrasi yang sangat kental. Pergulatan tersebut terjadi di antara kelompok-kelompok yang ingin memperjuangkan ide-ide mereka mengenai bentuk dan ideologi negara bangsa menurut perspektif kelompok mereka masing-masing. Perjalanan sejarah politik Indonesia, di mana Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan, juga diwarnai perdebatan ideologis yang justru mengganggu usaha mereka dalam menegakkan negara demokratis. Perdebatan ideologis pertama yang terjadi diantara para pendiri bangsa ini, yaitu dalam sidang pertama BPUPKI Badan Persiapan Usaha Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu ketika para pendiri bangsa ini sedang mempersiapkan “perangkat lunak” kenegaraan Indonesia. 17 Pada kesempatan itu, semangat “formalisasi” hubungan antara Islam dan negara. Menurut Herbert Feith di dalam buku “Partisipasi dan Partai Politik” yang disunting oleh Miriam Budiarjo, bahwa konflik perdebatan ideologi telah terjadi di Indonesia, yaitu sejak bangkitnya nasionalisme modern yang dimulai pada tahun 1900 dan 1910-an. Faktor perselisihan ideologi ini terjadi di dalam gerakan tersebut, yaitu perselisihan antara golongan Islam dan komunis pada tahun 1920- an, antara golongan Islam dan nasionalis sekuler pada permulaan tahun 1930-an, serta antara golongan nasionalis yang pro dan yang anti-Jepang pada tahun sebelum 1942. 18 Setelah proklamasi kemerdekaan, pada saat tokoh-tokoh gerakan nasionalis menjadi tokoh-tokoh pemerintahan, ruang lingkup mereka semakin 17 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam;Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, hal.34 18 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal.227 meluas dan cepat. Mereka mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk menuangkan ide-ide, ini disebabkan setelah 1945 pertentangan-pertentangan ideologi semakin meruncing. Sehingga banyak dari kesatuan militer dari republik muda itu yang berjuang melawan Belanda selama empat tahun berikutnya, jelas- jelas mempunyai dasar ideologi-sosialis, nasionalis, Islam dan sebagainya. 19 Sebagaimana semua partai politik, republik juga harus menghadapi pemberontakan komunis dan pemberontakan kelompok Islam radikal, seraya tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk mengetahui bagaimana Umat Islam di Indonesia memandang hubungan antara agama yang mereka anut, dengan negara sebagai sebuah organisasi yang harus dikelola untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dari fakta sejarah dapat kita ketahui bahwa, kondisi bumi nusantara sebelum agama Islam datang sudah berkembang berbagai kepercayaan, baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun agama- agama Hindu dan Budha yang berasal dari Asia Selatan. Bahkan percampuran ajaran pun sinkretisme dari berbagai kepercayaan dan agama-agama itu telah berkembang dengan pesat. Dari keadaan itu dapat diketahui bahwa, bagian dari masyarakat tertentu telah mencampur adukkan unsur-unsur dari ajaran agama. Peranan agama dalam kehidupan masyarakat pada masa itu sangat besar dan sangat mempengaruhi pola dan karakter kehidupan. Dari peninggalan sejarah 19 Ibid, hal.227 dapat diketahui bagaimana suatu agama sangat berperan dalam kehidupan termasuk pengaruh agama terhadap kekuasaan dan susunan masyarakat. 20 Masuknya agama Islam, tidak merubah hubungan agama dengan negara kekuasaan. Kerajaan-kerajaan Islam seperti raja-raja terdahulu, kerajaan Islam sesuai dengan ajaran agama Islam mempergunakan agama sebagai landasan kekuasaan raja. 21 Perkembangan membawa perubahan dan perkembangan baru di kalangan masyarakat Indonesia. Umat Islam Indonesia seperti umat Islam di negara lainnya, atau bahkan di negara asal agama Islam itu sendiri, yaitu dunia Arab, memiliki satu pandangan yang sama, bahwa eksistensi suatu negara adalah satu keniscayaan yang wajib dan harus ada demi keberlangsungan kehidupan umat manusia. Artinya, mengutip pendapat Husein Muhammad di dalam buku civic education dan pendidikan kewargaan, negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Kata negara telah diterima secara umum, sebagai pengertian yang menunjukkan sebuah organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan yang mandiri. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara juga sebagai sebuah agensi alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Ini dikarenakan manusia hidup didalam suasana kerjasama dan antagonistis pertentangan. Dan negara adalah 20 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: CV. Rajawali, hal.36 21 Ibid, hal.36 organisasi yang di dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. 22 Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas, yaitu pertama, mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lainnya, supaya tidak antagonistis yang membahayakan. Dan yang kedua, mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan- golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Berdasarkan definisi negara di atas, dalam hubungannya dengan umat manusia yang secara sosial memiliki hak dan tanggung jawab terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Maka negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki pandangan yang beraneka ragam dalam memahami hubungan antara agama dengan negara. Hal ini disebabkan perbedaan cara memahami dan menginterpretasikan ajaran yang terdapat di dalam agama Islam itu sendiri. Jadi tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan negara oleh sebagian umat Islam tidak hanya dipandang sebagai tanggung jawab manusia sebagai mahluk sosial akan tetapi juga sebagai mahluk Tuhan yang harus mempertanggung jawabkan kehidupannya di kehidupan akhirat. Hubungan antara agama dan negara telah menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan tidak hanya terjadi di negara Indonesia, namun juga di negara- negara lainnya di belahan dunia ini. Pada hakekatnya, negara sebagai sebuah persekutuan hidup manusia secara bersama, merupakan suatu manifestasi dari 22 A.Ubaidillah et.all, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, hal.33 sifat manusia yaitu sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. 23 Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara selain sebagai mahluk sosial, juga merupakan mahluk Tuhan. Pada dasarnya yang menjadi perdebatan adalah, apakah hal-hal yang berkaitan dengan negara hanya merupakan suatu manifestasi dari kesepakatan antara manusia sebagai mahluk sosial, atau hal itu berkaitan dengan manusia sebagai mahluk Tuhan yang menerima wahyu dan petunjuk dari Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya. Oleh karena itu dasar ontologis manusia masing-masing sangat menentukan pemahaman konsep hubungan antara agama dengan negara. 24 Pola hubungan antara agama dan negara, pada umumnya terdapat beberapa konsep menurut beberapa aliran dan paham yang berkembang di beberapa negara dan termasuk juga di Indonesia. 1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi. Menurut paham teokrasi bahwa hubungan antara agama dan negara seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan dan politik merupakan manifestasi firman Tuhan. Sistem pemerintahan teokrasi ada yang langsung dan tidak langsung, menurut paham teokrasi langsung, raja atau kepala negara memerintah sebagai penjelmaan Tuhan, maka dalam paham teokrasi tidak 23 Ibid, hal.124 24 Ibid, hal.125 langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan adalah raja atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan atau kehendak Tuhan. 2. Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler. Selain paham teokrasi, terdapat juga paham sekuler dalam praktik pemerintahan, dalam kaitan hubungan agama dan negara. Menurut paham sekuler agama dan negara harus dibedakan dan dipisahkan. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama. Dalam paham sekuler, negara adalah mutlak urusan manusia dengan manusia lainnya antroposentris. Sedangkan agama adalah urusan manusia dengan sang penciptanya Tuhan . 3. Hubungan agama dan negara menurut paham komunis. Komunisme merupakan suatu paham yang berlandaskan pada filosofi materialisme dialektis dan materialisme historis. Paham ini dipelopori oleh Karl Marx. Dalam pandangan paham ini agama sebagai candu masyarakat. Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam pandangan ini merupakan suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis mahluk manusia, dan agama adalah keluhan mahluk tertindas, oleh karena itu agama harus ditekan bahkan dilarang. 4. Hubungan agama dan negara menurut pandangan Islam Dalam Islam, hubungn agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. 25 Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama din dan negara dawlah. Dan adapun menurut Munawir Sjadzali, ada tiga aliran dalam rangka hubungan agama dan negara. Pertama, aliran yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup segala- galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu, agama tak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya. Aliran kedua, mengatakan bahwa bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, nabi Muhammad tidak punya misi untuk mendirikan negara. Aliran ketiga, berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segala-galanya, tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat, termasuk bernegara. Maka ada dua model hubungan Islam dan Negara dalam aliran ketiga tersebut, yaitu pertama model hubungan integralistik. Model hubungan integralistik ini diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana agama Islam dengan seperangkat ajarannya dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan lembaga yang menyatu integral. Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. 25 Ibid, hal.127 Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Menurut model ini hubungan antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Dimana agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara. Menurut Ibnu Taimiyah tokoh Sunni salafi terkemuka, bahwa agama dan negara benar-benar berkelindan. Tanpa kekuasaan yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Sementara itu, negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Hal seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Al-Mawardi. Dalam buku teori politiknya yang sangat terkenal “al-ahkaamu as-shulthaniyyah” Al-Mawardi mengungkapkan bahwa “negara dibangun untuk menggantikan tugas kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia “. Dalam menafsirkan politik Islam di Indonesia dapat digunakan beberapa tinjauan teoritis. Dalam tinjauan teoritis ini, hubungan Islam dan politik di Indonesia telah memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat ditelususri ke belakang hingga abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan sejarah inilah Islam sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dengan politik setempat. Upaya teoritisasi politik Islam di Indonesia didasarkan kepada kisah mengenai kekalahan-kekalahan politik Islam secara formal. 26 Upaya teoritisasi 26 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, hal.23 politik Islam Indonesia berkembang menjadi kurang normatif dibandingkan dengan upaya-upaya serupa di jantung wilayah Islam, baik pada periode klasik maupun modern. Oleh karena itu, teori mengenai politik Islam Indonesia secara substantif dibangun diatas landasan-landasan empirik dimana perjumpaan antara Islam dan politik di kepulauan ini berlangsung. Dari landasan di atas dapat dikemukakan, bahwa selama empat dekade upaya-upaya teoritis tersebut, sedikitnya terdapat lima pendekatan teoritis dominan yang pengaruhnya, hingga tingkat tertentu, masih terasa hingga dewasa ini. Pendekatan Dekonfensionalisasi Islam Pendekatan ini dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze, ia mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembangunan bangsa dalam kerangka teori dekonfensionalisasi. 27 Dalam teori politik dekonfensionalisasi ini yang dilihat adalah kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik Belanda. Situasi sosio-keagamaan Indonesia dimungkinkan dilakukannya studi kasus perbandingan untuk menguji sejauh mana teori ini bisa diterapkan secara lintas kultural dan kebangsaan. Indonesia pada periode awal kemerdekaan dapat dilihat sebagai sebuah arena dengan cukup banyak aktor kuat dengan latar belakang sosial-keagamaan yang berbeda misalnya muslim, kristen, nasionalis, sekularis, modernis, dan ortodoks. 27 Ibid, hal. 24 Islam, menurut Cieuwenhuijze, adalah faktor yang dominan dalam revolusi nasional. Kalangan Islam, dalam interaksi mereka dengan faktor-faktor lain, rela melepaskan orientasi mereka “ yang formal dan kaku.” Ini, katanya lebih lanjut, “agar daya panggil mereka mencakup daya jangkauan yang lebih luas, dan pada saat yang sama tetap ada jaminan bahwa umat Islam mengakui peran yang telah mereka mainkan”. Pesan pokok pendekatan teoritis Nieuwenhuijze terhadap politik Islam di Indonesia modern barangkali adalah keharusannya untuk menampilkan diri dalam bentuknya yang obyektif, bukan subyektif, dan karenanya tidak “skripturalistik”. Teori di atas dalam konteksnya merupakan penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip Islam secara sedemikian rupa, dalam rangka memapankan kembali relevansinya dengan kehidupan di Indonesia abad ke-20 an, yang lebih penting, di zaman Indonesia kontemporer. Pendekatan Domestikasi Islam 28 Teori ini sering diasosiasikan dengan karya-karya Harry J.Benda mengenai Islam di Indonesia. Dalam teori ini salah satu unsur terpenting adalah perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam dan unsur-unsur non Islam dalam masyarakat Indonesia. 29 Indonesia pada periode pasca kolonial digambarkan sebagai duplikasi ajang pertempuran dimana perebutan kekuasaan yang terulang kembali antara kalangan Islam dan Jawa tampaknya dimenangkan kelompok yang terakhir, yaitu” Jawa”. Hal ini tampak dalam rangka tujuan yang ingin dicapai yaitu: menghilangkan pengaruh “cengkeraman politik” Islam. Jika 28 Ibid, hal. 28 29 Ibid, hal.30 demikian, maka dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia kontemporer telah didomestikasi secara terus menerus. Pendekatan Skismatik dan Aliran 30 Jika Benda menawarkan analisis mengenai politik Islam di Indonesia sebagai perebutan kekuasaan terus menerus antara Islam dan Jawa-isme, dimana yang pertama selalu berhasil dikalahkan, maka teori ini mencoba untuk menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan- pengelompokan sosial politik yang berkembang dalam realitas politik di Indonesia. Dari teori ini politik Indonesia di asumsikan sebagai arena pertarungan politik antara ortodoksi dan sinkretisme. Teori ini memilah-milah lapisan yang membentuk masyarakat politik Jawa kedalam “dua kelas religio-ideologis yang secara logika berbeda satu sama lainn: Jawa priyayi-abangan dan Islam. Menurut Clifford Geertz proses Islamisasi di Indonesia, khususnya pulau Jawa merupakan proses sinkretisasi antara Islam dan Hinduisme. Pada tahun 1950-an Geertz, mengamati tiga varian kebudayaan Jawa, yaitu priyayi, santri dan abangan, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, The Religion of Java. Menurutnya, sub-varian priyayi banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha dan pandangan mistik Jawa. Sementara sub-varian abangan sangat kental dipengaruhi animisme Jawa. Hanya sub-varian santri yang lebih murni mempertahankan ajaran Islam, dan itupun disertai pandangan elemen-elemen Jawa. 31 30 Ibid, hal. 31 31 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal.23 Dalam perkembangan, sub-varian santri dan abangan cenderung membedakan umat Islam Indonesia menurut orientasi-orientasi keagamaan mereka. Abangan merupakan kelompok umat Islam yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban Islam dan masih mempraktikkan unsur-unsur tradisional tertentu yang berhubungan dengan Hinduisme, Buddhisme dan Animisme. Sebaliknya, santri adalah muslim yang taat, yang menjalankan kewajiban- kewajiban Islam dalam kehidupan masyarakat. 32 Pendekatan Trikotomi 33 Dalam pendekatan ini dirumuskan pertanyaan bagaimanakah para aktivis politik Islam memberi respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh kelompok elit penguasa. Dalam pandangan pendukung teori ini, mereka mengakui obsesi masyarakat politik Islam dengan gagasan negara Islam. 34 Mereka juga menyadari antagonisme politik antara kelompok santri dengan abangan. Terlepas dari itu, mereka tidak otomatis mengasumsikan bahwa semua aktivis politik Islam memperlihatkan intensitas yang sama sehubungan dengan agenda negara Islam. Dalam teori ini nampak sekali keragaman dan kompleksitas politik Islam, dan terdapat tiga pendekatan politik, yaitu fundamentalis, reformis, dan akomodasionis dalam masyarakat politik Islam. 35 Dalam pandangan ketiga kelompok aktivis politik Islam tersebut, Islam merupakan bagian integral dari batang tubuh politik Islam. Akan tetapi dalam 32 Ibid, hal.24 33 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 40 34 Ibid, hal.40 35 Ibid, hal.40 pandangan mereka mengenai konsep dan ideologi perjuangan umat Islam terdapat perbedaan yang sangat fundamen. Sejalan dengan konsep kekuasaan, maka tujuan akhir dari konsep perjuangan politik kelompok fundamentalis, tidak diragukan lagi, adalah pembentukan negara Islam. 36 Sementara itu, bagi kelompok reformis, tujuan akhirnya adalah kemenangan partai-partai Islam secara formal dalam pemilihan umum. Dengan itu, kesempatan untuk membangun sebuah masyarakat Islam tidak serta merta harus dengan negara Islam. Sedangkan dalam pandangan kelompok akomodasionis, bahwa tuntutan ideologis dan politisnya mendapatkan jaminan-jaminan administratif dan politik. Menurut Allan Samson dalam bukunya “Conception of Politik, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam”, keragaman respon politik umat Islam juga menunjukkan berkembangnya pandangan berdimensi ganda umat Islam mengenai ideologi negara. Bagi kelompok fundamentalis, berbanding lurus dengan pandangan mereka tentang kekuasaan dan perjuangan umat Islam, pertarungan demi memperjuangkan ideologi Islam adalah sebuah tuntutan imperatif. Sebaliknya, kelompok akomodasionis dan reformis bersedia menerima kompromi ideologis untuk mendapatkan konsesi-konsesi politis tertentu. Kepemimpinan dua kelompok politik terakhir ini jelas lebih pragmatis. Mereka bisa bekerja sama dengan kelompok penguasa-penguasa sekular jika hal itu menguntungkan kelompok-kelompok yang mereka wakili. Dalam perdebatan mengenai masalah ideologi dan undang-undang dasar negara, kelompok santri secara politik mengelompokkan diri dalam aliran politik 36 Ibid, hal.43 dengan ideologi yang agamis Islam, sedangkan kalangan priyayi dan abangan secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang sekuler. 37 Pada masa sebelum kemerdekaan memang telah terjadi perdebatan- perdebatan antara A.Hasan dan Mohammad Natsir dari kalangan modernis disatu pihak dengan Soekarno dari kalangan sekuler. Arti penting dari pendekatan trikotomi ini adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia dapat memecahkan permasalahan politik dalam kerangka persoalan yang realistik. Pendekatan Islam Kultural Teori terakhir adalah pendekatan Islam kultural, yang dikembangkan oleh Donald K. Emmerson. Dalam teori ini diupayakan untuk meninjau kembali kaitan doktrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara. 38 Menurutnya, kelompok Islam militan mungkin menganut pandangan bahwa Islam yang berada di luar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap. Emmerson juga mengatakan, jika diletakkan dalam perspektif historis dan empirisnya di Indonesia, maka perumusan teori ini tampaknya dilandaskan kepada upaya-upaya umat Islam, setelah tahun-tahun kekalahan politis pada sedikitnya lima bidang: konstitusi, fisik, pemilihan umum, birokrasi, dan simbol untuk mengerahkan kembali energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi non- politis dari agama mereka. Hal ini dilakukan adalah untuk menghindari 37 Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern, Jakarta: Khairul Bayan, hal.47 38 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.45 perseteruan politik dengan golongan lain dan sesama rekan sendiri, dalam rangka menumbuhkan kesadaran keagamaan dan sosial para pengikutnya. Yang lebih inheren dari pendekaan ini adalah agar supaya Islam yang lebih substantif dan simpatik bisa hadir dan lebih memainkan perannya. 39 Strategi ini dilakukan dengan cara menerapkan ajaran Islam sebagai kesalehan individu para pengikutnya dan tidak dengan menonjolkan simbol-simbol yang bersifat formalistik. Dari upaya ini diharapkan umat Islam dapat mempengaruhi pemerintah yang bersifat otoriter dan menawarkan konsesi-konsesi yang tidak merugikan umat Islam. Dari kelima pendekatan teoritis yang dominan di atas, maka dapat ditelusuri dan diketahui bagaimana umat Islam Indonesia memandang hubungan politik dan negara. Umat Islam Indonesia bukan merupakan suatu kelompok umat Islam yang tunggal dan homogenitas, akan tetapi umat Islam Indonesia merupakan suatu umat yang sangat beragam dan heterogenitas. Sifat dasar Islam Indonesia yang heterogenitas ini telah melahirkan pandangan yang berbeda-beda di dalam umat Islam sendiri mengenai politik kenegaraan Indonesia. Dengan tidak tunggalnya umat Islam yang ada di wilayah nusantara ini, maka akan melahirkan pandangan yang berbeda-beda juga mengenai hubungan politik dan negara. Dan dari lima pendekatan teoritis diatas, maka umat Islam Indionesia dapat di kelompokkan ke dalam tiga kelompok arus utama dalam memandang hubungan Islam dan negara. 39 Ibid, hal.46 Tiga arus utama mainstream politik Islam di Indonesia pada masa awal Orde Baru tidak berbeda dengan politik Islam pada masa Orde Lama. Lahirnya ketiga kelompok arus utama politik Islam di Indonesia juga merupakan hasil dialektis antara umat Islam dengan sosio-kultural dan politik tertentu di tanah air. 40 Tiga arus utama politik Islam di Indonesia tersebut, yaitu arus Islam formalistik, arus Islam substantivistik, dan arus Islam fundamendalistik. Arus yang pertama dimaksudkan untuk mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal. Dalam konteks politik mereka menunjukkan orientasi yang cenderung mempertahankan bentuk-bentuk pra-konsepsi politik Islam, misalnya pentingnya partai politik Islam yang formal menggunakan nama Islam, ungkapan, idiom- idiom, dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama, landasan organisasi secara konstitusional Islam. 41 Formalisme Islam dalam politik dapat dilihat, misalnya pada masa awal Orde Baru berdiri. Kelompok ini sangat vokal menyerukan dihidupkan kembali piagam Jakarta, karena menurut mereka umat Islam telah memainkan peran penting dalam mendirikan rezim Orde Baru. Arus formalistik dan legalistik juga dapat dilihat dalam orientasi politik para aktivis partai dari kalangan umat Islam, yang secara historis telah menyakini bahwa partai politik dengan nama Islam sebagai satu-satunya sarana yang mungkin bagi artikulasi kepentingan politik orang-orang Islam. 40 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, hal.151 41 Ibid, hal.152 Orientasi politik formalistik dan legalistik di satu pihak menunjukkan bahwa kulturisasi Islam harus ditrasformasikan ke dalam politisasi. Dan politisasi harus memunculkan simbolisme Islam. 42 Agenda-agenda para aktivis politik Islam pada masa awal Orde Baru ini menurut sejumlah pengamat menggambarkan keadaan bahwa ketidakmapuan mereka dalam mensintesakan landasan teologis dan filosofis dengan realitas sosio-kultural dan politik yang ada. 43 Hal ini khususnya berkenaan dengan upaya mereka untuk merumuskan hubungan antara Islam dan negara yang dapat diterima secara nasional. Arus yang kedua, yaitu arus yang menekankan keniscayaan adanya lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk melaksanakan prinsip-prisip Islam merupakan sifat dasar dari formalisme Islam. Kelompok ini menekankan pentingnya tingkat makna substansial sambil menolak bentuk-bentuk pemikiran formalistik. Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik, bukan sekedar manifestasinya yang normal, baik dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini, yang lebih penting adalah eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat Indonesia modern. 44 42 Ibid, hal.153 43 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.128 44 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal.156 Bagi kaum substantivis, bahwa dalam persfektif sejarah, kulturalisasi ini telah memasuki persaingan antara kekuatan-kekuatan budaya yang beragam di Indonesia, dan Islam hanya salah satu di antaranya. Agar Islam memenangkan kompetisi ini, Islamisasi menurut kaum substantivis, mestinya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi; gerakan-gerakan Islam mestinya menjadi utamanya gerakan budaya daripada gerakan politik. Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis pemikir yang menekankan pentingnya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami Islam, yang berupaya memperhatikan cita-cita Islam bagi budaya nasional Indonesia, yang membedakannya secara jelas antara Islam dan negara. Sebagai sebuah strategi baru untuk revitalisasi Islam dengan penuh kesadaran para pemikir-pemikir indigenis merasa yakin bahwa hanya dengan pendekatan Islam “kultural” jangka panjanglah yang dapat menetralkan kecurigaan militer sambil secara perlahan-lahan memperkuat akar Islam dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan. 45 Salah seorang pencetus indigenisme adalah Abdurrahman Wahid, tokoh NU yang sejak awal tahun 80-an terkenal karena gagasannya tentang “pribumisasi Islam” dalam menghadapi kultur masyarakat Indonesia, dimana Islam hanya berfungsi sebagai salah satu faktor komplementer bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tapi, sebagaimana yang dikemukakan Fahry Ali dan Bahtiar Effendy, bahwa pemecahan masalah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid sifatnya 45 Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam Di Era Negara Bangsa, Yogya: Tiara Wacana, hal.106 temporal dan hanya bermakna praktis. Idenya Islam sebagai faktor komplementer bagi kultur Indonesia hanya memberikan “manuver” politik sesaat, dan kemudian hanya mengarah pada status quo. 46 Ini dikarenakan Abdurrahman Wahid, sebagai aktivis dalam gerakan Islam, nampaknya telah menghadapi logika politik situasional, yaitu pada saat munculnya ide pendirian ICMI Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia oleh B.J. Habibie yang telah berhasil merangkul beberapa orang tokoh dan pemikir Islam. Dengan lantang Abdurrahman Wahid sebagai ketua NU pada saat itu menolak untuk bergabung meskipun sudah didekati oleh B.J Habibie, bahkan Abdurrahman menuduh bahwa ICMI sebagai sarang fundamentalis Islam dan sektarianisme dan fokusnya adalah eksklusivistik dan elitis daripada pan-Indonesia. 47 Menurutnya perjuangan demokrasi dan keadilan dalam sejarah ini seharusnya menerima preseden yang kurang lebih inklusif, termasuk dari komunitas muslim. Islam seharusnya tidak diidealkan sehingga ia dianggap sebagai satu-satunya alasan untuk demokrasi, hukum atau keadilan ekonomi. Sebaliknya Islam digunakan semata-mata sebagai “landasan inspirasional untuk kerangka nasional tentang masyarakat demokratik”. 48 Ide Abdurrahman tersebut dalam bacaan sebagian pemikir Islam ketika itu merupakan sebuah ide responsif yang kelihatannya bersifat pragmatis, dan belum terbangun secara utuh. Akan tetapi kritikan Abdurrahman Wahid tersebut sangat direspon oleh sebagian kelompok militer yang memang sangat membenci Islam. Dan hal ini sangat disadari oleh Abdurrahman Wahid, karena militer sudah mulai 46 Fahri Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, hal. 191-192 47 Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, Yogyakarta: Lkis, hal.23 48 Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam Di Era Negara Bangsa, Yogya: Tiara Wacana, hal.139 ditinggalkan oleh Suharto dengan mendirikan ICMI itu adalah sebagai salah satu jalan untuk mengimbangi penentang-penentangnya di militer, akan tetapi juga untuk memecah belah gerakan pro-demokrasi berdasarkan garis keagamaan. Akan tetapi kritikan dan tuduhan Abdurrahman Wahid terhadap ICMI ketika itu telah ditanggapi oleh sebagian orang-orang yang tergabung di dalam ICMI, bahwa Abdurrahmanlah yang sebenarnya mengipas-ngipas api sektarianisme dan bukan mereka. 49 Karena Abdurrahman Wahid setelah itu terlihat menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Jenderal L.B Moerdani dengan kelompok pro demokrasi yang mereka bentuk, seorang jenderal Katolik Jawa yang sangat membenci Islam. Hal ini menurut mereka berbeda dengan Nurcholish Madjid, seorang pemikir “non-sektarian” substantivis. Dengan program pembaharuannya, ia telah berupaya menawarkan kerangka pemikiran yang lebih substansial dan sistematik. 50 Nurcholish Madjid menemukan bahwa, Islam adalah agama fitrah yang menekankan potensi-potensi yang inheren dalam diri manusia dalam kebebasan dan kebaikan, Islam adalah agama universal yang mengajarkan cita-cita kemanusiaan universal, yang mengajarakan inklusivisme, bukan eksklusivisme. 51 Pandangan ini didasarkan oleh Nurcholis Madjid dari renungannya atas Islam dan historisitas umat Islam Indonesia. 52 Hakikat Islam yang inklusif ini, menurut Nurcholish Madjid menyatakan bahwa bentuk interrelasi dan interaksi yang 49 Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, hal.23 50 Ibid, hal. 193 51 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Kita, Jakarta: Univ.Paramadina, hal.40 52 M.Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal. 158 inklusif mesti ditegakkan oleh umat Islam Indonesia dalam hubungannya dengan pluralisme masyarakat Indonesia. Justifikasi filosofis dan historis para pemikir Islam mengenai hubungan yang serasi antara Islam dan negara telah mendorong mereka melakukan substansiasi atas bentuk-bentuk yang ada dari lembaga-lembaga politik. Tingkat substansi dari pengamatan atas masalah-masalah umat Islam mendorong mereka meluncurkan pengembangan masyarakat lewat kegiatan-kegiatan non-politik, yang walaupun demikian memiliki implikasi politik. Oleh karena itu mereka dimasukkan ke dalam mainstream politik substantivistik. Arus yang ketiga yaitu, arus fundamentalisme yang secara diametral mainstreamnya bertentangan dengan mainstream arus pertama dan kedua. Pada arus ketiga ini cenderung untuk mengangkat kembali sendi-sendi Islam ke dalam realitas politik sekarang. Mainstream ini, pada titik pangkalnya berkeyakinan bahwa kedua mainstream pertama telah gagal menunjukkan Islam sebagai keseimbangan tandingan dalam merespon sistem politik Indonesia. Kemunculan fundamentalisme Islam di Indonesia dipengaruhi oleh faktor internasional, yakni perkembangan fundamentalisme Islam di dunia Islam, dan oleh dinamika dialektis internal dalam politik Islam Indonesia itu sendiri. 53 Dengan disebabkan ketidakmampuan dan ketidakefektipan gerakan- gerakan Islam yang mapan di hadapan rezim yang melakukan depolitisasi atas Islam melahirkan kelompok penentang dalam masyarakat Islam Indonesia. Kelompok ini bersikap sangat reaksioner dalam menantang penguasa, dan 53 M.Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal.160 diantara mereka juga menantang kemapanan Islam dengan menawarkan semacam alternatif. Sejarah Islam di Indonesia masa Orde Baru telah menyaksikan kemunculan sejumlah kelompok sempalan, termasuk Islam Jamaah di Jawa Timur, kelompok Islam Isa Bugis, Jamaah Tabligh dan Jamaah Tanbih. Selain itu terdapat pula di kalangan generasi muda Islam lingkaran-lingkaran keluarga usrah. 54 Bagi kalangan fundamentalisme menjelaskan bahwa, Islam terdiri dari dasar –dasar yang imperatif untuk “aksi”, suatu ide yang keluar dari karakteristik transformatif dari Islam dan pembelaannya yang nyata bagi orang-orang “lemah dan dilemahkan” mustad’afin. Ide tentang transformatif Islam dikemukakannya dari elaborasi atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang menyatakan bahwa misi Islam adalah mentransformasi masyarakat dari kegelapan menuju terang. Jika transformasi masyarakat berarti perubahan sosial, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat Islam transformatif menuntut suatu proses perubahan, apakah itu secara revolusioner ataupun evolusioner. Maka pilihan antara kedua kemungkinan perubahan ini tidak jelas dalam pemikiran mainstream politik fundamentalis Islam Indonesia. 55 Dan ketiga arus utama politik Islam tersebut masih tetap eksis hingga kini di bumi nusantara ini. Semuanya menjadi bagian dari nuansa Islam Indonesia, dan 54 Ibid, hal.161 55 Ibid, hal.163 menjadi arus utama dalam memandang pemikiran hubungan antara Islam dan negara.

B. Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampak terhadap Politik militer