3. Penguasa Proterian
Pemerintahan militer model ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kedua model pemerintahan militer di atas. Model ketiga ini tidak saja
menguasai pemerintahan tapi juga mendominasi rezim yang berkuasa, bahkan kadangkala mencoba menguasai sebagian besar kehidupan politik-ekonomi
dan sosial melalui pembentukan struktur dan cara-cara mobilisasi.
C. Misi Politik Militer ABRI Pada Masa Orde Baru
Kekecewaan para perwira ABRI terhadap pemerintah sipil muncul kembali pada awal 1950-an, ketika pemerintah akan melakukan rasionalisasi
tentara. Kekesalan juga muncul karena pemerintah ingin menentukan jabatan – jabatan kunci di Angkatan Darat. Ini menghasilkan pertistiwa 17 Oktober 1952
yang merupakan gerakan politik yang dilakukan oleh perwira-perwira ABRI untuk memaksa presiden Soekarno membubarkan DPRS yang dianggap telah
merugikan pihak militer.
89
Perkembangan politik berikutnya di Indonesia adalah terjadinya ketidakstabilan politik sebagai akibat dari pertentangan politik yang hebat dan
mendalam antara partai-partai politik. Ketidakstabilan dan konflik ideologis antara partai-partai politik berujung pada pemberontakan daerah yang dilakukan
oleh PRRIPermesta.
90
Kekacauan–kekacauan politik yang terjadi pada masa Orde Lama berakhir setelah Orde Baru tampil ke atas panggung kekuasaan di tengah kemelut sekitar
89
Indria Samego et. al,’’....Bila ABRI Menghendaki, hal. 83
90
Ibid, hal. 83
kehancuran sistem demokrasi terpimpin. Di bawah demokrasi terpimpin kaidah- kaidah birokrasi telah menjadi lumpuh ketika inflasi merajalela tak terkendali
dengan konflik-konflik politik yang memuncak, sehingga polarisasi kekuatan- kekuatan yang paling bertentangan itu tidak dimungkinkan dilakukannya
perbaikan-perbaikan administratif.
91
Setelah pengambilalihan kekuasaan ditahun 1966, perhatian utama para perwira senior lebih tertuju pada terciptanya kondisi-
kondisi menguntungkan untuk meluasnya kesempatan perdagangan, dengan harapan akan dapat dimanfaatkan bersama rekan-rekan usaha mereka dengan
sebaik–baiknya. Dan banyak pula perwira yang relatif berorientasi “profesional” berhasrat untuk mengembangkan sistem yang lebih tertib, yang menghormati
patokan-patokan birokrasi dan profesi. Dalam tahun – tahun permulaan Orde Baru, jenderal-jenderal “politik” dan
“uang” pada lingkaran terdekat dengan presiden diberi keleluasan bergerak sebebas – bebasnya. Pada dekade tahun 1970-an kekuasaan yang berlebihan
tersebut mendapat tantangan-tantangan dari perwira-periwa yang berhaluan pembaharuan, yang berhasrat untuk membangun suatu sistem yang lebih
berdisiplin. Mereka yang mendengungkan pembaharuan itu, sebenarnya bukanlah untuk mengadakan perubahan yang radikal, akan tetapi untuk menyelamatkan
sistem itu menurut aturannya. Seperti lawan-lawan militernya, mereka pun menginginkan militer yang tetap berkuasa.
Politik militer Orde Baru merupakan suatu fase kontinuitas dari peran politik militer pada masa Orde Lama. Seperti pada masa Orde Lama, militer pada
91
Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, hal.343
masa Orde Baru terus berusaha memantapkan dan mengokokohkan posisi dan peran politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Militer Pada masa
Orde Baru menghendaki adanya ketertiban dan kondisi yang stabil dan baik dari segi politik, ideologi maupun masyarakat. Militer pada masa ini memposisikan
dirinya sebagai penjaga integritas bangsa dan negara, pengaman jalannya pembangunan, melindungi keamanan dan ketertiban negara, penjaga ideologi
tunggal Pancasila, dan sebagai dinamisator dari pada pembangunan. Pada masa awal Orde Baru, tindakan politik yang dimainkan oleh
kelompok militer adalah untuk mengembangkan kepentingan bersama yang melampaui kepentingan golongan militer dan menentang kepentingan kelas yang
diwakili oleh golongan komunis.
92
Hal ini dikarenakan ABRITNI-AD tujuan utamanya adalah stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi nasional.
Landasan politik militer
ABRI khususnya TNI-AD mendapat
legitimasinya setelah lahirnya konsep “Dwifungsi ABRI” pada masa Orde Baru dan pada masa Orde Lama dikenal dengan “konsep jalan tengah” ABRI yang
diperkenalkan oleh Nasution pada 1958, yang intinya pemberian kesempatan kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bangsa, untuk berperan serta di
dalam pemerintahan atas dasar “ Asas Negara Kekeluargaan”. Konsep Nasution juga dicetuskan sebagai upaya untuk mencegah militer melakukan kudeta
terhadap pemerintah sipil.
93
Karena jika sekali kudeta dilakukan, maka kudeta berikutnya secara simultan akan datang silih berganti.
92
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967,Menuju Dwi Fungsi ABRI, hal.445
93
Indria Samego et al, “....Bila ABRI Menghendaki”, hal.59
Pada masa awal Orde Baru dari konsep dwifungsi ABRI tersebut lahirlah suatu perwujudan yang nyata dari orientasi politik militer ABRI, yaitu dengan
penugasan prajurit ABRI dalam lembaga-lembaga, instansi, badan, atau organisasi diluar jajaran ABRI.
94
Penugasan ini dalam rangka untuk mengamankan bangsa Indonesia dari pengaruh komunisme, dan pada masa selanjutnya untuk
menyukseskan pembangunan nasional.
94
Ibid, hal.96
BAB IV ABRITNI DALAM MENATA PERPOLITIKAN NASIONAL
A. Sejarah Politik Hukum ABRITNI