Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampak terhadap Politik militer

menjadi arus utama dalam memandang pemikiran hubungan antara Islam dan negara.

B. Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampak terhadap Politik militer

Politik Indonesia mencerminkan kompleksitas budaya dari suatu eksistensi negara kepulauan nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang sangat beragam dalam geografi, bahasa, maupun identitas etnik disatu pihak, dan dalam status sosial, posisi ekonomi, dan ideologi keagamaan dipihak lain. Konstruksi fisik negara Indonesia dan sosial masyarakatnya yang sangat heterogen ini sangat berpengaruh terhadap konstruksi bangsa Indonesia yang dicita-citakan. Ikatan kebangsaan merupakan salah satu bentuk ikatan sosial, disamping ikatan keluarga dan ikatan kesukuan. Sebagai sebuah negara bangsa, kebangsaan Indonesia yang terdapat di wilayah nusantara ini, dalam pembentukan awalnya sangat dipengaruhi oleh unsur Islam sebagai agama mayoritas penduduknya. 56 Dari realitas sosial, Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, maka dari sebagian elite bangsa Indonesia menjadikan agama Islam sebagai ideologi perjuangan politiknya, dan sebagian lagi menjadikan Islam sebagai panduan moral dan etika saja, dan bahkan sebagian lagi Islam tidak dijadikan sebagai standar apapun di dalam politik Indonesia. Umat Islam di Indonesia, walaupun sebagai umat mayoritas negara Indonesia, akan tetapi bukan merupakan suatu komunitas tunggal monolitik 56 Tatang Muttaqin, dkk, Membangun Nasionalisme Baru, Jakarta: Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga BAPPENAS, hal.27 dalam pandangan dan budaya politiknya. 57 Dari komunitas yang monolitik inilah, maka tercipta budaya politik yang sangat beragam dan kompleks. Budaya politik di satu sisi dan Islam di sisi yang lain merupakan dua hal yang berkaitan sangat erat dalam sejarah perjalanan pendirian negara dan bangsa ini. Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan, yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan sesuai dengan lingkup yang dihadapinya. Oleh karena itu, budaya merupakan nilai- nilai dan adat kebiasaan yang terdapat di dalam masyarakat. 58 Sedangkan Islam sendiri merupakan suatu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad, rasul Tuhan dengan ajaran-ajaran yang langsung dari Tuhan untuk disebarkan kepada seluruh umat manusia. Kebudayaan lebih dekat dengan ilmu fenomena masyarakat, hal ini disebabkan karena sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian dari sistem sosial yang hidup dalam sociosphere yang merupakan bidang penelaahan bidang sosiologi, antropologi, maupun geografi. 59 Maka budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang terlibat di dalam politik kenegaraan secara langsung dan orientasi para pelakunya terhadap kehidupan politik yang dihayati, 57 Asep Gunawan ed, Artikulasi Islam Kultural, Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.VIII 58 A.Ubaidillah,dkk, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, hal. 14 59 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, hal. 24 diamalkan dan diperjuangkan oleh para anggota suatu sistem politik tertentu. 60 Budaya politik juga merupakan persefsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik yang terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan, karena menyangkut soal kekuasaan, aturan, dan wewenang. 61 Pada prinsipnya, budaya politik sebagai salah satu unsur atau bagian kebudayaan merupakan satu dari sekian banyak jenis lingkungan dan unsur yang mengelilinginya dapat memberi pengaruh dan dampak terhadap perkembangan dan aktivitas politik dan sistem politik tertentu. Hubungan saling mempengaruhi antara budaya Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang sebelum negara bangsa Indonesia berdiri dengan agama Islam yang masuk ke nusantara ini, telah memberi warna dan pola hidup dan budaya politik tersendiri. Secara historis, umat Islam dengan ajaran yang dianut dan dijadikan pegangan hidupnya berperan besar dalam menentukan sejarah tumbuh dan berkembangnya perjalanan politik bangsa dan negara ini, dari sejak pra kemerdekaan, pada masa kemerdekaan; Orde Lama, Orde Baru dan bahkan pada masa sekarang. Interaksi antara ajaran Islam dengan budaya bangsa-bangsa yang ada di negara Indonesia telah menghasilkan pola dan bentuk pemikiran umat Islam tentang politik berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, kultur politik Islam atau orientasi atas nilai-nilai Islam yang diperjuangkan. Nilai-nilai dari kultur politik Islam, jika dilihat dari sejumlah pengukuran, dan secara umum ada tiga 60 Ibid, hal. 24 61 Ibid, hal. 26 dimensi dari orientasi politik Islam, yaitu orientasi nilai-nilai politik simbolik Islam, kedua orientasi atas politik Islam sebagai tuntutan legal spesifik, dan ketiga yaitu orientasi politik Islam yang substantif. 62 Budaya politik yang pada umumnya mencakup beberapa hal, yaitu orientasi politik, sikap terhadap sistem politik, bagian-bagiannya, serta sikap terhadap peran kita sendiri dalam sistem tersebut. 63 Maka kebudayaan politik suatu masyarakat merupakan suatu proses menginternalisasikan suatu nilai-nilai ke dalam kesadaran dirinya, perasaan, dan evaluasi diri serta perilaku hidupnya. Oleh karena itu mengutip pernyataan Almond ; 64 budaya politik bukan merupakan suatu kenyataan yang statis dan tidak berkembang dalam ruang lingkup kehidupan manusia, sebaliknya merupakan sesuatu yang terus berubah dan berkembang sesuai dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dengan dinamika politik yang selalu berubah dan berkembang, maka budaya politik Islam di Indonesia juga akan terus berubah dan berkembang, ini dipengaruhi berbagai faktor perubahan di dunia global. Budaya politik Islam di Indonesia dari periode pra kemerdekaan sampai pada periode sekarang terus berubah dan berkembang. Studi ini untuk mengetahui sejauh mana doktrin dari ajaran Islam mempengaruhi para elite politik muslim dalam berpolitik. Studi ini menekankan pembahasan tentang budaya politik Islam pada masa akhir Orde Lama dan masa awal Orde Baru hingga tahun 1990. Pada masa 62 Jamhari ed, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 213 63 Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia, hal.21 64 Ibid, hal.22 akhir Orde Lama budaya politik Islam sangat simbolistik dan ideologis, seperti keadaan pada masa awal Orde Lama. Masa akhir dari Orde Lama merupakan masa demokrasi terpimpin sejak Presiden Soekarno mengeluakan dekrit presiden 5 Juli 1959, yaitu Soekarno dengan didukung oleh kelompok militer menyatakan kembali ke UUD 1945. 65 Dengan keluarnya dekrit tersebut, secara simbolik menandai kekalahan kultur atau budaya politik Islam yang bersifat legalistik dan formalistik. Di bawah demokrasi terpimpin presiden Soekarno, artikulasi legalistik dan formalistik perjuangan gagasan, cita-cita, dan ide dari praktik politik Islam, terutama gagasan perjuangan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi- implikasi bawaannya yang negatif. 66 Adapun budaya politik Islam yang legalistik dan formalistik pada masa akhir Orde Lama yang diwakili oleh partai Masyumi, pada akhirnya dibubarkan oleh presiden Soekarno dan pemimpin utamanya seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara di penjarakan. Dengan alasan bahwa oposisi mereka terhadap pemerintah yang tak berkesudahan, dan juga keterlibatan mereka dalam pemberontakan PRRI. Memasuki tahun 1966, setelah terjadinya pemberontakan G30-S PKI terjadilah pergantian rezim. Rezim Orde Lama dengan demokrasi terpimpinnya telah digantikan oleh rezim Orde Baru yang dinahkodai oleh Letnan Jenderal Soeharto sebagai presidennya. Pada tahun pertama dengan mulai berkuasanya pemerintah Orde Baru, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan 65 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 110 66 Ibid, hal.110 besar. Ini disebabkan oleh karena kelompok politik Islam merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi soaial-keagamaan dan sebagainya yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan presiden Soekarno. Kedua, yaitu langkah pemerintah Orde Baru membebaskan bekas - bekas tokoh Masyumi yang pada masa Soekarno di penjara termasuk Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mnagkusasmito, dan Hamka. Harapan kelompok politik Islam tersebut, pada akhirnya tidak menjadi kenyataan setelah pemerintah Orde Baru, dengan kelompok militer dalam upaya memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966 menyatakan bahwa mereka: akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan melalui pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu, Darul IslamTentara Islam Indonesia [sebuah gerakan Islam yang paling fanatik pada 1950-an dan memperoleh basis dukungannya di Jawa Barat yang berupaya mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata] dan Masyumi- Partai Sosialis Indonesia…dikutip dari Allan Samson di dalam buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara. Pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya gagasan mengenai hubungan antara Islam dan negara yang sangat bersifat ideologis di kalangan aktivis politik Islam pada masa akhir Orde Lama, pada kenyataannya terus diperjuangkan sampai pada masa awal Orde Baru. Dalam pandangan kelompok ini, bahwa dimensi-dimensi teologis atau filosofis politik Islam dalam memahami hubungan agama dan negara menjadi prasyarat mutlak dalam membangun dan mengembangkan bentuk dan landasan dasar negara bangsa ini. Pada dasarnya pemahaman ini merupakan produk pemahaman umat Islam atas doktrin-doktrin keagamaan mereka, akan tetapi pada akhirnya merupakan faktor yang sangat esensial dalam mepengaruhi dan membentuk pemikiran dan praktik para politisi muslim, khususnya generasi pada masa Orde Lama. 67 Dinamika politik Indonesia pada masa Orde Lama yang sangat tidak menentu, yang pada umunya diakibatkan oleh perdebatan perjuangan untuk kepentingan ideologis kelompok tertentu dari bangsa yang sangat heterogen dan multikultural ini, berakhir dengan kebuntuan, permusuhan ideologis dan politis yang sangat meruncing, dan bahkan kekerasan. Setelah pemerintah Orde Baru berusaha menata kembali format politik Indonesia, berberapa pemimpin politik Islam generasi lama menunjukkan sikap reaktif. Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa agenda-agenda politik mereka pada tahun-tahun pertama pemerintahan Orde Baru yakni mendesak supaya legalisasi piagam Jakarta; menuntut rehabilitasi Masyumi; dan berusaha keras untuk melibatkan secara langsung para mantan pemimpin Masyumi dalam Parmusi yang baru didirikan ditolak, sikap formalistik politik Islam masa lalu tetap tidak berubah. Inilah yang membuat budaya politik Islam yang merupakan suatu orientasi politik, sikap terhadap sistem dan perilaku diri sendiri terhadap format politik dan agama menjadi kaku. 67 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.128

C. Peran Politik Islam Era Awal Orde Baru