Korpri Korp pegawai republik Indonesia dengan garis hirarkisnya turun sampai ke tingkat desa untuk menjamin kemenangan Golkar.
Orde Baru yang ditulang punggungi oleh militer amatlah traumatis dengan disintegrasi nasional dan stabilitas politik yang dapat menghambat rencana
pemerintah untuk menjalankan pembangunan ekonomi. Lebih jauh lagi Orde Baru melakukan penekanan dan pembatasan secara luas partisipasi politik rakyat secara
langsung. Kooptasi negara terhadap berbagai kekuatan masyarakat, serta berbagai regulasi ekonomi dan politik pada masa Orde Baru juga dilakukan melalui
intimidasi dan kebijakan politik represif kelompok militer, yang berlindung dibalik jargon stabilitas dan keamanan nasional.
Menurut Richard Tante, pada masa Orde Baru juga aktualisasi politik masyarakat telah ditekan di bawah bayang-bayang kekuasaan militer yang sangat
besar, terutama melalui praktek intelijen. Dalam kerangka ini, Tante kemudian menyebutkan Orde Baru sebagai pemerintahan yang menjalankan model “negara
militer rente”.
83
B. Karakteristik Politik Militer ABRITNI
Karaktristik militer Indonesia pada masa Orde Baru adalah militer politik dan bukan militer profesional. Militer politik merupakan antitesa dari teori
Huntington. Persepsi tentara mengenai dirinya sebagai kekuatan politik berasal
83
Eef Saefullah Fatah, Zaman Kesempatan, Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru,
Bandung: Mizan, hal.10
dari perbedaan yang kabur tentang fungsi militer dan fungsi politik dalam masa perang kemerdekaan melawan Belanda.
84
Sebagai tentara politik, ABRI memiliki karakter inti yang dipopulerkan oleh Finer dan Janowitz, yaitu: militer secara sistematis mengembangkan
keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara. Hal ini dilakukan dengan mengkombinasikan prinsip hak sejarah
birthright principle dan prinsip kompetensi competence principle. Berangkat dari dua prinsip dasar inilah ABRITNI menciptakan peran sosial dan politiknya.
Prinsip hak sejarah menurut ABRITNI didasarkan pada suatu interpretasi sejarah bahwa militer berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa dan juga telah
melakukan pengorbanan yang tidak terhingga untuk membentuk dan mempertahankan negara. Pada gilirannya, sejarah asal–usul dan peran awal militer
tersebut telah membentuk suatu tradisi dan seperangkat nilai.
85
Sedangkan prinsip kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang
dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa. Faktor utama bagi kelompok militer yang mendasari penilaian ini pada
masa Orde Baru, yaitu wacana tentang ketidak mampuan institusi sipil untuk mengelola negara, ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional.
Dari dua prinsip hak yang dikombinasikan oleh ABRI ini, maka pada akhirnya ABRI menjelma menjadi kekuatan sosial politik yang paling
berpengaruh dalam menentukan arah dan kebijakan negara. Perpaduan dua prinsip
84
Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, hal.22
85
Indria Samego, “…Bila ABRI menghendaki”, Bandung: Mizan, hal. 62
tersebut dilakukan sepanjang sejarah perkembangan militer Indonesia, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga pasca Orde Baru.
Pada masa Orde Lama, militer Indonesia berkonsentrasi untuk mengedepankan hak sejarah, terutama dengan mengidentifikasi dirinya sebagai
aktor yang berperan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan mendukung penuh kebijakan nasionalistik pemerintah untuk meredam gerakan–
gerakan separatis serta upaya untuk mewujudkan kedaulatan teritorial Indonesia. Wacana ini dikembangkan terus untuk membentuk pemahaman bahwa ABRI
merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya self-creating entity yang berbeda dengan militer di negara Barat dan memiliki kemanunggalan dengan
rakyat. Di tahap kedua, militer Indonesia menjelma menjadi penjaga dan penyelamat
bangsa the guardian and the savior of the nation. Ini dilakukan dengan menempatkan militer Indonesia sebagai pelindung utama Pancasila. Penempatan
ini mulai dirintis oleh Nasution melalui perumusan doktrin dwifungsi di tahun 1950-an dan mendapat kulminasinya dalam pemberontakan PKI 1965.
Pada tahap akhir, yaitu dengan mengkombinasikan antara hak sejarah dengan prinsip kompetensi militer dengan menempatkan militer Indonesia sebagai
satu- satunya aktor yang mampu menegakkan integritas bangsa sekaligus menjadi aktor pembangunan nasional. Perpaduan ini dilakukan dengan memperkenalkan
strategi pembangunan politik - ekonomi yang menggabungkan tahap pertumbuhan lima tahun yang diperkenalkan oleh Rostow dengan strategi stabilisasi politik -
keamanan yang diungkapkan oleh Huntington. Kombinasi model Rostow–
Huntington ini menghasilkan strategi pembangunan terencana jangka panjang yang menempatkan stabilitas politik keamanan sebagai prasyarat utama
pembangunan ekonomi. Strategi ini menempatkan militer di titik sentral. Politik militer di Indonesia yang telah di mulai sejak masa Orde Lama dan
mencapai puncak akumulasinya pada masa Orde Baru. Politik militer Indonesia sangat dipengaruhi oleh karakter budaya Jawa, seperti mitologi Jawa dan konsep
Jawa tentang kekuasaan, dimana seorang satria harus memiliki kesetiaan tanpa pamrih kepada raja.
86
Dipihak lain, satria tidak terbatas kepada peran militer semata – mata. Ia juga adalah seorang administrator, yang pada akhirnya
melahirkan karakter militer yang sangat otoriter dan refresif. Dalam mengidentifikasi karakter politik militer ABRITNI yang berjalan
selama masa pemerintahan rezim Orde Lama dan Orde Baru, maka dapat ditelusuri dengan berbagai peran politik dan sejauh mana keterlibatan kelompok
militer dalam suatu pemerintahan. Konsep pemerintahan pretorianisme lebih banyak mengacu pada
fenomena keterlibatan atau intervensi kelompok militer dalam arena politik atau urusan-urusan pemerintahan suatu negara. Alasan keterlibatan militer ini menurut
Nodlinger disebabkan oleh pandangan subyektif kaum militer yang menggambarkan korp mereka sebagai perwira-perwira yang bertanggung jawab
86
Ulf Sunddhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwi fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, h.468
dan berjiwa patriotik yang mengintervensi pemerintahan sipil karena tanggung jawabnya kepada konstitusi dan negara.
87
Dalam konteks pemerintahan negara modern campur tangan korp militer dalam arena politik dirujuk dengan beberapa sebutan diantaranya, “prajurit
berkuda” karena posisi tradisional para perwira militer tersebut sebagai penunggang kuda, atau dikenal juga sebagai “tentara berbaju sipil”. Julukan lain
adalah “pasukan bedah besi” karena pengalaman campur tangan militer melalui tindakan tegas tentara untuk memulihkan situasi politik dan ekonomi.
88
Sedangkan sebutan militer sebagai “birokrat bersenjata” lantaran sikap politik mereka dan cara pemerintahan korp perwira militer yang nyaris mirip dengan
pemerintahan sipil. Campur tangan militer terhadap pemerintahan sipil melalui beberapa cara
yang kemudian lazim menjadi ciri khas rezim militeristik. Diantara bentuk campur tangan militer itu antara lain:
a.Ancaman militer secara terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan yang mereka ajukan dikabulkan.
b.Mengambil alih kekuasaan pemerintah dan mengubah rezim sipil menjadi rezim militer.
Sedangkan cirri-ciri rezim militer sekalipun pimpinannya telah mengganti atribut-atribut militer dengan sipil, seperti presiden atau perdana menteri adalah:
a.Tentara mendapat kekuasaannya melalui kudeta
87
A. Ubaidillah, et. Al, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
Jakarta: IAIN Press, hal.103
88
Ibid, hal.104
b.Para pejabat petinggi negara telah bertugas atau terus bertugas dalam angkatan bersenjata.
c.Pemerintahan masih terus bergantung kepada dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaannya.
Elit militer atau para pretorian memiliki sikap politik yang umumnya sama, di antaranya memiliki sikap meragukan kegiatan politik massa dan peranan politisi
sipil, dan sikap menunjukkan tingkah laku politik mempertahankan kepentingan kelompok militer yang bersekutu. Dan dalam pemerintahan, mereka membentuk
struktur otoritarian Secara
umum tipologi
pretorianisme, menurut
Nordlinger, dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga model pretorian, yaitu : 1.
Moderator Pretorian Ciri khas moderator pretorian adalah mereka menggunakan hak veto atas
keputusan pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Meskipun pihak sipil yang memerintah, namun kekuasaan mereka
diawasi oleh militer yang tidak akan menerima supremasi pihak sipil. 2.
Pengawal Pretorian Pemerintahan militer model ini merupakan fase lanjutan dari model
moderator pretorian. Jika yang pertama bersifat konservatif, kelompok ini lebih bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan
pemerintahannya. Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-perubahan, prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan
kehidupan sosial, dengan tetap membatasi kegiatan dan hak sipil.
3. Penguasa Proterian
Pemerintahan militer model ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kedua model pemerintahan militer di atas. Model ketiga ini tidak saja
menguasai pemerintahan tapi juga mendominasi rezim yang berkuasa, bahkan kadangkala mencoba menguasai sebagian besar kehidupan politik-ekonomi
dan sosial melalui pembentukan struktur dan cara-cara mobilisasi.
C. Misi Politik Militer ABRI Pada Masa Orde Baru