Pengertian Perkawinan PERKAWINAN DI INDONESIA

Imam Abu Hanifah 4 memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-Syafi’i 5 memakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”. 6 Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang dikemukakan ulama terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal as-Syakhsiyyah fi at- Tasyri’ al-Islami : 7 Artinya : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban- kewajiban. Dalam pendapat yang serupa Muahmmad Abu Ishrah mengatakan : 8 4 Kamal Muchtar, asas-asas hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: tp, tt, h.1 5 Ibid, h. 1 6 Imam Muhammad B. Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir: Al-Ja ami’ Baina Fanni ar-Riwaayah wa ad- Diraayah min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid II, Jakarta: Pustaka Azzam, tt, h. 357 7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia-Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.39 8 Abdurrahaman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012, h. 9 Artinya : Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga suami isteri antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing. Demikian pula di dalam Al- Qur’an, perkataan “nikah” pada umumnya diartikan dengan “perjanjian perikatan”. Firman Allah SWT : ٢٢ Artinya : Dan nikah aqad-kanlah orang-orang yang tidak mempunyai jodoh diantara kamu yang merdeka dan orang-orang yang layak bernikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. QS. An-Nur: 32. Demikian pula halnya perkataan “nikah” yang terdapat didalam hadits- hadits Nabi SAW, pada umumnya berart i “perjanjian perikatan”, seperti : Hadits Nabi SAW : Artinya : Telah menceritakan kepada kami Nashr bin al-Jahdhomi dan Kholil bin Amr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isya ibnu Yunus, dari Kholid bin Ilyas, dari Robi’ah bin Abi Abdurrahman, dari al-Qasim, dari Aisyah, dari Nabi shallal laahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Syiarkanlah pernikahan ini dan mainkanlah rebana. H.R. Ibnu Majjah dan At-Tirmidzi Menrut Prof. Mahmud Yunus, Perkawinan dalam bahasa arab ialah nikah. 10 Menurut Syara’, hakikat nikah itu ialah akad antara calon isteri dan calon suami untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri. Menurut Nashruddin Thaha nikah adalah perjanjian dan ikatan lahir bathin antara laki-laki dengan seorang perempuan yang dimaksudkan, untuk bersama berumah tangga dan untuk mempunyai keturunan, serta harus dilangsungkan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya menurut Islam dan Negara. 11 9 Muhammad Ibn Yazid Abu Abdullah al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz. I, No. 1895, h. 611. Lihat juga Muhammad Ibn Isa Abu Isa at-Tirmidzi as-Silmiy, Sunan at- Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt, Juz. III, No. 1089, h. 398 10 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : CV Al-Hidayah, 1975, h.1 11 Nashruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Islam Nikah, Talak, Ruju’, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, h. 10 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 12 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 13 Perkawinan merupakan suatu perbuatan sakral, yang dalam istilah agama disebut “Mitsaqan Ghalidzan” yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur, ditandai dengan pelaksanaan ijab dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria, yang bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 14 Peristiwa perkawinan tersebut oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat urgen dan religious, karenanya peristiwa nikah tersebut disamping erat kaitannya dengan pelaksanaan syariat agama, juga dari perkawinan inilah akan terbentuknya suatu rumah tangga atau keluarga yang merupakan cikal bakal bangunan suatu bangsa dan negara. Karenanya kehadiran penghulu pada setiap peristiwa perkawinan pada hakekatnya mempunyai fungsi ganda, disamping tugas pokoknya mengawasi dan 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. 13 Asnawi Mochd, Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaan,Kudus:Menara, 1975, h. 232 14 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam : 1992, h. 20 mencatat perkawinan, juga sekaligus memandu acara akad nikah agar pelaksanaannya dapat berlangsung secara tertib dan khidmat. Oleh sebab itu setiap penghulu dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk mampu menciptakan suasana yang khusyuk selama acara akad nikah itu berlangsung. Realita yang sering dijumpai di lapangan, baik dari hasil pemantauan maupun pengaduan masyarakat, masih ada diantara penghulu dalam memimpin acara akad nikah yang kurang mampu untuk menciptakan suasana yang khidmat tersebut sehingga kurang memuaskan masyarakat. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi : Artinya : “Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia ciptakan bagi kamu isteri- isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tenang bersamanya dan cinta kasih sayang sesama kamu. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda- tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berf ikir”. Q.S. Ar-Ruum: 21

B. Syarat Sah dan Rukun Perkawinan

Menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974, bahwa Syarat Sah dan Rukun Perkawinan Adalah : 15 Syarat-syarat perkawinan atau pernikahan : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 7. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Adapun rukun perkawinan atau pernikahan adalah : 1. Calon mempelai pria dan wanita. 2. Wali dari calon mempelai wanita. 3. Dua orang saksi laki-laki. 4. Ijab, yaitu ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi.

5. Qabul, yaitu ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria atau

wakilnya. Firman Allah SWT :        . ٩٤