Penghulu Dalam Fiqh Islam dan Undang-Undang

pernikahan yang telah dilakukan hendaknya dii’lankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-ursy. Rasulullah SAW bersabda: Artinya : Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana. Selanjutnya Beliau bersabda : Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Humaid dari Anas dia berkata; Abdurrahman datang kepada kami, lalu Nabi SAW mempersaudarakan antara dia dengan Sad bin Ar Rabi. Lalu Nabi SAW bersabda: Adakanlah walimah walau dengan seekor domba. H.R. Bukhari 2 Muhammad Ibn Yazid Abu Abdullah al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz. I, No. 1895, h. 611. Lihat juga Muhammad Ibn Isa Abu Isa at-Tirmidzi as-Silmiy, Sunan at- Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt, Juz. III, No. 1089, h. 398 3 Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-jafiy, Shahih Bukhari, Beirt: Daar Ibnu Katsir, 1987, Juz. V, No. 5618, h. 2258 Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengi’lankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuman resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti. Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Al- Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang- piutang hendaknya selalu dicatatkan Q.S. 2 : 282 Seperti dalam Firman Allah SWT :                                                                                                                                                 ٢۸٢ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi- saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarkanmu dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. QS. Al-Baqarah: 282 Tidak salah lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting. Dengan demikian, apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan. Di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, Dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Nikah sirri tersusun dari dua kata, yakni nikah yang bermakna kawinnikah, dan sirri yang berarti rahasia, sembunyi. 4 Jadi, secara etimologis, 4 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta :PT. Hidakarya Agung, tt, h. 167 dan 468 nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan secara rahasia atau sembunyi- sembunyi. Berkaitan dengan pernikahan atau perkawinan dibawah tangan, MUI menganjurkan agar pernikahan di bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang. Hal ini sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatifmudharat. Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Dan ini penting bagi pemenuhan hak- hak isteri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, isteri memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat suaminya. Sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954 jo. Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 maka Departemen Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan melaksanakan tugas-tugas sebagai Pencatat Perkawinan, atau Pencatat Nikah. Perlu juga dijelaskan di sini bahwa Pencatatan PerkawinanNikah itu termasuk Pencatatan Talak, Cerai, dan Rujuk. Karena Hal ini sangat erat hubungannya dengan masalah Perkawinan itu sendiri. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk, yang lazim disingkat menjadi PPN. Pelaksana langsung dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 setelah disesuaikan Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk pada direktorat Urusan Agama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk yang lazim disingkat PPN di Jawa Madura. Demikian dikemukakan oleh K.H. Muchtar Nasir dalam Seminar Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan di Jakarta Tahun 1974 dengan judul: Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Suatu Tinjauan Administratif. Pencatatan perkawinan atau pernikahan ialah administrasi bagi warga negara yang melangsungkan perkawinan. Dalam suatu negara yang teratur segala hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat; seperti kelahiran, kematian, begitu juga perkawinan. Pencatatan ini selanjutnya dinyatakan dalam surat-surat akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 5 Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. 6 Menurut pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa: “Pencatatan perkawinan dan mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk ”. 5 Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar hukum No. 26 Tahun VII, Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Mei-Juni, 1996 h. 47 6 UUP di Indonesia Peraturan dan Pelaksanaannya, Jakarta: Pradnya Pramita, 1991 h. 27 Di dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah, berbunyi: “PPN adalah bertugas mengawasi dan atau mencatat nikah dan rujuk serta mendaftar cerai talak dan cerai gugat dibantu oleh pegawai pada KUA Kecamatan”. Dan bagi selain agama Islam maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Dalam melaksanakan tugas-tugas pencatatan agar lebih meningkat dan lebih tertib sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, serta untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan, maka telah diatur dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 52 dan 53 sebagai berikut: 7 Pasal 52 : 1. Pengawasan atau pelaksanaan tugas Pegawai Pencatat Nikah dilakukan oleh Kepala Pegawai Pencatat Nikah, pengawasan atas pekerjaan P3NTR dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 2. Kepala Pegawai Pencatat Nikah pada tiap-tiap tiga bulan sekali wajib memeriksa Daftar Pemeriksaan Nikah , Akta Nikah, Buku Pendaftaran Cerai, Buku Pendaftaran Rujuk serta segala surat-surat yang bersangkutan dengan itu dari Pegawai Pencatat Nikah yang ada dalam daerahnya. 3. Untuk mengerjakan pekerjaan pemeriksaan, Kepala Pegawai Pencatat Nikah dibantu oleh Pegawai pada Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama KabupatenKodya yang cakap untuk itu. 7 Drs. Natsir Muchtar, Seminar Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Jakarta: 1974, h. 7 4. Dari pemeriksaan itu dibuat berita acara yang kemudian disampaikan kepada kepala Bidang Urusan Agama Islam Provinsi melalui Kantor Departemen Agama KabupatenKotamadya. 5. Jika dalam pemeriksaan terjadi pelanggaran atau pelaksanaannya tidak sebagaimana mestinya, maka Kepala Pegawai Pencatat Nikah karena jabatannya melaporkan hal itu kepada yang berkewajiban. 6. Pemeriksaan atau pekerjaan P3NTR, dilakukan dengan meneliti daftar-daftar dan surat-surat keterangan yang tiap-tiap kali diterima oleh Pegawai Pencatat Nikah dari P3NTR. Kemudian dalam Pasal 53 disebutkan : a. Penyelenggaraan Daftar Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Pendaftaran Talak, Buku Pendaftaran Cerai, dan Buku Pendaftaran Rujuk, Kutipan Akta Nikah, Kutipan Buku Pendaftaran Talak, Kutipan Buku Pendaftaran Cerai dan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk. b. Penyimpanan daftarbuku-buku dan segala surat-surat yang berhubungan dengan pemeriksaan dan pendaftaran sesuai dengan peraturan yang berlaku.

C. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Penghulu dalam Undang-Undang

Pada masa sebelum kemerdekaan kedudukan penghulu berada di bawah kedudukan Bupati. Penghulu kabupaten terkadang disebut penghulu kepala, dan penghulu kewedanan naib. Di masa kolonial, penghulu mendapat beberapa tugas, yaitu: 8 1. Menjadi penasehat pada landraad. Berdasarkan Pasal 75 RR Regeerings Regelement dan Pasal 7 RO Regterlijke Organisatie bahwa dalam mengadili seorang muslim dalam perkara di landraad diperlukan seorang penghulu Mohammedansch Priester sebagai penasehat yang akan memberikan pandangan dari segi agama. Ketentuan inilah tampaknya yang 8 Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos, 1998, h. 126-127. menjadi dasar diangkatnya penghulu sebagai penasehat landraad, karena itu ia sering disebut penghulu landraad. Sebagai penghulu landraad ia bertugas untuk memberi nasihat mengenai pandangan Islam terhadap perkara yang diadili dan juga bertindak sebagai pengambil sumpah terhadap pihak-pihak yang diperlukan. Untuk itu ia mendapat gaji tertentu dari pemerintah Belanda. 2. Membantu penarikan pajak belasting. Dalam Undang-undang Simbur Cahaya setelah dikodifikasikan Belanda Pasal 6, bab kaum disebutkan bahwa: Hendaklah lebai penghulu serta Khatib-khatib tolong atas pekerjaan pasirah, peroatin, maka dia orang hendak pelihara buku jiwa pencatatan penduduk di dalam satu-satu dusun dan tulis orang yang kawin dan mati dan perhitungan pajak. Berdasarkan ketentuan tersebut, penghulu diminta bantuannya juga untuk menarik pajak. 3. Membantu pencatatan penduduk. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 di atas, penghulu juga mendapat tugas tambahan di samping mencatat perkawinan, juga diminta mencatat kematian. Boleh jadi tugas tambahan ini, lebih mudah dikerjakan oleh penghulu daripada oleh pasirah atau pegawainya, karena bila seseorang meninggal dunia, tentu yang diberitahu lebih dahulu adalah penghulu. Karena kehadiran penghulu dalam mengurus penyelenggaraan jenazah diperlukan. Oleh karena itu, dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa penghulu memelihara buku jiwa. 4. Mengawasi pendidikan agama. Dua kali dalam sejarah, pemerintah Belanda merasa perlu membuat peraturan untuk mengawasi pendidikan agama yaitu