Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

memenuhi ketentuan hukum Negara yang dimaksud, yakni perkawinan harus dilakukan di depan pejabat berwenang yang ditunjuk. 3 Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang sah adalah menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak suami isteri atau juga pihak lain dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya atau suami isteri mengadakan hubungan. Setiap orang yang melaksanakan perkawinan harus dilaksanakan secara sah yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta resminya dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Catatan Sipil bagi mereka yang diluar agama Islam, dibuktikan adanya surat nikah dan surat nikah tersebut banyak manfaatnya diantaranya yaitu mendapat perlindungan hukum. Misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga KDRT, Jika sang isteri yang pernikahannya secara sirri atau tidak dicatatkan mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai isteri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi, memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan. Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum, demikian juga dengan akta kelahiran, akibat hukum dari anak-anak yang 3 Tutiek Retnowati, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Perceraian Perkawinan Siri Yang Telah Diisbatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Fakultas hUkum Volume XX No. 20, April 2011, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya. dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan. Selain itu hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada, legalitas formal pernikahan di hadapan hukum. Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah PPN atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya ilegal menurut hukum, terjamin hak-haknya. Isteri dan anak berhak memperoleh nafkah dan warisan dari suami ayahnya dan terjamin keamanannya. Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau isteri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu. 4 Indonesia merupakan negara hukum yang mana segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran, kematian termasuk juga perkawinan. Perkawinan termasuk erat dengan masalah kewarisan, kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar ada tertib hukum. 4 Jenal Mutakin, Hukum Perkawinan, diaskses pada tanggal 24 Maret 2013 dari http:www.pa-cibadak.go.idartikelbaca28. Pegawai Pencatat Nikah PPN mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan. Kedudukan nikah dalam Al- Qur’an adalah sebagai mitsaqan ghalidzan atau ikatan yang kokoh Q.S. An-Nisa [4] : 21. Sebagai ikatan yang kokoh maka setiap pasangan yang menikah dituntut untuk berkomitmen dalam menjaga kelangsungan perkawinan. Inilah mengapa dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian. Meskipun nikah memiliki kedudukan sebagai ikatan yang kokoh, tetapi Al- Qur’an tidak memerintahkan pencatatan akad nikah. Berbeda dengan masalah akad hutang- piutang dalam mana Al-Qur ’an memerintahkan para pihak yang melakukan akad hutang-piutang untuk mencatatnya Al-Baqarah [2] : 282. Mengapa demikian? Di sinilah perlunya kita memahami ketentuan tersebut dengan mengkaji konteks sosial budaya masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al- Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al- Qur’an merupakan masyarakat kesukuan. Sebuah suku terdiri dari beberapa klan yang terikat berdasarkan hubungan darah, dan sebuah klan terdiri dari beberapa keluarga yang masing-masing keluarga tinggal di tenda-tenda. Nah, dalam kondisi yang demikian itu, maka masyarakat masih bersifat komunal dimana nilai-nilai kebersamaan masih begitu kuat dan kepala suku memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota sukunya. Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain. Dalam situasi yang seperti ini, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya. Masyarakat masih dapat menjadi saksi atas ikatan perkawinan setiap anggotanya. Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum menjadi sebuah tuntutan bagi masyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulama fiqih klasik dalam merumuskan syarat perkawinan. Berbeda dengan akad hutang-piutang, sejak awal Al-Qur ’an memerintahkan agar para pihak yang terlibat melakukan pencatatan. Hal ini karena dalam akad hutang-piutang biasanya hanya diketahui oleh pihak debitur dan kreditur, sehingga untuk menjamin adanya kepastian hukum atas hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam akad hutang-piutang, akad tersebut harus dicatat dengan benar. 5 Problematika yang timbul akhir-akhir ini marak perkawinan yang dilakukan oleh penghulu tidak resmi yakni ilegal, kasus-kasus yang ada seperti perkawinan sirri bupati garut Aceng Fikri yang secara Undang-undang melanggar kode etik sebagai pejabat pemerintahan. Namun, yang menjadi permasalahan disini adalah terkait sanksi pidana bagi penghulu yang melakukan aktivitas yang mana bukan merupakan pegawai yang berwenang bisa disebut ilegal. Peraturan perundang-undangan sekarang yang mana belum secara jelas diatur mengenai sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri dan penghulu ilegal. Namun, sebelumnya sebenarnya sudah secara lengkap diatur terkait masalah ini yaitu di UU No. 22 tahun 1946 jo. UU No. 32 tahun 1954. Dari permasalahan di atas penulis akan mengkaji terkait dengan sanksi bagi penghulu ilegal dalam sebuah skripsi yang berjudul “SANKSI BAGI PENGHULU ILEGAL DALAM UU NO. 22 TAHUN 1946 JO. UU NO. 32 TAHUN 1954 ”. 5 Muhamad Isna Wahyudi, Nikah Siri Tidak Lagi syari, diakses pada tanggal 24 Maret 2013 dari www.badilag.net.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dalam perkawinan di Indonesia tidak luput dari kehadiran Pegawai Pencatat Nikah PPN atau juga disebut sebagai penghulu. Oleh karena itu, penghulu bertugas sebagai wakil untuk menikahkan dan sekaligus pencatat nikah. Penghulu yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan, maka akan terkena sanksi. Sanksi Bagi Penghulu Ilegal Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Norma yang terkandung dalam UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, mengatur adanya sanksi bagi penghulu yang melakukan pencatatan perkawinan, karena mereka tidak berwenang. Akan tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ada sanksi bagi penghulu ilegal, lebih jelasnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada norma yang mengatur sanksi bagi penghulu ilegal tidak resmi, padahal dalam kenyaataanya banyak para pihak khususnya kaum wanita yang dirugikan dengan masih banyaknya praktik pencatatan perkawinan abal-abal yang dilakukan oleh oknum penghulu ilegal. Dengan maraknya para penghulu ilegal, kemudian penulispun menspesifikasikan cakupan bahasan skripsi yang akan digarap oleh penulis dalam masalah yang berkaitan dengan Sanksi Bagi Penghulu Ilegal Dalam Undang- Undang No. 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 .

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini penulis hanya akan mengkaji mengenai sanksi bagi penghulu tidak resmi ilegal berdasarkan UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 yang tidak tercantum secara jelas dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun PP No. 9 Tahun 1975.

2. Perumusan Masalah

Menurut UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, sanksinya adalah kurungan selama 3 bulan atau denda sebanyak 100 rupiah bagi penghulu ilegal tidak resmi diberlakukan untuk para penghulu yang biasa d isebut dengan ‘Amil maupun Na’ib. Akan tetapi, Menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hal tersebut bertentangan dengan UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954, bahwa di dalam UU tersebut tidak termaktub Sanksi bagi penghulu ilegalpelaku nikah sirri nikah yang tidak tercatat yang sangat merugikan terutama bagi kaum perempuan, juga merugikan terhadap status anak yang dilahirkannya. Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pandangan Fiqh dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia tentang pencatatan perkawinan?