Ketentuan Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No. 3 tahun

4. Menurut Undang-undang no. 3 tahun 1997 anak nakal ialah : a. Anak yang melakukan tindak pidana atau, b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Apabila telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5 Tidak seragamnya definisi anak ini juga menimbulkan kesulitan dalam penerapan hukum anak, namun sesuai dengan yuridiksi penanganan anak yang berhadapan dengan hukum maka yang menjadi batasan umur yang dipakai adalah sesuai dengan undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni apabila telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum kawin. Pengadilan negeri adalah pengadilan yang berwenang menangani kasus anak nakal sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan peradilan umum, maka dari itu berbagai macam kejahatan atau kenakalan anak hingga merugikan orang lain maka secara khusus dapat dikenakan sanksi berdasarkan undang-undang no. 3 tahun 1997. Maka lebih lanjut kita perlu memahami dan mengerti suatu tindak pidana. 5 pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai suatu peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidana seperti : Obyektif adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat hukum dengan suatu larangan dan diancam oleh sebuah hukuman. Titik utama dan yang terpenting dari unsur obyektif ini ialah tindakan atau perbuatan si pelaku. Subyektif adalah perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh suatu undang-undang dan peraturan hukum lainnya yang diancam dengan sanksi hukuman. Sifat utama dan yang terpenting dalam unsur ini ialah seseorang atau beberapa orang dan badan hukum. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu tindak pidana adalah : a. Harus ada suatu perbuatan maksudnya adalah bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang atau beberapa orang dimana kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai kejadian atau peristiwa hukum. b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang terdapat pada ketentuan hukum artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku saat itu. Pelakunya benar-benar salah berbuat seperti yang telah terjadi dan si pelakunya wajib mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu. c. Harus terbukti adanya sebuah kesalahan yang dapat dipertangungjawabkan maksudnya bahwa perbuatan yang diakukan oleh si pelaku dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang tidak dibenarkan oleh undang- undang atau pun peraturan hukum lainnya. d. Harus bertentangan dengan hukum, artinya suatu perbuatan melawan hukum apabila tindakan atau perbuatan seseorang nyata-nyata bertentangan dengan hukum. e. Harus tersedia adanya sebuah sanksi ancaman hukum maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang adanya larangan ataupun keharusan dalam suatu perbuatan tertentu maka ketentua tersebut menurutnya harus ada sanksi ancaman hukum. Dimana ancaman hukum itu dinyatakan secara tegas maksimal hukuman yang harus dijalani oleh si pelaku. 6 Dalam hukum Positif yang menjadi faktor adanya pertanggungjawaban hukum pidana adalah adanya unsur perbuaan salah dimana hal ini sesuai dengan azas pertanggungjawaban pidana “Tiada pidana tanpa adanya kesalahan”. Sebagaimana dijelaskan oleh Moeljatno bahwa pertangungjawaban pidana adalah hal yang diteruskannya celaan yang secara obyektif ada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat- 6 Jamali R. Abdul , Pengantar Hukum Indonesia , Jakarta : Rajawali, 1990 . cet. II h . 174 -175 syarat dalam undang-undang. 7 Mengenai pertanggungjawaban pidana Ruslan Saleh mengemukakan orang yang mampu bertanggung jawab dalam suatu perbuatan pidana harus memenuhi syarat-syarat yakni menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak patut dipandang dalam pergaulan didalam suatu masyarakat. Dapat menginsyafi penyesalanny a oleh perbuatan itu dan mampu menentukan niat atau kehendaknya untuk dapat bertaubat tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. 8 Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab itu harus memiliki adanya 2 faktor akal dan kehendak. Melalui akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan jahat, begitu pula halnya dengan kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya. Dengan keinsyafan atas mana yang diharuskan dan mana yang dilarang . Bahwa tiap-tiap orang adalah subjek hukum yakni pendukung hak-hak dan kewajiban. Berdasarkan itu maka orang pada dasarnya dapat melakukan perbuatan hukum seringkali disebut dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum. Dalam semua tatanan hukum, dewasa ini berlaku ketentuan hukum yang menetapkan setiap orang cakap hukum sepanjang Undang-undang tidak menetapkan lain. Menurut hukum pidana, batas usia anak dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat pada pasal 45 yang menyatakan bahwa : “Dalam Hal 7 Molejatno, Azas-azas Hukum Pidana, Yogyakarta: Gajah Mada Pers, 1980. h. 107 8 Ruslan Saleh , Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban Pidana , Jakarta : Aksara Bani 1983 . cet. III h . 80 Penuntutan Orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum berumur 16 tahun hakim dapat menentukan” : a. Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya tanpa pidana apapun atau, b. Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun atau jika perbuatan itu merupakan kejahatan serta belum lewat dua tahun dinyatakan bersalah karena kejahatannya dan putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah . Anak yang belum dewasa apabila mencapai usia 16 tahun jika ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya atau memerintahnya supaya diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun. Ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak . Dalam Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tetang Pengadilan Anak pasal 4 menyebutkan bahwa : batas umur anak nakal yang dapat diajukan pada sidang anak adalah sekurang-kurangnya berumur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin. Dalam melakukan suatu tindak pidana pada batas umur yang dimaksud dalam ayat 1 dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak. Sebagaimana pada ketentuan aturan hukum Pasal 5 yakni : 1. Dalam hal anak yang belum mencapai umur 8 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. 2. Apabila menurut hasil pemeriksaan penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua atau orang tua asunya penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya. 3. Apabila menurut hasil pemeriksaan bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen social setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam pasal tersebut diatas kita memahami bahwa seorang anak yang belum berumur 8 tahun apabila melakukan suatu tindak pidana tertentu, maka ada dua alternative tindakan yang dapat diberikan kepada anak tersebut tanpa dikenainya sebuah hukuman. Pertama anak dapat diserahkan kepada orang tua wali atau orang tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua dapat diserahkan ke Departemen sosial jika anak tersebut sudah tak bisa lagi dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang no. 3 tahun 1997 ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak yaitu bagi anak yang masih berusia antara 8-12 tahun maka hukuman yang dapat dikenakan pada anak itu hanya berupa tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai usia 12-18 tahun baru dapat dijatuhkan pidana. 9 Menurut pasal 24 undang-undang no. 3 tahun 1997 diterangkan bahwa : 1. Tindakan yang dapat diberikan kepada anak nakal adalah : a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau. c. Menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan pembinaan dan laihan kerja. 2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat disertai teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Maka dari itu undang-undang tersebut menentukan bahwa kenakalan anak yang dilakukan oleh anak yang berusia 8-12 tahun hanya dapat dikenakan berupa sanksi tindakan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut diatas. Dan bagi anak yang berusia 12-18 tahun yang melakukan pidana atau tersangkut masalah hukum maka akan dapat dijatuhi sanksi hukumana yang meliputi pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan, denda atau pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan dapat berupa perampasan barang- 9 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, h. 30 barang tertentu atau pembayaran ganti kerugian. 10 Jenis pidana mati dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dan pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim tidak bisa dikenakan. Berikut ini beberapa ketentuan hukum dalam undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : Pasal 26 1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 2. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 tahun. 3. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat 1 huruf b. 4. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24. 10 Ibid, h. 33 Pasal 27 Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Pasal 28 1. Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling besar ½ dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. 2. Apabila denda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ternyata tidak dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Pasal 30 1. Pidana pengawasan yang dapatdijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3tiga bulan dan paling lama 2dua tahun. 2. Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan seebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka anak tersebut ditempatkan dibawah pengawasan Jaksa dan Bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. 11 Misalkan: ketentuan ancaman maksimal tindak pidana pencurian sebagaimana dalam pasal 362 KUHP adalah pidana penjara 5 tahun dan tindak pidana pemerasan pada pasal 368 KUHP penjara maksimal 9 tahun masing-masing ancaman penjara dapat diberikan untuk orang dewasa. Untuk perkara anak sesuai dengan pasal 26 ayat 1 UU no.3 tahun 1997 maka ancaman hukuman pada pasal 362 KUHP yang dapat 11 Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diberikan kepada anak yakni pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dan untuk pasal 368 KUHP ancaman hukuman pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan untuk anak. 12 Itulah beberapa ketentuan yang menyangkut pembedaan perlakuan dan ancaman pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang- undangan dan peraturan hukum lain. Proses beracara dan pemeriksaan kenakalan anak dimuka sidang yang diatur dalam UU no. 3 tahun 1997 sebagaimana diterangkan pada : Pasal 6 Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas lainnya dalam sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas . Pasal 8 1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. 2. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka. 3. Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, dan orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan. 12 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, h. 89 4. Selain mereka yang disebut dalam ayat 3 orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. 5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 6. Putusan Pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 11 13 1. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal 2. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis. Perlakuan ini dimaksud agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasehat hukum serta petugas lainnya. Sehingga terwujud suasana kekeluargaan yang tidak menjadi peristiwa mengerikan bagi si anak. kemudian digunakan singkatan dari nama anak , orang tua, wali, atau orang tua asuhnya dimaksudkan agar identitas anak dan keluarga menjadi berita umum yang menggangu mental si anak. beberapa keuntungan dengan memakai hakim tunggal diantaranya : 13 Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak a. Perkara dapat diselesaikan dengan lancar, sedang jika oleh majelis hakim dapat berlarut-larut b. Hakim tunggal dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara pribadi. c. Hakim tunggal dapat melakukan kerja sama dengan pejabat pengawasan sehingga putusan akan lebih baik dan tepat. d. Hakim anak dapat mengikuti perkembangan anak yang sedang dalam menjalani pidananya, sehingga dengan tepat dapat mengambil ketetapan dalam hal diajukannya permohonan pelepasan bersyarat. Ketentuan hukum mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentng Pegadilan Anak, baik pembedaan perlakuan didalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini dimaksukan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar nantinya menjadi manusia yang lebih baik berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Demikianlah Undang-undang ini sangat memberikan perlakuan khusus bagi anak yang melakukan tindakan kenakalan atau perbuatan kriminalitas, baik dari segi isi dari aturan tersebut hingga kepada tata cara dalam persidangan yang menyidangkan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Dari segi formil dan materiil undang-undang ini memiliki formulasi perlakuan khusus bagi anak. B. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Anak Menurut Hukum Islam Menurut para ulama masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang memintakan tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa arab “kemampuan” disebut Ahlun yang berarti layak atau pantas. 14 Para ulama selalu mendefinisikan kemampuan itu yakni kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewjiban-kewajiban yang diberikan syara’. Kecakapan hukum merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum. 15 Kecakapan hukum disini berkaitan dengan ahliyah al-wujud kemampuan untuk memiliki dan menanggung hak, sedangkan kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk berbuat hukum secara utuh yang dalam istilah fiqh disebut ahliyah al-ada kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Oleh karena itu ulama ushul fiqh kecakapan bertindak itu didefinisikan sebagai “Kepatutan seseorang untuk timbulnya suatu perbuatan tindakan dari dirinya menurut cara yang ditetapkan oleh syara’.” 14 Al Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min ilm al-Ushul Mesir: Daar al-Sa’adah 1315 H h. 390 15 Ade Manan Suherman, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, h . 50 Oleh karena itu adanya hal yang perlu kita sadari bahwa usia berapa seseorang dapat dipandang cakap dalam bertindak hukum. Bila diteliti secara seksama ajaran islam tidak pernah memberikan batasan yang definitif pada usia berapa seseorang dianggap dewasa, hanya saja dalam hukum islam dikenal istilah baligh. 16 Baligh merupakan istilah dalam hukum islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai” maksudnya telah sampainya umur seseorang pada tahap kedewasaan. Prinsipnya, seorang anak laki-laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi basah dan adapun seorang perempuan disebut baligh jika sudah mengalami haid. Nyatanya cukup sulit memastikan pada umur berapa seorang laki-laki bermimpi basah rata-rata usia 15 tahun atau seseorang perempuan mengalami menstruasi. 17 Untuk mengatasi hal itu ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk kepastian hukum karena hal ini terkait dengan kecakapan hukum. Maka kedewasaan menjadi tolak ukur untuk dapat menentukan cakap secara hukum atau tidak. 18 Dalam hukum islam kecakapan hukum merupakan kepatutan sesorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan ahliyah al-wujub serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum ahliyah al-ada. 16 Djauharah Bawazir dalam Majalah Umi Kenakalan Remaja karena Salah Ibu, Ummi h.14 menyatakan bahwa akil baligh adalah suatu masa dimana seseorang secara seksual sudah dewasa, bagi laki-laki ditandai dengan mimpinya sedangkan bagi wanita dengan menstruasi mereka sudah harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri baik kepada Allah maupun kepada Manusia. 17 Ningrum Puji Lestari, op. cit h. 25 18 www. hukumonline. com beritabacahol 17014 ekonomi-syariah-hanya-buat-yang- dewasa kamis juli 2010. Baligh terdiri atas dua macam yaitu: Pertama Baligh Thabi’I yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah lakunya atau tanda-tanda, jadi dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui dalam penglihatan. Menurut Helmi Karim, tanda-tanda keremajaan yang terjadi baik pada laki-laki dan wanita dapat dijumpai sebagai berikut : 1. mimpi senggama bagi laki-laki dan menstruasi pada wanita. 2. berubah suaranya. 3. tumbuh bulu ketiak. 4. tumbuh rambut pada kemaluannya. 19 Seorang anak mulai berubah sifat, sikap dan pola pikirnya. Biasanya anak tersebut menjadi pemalu dan sering merawat diri. Sedang pola pikirnya semakin pintar dan terbentuk mulai ktitis dan aktif dalam memahami sesuatu yang terjadi pada dunia luar. Anak muda kini secara obyektif mengikatkan dirinya sendiri dengan dunia luar yang diikuti dengan masa pematangan fisik seperti munculnya haidh yang pertama kalinya atau seorang laki-laki yang mengalami mimpi basah yang kemudian secara tegas mengarahkan hidupnya dan berupaya memberikan isi kehidupannya, 19 Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT Firdaus, 1996. h. 70 menjadi diri sendiri dan pembentukan karakter sampai pada batas kedewasaannya yang dikenal dengan istilah puberitas . 20 Kedua Baligh bi Sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka ukuran baligh ini ditentukan dengan umur 15 tahun baik laki maupun perempuan. Para fuqaha menetapkan usia 15 tahun ini dengan alasan ukuran paling maksimal baligh thabii apabila telah mencapai usia ini. Para fuqaha sepakat bahwa mereka mendahulukan penentuan saat baligh dengan cara melihat tingkah laku secara fisik seseorng anak apabila jelas perubahan itu maka digunakan penentuan baligh secara thabii namun ketika sulit diketahui seorang anak telah baligh secara thabii maka bagi fuqaha baligh ditentukan dengan cara baligh bi sinni menentukan usia baligh seorang anak paling maksimal ketika ia berusia 15 tahun . Oleh karena itu kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dilihat pada tanda-tanda yang nampak jelas terlihat. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli yakni sebagi berikut : a. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan datangnya masa haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak atau tumbuhnya bulu kasar disekitar kemaluan. 21 20 Kartini Kartono, Psikologi Wanita Gadis dan Wanita Dewasa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1981. h. 169 b. Menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa pendapat yakni antara lain : 1. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menetukan bahwa masa dewasa itu dimulai umur 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan oleh akal. Dengan akal lah terjadinya taklif dan karena akal pula adanya hukum. 22 2. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik bagi laki-laki dan perempuan. Mereka beralasan dengan ketentuan dewasa menurut syara adalah mimpi karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umumnya antara 15 tahun sampai 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa adalah 18 tahun. 3. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berusia 21 tahun. 21 Abdul Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ala al-Mazdahib al-arba’ah Beirut: Dar al-Fikr Juz II, 1985. h. 350 22 Abdul Qadir al Audah, al-Tasyrif al-jinaiy al-Islamy, Kairo: Dar al-Urubah, Juz I 1964. h.603 4. Muhammad Daud Ali menggunakan istilah mukallaf untuk memberikan pengertian orang yang telah dewasa dan berakal sehat. 23 Sementara Ahmad Azhar Basyir menjelaskan kecakapan sempurna yang dimiliki seseorang yang telah baligh ditekankan pada adanya pertimbangan akal yang sempurna bukan pada umur bilangan tahun yang dilaluinya kurang lebih 15 tahun. 24 Namun demikian ketentuan kedewasaanya itu tidak hanya dibatasi dengan umur 15 tahun seseorang baligh, tetapi juga mengikutsertakan faktor rasyid kematangan pertimbangan akal. Mengingat kecakapan selalu terkait dengan kedewasaan, kedewasaan seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum sangat beragam. Seseorang dianggap dewasa disamping karena sudah menikah juga didasarkan kepada umur yang merupakan menjadi salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum. Saat dewasa lah dimana perkembangan akal dan pemikirannya mengalami pertumbuhan yang semakin baik. Saat dewasa juga seseorang dapat melangsungkan pernikahan karena dalam hal ini usia ini telah dianggap cakap dalam bertindak hukum baik secara perdata maupun pidana. 23 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta : Attahiriyah, t.th h. 75 24 Dikutip dari http :kamusbahasaindonesia. Orgkedewasaan, kamis 22 juli 2010

C. Perspektif Hukum Islam Terhadap UU No. 3 Tahun 1997

Berkaitan dengan pidana dan tindakan yang juga diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terdapat dalam pasal 25 ayat 1 dan 2 yaitu Sebagaimana dimaksud anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana maka hakim dapat menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan seperti pidana penjara, kurungan, denda dan pengawasan atau tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, menyerahkan kepada Negara atau menyerahkan kepada departemen sosial untuk mendapat pembinaan. Sebagaimana dimaksud anak nakal adalah anak yang melakukan suatu perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan maka hakim menjatuhkan tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, menyerahkan kepada departemen sosial untuk mendapat pembinaan. Dalam kaitannya dengan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak, maka anak tersebut telah dapat dianggap mampu mempertanggungjawabkannya di lembaga pengadilan. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 angka 1 dan 2 yaitu Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke dalam sidang anak adalah sekurang-kurangnya umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 tahun tetap diajukan ke Sidang Anak. Pertanggungjawaban dalam hukum islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidaknya suatu perbuatan yang dikerjakan dengan kemauan sendiri dimana ia mengerti maksud dan akibat dari perbuatannya itu sendiri. 25 Tindak pidana artinya melakukan suatu perbuatan kejahatan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang yang telah dibebani hukum Taklif dan 25 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. h. 121 adanya unsur kesalahan. Dengan demikian perbuatan mereka tersebut dapat diberikan sanksi hukuman berdasarkan undang-undang yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana dalam Islam dapat ditegakkan atas 3 hal yaitu pertama adanya perbuatan kejahatan atau aksi kenakalan anak yang dilakukannya. Kedua, pelaku atau pembuatnya mengetahui akibat perbuatan tersebut. Ketiga bahwa perbuatan yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah menjelaskan : ﻻ ﺺﻨﻟا د ور و ﻞﺒﻗ ء ﻼﻘﻌﻟا ل ﺎﻌﻓ ﻻ ﻢﻜﺣ “Sebelum ada Nash maka tiada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat.” 26 Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberikan pembebanan taklif kecuali apabila ia telah mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya dan diketahui oleh seorang mukallaf dengan pengetahuan yang dapat mendorong untuk melakukannya. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak nakal yang berhadapan dengan hukum, untuk dapat dikenakannya sanksi hukuman dengan melihat akalnya pada anak itu. Melalui akal anak tersebut dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan jahat. Akal dinamakan ikatan karena ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran, karena akal pun 26 Ahmad Wardi Muslich, Azas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinaiyah, Jakarta: Media Grafika, 2006. h. 30 menyerupai ikatan unta. 27 Sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu yang sudah tidak terkendali sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan diri sebagaimana Amr Bin Abdul Qais berkata : “Jika akal mengikatmu dari sesuatu yang tidak sepatutnya maka ia adalah orang yang berakal.” Rasulullah bersabda : ﺐﻠﻘﻟا ﻰﻓ رﻮﻧ ﻞﻘﻌﻟا ﯾﻘ ﯿﺑ ﮫﺑ ق ﺮ ﻞﻃ ﺎﺒﻟا و ﻖﺤﻟا ﻦ Artinya : akal adalah cahaya dalam hati yang dapat membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang bathil.” Kecakapan berbuat hukum dalam batas minimal seorang anak adalah saat memasuki periode baligh, karena baligh menjadi tanda seseorang dalam perkembangan kecerdasan akalnya. Masa baligh berkisar antara 10-15 tahun pada masa ini seorang anak dianggap siap untuk melakukan ketentuan ketentuan hukum. Akal pada diri seorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku atasnya pembebanan hukum, apabila akal telah mencapai tingkat yang sempurna. Perkembangan akal manusia dapat diketahui pada perkembangan jasmaninya. Seseorang manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan akal bila telah mencapai batas baligh, dan baligh itu ditandai dengan mimpi basah pada laki-laki dan haidh untuk wanita atau dengan tanda-tanda lainnya yang muncul ketika menjelang baligh Seseorang yang telah dewasa dan berakal akan 27 Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah, h. 91