BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian resiliensi residen narkoba, pembatasan dan perumusan masalah penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, yang lebih dikenal dengan istilah napza atau narkoba, dalam beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan kecenderungan peningkatan yang sangat pesat. Menurut data terakhir United Nations Drugs Control Programme UNDPC, saat ini kurang
lebih 200 juta orang diseluruh dunia telah menggunakan jenis barang berbahaya ini, dari jumlah tersebut kurang lebih sebanyak dua juta orang berada di Indonesia
Badan Narkotika Nasional R.I. Departemen Sosial R.I. 2004. Di Indonesia, masalah penyalahgunaan narkoba tersebut telah berada pada
tahap yang mengkhawatirkan. Betapa tidak, data Badan Narkotika Nasional BNN menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat, rata-rata
angka pengguna napza meningkat 15 per-tahunnya. Data BNN juga menyebutkan bahwa 80 pengguna napza merupakan generasi muda dengan
kisaran usia 15-39 tahun. Permasalahan tersebut telah menimbulkan banyak korban, terutama kalangan muda yang termasuk klasifikasi usia produktif.
Masalah ini bukan hanya berdampak negatif terhadap diri korban atau pengguna, tetapi lebih luas lagi berdampak negatif terhadap kehidupan keluarga, masyarakat,
perekonomian, kesehatan nasional HIV dan hepatitis, mengancam dan membahayakan keamanan, ketertiban, bahkan lebih jauh lagi mengakibatkan
terjadinya biaya sosial yang tinggi social high cost dan generasi yang hilang lost generation BNN R.I. Depsos R.I., 2004.
Peran BNN dalam upaya penanggulangan permasalahan di atas, tidak hanya menekankan pada pencegahan penyalahgunaan narkoba di masyarakat. Hal
yang juga penting adalah pemulihan bagi para pecandu untuk mempertahankan keadaan bebas bersih dari narkoba atau keadaan bebas zatnya abstinensia,
sehingga mereka dapat melanjutkan hidupnya. NIDA National Institute on Drug Abuse tahun 2000 melaporkan bahwa perubahan perilaku yang signifikan terjadi
setelah masa perawatan minimal tiga bulan, artinya program rawat inap jangka panjang diharapkan dapat mengatasi masa kritis penderita untuk kembali
menggunakan narkoba. Oleh karena itu diperlukan program rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba BNN R.I. Depsos R.I. 2004. Ini sesuai dengan upaya
BNN, dimana pada tahun 2007 telah membangun Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi UPT TR atau yang lebih dikenal dengan BNN Lido, yang
memberikan pelayanan terapi dan rehabilitasi secara komprehensif dan integratif. Pendekatan pemulihan dalam penanganan penyalahguna napza harus
secara komprehensif dan integratif. Untuk itu tujuan pemulihan menyangkut dimensi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual, ini dikarenakan penyalahguna
narkoba biasanya terganggu atau menderita secara fisik, mental, sosial, dan spiritual. Maka tujuan dari program rehabilitasi adalah memotivasi pecandu untuk
melakukan perubahan ke arah positif, yang terdiri atas upaya-upaya medik,
bimbingan mental, psikososial, pendidikan, latihan vokasional, dan keagamaan, untuk meningkatkan kemampuan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, dan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka, yang pada akhirnya diharapkan dapat kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar.
Program rehabilitasi di BNN dimulai dari fase detoksifikasi, yaitu ditujukan untuk membantu residen menghilangkan racun-racun dalam tubuhnya
akibat dari pemakaian zat adiktif. Umumnya pada fase ini, residen menetap selama ± 2 minggu dalam ruangan khusus dan terisolasi. Selanjutnya adalah fase
Entry Unit yang merupakan tahap lanjutan dari fase detoksifikasi, dimana pada fase ini merupakan fase “istirahat” bagi residen untuk mempersiapkan fisik dan
mentalnya guna mengikuti program selanjutnya. Pada umumnya fase Entry Unit berlangsung selama ± dua minggu, tergantung kemajuan residen dalam proses
rehabilitasi. Selanjutnya adalah Primary Program yaitu tahap awal Primary Stage program rehabilitasi melalui pendekatan Therapeutic Community TC
dimana dilakukan stabilitasi fisik, emosi dan menumbuhkan motivasi residen untuk melanjutkan tahap terapi selanjutnya, primary unit dibagi menjadi dua
rumah, yaitu house of hope dan green house, pada umumnya fase primary green dan primary hope sama, namun dalam penerapannya, fase primary hope
mengkombinasikan TC Therapeutic Community dengan NA 12 langkah, dan yang terakhir adalah Re-entry Stage yaitu tahapan program rehabilitasi melalui
pendekatan Therapeutic Community setelah residen mengikuti tahapan program primer, dimana dilakukan upaya pemantapan kondisi psikologis dalam dirinya,
mendayagunakan nalarnya dan mampu mengembangkan keterampilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam menjalankan program rehabilitasi di BNN, terdapat komponen yang disebut sebagai empat struktur dan lima pilar four structures and five
pillars BNN R.I. Depsos R.I. 2004. Kategori empat struktur, yaitu behavior management shaping pembentukan tingkah laku; adalah perubahan perilaku
yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan
masyarakat. Emotional and psychological pengendalian emosi dan psikologi; yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan
penyesuaian diri secara emosional dan psikologis, seperti murung, tertutup, cepat marah, perasaan bersalah, dan lain-lain ke arah perilaku yang positif. Intelectual
and spiritual pengembangan pemikiran dan kerohanian; yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan, sehingga mampu
menghadapi dan mengatasi tugas-tugas kehidupannya serta didukung dengan nilai-nilai spiritual, etika, estetika, moral dan sosial. Vocational and survival
keterampilan kerja dan keterampilan bersosialisasi serta bertahan hidup; yaitu perubahan
perilaku yang
diarahkan pada
peningkatan kemampuan
dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas
sehari-hari dan tugas-tugas kehidupannya. Sedangkan kategori lima pilar 5 tonggak dalam program, yaitu family milieu concept konsep kekeluargaan;
adalah suatu metode yang menggunakan konsep kekeluargaan dalam proses dan pelaksanaannya. Peer pressure tekanan rekan sebaya; yaitu suatu metode yang
menggunakan kelompok sebagai metode perubahan perilaku. Therapeutic session sesi terapi; yaitu suatu metode yang menggunakan pertemuan sebagai media
penyembuh. Religious
session sesi
agama; yaitu
suatu metode
yang memanfaatkan pertemuan-pertemuan keagamaan untuk meningkatkan nilai-nilai
kepercayaan atau spiritual residen. Role modeling ketauladanan; yaitu suatu metode yang menggunakan tokoh sebagai model atau panutan.
Prinsip yang mendasari konsep rehabilitasi di BNN adalah bahwa setiap orang itu pada prinsipnya dapat berubah, yaitu dari perilaku negatif ke arah
prilaku yang positif. Dalam proses perubahan seperti ini, seseorang sangat memerlukan bantuan dari pihak lain termasuk kelompok. Oleh karena itu dalam
proses pengubahan perilaku tersebut, mereka dianggap sebagai keluarga besar BNN R.I. Depsos R.I. 2004.
Namun ternyata upaya-upaya tersebut tidak menjamin kesembuhan mereka dari ketergantungan narkoba dan kepastian bahwa mereka tidak akan
pernah relapse kambuh. Relapse atau kambuh adalah suatu proses yang terjadi karena beberapa faktor pemicu dimana seseorang yang telah dinyatakan
abstinence bertahan bebas zat lalu kembali menggunakannya, biasanya dimulai dengan suatu perubahan pada pikiran, perasaan, atau perilaku.
Penyebab dari kekambuhan berdasarkan dari riset Marlaat dan Gordon dalam BNN, 2009 adalah keadaan mood negatif; seperti kebosanan atau depresi,
adanya konflik interpersonal, tekanan sosial, ketidaknyamanan fisik, dan adanya dorongan-dorangan atau godaan untuk kembali menggunakan narkoba. BNN
menyebutkan penyebab dari kekambuhan diantaranya adalah apabila penderita
kembali pada pola perilaku lamanya seperti kembali ketempat dimana ia biasa mendapatkan
narkoba; bersentuhan
kembali pada
barang-barang yang
berhubungan dengan narkoba; dan bergaul dengan orang-orang yang juga menyalahgunakan narkoba, kemampuan bertahan yang tidak terpenuhi yaitu
kurangnya kemampuan untuk mengatasi masalah dan tekanan, serta kebutuhan spiritual dan emosional yang tidak terpenuhi misalnya terlalu sensitif, hilang
kepercayaan terhadap Tuhan, dan sebagainya BNN R.I. Depsos R.I. 2004. Data menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan masih sangat tinggi.
BKKBN 2003 menyatakan bahwa tingkat kambuh mencapai 80-90. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang diadakan oleh YCAB Yayasan Cinta Anak
Bangsa tahun 2010, dimana hasil yang diperoleh ialah angka kekambuhan yang mencapai 90 dari yang dinyatakan telah pulih, kemudian kambuh kembali,
berarti kira-kira hanya 10 yang berhasil mempertahankan keadaan bebas zatnya abstinence. Penelitian Hawari 2003 juga menunjukkan bahwa kekambuhan
pada mantan pecandu disebabkan oleh faktor teman 58,36, faktor sugesti 23,21, dan faktor frustrasi atau stres 18,43.
Data-data tersebut di atas semakin diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada beberapa residen di BNN, dimana mayoritas dari
mereka telah mengkonsumsi narkoba selama lebih dari 10 tahun, dan mereka sudah sering keluar masuk panti rehabilitasi, karena setelah keluar dari rehabilitasi
mereka kembali masuk dikarenakan relapse. Secara jujur mereka mengakui hal tersebut terjadi dikarenakan dorongan untuk menggunakan kembali masih
merupakan pergumulan dalam alam pikiran mereka. Ada situasi atau benda-benda
tertentu yang dapat merangsang mereka untuk kembali menggunakan narkoba, maka tidak heran bila beberapa residen sedang mengikuti rehabilitasi untuk yang
kesekian kalinya. Selain itu, hasil wawancara dengan salah seorang staff ahli BNN yang merupakan Primary Program Manager Primary Program Manager
merupakan unsur pimpinan yang bertanggung jawab penuh pada keseluruhan program primer serta seluruh fasilitas yang digunakan oleh residen tahap primer
BNN R.I. Depsos R.I. 2004 di BNN menunjukkan bahwa dari 100 residen yang kabur, 97 diantaranya pasti relapse. Jadi, dapat dilihat bahwa dibandingkan
dengan residen yang menyelesaikan programnya di BNN secara utuh, residen yang kabur dan kambuh jumlahnya jauh lebih banyak.
Pernyataan-pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa pada fase rehabilitasi para pecandu memiliki kesulitan mempertahankan diri untuk bersih
dari narkoba. Hal ini senada dengan pernyataan Gories Mere 2010 bahwa tantangan dan hambatan yang dihadapi para pecandu menuju kepulihan sangat lah
berat. Dimana tingkat kekambuhan para pecandu yang menjalani rehabilitasi masih tinggi. Pernyataan tersebut didukung beberapa penelitian sebelumnya,
diantaranya yang dikemukakan oleh Doweiko, bahwa 90 hari setelah masa detoksifikasi adalah masa yang paling tinggi angka kekambuhannya BNN R.I.
Depsos R.I. 2004. Untuk dapat mempertahankan diri agar tidak relapse dan mempertahankan
kepulihannya selama menjalani maupun pasca rehabilitasi, maka dibutuhkan adanya suatu kekuatan. Dalam hal ini kekuatan dimana mereka dituntut untuk bisa
lepas dan bersih dari narkoba dan bertahan agar tidak relapse, serta dapat
menjalani serangkaian program rehabilitasi yang penuh tekanan, yang menuntut kualitas yang ada pada diri mereka untuk tetap pulih, agar dapat melanjutkan
hidupnya, sekaligus mampu memiliki pandangan positif terhadap kehidupan dan diri mereka sendiri. Kekuatan untuk tetap mampu bertahan dalam menghadapi,
mengatasi, mempelajari kesulitan dalam hidup, dan bahkan ditransformasi oleh kesulitan tersebut dinamakan resiliensi Grotberg, 2003.
Resiliensi merupakan faktor yang berperan penting untuk dapat bertahan dalam mengatasi masalah dan mempertahankan diri dalam situasi yang menekan,
serta mampu beradaptasi dan belajar dalam situasi tersebut. Individu yang berhasil mengatasi situasi yang penuh tekanan dikatakan memiliki tingkat resiliensi yang
tinggi Garmezy Michael dalam Benard, 2004. Rutter menuliskan bahwa kemampuan resiliensi dapat membantu seseorang dalam mengatasi masalah
hidupnya Benard, 1991, sedangkan Connor Davidson 2003 menyatakan bahwa resilensi mencakup kualitas seseorang yang membuat orang tersebut dapat
menghadapi kesulitan.
Lazarus dalam
Tugade Fredrikson,
2004, menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak
yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah tidak resilien sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak
dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan resilien. Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak
saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif. Selain itu, beberapa studi juga menunjukkan bahwa masalah dalam
keterampilan resiliensi menjadi komponen terbesar dalam gangguan adiksi,
depresi, skizofrenia, serta masalah anak-anak dan remaja Kellam, et al., dalam Benard, 1991.
Mengembangkan resiliensi merupakan salah satu aspek penting dalam membantu terwujudnya proses pemulihan yang berhasil. Allegheny County
Coalition for
Recovery Child
and Family
Committee, 2006.
Dalam mengembangkan resiliensi, peran religiusitas ternyata cukup penting, karena salah
satu faktor internal yang mempengaruhi resiliensi seseorang adalah spiritual. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian Bogar Killacky 2006 yang
mengidentifikasikan lima determinan dari resiliensi, diantaranya yaitu spiritualitas dan religiusitas, yang merupakan komponen yang penting bagi resiliensi
seseorang, dimana kepercayaan ini dapat menjadi sandaran bagi individu dalam mengatasi berbagai permasalahan saat peristiwa buruk menimpa. Mendukung
penelitian tersebut, Handayani 2010 menemukan bahwa salah satu kekuatan karakter yang mempengaruhi resiliensi adalah spirituality.
Data-data di atas menunjukkan bahwa religiusitas memiliki pengaruh yang penting dalam mengembangkan resiliensi. Dari yang telah dipaparkan di atas,
terlihat bahwa peran religiusitas penting dalam resiliensi seseorang. Religiusitas dibutuhkan dalam mengembangkan resiliensi residen dalam menghadapi berbagai
macam tantangan selama proses penyembuhan. Resiliensi memungkinkan residen untuk dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi, sehingga dapat mengurangi risiko
kekambuhan serta dapat hidup secara normal kembali, seperti melanjutkan kuliah, mendapat pekerjaan yang layak, atau membina keluarga. Untuk itu lah peneliti
tertarik untuk mengkaji keterkaitan antara resiliensi dan religiusitas, dimana
dalam penelitian ini yang akan dikaji bukan hanya religiusitas saja, namun juga dimensi-dimensinya, yaitu dimensi religiusitas general religiosity, dimensi
religiusitas social religiosity, dimensi religiusitas involved God, dimensi religiusitas forgiveness, dimensi religiusitas God as judge, dimensi religiusitas
unvengefulness, dan
dimensi religiusitas
thankfulness. Sehingga
peneliti mengangkat judul dalam penelitian ini, yakni penelitian yang berjudul “DIMENSI
RELIGIUSITAS DAN RESILIENSI PADA RESIDEN NARKOBA DI BNN LIDO”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah