Dimensi religiusitas dan makna hidup recovering addict di UPT T&R BNN

(1)

i

RECOVERING ADDICT DI UPT T&R BNN

Disusunoleh :

LARASTIKA PRIMASARI

107070003688

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ii Skripsi

DiajukankepadaFakultasPsikologiuntukmemenuhisyarat-syaratmemperolehgelarSarjanaPsikologi

Oleh

LarastikaPrimasari

NIM : 107070003688

DibawahBimbingan

Pembimbing I

Gazi, M.Si.

NIP: 19711214 200701 1 014

Pembimbing II

NiaTresniasari, M.Si.

NIP: 19841026 200912 2 004

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii

Skripsi yang berjudul DimensiReligiusitasdanMaknaHidupRecovering Addict

di UPT T&R BNNtelah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 6Desember 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/Ketua Pembantu Dekan/Sekretaris

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP.19561223 198303 2 001

Anggota :

Neneng Tati Sumiati, M.Si., Psi NiaTresniasariM.Si. NIP. 19730328 200003 2 003 NIP: 19841026 200912 2 004

Gazi, M. Si.


(4)

iv Nama : LarastikaPrimasari NIM : 107070003688

Denganinimenyatakanbahwaskripsi yang berjudul “Dimensi Religiusitas dan MaknaHidup Recovering Addict di UPT T&R BNN” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 28 November 2011

LarastikaPrimasari NIM : 107070003688


(5)

v

Hidupbukanlahuntukmengurangiataumenghindari

‘ketegangan’,

melainkanuntukmengarahkandiri

menujutujuan yang sebaik-baiknya.

Sehinggadapatmenemukanmaknadarihidup yang

sedangdijalaniini.

(terinspirasidari V.E. Frankl)

Karyasederhanainikupersembahkanuntuk

keluargaku, sahabat-sahabatku,

rekan recovering addict serta orang-orang tersayang.

Semogabermanfaat.


(6)

vi

C) LarastikaPrimasari

D) DimensiReligiusitasdanMaknaHidupRecovering Addict di UPT T&R BNN E) XIII + 97Halaman + 35Lampiran

F) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dimensi religiusitas dan status pernikahan mempengaruhi makna hidup recovering addict. Sampel yang digunakan adalah 156 recovering addict yang sedang menjalankan pemulihan di fase akhir (Primary dan Re-Entry) serta staff addict, yang diambil dengan menggunakan teknik non probability sampling.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, serta pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner berbentuk skala model Likert. Adapun skala yang digunakan: (1) Purpose in Lifetest (PIL) yang berjumlah 23 aitem untuk mengukur makna hidup; (2) skala religiusitas khusus pecandu NAZA yang terdiri dari tujuh dimensi, berjumlah 41 aitem untuk mengukur religiusitas. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dari ketujuh dimensi religiusitas (general religiosity, social religiosity, involve God, forgiveness, God as judge, unvengefulness, dan thankfulness) yang digunakan, hanya dimensi

thankfulness yang berpengaruh signifikan terhadap makna hidup recovering addict di BNN. Thankfulness (atau yang biasa disebut dengan gratitude) menggambarkan harapan dan sikap optimis yang merupakan komponen penting dalam psikologi positif. Sehingga bisa disimpulkan saat seseorang (recovering addict) memiliki harapan dan pikiran yang optimis tentang hidupnya, secara tidak langsung akan membantu individu tersebut menyusun kerangka masa depan untuk menemukan makna hidupnya. Dimensi general religiosity, involve God, forgiveness, thankfulness hanya memberikan sumbangan namun tidak berpengaruh signifikan terhadap makna hidup

recovering addict di BNN.

Dari hasil penelitian ini disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dalam mengukur makna hidup hendaknya menggunakan beberapa alat ukur, akan lebih baik lagi jika menggabungkan dua metode penelitian (kualitatif dan kuantitatif). Dan menambahkan variabel lain sebagai independen variabel untuk penelitian makna hidup.


(7)

vii

Bismillahirahmanirrahiim

Syukur Alhamdullilahpenulis panjatkan untuk kehadirat Allah SWT, karena berkat segala kekuasaan dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Gazi Shalom, M. Si.dan Nia Tresniasari M.Si., yang telah membimbing, mengarahkan dengan sabar dan sangat baik dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dari beliau-beliau tersebut, serta terimakasih banyak atas pelajaran yang telah diberikan.

3. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan. 4. Mama yang kuat dan berhati lembut, serta papa yang berwatak keras namun

sangat perhatian mengingatkan penulis jika melakukan kesalahan. Akbar Gani, adik lelaki sekaligus asisten penulis yang telah sangat banyak membantu dan rela direpotkan oleh kakaknya yang bawel ini. Serta Nayla, adik perempuan penulis dan guru kehidupan penulis. Terima kasih banyak yang tak terhingga atas segala bentuk dukungannya.

5. Keluarga Pamulang yang penulis sayangi (bude, pakde, mba Dhita & abang, mas Fahmi & mba Delta), pakde No & bude Titik. Kepada keluarga besar Bani Masyhud dan HS, rasa syukur yang tidak kalah besarnya karena Allah mengirimkan mereka dikehidupan penulis. Terima kasih banyak atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan kepada penulis.


(8)

viii

lapangan untuk ambil data, terutama kepada Pak Fierza, Mas Rizal, Bro Dian. Terima kasih banyak atas segala arahan dan bantuannya.

8. Mister Adiyo yang tak kalah banyak direpotkan dalam mengajarkan Lisrel dan analisis hasil penelitian, terima kasih banyak mister.

9. Kepada Tita, Lia, Nun, Devi, Indah, SO-ers nun jauh disana dan sahabat-sahabat penulis lainnya dari jaman pesantren hingga sekarang yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bentuk kasih sayang dan perhatiannya. Terima kasih juga untuk Danil dan Finsa teman seperjuangan. 10.Terima kasih yang sebanyak-banyak juga kepada Bibiers (Epi, Uty, Lala,

Nuran, Rara, Winda, Anya, Farah) yang selalu ceria dimana aja, “kalian

adalah tawaku! maaf kalau banyak merepotkan yaa,hihih..” terima kasih juga kepada perkap’s team(Kak Kiki, Seruni, Yono, Kholid) dan geng KKL-BNN (Soraya, Afit, Nung, Kiki, Anne, Imas) atas motivasi dan canda tawanya. 11.Special thanks to trio kwek-kwek jaket ijo atas bantuan dan kerjasamanya

selama ini, kalian selalu membantu dan menghibur penulis.

12.Untuk „AMHP‟ yang telah menambah warna dalam hidup penulis. Karenanya

penulis belajar banyak hal tentang kasih sayang dan ketulusan.

13.Terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada rekan bimbingan seperjuangan (Obet, Mala, Shiro, Uthe, Imas, Safitri, Naya) yang sudah jadi alarm bagi penulis. Sukses dan semangat selalu buat kita semua!

14.Untuk teman-teman angkatan 2007, khususnya kelas C terima kasih atas kekompakan dan sikap baik hati kalian.

15.Dan kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan semua satu persatu, terima kasih banyak atas dukungan dan bantuannya.

Semogakemudahan serta keberkahan selalu menyertai mereka dan semuakebaikandibalasdengansebaik-baiknyapemberian Allah SWT.


(9)

ix

Cover

LembarPengesahanPembimbing ... ii

LembarPengesahanPanitiaUjian ... iii

LembarPernyataan Orisinalitas ... iv

Motto ... v

Abstrak ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... ix

DaftarTabel ... xi

DaftarGambar ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. LatarBelakang ... 1

1.2. Pembatasan& Perumusan Masalah ... 10

1.2.1 Pembatasan Masalah ... 10

1.2.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. ManfaatPenelitian ... 14

1.5. SistematikaPenulisan... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 17

2.1. MaknaHidup ... 17

2.1.1. PengertianMaknaHidup ... 18

2.1.2. Logoterapi ... 19

2.1.3 KarakteristikMaknaHidup ... 22

2.1.4 Metode-metodeMaknaHidup ... 24

2.1.5 AlatUkurKonsepMaknaHidup... 25

2.1.6 Faktor yang mempengaruhiMaknaHidup ... 27

2.2. Religiusitas ... 29

2.2.1. PengertianReligiusitas ... 29

2.2.2. DimensiReligiusitas ... 31

2.3 Recovering Addict ... 42

2.3.1. Adiksi (Addiction) ... 42

2.3.2. Pemulihan (Recovery) ... 43

2.4. KerangkaBerfikir... 45

2.3. HipotesisPenelitian ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

3.1. JenisPenelitian ... 50

3.1.1. PendekatanPenelitian ... 50

3.1.2. PopulasiPenelitian ... 51

3.1.3. Sampel Penelitian ... 52

3.1.4. TeknikPengambilanSampel ... 52

3.2. Variabel&DefinisiVariabel ... 52

3.2.1.VariabelPenelitian ... 52


(10)

x

3.7.1. UjiValiditasKonstrukMaknaHidup ... 61

3.7.2. UjiValiditasKonstrukDimensiReligiusitas ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 74

4.1. AnalisisDeskriptif ... 74

4.2. UjiHipotesisPenelitian... 75

4.1.1. AnalisisRegresiVariabelPenelitian ... 75

4.1.2. PengujianSumbanganmasing-masing IV ... 80

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 85

5.1. Kesimpulan ... 85

5.2. Diskusi... 86

5.3. Saran ... 91

5.3.1. Saran Praktis... 92

5.3.2. Saran Teoritis ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN


(11)

xi

Tabel3.1.Skor AitemSkala ... 56

Tabel3.2.Blue print Skala Makna Hidup... 57

Tabel3.3.Blue print Skala Dimensi Religiusitas ... 58

Tabel3.4.Muatan Faktor Aitem Makna Hidup ... 63

Tabel3.5.Muatan Faktor Aitem General Religiosity ... 66

Tabel3.6.Matriks Korelasi kesalahan pengukuran aitem General Religiosity ... 67

Tabel3.7.Muatan Faktor Aitem General Religiosity ... 68

Tabel3.8.Matriks Korelasi kesalahan pengukuran aitem General Religiosity ... 69

Tabel 4.1.Gambaran umum sampel berdasarkan Status Pernikahan ... 75

Tabel 4.2.R square„ Dimensi Religiusitas dan status nikah Terhadap Makna Hidup‟ ... 76

Tabel 4.3.Anova ... 76

Tabel 4.4.Koefisien Regresi ... 77

Tabel 4.5.Sumbangan dari masing-masing Variabel Independen ... 83


(12)

(13)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan akan kebermaknaan sangat mendesak bagi masyarakat modern, tetapi nampaknya kurang mendapat respon dari teori normatif (Metz, 2002). Debats (1995) berpendapat bahwa makna hidup merupakan persoalan penting dalam eksistensi manusia terlebih lagi dalam masyarakat modern. Namun karena masih sedikitnya penelitian di bidang tersebut, sehingga masih diperlukan melakukanprediksi-prediksisecara teoritis (Harries dalam Sumanto, 2006).

Seligman (1998) mengatakan bahwa psikologi dapat membantu merumuskan jalan keluar bagi umat manusia untuk dapat memiliki kehidupan yang bermakna meski hidup dalam ketidakpastian dan persaingan, bisa dilakukan dengan cara memaksimalkan aspek positif dalam diri individu. Namun pada kenyataannya, banyak psikolog yang lebih memberikan perhatian terhadap aspek negatif dibanding terhadap kesehatan mental. Penelusuran Csikszentmihalyi (dalam Sumanto, 2006) pada abstrak psikologi, sejak tahun 1887 hingga tahun 1997 membuktikan bahwa artikel-artikel aspek positif dan negatif kehidupan manusia berada dalam perbandingan yang tidak seimbang; terdapat 8.072 artikel kemarahan, 57.800 artikel kecemasan, dan 70.856 artikel depresi dan hanya 851 artikel tentang kegembiraan, 2.958 artikel kesejahteraan subyektif, dan 5.701 artikel kepuasan hidup. Perbandingannya sangat jauh yaitu 7:1.Penemuan


(14)

artikel-artikel tersebut merupakan bukti nyata bahwa masih sedikitnya perhatian psikolog terhadap pentingnya memaksimalkan aspek positif pada diri individu.Oleh sebab itu penulis tertarik membahas makna hidup yang merupakan aspek positif untuk menuju kebahagiaan hidup manusia.

Keinginan untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan komponen dasar untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.Hasrat inilah yang mendorong setiap individu untuk melakukan berbagai kegiatan seperti kegiatan bekerja dan berkarya untuk bertahan hidup agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga. Individu akan menemukan makna bagi dirinya sendiri ketika ia menanamkan perasaan dan energi dalam aktifitas yang dapat mengekspresikan keinginan dan prioritas yang istimewa bagi individu tersebut. Menurut Fabry (1980) salah satu dasar makna hidup adalah mengembangkan potensi individu. Sehingga usaha tersebut menunjukan adanya keingingan individu untuk memiliki kebermaknaan dalam hidupnya. Potensi individu disini diartikan sebagai kapasitas dan kualitas individu yang meningkatkan kehidupannya sendiri maupun orang lain, baik dalam hal kualitas maupun materiil.

MenurutKierkegaard(1813-1855), hidup tidak sekedar sesuatu sebagaimana yang kita pikirkan melainkan sebagaimana kita hayati (Sumanto, 2006: 117). Semakin mendalam penghayatan seseorang terhadap perihal kehidupan, makin bermaknalah kehidupannya. Penghayatan eksistensial adalah kedekatan dengan Tuhan; makin seseorang mendekati kesempurnaan, makin ia membutuhkan Tuhan. Hal tersebut sejalan dengan hasil studi Steger & Frazier


(15)

(2005) mengatakan bahwa makna hidupdiidentifikasi sebagai penghubung antara religiusitas dan kesehatan psikologis,karena salah satu fungsi agama (religion) adalah memberikan individu cara-cara yang jika dijalani mereka akan mendapatkan tujuan (purpose) dalam hidupnya (Emmons & Paloutzian, 2003).

Makna hidup merupakan elemen penting dalam kesejahteraan/kesehatan mental (well-being) dan fungsi hidup manusia (Steger & Frazier, 2005). Tanpa makna hidup, tujuan, nilai, atau idealisme dalam diri individu maka akan timbul keputusasaan. Bahkan menurut Frankl, jika seseorang tidak berjuang untuk makna hidupnya maka akan mengalami eksistensi-hampa atau “meaninglessness”.

Kondisi tersebut apabila berkepanjangan dapat menyebabkan “noogenic

neurosis”, suatu kondisi yang ditandai dengan gejala kebosanan dan

apatisme(Sumanto, 2006).Dari pendapat-pendapat diatas menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana cara kita memperoleh makna hidup di tengah permasalahan hidup yang kian menekan.

Setiap diri kita pasti akan berhadapan dengan masalah atau yang dalam Islam disebut dengan cobaan, bisa berupa kegagalan, kesedihan dan sebagainya. Dan apapun masalah yang telah terjadi dimasa lalu maupun yang sekarang sedang dihadapi, kehidupan ini haruslah terus berjalan sebagaimana mestinya.Oleh sebab itu alangkah sayangnya jika kehidupan ini kita jalani dengan kesia-siaan atau keputusasaan apalagi hingga merasa bahwa kehidupan ini tidaklah ada gunanya.Debat (1995) berpendapat rendahnya makna hidup individu berhubungan dengan psikopatologis (Yalom, 1980), rendahnya kesehatan mental (Reker,


(16)

Peacock &Wong, 1987; Zika & Chamberlain, 1992), terjerumus kepenggunaan NAZA dan keinginan untuk bunuh diri (Harlow, Newcomb & Bentler, 1986).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi makna hidup yang pernah diteliti oleh Debats, Van der Lubbe, dan Wezeman (dalam Debats dkk, 1995)mengenai hubungan antara Life Regard Index (LRI) dengan demografis (seks, usia, pendidikan) dan karakteristik kepribadian menemukan bahwa faktor demografis tidak berpengaruh, namun ditemukan pengaruh yang signifikan pada individu yang berstatus menikah dibandingkan dengan yang belum atau tidak menikah, individu yang memiliki hubungan baik dalam pernikahan dengan individu yang telah bercerai dalam pernikahan, individu yang memiliki pasangan (partner) dengan yang tidak memiliki pasangan, yang menghasilkan kesimpulan bahwa memiliki hubungan intim (intimate relationship) menghasilkan tingginya skor positive life regard. Individu yang memiliki hubungan intim biasanya memiliki pengalaman makna hidup dibandingkan dengan yang tidak memiliki hubungan tersebut (dalam Leath ,1999).

Pendapat lain dalam Sumanto (2006) mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam makna hidup ialah saat individu mampu menemukan orientasi intrinsik dan membuat keputusan pribadi dalam mengatasi krisis yang akan mendatangkan pengalaman-pengalaman emosi positif (Leath, 1999). Sebaliknya, kegagalan manusia dalam menemukan orientasi intrinsik ditengah berbagai kemungkinan yang tak terhitung banyaknya berpotensi menimbulkan kecemasan yang menjadi salah satu ancaman terhadap kebermaknaan hidup manusia


(17)

(Sumanto, 2006). Misal, terjadinya kehilangan “basic spiritual need” pada

pecandu NAZA yang disampaikan oleh Kendler et.al (1997), sehingga untuk

mengisi kebutuhan yang „hilang‟ itu digantikan dengan mengkonsumsi NAZA

(dalam Hawari, 2002).

Clinebell (dalam Hawari, 2002: 18) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual (basic spiritual needs).Bagi mereka yang beragama kebutuhan spiritual ini dapat diperoleh melalui pengalaman agama. Namun bagi mereka yang sekuler mengatasinya dengan jalan penyalahgunaan NAZA sebagai bentuk pelarian (escape reaction) karena ketidakmampuannya menghadapi kenyataan (Hawari, 2002: 17). Dapat dikatakan bahwa individu yang mengalami kecanduan NAZA tidak berhasil menemukan orientasi intrinsik yang dapat membantunya menghadapi permasalahan hidup sehinga ia melarikan diri ke penggunaan NAZA.

Hal tersebut sama yang penulis ketahui selama tiga minggu Kuliah Kerja Lapangan di Unit Terapi & Rehabilitasi BNN, ketika masih mengkonsumsi NAZA subjek menyatakan ketidakberdayaannya terhadap benda tersebut, segala cara hingga tindak kriminal akan mereka lakukan hanya demi mendapatkan NAZA, hidup mereka hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhannya mengkonsumsi NAZA, mereka menjadi lupa akan tujuan hidupnya sehingga terjadilah meaningless dalam menjalani hidup. Adapun gambaran tentang makna hidup pada recovering addict yang telah menjalani program recovery, dimana mereka mulai belajar kembali tugas-tugas kehidupan yang seharusnya dilakukan,


(18)

tentang apa tujuan hidup ini, mereka disadarkan tentang bahayanya penyalahgunaan NAZA yang telah mereka alami.Recovering addict merasa lebih bersyukur karena Tuhan masih memberi mereka kesempatan untuk berubah jadi lebih baik lagi, dan merasa lebih berguna karena selama di tempat rehabilitasi mereka bisa saling membantu sesama untuk keberhasilan proses pemulihan (recovery).Banyak dari mereka yang juga berusaha untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari keluarga dan masyarakat disekitarnya.

Program-programdi BNN membuat mereka belajar kembali fungsi kehidupan seperti pada recovering addict yang masih menjadi residen baik di fase

Primary maupun Re-Entry, mereka mendapat banyak informasi baru dari yang berbentuk sosial hingga spiritual. Mereka juga sudah dituntut untuk bertanggung jawab atas kelangsungan kegiatan sehari-hari dari mulai merapikan tempat tidur, saling mengingatkan dan menegur jika sesama mereka melakukan kesalahan, menyiapkan makan, sampai membersihkan tempat tinggal. Bahkan pada fase akhir (Re-Entry) telah diberi tanggung jawab mengawasi dan memimpin jalannya kegiatan di fase pertama (detox). Sedangkan pada staff addict mereka yang mengawasi dan memimpin jalannya seluruh kegiatan pemulihan di BNN. Dari kegiatan bermanfaat yang dilakukan selama di tempat rehabilitasi, dapat menimbulkan perasaan bermakna pada diri recovering addict. Mereka merasa lebih bermakna dalam menjalani hidup selama di tempat rehabilitasi, karena lebih terarah dalam menjalani keseharian.


(19)

dilakukan di Indonesia, recovering addict yang telah berhasil pulih dari perilaku

addict-nya merasa lebih dekat dengan Tuhan (religious), dan juga merasa Tuhan telah mengabulkan semua doa dan keinginannya. Mereka mencoba mencari apa arti kehidupan yang bermakna tanpa menggunakan NAZA dan berusaha menemukan kembali makna hidup yang hilang (Junaiedi, 2009).

Contoh lain tentang makna hidup yang disaksikan sendiri oleh Frankl

ketika terpenjara di „kamp maut‟ NAZI dimana ia dihadapkan pada keadaan penuh

siksaan, teror, dan pembunuhan kejam oleh tentara NAZI terhadap warga Yahudi. Namun ternyata ditengah penderitaan tersebut Frankl menemukan sebagian tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah, berusaha bertahan, dan bahkan tetap berusaha membantu sesama tanpa mengalami putus asa, apatis dan kehilangan semangat hidup, mereka pun tidak melakukan bunuh diri guna membebaskan diri dari penderitaan. Para tahanan tersebut adalah mereka yang berhasil mengembangkan dalam diri mereka harapan-harapan baik akan hari esok dan masa depan, serta meyakini datangnya pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan, berhasil menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan mereka „meaning in suffering‟ (Teori Frankl ebook).

Kasus Frankl hampir sama dengan latar belakang permasalahan yang dihadapi para mantan pecandu NAZA yang berusaha untuk tetap bertahan agar tidak terjerumus lagi pada penyalahgunaan NAZA serta untuk bertahan menghadapi stigma negatif masyarakat terhadap dirinya. Memori masa lalu dan permasalahan yang dihadapi mantan pecandu tidak akan menjadi penghalang


(20)

untuk tetap menciptakan makna hidup selama mereka mampu menemukan orientasi intrinsik dan membuat keputusan pribadi disetiap mengatasi masalah (Sumanto, 2006: 115).

Dapat dikatakan bahwa makna hidup dapat muncul tanpa adanya kesejahteraan (Debats, 1990; King & Napa, 1998 dalam Sumanto, 2006). Frankl pun berpendapat bahwa hidup dalam penderitaan tidak menghalangi individu untuk tetap memiliki kehidupan yang bermakna (Earnshaw, 2004) selama mereka dapat menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan yang dialami

meaning in suffering‟. Seperti merasa bersyukur karena telah diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk selamat (tidak meninggal karena over dosis), diijinkan untuk berubah menjadi lebih baik serta bermakna bagi rekan sesama pecandu. Sehingga bisa dikatakan, menemukan makna hidup adalah saat kita memiliki kekuatan intrinsik yang dapat membantu kita menghayati sebuah penderitaan, sampai kita berhasil mendatangkan pengalaman emosi positif dari penderitaan tersebut.

William James berpendapat kekuatan intrinsik tersebut bisa didapat dari agama yang dapat memberikan energi spiritual, dapat menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. James juga mengatakan bahwa agama adalah sumber kebahagiaan (Rakhmat, 2003).Dalam Adler (1997) menyatakan bahwa makna hidup individu berhubungan dengan kuatnya kepercayaan terhadap suatu agama (religious belief), keanggotaan pada


(21)

sebuah kelompok, pengabdian pada sebuah sebab, nilai hidup, dan tujuan hidup yang jelas (Yalom, 1980; in Zika & Chamberlain, 1992).

Pendapat yang hampir serupa dinyatakan juga oleh Steger (2005: 574), dimana inti manfaat dari pengalaman religius dapat menjadi luas, ketika agama telah memberikan individu sebuah perasaan bermakna (sense of meaning) dan hubungan mengenai dasar kebenaran (Exline, 2002; Simpson, 2002). Penemuan lain juga mendukung bahwa agama (religion) dapat menjadi sebuah sumber kesehatan mental (well-being) dalam kehidupan individu, dan dengan religiusitas individu dapat memperoleh makna dari agama mereka dengan membantu mereka merasa lebih baik (Steger & Frazier, 2005: 580). Peran agama dapat memberikan dukungan sosial (sosial support) atau sebagai sumber penanganan masalah (coping resources), atau dengan perasaan bahwa dirinya berharga (self-esteem) sehingga agama dapat menciptakan sebuah perasaan bermakna dalam hidup (meaning in life) yang pada gilirannya menuju kesehatan mental (Steger & Frazier, 2005: 580).

Dari penelitian-penelitian diatas yang menjelaskan mengenai kuatnya pengaruh agama terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan individu ditengah penderitaan atau masalah yang dialami individu. Sehingga penulis tertarik melakukan replika penelitian dari penelitian tersebut. Namun disini penulis akan menggunakan alat ukur religiusitas yang lebih baru dan bersifat multidimensional sehingga diharapkan dapat mengukur religiusitas secara komprehensif, baik dari segi ekstrinsik yang berupa ritual/kegiatan keagamaan serta segi intrinsiknya,


(22)

yang tergabung dalam dimensi religiusitas milik Kendler dkk (2003) seperti

General Religiosity (coping religious); Sosial Support; Forgiveness; Tuhan sebagai Penetap Takdir (God as judge); Rasa Berterima Kasih (thankfulness); Perasaan Tidak Dendam (unvengefulness); Keterlibatan Tuhan dalam Aktifitas keseharian (Involve God); dsb (Kendler et al., 2003)serta ingin melihat apakah terdapat perbedaan pengaruh antara individu yang berstatus tidak menikah (single

atau cerai) dengan yang telah menikah terhadap makna hiduprecovering addict di BNN. Dengan penelitian yang hanya melihat pengaruh dimensi religiusitas dan latar belakang status pernikahan terhadap makna hidup individu, diharapkan dapat lebih baik dan fokus dalam memperoleh temuan-temuan pada penelitian ini.

Sehingga penulis akan melakukan penelitian mengenai

“DIMENSI

RELIGIUSITAS

DAN

MAKNA

HIDUP

RECOVERING

ADDICT

DI UPT T&R BNN

”.

1.2 Pembatasan & Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diteliti tetap dalam jalurnya dan terarah maka penulismembuat pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Religiusitas

Disini terdiri dari tujuh dimensi:

 Dimensi awaldisebut general religiosity. Dimensi yang pertama ini (1) merefleksikan tentang perhatian dan keterlibatan individu dengan hal-hal


(23)

yang berkaitan dengan spiritual, termasuk perasaan (sense) tempat mereka selama didunia; (2) dan keterlibatan aktif dengan Tuhan sehari-hari dan saat mengalami keadaan bermasalah (krisis).

 Dimensi yang kedua disebut dimensi sosial religiosity, merefleksikan tingkat interaksi dengan individu religious lainnya, frekuensi kehadiran di tempat beribadah, dan sikap menggunakan obat-obatan terlarang (NAZA).

 Dimensi ketiga, Keterlibatan Tuhan (involve God) merefleksikan sebuah kepercayaan terhadap keterlibatan Tuhan yang secara aktif dan positif dalam urusan manusia.

 Dimensi keempat, sikap memaafkan (forgiveness) merefleksikan sikap perhatian, kasih sayang (love), dan pendekatan memaafkan kepada dunia. Pada dimensi ini tidak menampakkan istilah Tuhan.

 Dimensi kelima, persepsi Tuhan sebagai Penetap Takdir (God as judge),

mengandung kata „Tuhan‟ tapi berbeda dengan aitem dimensi ketiga, pada

dimensi ini menegaskan tentang takdir dan hukum alam dari Tuhan.

 Dimensi keenam, Rasa Tidak Dendam (unvengefulness) merefleksikan sebuah perilaku tidak menaruh rasa dendam terhadap dunia.

 Dimensi ketujuh, Bersyukur(thankfulness) merefleksikan perasaan terima kasih kepada Tuhan (bersyukur).

2. Meaning in life

Makna hidup (meaning of life) yang akan diukur pada penelitian ini dapat dilihat ketika: (a) Individu memiliki „makna/tujuan hidup‟; (b) Memiliki


(24)

„kepuasan hidup‟ (Life Satisfaction); (c) „Kebebasan‟, yaitu perasaan mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab; (d) Tidak merasa cemas terhadap kematian, yaitu orang yang memiliki makna hidup akan membekali diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya; (e) tidak berpikiran tentang bunuh diri;

(f) „Kepantasan hidup‟.

a. Status Pernikahan

Status nikahsampel penelitian, apakah berstatus menikah atau tidak menikah (cerai atau single).

b. Sampel

Sampel adalah recovering addict. Mereka yang telah bebas dari ketergantungan NAZA, yang telah mengikuti program rehabilitasi maupun yang sedang mengikuti program pada tahap akhir di Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Bogor.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Adakah pengaruh yang signifikan dari general religiosity terhadap makna hidup recovering addict di BNN ?


(25)

hidup recovering addictdi BNN ?

3. Adakah pengaruh yang signifikan dari keterlibatan Tuhan (involve God) terhadap makna hiduprecovering addict di BNN ?

4. Adakah pengaruh yang signifikan dari sikat memaafkan (forgiveness) terhadap makna hiduprecovering addict di BNN ?

5. Adakah pengaruh yang signifikan dari persepsi Tuhan sebagai penetap takdir (God as judge) terhadap makna hidup recovering addict di BNN ?

6. Adakah pengaruh yang signifikan dari rasa tidak dendam (unvengefulness) terhadap makna hiduprecovering addict di BNN ?

7. Adakah pengaruh yang signifikan dari bersyukur(thankfulness) terhadap makna hiduprecovering addict di BNN ?

8. Adakah perbedaan yang signifikanantara recovering addictdi BNN yang berstatus menikah dan yang tidak menikah padamakna hidupnya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilaksanakan adalah :

1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari general religiosity

terhadap makna hiduprecovering addict di BNN.

2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari sosial religiosity

terhadap makna hidup recovering addict di BNN.

3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari keterlibatan Tuhan (involve God) terhadap makna hidup recovering addict di BNN.


(26)

(forgiveness) terhadap makna hiduprecovering addict di BNN.

5. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari persepsi Tuhan sebagai penetap takdir (God as judge) terhadap makna hiduprecovering addict di BNN.

6. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari rasa tidak dendam (unvengefulness) terhadap makna hidup recovering addict di BNN.

7. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari bersyukur(thankfulness) terhadap makna hidup recovering addict di BNN. 8. Untuk mengetahui adanyaperbedaan yang signifikanantara recovering

addictdi BNN yang berstatus menikah dan yang tidak menikah pada makna hidupnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam bidang psikologi klinis mengenai meaning in life, sehingga dapat meningkatkan rasa ingin tahu khususnya mahasiswa Fakultas Psikologi dalam pengembangan teori Psikologi positif serta mengembangkan banyak penelitian agar menemukan teori Psikologi baru dalam hal ini.

Segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan:

1. Dapat membantu memberikan informasi dan referensi bagi mereka yang ingin meneliti mengenai dimensi religiusitas dan meaning in life dan hubungan keduanya, dan meningkatkan keperdulian terhadap para rekan recovering


(27)

addict.

2. Dapat membantu memberikan informasi dan referensi mengenai seberapa besar dimensi religiusitas berkontribusi terhadap terbentuknya makna kehidupan (meaning in life) para recovering addict, sehingga dapat berguna dalam membantu proses pemulihan recovering addict.

1.5 Sistematika Penulisan

Laporan Penelitian (Skripsi) ini terdiri dari lima bab. Perincian setiap bab adalah sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai pengaruh dimensi religiusitas, usia, latar belakang pendidikan, status pernikahan terhadap makna hiduprecovering addict di BNN., identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujaun dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 Kajian Pustaka, menguraikan sejumlah konsep yang berkaitan dengan makna hidup yang terdiri dari pengertian,landasan Logoterapi, karakteristik, metode, dimensi, jenis dan aspek-aspek makna hidup. Selain itu juga dijelaskan mengenai religiusitas, yang terdiri dari pengertian dan dimensi-dimensi dari religiusitas tersebut.

BAB 3 Metodologi Penelitian, Bab ini berisi penguraian mengenai variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, desain penelitian, instrumen penelitian, teknik pengambilan data dan teknik analisa data


(28)

yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB 4 Presentasi dan Analisa Data, menguraikan mengenai pengolahan semua data yang terkumpul dari penelitian ini.Data yang terkumpul meliputi gambaran umum subjek penelitian dan pengaruh dari dimensi religiusitas, usia, latar belakang pendidikan, status pernikahan terhadap makna hiduprecovering addict di BNN yang dijadikan subjek pada penelitian ini.

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima,serta keterbatasan-keterbatasan penelitian. Bagian saran berisi saran-saran teoritis untuk keperluan penelitian selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil penelitian.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Makna hidup

Menurut Frankl, manusia dalam menjalani hidup tidaklah untuk mengurangi ketegangan agar memperoleh keseimbangan, melainkan mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan tertentu yang layak bagi dirinya yaitu memiliki makna hidup. Frankl (Koeswara, 1987) berpendapat bahwa manusia secara hakiki mampu menemukan makna hidup melalui transendensi-diri. Pendapat tersebut sejalan dengan Paloutzian yang mengemukakan bahwa perasaan keagamaan yang

matang akan membantu individu memuaskan “keinginan akan makna” dengan

mengambil ajaran agama yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan(dalam Sumanto, 2006: 121).

Dalam kehidupan ini, mungkin saja kita tidak berhasil memenuhi atau mengetahui makna hidup yang sedang dijalani. Hal tersebut antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu dan dalam pengalaman masing-masing terkandung makna hidup potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan.

Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup dapat menimbulkan semacam frustrasi atau kehampaan yang disebut existensial frustration/existensial vacuum. Gejala utamanya berupa penghayatan hidup tak bermakna (meaninglessness), hampa, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa


(30)

hidup tidak berarti, bosan (boredom)- ketidakmampuan membangkitkan minat, dan apatis (apathy)- ketidakmampuan mengambil prakarsa. Menurut Frankl (1973) gejala tersebut mungkin tidak terungkap secara nyata, tetapi terselubung (masked) dibalik berbagai upaya kompensasi dari kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will power), bersenang-senang mencari kesenangan (the will to pleasure) termasuk mencari kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (the will to money). Dengan kata lain perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya menutupi penghayatan-penghayatan hidup tanpa makna. Penghayatan tanpa makna tersebut menurut Frankl (1977) bersumber dari insting/naluri yang hampir tak berfungsi dan memudarnya nilai-nilai tradisi (dan agama) pada orang modern (Bastaman 1996).

2.1.1 Pengertian Makna hidup

Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga (Bastaman, 1996).

Pengertian mengenai makna hidup menunjukan bahwa didalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi.Seperti yang diungkapkan Yalom (dalam Bastaman, 1996) pengertian makna hidup (meaning in life) sama artinya dengan tujuan hidup (purpose in life) yaitu segala sesuatu yang ingin dicapai dan dipenuhi.


(31)

Makna hidup ini benar-benar terdapat dalam kehidupan itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya tidak mudah ditemukan, karena sering tersirat dan tersembunyi di dalamnya.Namun bila makna hidup ini berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan bermakna dan berharga yang pada giliranya akan menimbulkan perasaan bahagia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah ganjaran atau akibat samping dari keberhasilan seseorang memenuhi makna hidup.

Frankl (1985) menyebutkan bahwa makna hidup sebagai sesuatu hal yang bersifat personal, dan bisa berubah seiring berjalannya waktu maupun perubahan situasi dalam kehidupannya. Individu seolah-olah ditanya apa makna hidupnya pada setiap waktu maupun situasi dan kemudian harus mempertanggung-jawabkannya. Oleh karena itu makna hidup yang dimaksud bukanlah makna hidup dalam arti umum melainkan makna khusus dari hidup individu.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan hidup.Teori mengenai makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana teori ini dituangkan ke dalam suatu terapi yang dikenal dengan nama Logoterapi.

2.1.2 Logoterapi

Sekilas mengenai Logoterapi, menurut Frankl (dalam Bastaman, 1996) logoterapi berasal dari kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Logoterapi


(32)

percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Perlu dikemukakan juga

menurut Frankl, bahwa sebutan „kerohanian‟ (sprituality) dalam Logoterapi tidak

mengandung konotasi keagamaan. Tetapi lebih dimaksudkan sebagai aspirasi manusia untuk hidup secara bermakna. Namun, sekalipun Victor Frankl berkali-kali menyatakan bahwa dimensi spiritual yang dimaksud dalam teori logoterapi tidak dalam artian agama, ia mengakui adanya the divine world dan the ultimate meaning yang sulit dipahami dengan intelektualitas semata tetapi harus diterima dengan keimanan yang berarti percaya dengan the ultimate being (bahasa sekuler untuk akhirat, agama dan Tuhan) (dalam Bastaman, 2007: 251).

Frankl (dalam Schulenberg SE, MeltonAMA, 2008) mengembangkan sebuah teori dan teknik yang disebut Logoterapi, menemukan prinsip bahwa memiliki alasan untuk menjalani (tujuan atau makna) dibutuhkan untuk membimbing kita menuju kehidupan yang berharga (van Deurzen-Smith, 1997; Frankl, 1959/1985). Logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia yang berlandaskan tiga konsep filosofis yang memiliki hubungan erat dan saling mempengaruhi, yaitu:

1. Kebebasan Berkehendak (Freedom to Will)

Kemampuan individu untuk memilih bagaimana merespon situasi eksternal (Auhagen, 2000; Crumbaugh, 1971; Lukas & Hirsh, 2002; Starck, 2003). Walaupun individu tersebut tidak selalu bisa mempengaruhi kondisi biologis, sosial, atau psikologis yang mereka hadapi, mereka tetap bebas untuk


(33)

memilih untuk bertindak (van Deurzen-Smith, 1997). Manusia dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan dan kebebasan untuk mengubah kondisi hidupnya guna meraih kehidupan yang lebih berkualitas. Dan yang sangat penting, kebebasan ini harus disertai rasa tanggung jawab (responsibility) agar tidak berkembang menjadi kesewenang-wenangan.

2. Keinginan akan Makna (Will to Meaning)

Setiap individu menginginkan dirinya menjadi orang yang bermanfaat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar dan berharga di mata Tuhan.Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia (Frankl dalam Schulenberg SE.& MeltonAMA 2008).Hasrat inilah yang mendorong setiap individu untuk melakukan berbagai kegiatan seperti kegiatan bekerja dan berkarya agar hidupnya dapat berarti dan berharga.

3. Makna hidup (Meaning in Life)

Makna hiduptermasuk fokus penting dalam Logoterapi. Kehidupan yang kita jalani ini memiliki makna dibalik segala keadaan sekitar, dari keadaan yang sehari-hari kita temui hingga masalah yang tidak dapat dihindari (Frankl, 1990; Lukas & Hirsch, 2002). Crumbaugh (dalam Melton, 2008) menyimpulkan bahwa motivasi mendasar dalam hidup ini adalah mencari tujuan agar individu tersebut memiliki eksistensi (personal existence), seperti dengan mempunyai atau menciptakan sesuatu hal yang berbeda (unik) dari


(34)

kebanyakan orang lainnya. Tujuan (keunikan) tersebut memungkinkan individu mampu menghadapi kesulitan, meskipun dalam keadaan kekurangan, kehampaan (emptiness), dan frustasi. Oleh sebab itu dari persepsi tersebut, aktualisasi diri dan pencapaian kebahagiaan bukanlah menjadi tujuan dari hidup (Baumeister & Vohs, 2002; Frankl1959/1985, 1990; Lukas & Hirsch, 2002; Tosi, Leclair, Peters, & Murphy, 1987). Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga. Dan makna hidup ternyata ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, keadaan bahagia ataupun menderita.Menurut Yalom (1980), pengertian mengenai makna hidup menunjukan bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan (Bastaman, 1996:14).

2.1.3 Karakteristik Makna Hidup

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut akan dijelaskan mengenai karakteristik makna hidup sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman, 1996 hal.14), yaitu:

1. Makna hidup sifatnya unik danpersonal

Artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Demikian pula hal-hal yang dianggap penting dapat berubah dari waktu ke waktu.


(35)

2. Kongkrit dan spesifik

Yakni makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak usah selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis dan idealis atau kreativitas dan prestasi akademis yang serba menakjubkan.

3. Memberi pedoman dan arah

Artinya makna hidup yang ditemukan oleh seseorang akan memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukannya sehingga makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya.

Dalam kehidupan ini tidak selalu menawarkan kesenangan dan ketenangan.Tetapi sebagai keseimbangan, kehidupan ini juga menyediakan ketegangan dan penderitaan. Oleh karena itu, makna hidup harus dicari dan dipenuhi, serta tantangan atau permasalahan hidup yang ada harus dihadapi dan dijawab. Hal ini terjadi karena setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarga, lingkungan masyarakat, serta bagi dirinya sendiri. Sehingga Bastaman (1996: 15) menjelaskan makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri. Orang lain hanya dapat menunjukkan segala sesuatu yang secara potensial bermakna, namun untuk mencantumkan apa yang dianggap bermakna pada akhirnya terpulang pada orang yang diberi petunjuk itu sendiri.


(36)

2.1.4 Metode-metode Makna Hidup

Metode-metode untuk menemukan makna hidup berdasarkan Logoterapi (Bastaman, 1996), sebagai berikut :

1. Pemahaman Pribadi (Self Evaluation)

Mengenali secara objektif kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan lingkungan, baik yang masih merupakan potensi maupun yang telah teraktualisasi untuk kemudian kekuatan-kekuatan itu dikembangkan dan kelemahan-kelemahan diperbaiki dan dikurangi.

2. Bertindak Positif (Acting as if)

Mencoba menerapkan dan melaksanakan dalam perilaku dan tindakan-tindakan nyata sehari-hari yang dianggap baik dan bermanfaat.Bertindak positif merupakan kelanjutan dari berfikir positif.

3. Pengakraban Hubungan (Personal encounter)

Secara sengaja meningkatkan hubungan yang baik dengan pribadi-pribadi tertentu (misalnya anggota keluarga, teman, rekan kerja, tetangga), sehingga masing-masing merasa saling menyayangi, saling membutuhkan dan bersedia bantu-membantu.

4. Pengalaman Tri-Nilai (Exploring human values)

Berupaya untuk memahami dan memenuhi tiga ragam nilai yang dianggap sebagai sumber makna hidup yaitu nilai-nilai kreatif (kerja, karya), nilai-nilai penghayatan (kebebasan, keindahan, kasih, iman), dan nilai-nilai bersikap (menerima dan mengambil sikap yang tepat atas derita yang tidak dapat


(37)

dihindari lagi).

5. Ibadah (Spiritual encounter)

Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri pada Sang Pencipta yang pada akhirnya memberikan perasan damai, tentram, dan tabah.Ibadah yang dilakukan secara terus-menerus dan khusuk memberikan perasan seolah-olah dibimbing dan mendapat arahan ketika melakukan suatu perbuatan.

2.1.5 Alat ukur Konsep Makna Hidup

Frankl menemukan sejenis gangguan neurosis baru yang terjadi karena keadaan penghayatan hidup tanpa makna (existential frustation) yang berlangsung intensif dan berlarut-larut tanpa penyelesaian tuntas. Gangguan tersebut dinamakan oleh Frankl dengan neurosis noogenik (noogenic neurosis) (Bastaman, 1996). Namun Frankl hanya melakukan pengukuran informal dan tidak melakukan pengukuran kuantitatif atas kondisi tersebut (Koeswara, 1992).

Berangkat dari konsep neurosis noogenik yang menarik minat para peneliti, James Crumbaugh dan Leonard Maholick mempeloporinya dengan melakukan penelitian-penelitian yang cukup panjang yang membawa pemahaman yang lebih baik tentang Logoterapi (Koeswara, 1992). Kemudian mereka menghasilkan beberapa alat tes sehingga untuk mengetahui penghayatan hidup yang bermakna atau tidak, dapat dilakukan dengan pendekatan psikometrik, salah satunya yang paling relevan sebagai usaha untuk mengukur makna hidup adalah dengan Purpose in Lifetest (PIL) (Melton & Schulenberg, 2008).


(38)

PIL dirancang Crumbaugh dan Maholick untuk mengkuantifikasi konsep makna hidup, terutama mengukur kondisi yang oleh Frankl disebut existensial frustation (Koeswara, 1992: 147). PIL test ini berupa skala sikap (attitude) yang dirancang untuk mengungkap respon-respon yang diyakini berkaitan dengan atau merupakan petunjuk bagi seberapa tinggi individu mengalami hidupnya bermakna. Pada PIL seseorang yang dianggap menghayati hidup bermakna dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini:

a. Tujuan hidup (purpose in life), yaitu memiliki sesuatu yang menjadi pilihan, memberi nilai khusus serta dijadikan tujuan dalam hidupnya.

b. Kepuasan hidup (life satisfaction), yaitu penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauhmana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan aktivitas-aktivitas yang dijalaninya.

c. Kebebasan (freedom) , yaitu perasaan mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab.

d. Sikap terhadap kematian, yaitu bagaimana seseorang berpandangan dan kesiapannya menghadapi kematian. Orang yang memiliki makna hidup akan membekali diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya.

e. Pikiran tentang bunuh diri, yaitu bagaimana pemikiran seseorang tentang masalah bunuh diri. Bagi orang yang mempunyai makna hidup akan berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak pernah memikirkannya


(39)

merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak.

2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Makna hidup

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi makna hidup yang pernah diteliti oleh Debats, Van der Lubbe, dan Wezeman (1993) mengenai hubungan antara Life Regard Index (LRI) dengan demografis (seks, usia, pendidikan) dan karakteristik kepribadian menemukan bahwa faktor demografis tidak berpengaruh, namun ditemukan pengaruh yang signifikan pada individu yang berstatus menikah dibandingkan dengan yang belum atau tidak menikah, individu yang memiliki hubungan baik dalam pernikahan dengan yang telah bercerai, serta individu yang memiliki pasangan (partner) dengan yang tidak memiliki pasangan. Kesemuanya menghasilkan kesimpulan bahwa memiliki hubungan intim (intimate relationship)

menghasilkan tingginya skor positive life regard. Individu yang memiliki hubungan intim biasanya memiliki pengalaman makna hidup dibandingkan dengan yang tidak memiliki hubungan tersebut (Colin Leath, 1999). Sedangkan menurut Baumeister (1991) (dalam King, L.A. dkk, 2006) berpendapat bahwa makna hidup seseorang tergantung pada pemenuhan „empat kebutuhan

psikologis‟: tujuan (purpose), nilai (value), efikasi diri (self-efficacy), dan self-worth.

Di sisi lain penelitian Dunn, Marianne G. dkk (2009: 221) menemukan bahwa dengan menilai kekuatan Tuhan (reappraisal God‟s power) dapat membantu memprediksi pencarian makna hidup seseorang. Penilaian kekuatan Tuhan merupakan bentuk negatif dari religious coping dimana seseorang tersebut


(40)

berpikir ulang tentang kekuatan Tuhan yang menolong hambanya dalam proses

coping.

Sedangkan dalam rangkuman artikel dari Adler (1997), Yalom menemukan bahwa kurangnya makna hidup (meaning in life) berhubungan dengan psikopatologi, dimana makna hidup yang positif berhubungan dengan kuatnya kepercayaan terhadap suatu agama (religious belief), keanggotaan pada sebuah kelompok, pengabdian pada sebuah sebab, nilai hidup, dan tujuan hidup yang jelas (Yalom, 1980; in Zika & Chamberlain, 1992). Menurut James, agama dapat memberikan energi spiritual, dimana agama dapat menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaan tenteram dan damai. James juga mengatakan bahwa agama adalah sumber kebahagiaan (Rakhmat, 2003). Salah satu fungsi agama (religion) adalah memberikan individu cara-cara yang jika dijalani mereka akan mendapatkan tujuan (purpose) dalam hidupnya (Emmons & Paloutzian dalam Steger & Frazier, 2005).

Peran agama dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan (well-being) dengan memberikan dukungan sosial (sosial support) atau sebagai sumber penanganan masalah (coping resources), atau dengan sense dari harga diri ( self-esteem). Agama dapat menciptakan sebuah perasaan bermakna dalam hidup (meaning in life).Dan makna hidup merupakan elemen penting dalam kesejahteraan (well-being) dan fungsi hidup manusia (Steger & Frazier, 2005:


(41)

580).

2.2 Religiusitas

2.2.1 Pengertian Religiusitas

Pengertian atau definisi adalah merupakan batasan; dan agama sangat sulit dibatasi karena bersifat kompleks. Namun disini penulis akan berusaha mencari definisi agama yang sesuai dengan penelitian ini.

Harun Nasution (dalam Jalaludin, 2000: 12) merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegare, religere), dan agama.Al-din (semit) berarti undang-undang atau hukum.Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Adapun kata agama tediri dari a= tidak; gam= pergi mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.

Definisi menurut James menekankan pada perasaan dan pengalaman beragama.Menurutnya, agama memberikan energi spiritual, dimana agama dapat menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaan tenteram dan damai. James juga mengatakan bahwa agama adalah sumber kebahagiaan (dalam Rakhmat, 2003).


(42)

dewasa Amerika, pada tahun 1947Braden (dalam Rakhmat, 2003) menemukan bahwa alasan yang paling sering disebut untuk mengikuti agama adalah bahwa

“agama memberikan makna pada kehidupan”.

Dari istilah agama dan religi muncul istilah keberagamaan dan religiusitas (religiosity) yang berarti seberapa jauh pengetahuan, kokohnya keyakinan, pelaksanaan ibadah dan kaidah, serta penghayatan atas agama yang dianutnya (Nashori, 2002: 71). Religiusitas dapat mempengaruhi manusia dalam bertindak dan bertingkah laku, semakin kuat religiusitas seseorang, semakin kuat pula seseorang tersebut dalam mengontrol setiap tindakan dan tingkah lakunya (Thouless, 1995).

Sedangkan religiusitas menurut Kendler dkk (2003) dijelaskan berdasarkan tujuh dimensi, yaitu (1) Individu penganut agama, yang menyerta-kan Tuhan dalam keseharian/masa krisis (general religiosity); (2) Membina hubungandengan individu sesama penganut agamanya (sosial religiosity); (3) Percaya pada keterlibatan Tuhan yg positif dalam urusan manusia sehari-hari (involved God); (4) Memiliki kepedulian, rasa kasih sayang, dan saling memaafkan terhadap sekitar (forgiveness); (5) Merasa Tuhan memiliki kuasa memberi ganjaran atas apa yang telah kita lakukan (God as judge); (6) Tidak menyimpan rasa dendam (unvengefulness); (7) Bersyukur (thankfulness).

Karena sifatnya yang kompleks, perlu digunakan alat ukur yang bersifat multi dimensional. Dan pada penelitian ini penulis akan menggunakan alat ukur religiusitas milik Kendler dkk (2003) yang terdiri dari tujuh dimensi yaitu,


(43)

dimensi religiusitas general religiosity, dimensi religiusitas social religiosity,

dimensi religiusitas involved God, dimensi religiusitas forgiveness, dimensi religiusitas God as judge, dimensi religiusitas unvengefulness, dan dimensi religiusitas thankfulness, sebagai alat ukur religiusitas.

2.2.2 Dimensi Religiusitas

Kendler dkk mencoba mengukur religiusitas maupun spiritualitas secara luas, dan menurutnya religiusitas dan spiritualitas adalah hal yang tidak bisa dipisahkan karena mereka saling berhubungan satu sama lain (Kendler dkk, 2003: 499). Kendler dkk mencoba mengembangkan teknik analisis keberagamaan menjadi lebih mudah dengan menguraikannya menjadi beberapa dimensi untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif (Kendler dkk, 2003).

Dimensi religiusitas tersebut terdiri dari tujuh dimensi :

1. General Religiosity ‘coping religious

Merefleksikan tentang (1) perhatian dan keterlibatan individu dengan hal-hal yang berkaitan dengan spiritual, seperti menghayati (sensing) keberadaan mereka selama di alam semesta; (2) serta keterlibatan aktif dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari maupunketika sedang bertemu masalah (krisis).

Dimensi awal ini tidak bisa dipisahkan dengan apa yang selama ini kita istilahkan dengan coping religious (Kendler dkk, 2003: 499). Dimensi ini terdiri dari 12 aitem (Daily Spiritual Experiences & Religious Coping) milik Pargament


(44)

dalam ebook Fetzer Institute(1999), lima aitem dari penelitian Kendler sebelumnya mengenai Personal Devotion & Conservatism (1997), 12 aitem mengenai Religious Attitudes & Practice Inventory (D‟Onofrio dkk, 1997), satu aitem yang dikembangkan sendiri oleh Kendler dkk mengenai Love and caring.

Kendler menggunakan tujuh aitem religious coping dari dimensi religiusitas Pargament (dalam Fetzer, 1999: 43), dimana religiouscopingdapat dijadikan sebagai metode penghubung antara variabel global (seperti, sifat intrinsik keagamaan, frekuensi beribadah, dan frekuensi kehadiran pada tempat peribadatan) dengan peristiwa penyebab stress. Karena saat individu sedang dalam masa krisis (berhadapan dengan masalah), mereka akan menjadikan agama sebagai cara untuk membantunya menyelesaikan masalah. Metode ini disebut dengan religious/spiritual coping, dan metode ini dapat berfungsi lebih cepat dan proksimal dalam memberikan implikasi terhadap kesehatan.Menurut Pargament (1998) dalam Fetzer Institute (1999: 45) menjelaskan bahwa ada tiga jenis coping

religius dalam proses penyelesaian masalah, yaitu:

1. Berserah diri(Deferring Style), yaitu meminta penyelesaian masalah kepada Tuhan saja. Yaitu dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong hamba-Nya dan menyerahkan semua keputusan kepada Tuhan. 2. Kolaborasi(Colaborative Style), yaitu hamba meminta solusi kepada Tuhan

dan hambanya senantiasa berusaha untuk melakukan coping.

3. Mengandalkan Kemampuan Sendiri(Self-directing Style), yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam menjalankan coping.


(45)

Kemudian, lima aitem Daily Spiritual Experiences (Pargament dalam

ebookFetzer Institute, 1999) yang bertujuan untuk mengukur persepsi spiritual individu dalam segala aspek kegiatan sehari-hari yang merepresentasikan pengalaman spiritual. Aitem-aitemnya lebih mengukur pengalaman individu dibanding kognitifnya. Dimensi ini menjadikan spiritual sebagai pusat fokus dan dapat digunakan secara efektif untuk segala jenis agama. Aitem yang digunakan pada dimensi Daily Spiritual Experiences berasal dari:

- Hubungan dengan transenden (Connection with the Transcendent),tertuju kepada individu yang mengalami hubungan dengan transenden sebagai keintiman personal, dan individu yang menggambarkan perasaan kesatuan sebagai penghubung mereka dengan transenden.

- Perasaan mendapat dukungan dari transenden (Sense of Support from the

Transcendent „Strength and Comfort, Perceived Love‟), perasaan ini diekspresikan melalui tiga cara, namun yang diambil pada dimensi ini hanya dua.

a. Kekuatan dan kenyamanan (Strength and Comfort), menggambarkan dukungan sosial dari Tuhan. Aitem ini bermaksud untuk mengukur rasa mendapat dukungan dan kenyamanan yang didapat dari transenden.

b. Menerima kasih sayang (Perceived Love), individu dapat percaya bahwa Tuhan mencintainya. Dukungan emosional akan rasa dicintai merupakan hal yang penting dalam hubungan religiusitas/spiritualitas terhadap kesehatan individu. Kualitas rasa cinta terhadap Tuhan memiliki potensi yang berbeda dengan rasa cinta antar sesama manusia. Cinta Tuhan dapat


(46)

menjadi penguat dan berkontribusi terhadap rasa percaya diri seseorang, serta merasa layak untuk bersikap.

- Perasaan kagum (Sense of Awe), aitem ini berusaha menangkap cara dimana individu mengalami pengalaman transenden. Rasa kagum ini dapat timbul dari keindahan alam, manusia, atau langit dimalam hari, dan memiliki kemampuan untuk merasakan pengalaman spiritual yang melintasi batas-batas agama maupun individu yang tidak beragama (van Kaam, 1986 dalam Fetzer 2003).

- Perasaan keutuhan (Sense of Wholeness „internal integration), aitem ini berusaha untuk mengetahui kesejahteraan psikologis individu. Rasa keutuhan ini akan lebih sulit dialami jika individu dalam keadaan yang tidak sesuai, seperti sedang merasa kesulitan, stres atau depresi.

Kemudian, Kendler dkk juga menggunakan 12 aitem tentang „Religiusitas

pada Dewasa dan Pengaruhnya terhadap Penggunaan Obat-Obatan‟(D‟Onofrio,

1999). Subskala yang digunakan :

- Spirituality (lima aitem), aitem ini terpisah dengan kepercayaan pada Tuhan (h. 164).

- Theism (tujuh aitem), merepresentasikan kepercayaan pada Tuhan (h. 159).

Kemudian lima aitem dari penelitian Kendler sebelumnya (1997: 324) digunakan untuk mengetahui tingkat religiusitas seseorang berdasarkan perilaku dan kepercayaannya (religious behavior and belief). Dari penelitian Kendler tersebut dapat mengukur dua faktor religiusitas:


(47)

1. Komitmen dan ketaatan individu (Personal Commitment and Devotion), menggambarkan:

a. Pentingnya kepercayaan sebuah agama (religous belief), b. Frekuensi kehadiran di tempat peribadatan,

c. Kesadaran akan tujuan agama (religious purpose),

d. Frekuensi pencarian kenyamanan kegiatan spiritualitas (spiritual comfort),

e. Frekuensi beribadah dengan khusu‟ (private prayer).

2. Kekonservatifan individu (Personal Conservatism), yang merefleksikan ketradisionalan, fundamental, kepercayaan konservatif (h. 324).

a. Percaya bahwa Tuhan akan memberi ganjaran sesuai dengan apa yang kita lakukan (memberi pahala atau hukuman),

b. Percaya bahwa kita akan dilahirkan kembali, c. Percaya pada kitab suci.

Dari kedua faktor religiusitas tersebut, ditemukan Kendler dkk bahwa

personal conservatism sangat penting membantu seseorang dalam memutuskan untuk menggunakan obat-obatan atau tidak. Sedangkan personal devotiondapat mempengaruhi kemampuan seseorang jika ingin berhenti atau mengurangi level penggunaan obat-obatan terlarang (Kendler dkk, 1997: 327).

2. Sosial Religiosity (Religious ‘sosial support’)

Pada dimensi ini merefleksikan tingkat interaksi dengan individu religius lainnya, seperti frekuensi kehadiran di tempat beribadah, dan perilaku tentang obat-obatan


(48)

terlarang (NAZA) dalam sudut pandang agama. Sehingga dimensi ini disebut

sosial religiosity.Sosial religiosity dianggap sama dengan apa yang kita istilahkan denganreligioussosial support (Kendler et.al dkk, 2003: 499).

Jika menurut Pargament (dalam Fetzer, 2003: 45) Religious Support

adalah usaha untuk mendapatkan pertolongan dari pemuka agama atau anggota sesama agama..

Dasar dari dimensi ini adalah satu aitem dari skala penelitian Kendler sebelumnya (1997) mengenai perilaku religius dalam hal ketaatan hadir di kegiatan peribatan (religious behavior/personal devotion) dan skala Religious Attitudes & Practice Inventorytentang perilaku keberagamaan (D‟Onofrio B. Murelle L; Eaves LJ; McCullough ME; Landis JL; Maes H; 1999). Skala penelitian ini telah dilakukan pada dewasa awal dan dewasa penyalahguna obat-obatan, alkohol, dan perokok (D‟Onofrio, 1999: 158). Subskala Religious Attitudes & Practice Inventory yang digunakan pada dimensi ini adalah:

- Social Support (tujuh aitem), dukungan sosial pada penelitian ini didapat dari rekan sebaya dalam keagaaman (peer religiousness), yang menghubungkan antara kepercayan teistik dan kegiatan religius/spiritual pada penyalahguna obat-obatan.

- Spirituality (satu aitem), terpisah dari orientasi ilmu teologi yang peryataannya berpusat pada kepercayaan terhadap Tuhan.

- Religious views on Drug Use (tiga aitem), item ini berfokus pada masalah perilaku orang dewasa yang menyalahgunakan obat-obatan, alkohol, dan


(49)

mengkonsumsi cerutu. Burkett dkk (1987) (dalam D‟Onofrio dkk, 1999: 158) menemukan bahwa religiusitas mempengaruhi seseorang untuk tidak menggunakan obat-obatan dan mengkonsumsi alkohol melalui keyakinannya akan perbuatan dosa (content-specific belief).

3. Keterlibatan Tuhan (Involve God)

Merefleksikan sebuah kepercayaan terhadap keterlibatan Tuhan yang secara aktif dan positif dalam urusan manusia (sehari-hari). Pada dimensi ini Kendler menggunakan :

- Satu aitem Religious Attitudes and Practices Inventory (theism) (D‟Onofrio

B. Murelle L; Eaves LJ; McCullough ME; Landis JL; Maes H; 1999)yang mengukur kepercayaan pada Tuhan.

- Satu aitem God as love (Hertel BR; Donahue MJ; 1995) yang merefleksikan bahwa Tuhan mencintai makhluknya apa adanya. Dan dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa gambaran Tuhan dalam sudut pandang orang tua (khususnya ibu) mempengaruhi gambaran Tuhan bagi anak. Dalam penelitian Hertel dkk juga menemukan bahwa peran ibu lebih berpengaruh terhadap sudut pandang tentang Tuhan (God images) pada anaknya dibandingkan dengan peran ayah. Dan intinya ibu lah yang memiliki peran terbesar dalam sosialisasi (memberikan pengetahuan) keagamaan terhadap anak-anaknya (h.190-191).

- Dua aitem yang dikembangkan sendiri oleh Kendler, karena Kendler tidak menemukan aitem yang memuaskan untuk melengkapi pengukuran dimensi


(50)

ini, sehingga akhirnya Kendler dkk mengembangkan aitem sendiri yang

berasal dari skala „Nature of God‟ yang merefleksikan tingkat penerimaan keterlibatan Tuhan terhadap ciptaannya (manusia dan alam semesta) (2003: 497).

- Satu aitem dari penelitian Kendler sebelumnya (1997) yang merefleksikan sebuah kepercayaan akan adanya Tuhan maupun alam semesta (personal conservatism).

- Satu aitem Religious/Spiritual Coping (Religious Doubt) dalam Fetzer Institude (1999: 49), yang menggambarkankepercayaan akan adanya Tuhan.

4. Forgiveness (sikap memaafkan)

Pada penelitian ini konsep forgivenesstermasuk pada dimensi religiusitas dari Kendler dkk, dimana Kendler dkk menggambarkan forgiveneess sebagai sikap perhatian, cinta kasih, dan memaafkan kepada sesama (dunia), sehingga dimensi ini tidak memunculkan istilah Tuhan karena ingin mengukur sikap memaafkan terhadap sesama individu (Kendler dkk, 2003: 498). Kenneth S. Kendler dan Michael E.McCullough (Kendler dkk, 2003: 497) mencoba mengembangkan sendiri aitem yang akan digunakan untuk mengukur dimensi ini yang sebagian berdasarkan pada skala The Measurement of Forgiveness milikMauger P.A 1992. Pada dimensi ini semua aitemnya merupakan buatan Kendler dkk sendiri yang terdiri dari dua jenis subskala yaitu:

- Aitem positif yang berasal dari skala cinta kasih dan perhatian (love and caring), merefleksikan kasih sayang maupun kepedulian terhadap sesama


(51)

individu dan kepercayaan bahwa saat individu berlaku baik terhadap sesama maka ia juga akan diperlakukan baik oleh individu lainnya.

- Aitem sikap memaafkan lawan rasa dendam (forgiveness vs revenge), merefleksikan usaha untuk memaafkan seseorang/ sesuatu hal yang telah sangat melukai perasaan kita.

5. Tuhan sebagai Penetap Takdir (God as judge).

Pada dimensi ini menegaskan tentang takdir dan hukum alam ketuhanan.Enam

aitem pada dimensi ini mengandung kata „Tuhan‟ tapi berbeda dengan dimensi

ketiga.Sedangkan sisanya terdiri dari tiga aitem sub-skala mengenai „Tuhan

sebagai Maha Penguasa‟ dari skala „Gambaran Tuhan(God Images)‟. Dimensi ini

bisa dibilang hampir sama dengan salah satu faktor pada penelitian Kendler (1997: 324) sebelumnya yaitu „personal conservatism‟ karena Kendler menggunakan dua aitem dari penelitian tersebut sebagai dasar pengukuran dimensi (Kendler dkk, 2003: 499). Personal conservatism menggambarkan ketradisionalan, fundamental, dan kekolotan (konservatif) terhadap suatu kepercayaan.

Selain itu, Kendler juga menggunakan satu aitem tentang „Negative Religious/Spiritual Coping Subscale‟ dari Pargament (1999: 48) untuk mengetahui bagaimana kita memahami dan menghadapi permasalahan yang besar dalam kehidupan serta menilai kembali tentang ganjaran yang diberikan Tuhan (Punishing God Reappraisal). Kendler juga menggunakan tiga aitem Parental


(52)

aitem tersebut merefleksikan pemahaman bahwa Tuhan adalah sebagai pemegang kewenangan atas kehidupan manusia seperti adanya peraturan hidup manusia, ganjaran atas apa yang telah manusia perbuat.

Secara keseluruhan, item dalam dimensi ini menggambarkan tentang kepercayaan bahwa Tuhan akan memberi ganjaran dari apa yang telah kita lakukan, seperti saat kita melakukan hal baik maka Tuhan akan memberikan pahala, sebaliknya saat kita melakukan kesalahan Tuhan akan memberikan hukuman.

6. Rasa Tidak Dendam (Unvengefulness)

Merefleksikan sikapindividu yang lebih memilih untuk melakukan pembalasan pribadi (balas dendam) dibanding memaafkan terhadap dunia. Dengan rincian, aitem-aitem ini diambil dari skala memaafkan lawan rasa dendam (forgiveness vs revenge)yang merefleksikan sikap sakit hati/dendam terhadap apa yang menimpa individu tersebut. Tiga aitem bersyukur lawan rasa tidak bersyukur (gratitude vs ingratitude)yang merefleksikan rasa tidak syukur dan egois atas apa yang telah terjadi pada diri individu tersebut.

Aitem lainnya adalah dari Parental influences on God images “Gos as love” (Hertel dkk, 1995) yang merefleksikan keyakinan individu ketika ia melakukan kesalahan maka Tuhan akan berhenti mencintainya.Sebagai tambahan informasi, yang paling berperan dalam membentuk keyakinan akan positif/negatifnya sikap Tuhan terhadap kita adalah orang tua (khususnya ibu),


(53)

sejauh mana ibu dapat memberikan info terhadap anaknya tentang agamanya termasuk sifat-sifat Tuhan (Hertel dkk, 1995: 197).

Pada dimensi ini hampir semua aitemnya dikembangkan sendiri oleh Kenneth S. Kendler dan Michael E.McCullough dan juga dibuat dalam bentuk negatif. Untuk kekonsistenan, dimensi ini akan di skoring dengan cara aitem positif sehingga diberi nama dimensi Rasa Tidak Dendam (unvengefulness).

7. Bersyukur (Thankfulness)

Dimensi ini terdiri dari empat aitem bersyukur lawan tidak bersyukur (gratitude vs ingratitide)yang McCullough kembangkan sendiri untuk mengukur dimensi ini, aitem tersebut merefleksikan perasaan terima kasih berlawanan dengan marah (thankfulness vs anger) terhadap kehidupan dan Tuhan. Dimensi ini juga berasal dari aitem Religius Copingpada pengukuran multidimensional dari Fetzer Institute (1999: 13), dimana dimensi ini sebagai aspek spiritual yang sangat berhubungan dengan cara pandang kehidupan dari psikologi positif. Karena hubungan antara

bersyukur „gratitude‟ dan keadaan kehidupan, stressor eksternal dapat mengubah

perasaan bersyukur seseorang.Dan yang menjadi hal penting adalah, saat seseorang dapat tetap merasa bersyukur dalam situasi yang tidak baik bagi dirinya. Aitem yang digunakan adalah NegativeReligius Coping, sehingga bentuk pernyataannya pun negatif yaitu tentang sikap marah terhadap tuhan (anger at God) karena membiarkan hal buruk terjadi pada seseorang, serta ketidakpuasan dalam hal spiritual (Spiritual Discontent) (Fetzer Institude, 1999: 48-49).


(54)

David Steindal-Rast (1984) menjelaskan bahwa rasa syukur (gratefulness) dapat memberikan rasa tenang pada spiritualitas kehidupan seseorang. Sikap bersyukur menunjukkan bahwa hidup adalah karunia (pemberian), bukan hak (dalam Fetzer Institute, 1999:12).

2.3Recovering addict

2.3.1 Adiksi (Addiction)

MacAndrew (dalam Hewit, 2007: 23) menyatakan bahwa addiction atau adiksi berasal dari bahasa Latin addictus, yang berarti memberikan perintah, sebab pengekangan atau pengendalian. APA (1994) memberikan pula definisi addiction

sebagai perilaku berlebih dimana individu memiliki kontrol yang merusak dengan konsekuensi yang berbahaya. BNN (2009: 147) menyatakan bahwa adiksi adalah suatu penyakit bio-psiko-sosial, artinya melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial. Gejala-gejala yang diberikan adiksi khas serta bersifat kronik (lama) dan progresif (makin memburuk jika tidak ditolong). Gejala utamanya antara lain: 1. Rasa rindu dan keinginan kuat untuk memakai sehingga bersifat kompulsif

terhadap narkoba atau pengubah suasana hati lain, 2. Hilangnya kendali diri terhadap pemakaiannya,

3. Tetap memakai walaupun mengetahui akibat buruknya, 4. Menyangkal adanya masalah (BNN, 2009: 147).

Adiksi bukan terjadi akibat kelemahan moral, walaupun ada hubungannya dengan masalah moral atau kurangnya kemauan dan walaupun ia harus memutuskan untuk berhenti memakai agar pulih. Adiksi mempengaruhi keadaan


(55)

jasmani, perilaku dan kehidupan sosialnya. Pengaruh tersebut harus dilihat sebagai bagian dari penyakit. Penyakit adiksi berlangsung kronis. Namun, penyakit itu dapat dihentikan asalkan pecandu mau berhenti memakai narkoba dan semua jenis pengubah suasana hati lain. Karena adiksi adalah suatu penyakit, maka sekali seseorang menjadi kecanduan terhadap narkoba, ia tidak akan pernah dapat kembali pada pemakaian kembali tanpa resiko menjadi ketergantungan sehingga ia harus menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia total) (BNN, 2009: 147-148).

Proses terjadinya ketergantungan (adiksi) NAZA:

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Ketergantungan (Adiksi) NAZA

Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti seorang yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian ia masih dapat mengehentikannya. Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, berapa pun ia berusaha, kecuali jika menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia) (BNN, 2009: 37).

2.2 Pemulihan (Recovery)

Pengertian recovery atau pemulihan dalam konteks 12 step model of addiction

adalah kondisi berhenti sepenuhnya (abstinensia) dari perubahan mood yang

Pemakaian Penyalahgunaan

n

Ketergantungan T

E M B O K


(56)

diakibatkan oleh zat (kafein dan beberapa obat lainnya). Selain itu Granfield & Cloud (dalam Hewit, 2007: 24) mendefinisikan recovery sebagai penghentian perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan atau penggunaan yang merusak dari penyalahgunaan zat. Selanjutnya recovery dapat berarti “bersih” dari adiksi,

“pantang” dari penggunaan obat-obatan, atau “pengampunan” dari tahapan

ketergantungan obat-obatan. Teori tentang recovery juga menjelaskan bahwa

recovery adalah sebuah proses untuk mencapai dan memelihara kondisi berhenti sepenuhnya dari penggunaan obat-obatan yang tidak berhubungan dengan

treatment tertentu (Wesson dkk, 1986: 14).

Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahan, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk relaps (kambuh). Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba (abstinensia). Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai, gaya hidup juga harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan

memuaskan. Proses ini disebut “pemulihan seluruh pribadinya”. Hal yang harus

dipulihkan dari para pecandu antara lain fisik, psikologis, sosial, rohani, okupasional (pekerjaan) dan pendidikan (BNN, 2009: 152).

Dikatakan recovery atau pemulihan karena seseorang yang mengalami gangguan dari penggunaan obat-obatan tidak akan kembali sepenuhnya pada


(57)

1986: 61).Jadi yang dimaksud dengan recovering addictadalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAZA (abstinensia).

2.4 Kerangka Berpikir

Kebutuhan akan kebermaknaan sangat dibutuhkan bagi masyarakat modern, tetapi kurang mendapat respon dari teori normatif (Metz, 2002). Padahal Victor Frankl mengatakan bahwa inti dari pengalaman manusia adalah mencari makna maupun tujuan hidup bukanlah mencari kebahagiaan, karena kebahagiaan merupakan buah dari kebermaknaan hidup. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa makna hidup merupakan elemen penting dalam kesejahteraan (well-being) dan fungsi hidup individu (Steger & Frazier, 2005: 580). Tanpa makna hidup, tujuan, nilai,

idealisme dalam diri individu akan timbul „meaninglessness‟seperti putus asa, bosan (bordem), dan apatis.

Ditemukan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa rendahnya makna hidup seseorang berhubungan dengan psikopatologis (Yalom, 1980), rendahnya kesehatan mental (Reker, Peacock & Wong, 1987; Zika & Chamberlain, 1992), terjerumus kepenggunaan NAZAdan keinginan untuk bunuh diri (Harlow, Newcomb & Bentler, 1986). Kondisi hingga terjerumus kepenggunaan NAZA ternyata disebabkan karena pada mereka terjadi hilangnya

basic spiritual need” (Kendler dkk, 1997). Clinebell (dalam Hawari, 2002: 18) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual (basic spiritual needs).Bagi mereka yang beragama,


(58)

kebutuhan spiritual ini dapat diperoleh melalui pengalaman agama. Namun bagi mereka yang sekuler mengatasinya dengan jalan penyalahgunaan NAZA sebagai bentuk pelarian (escape reaction) karena ketidakmampuannya menghadapi kenyataan (Hawari, 2002: 17).

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian kualitatif di Indonesia yang menyatakan bahwa pecandu yang telah berhasil pulih dari perilaku addict-nya (recovering addict)merasa lebih dekat dengan Tuhan (religious), dan juga merasa Tuhan telah mengabulkan semua doa dan keinginannya. Mereka mencoba mencari apa arti kehidupan yang bermakna tanpa menggunakan NAZA dan berusaha menemukan kembali makna hidup yang hilang (Junaiedi, 2009). Jika mereka beragama, cara mendekatkan diri kepada Tuhan bisa membantu menemukan makna hidupnya.

Dalam Steger & Frazier(2005: 580), dinyatakan bahwa agama dapatmemberikan dukungan sosial (sosial support) atau sebagai sumber penanganan masalah (coping resources), atau dengan perasaan bahwa dirinya berharga (self-esteem) sehingga agama dapat menciptakan sebuah perasaan bermakna dalam hidup (meaning in life) yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap well-being.

Selain itu, untuk menemukan makna hidup ditemukan adanya pengaruh yang signifikan pada individu yang berstatus menikah dibandingkan dengan yang belum atau tidak menikah. Jadi dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa individu yang memiliki hubungan intim (intimate relationship) lebih memiliki


(59)

pengalaman kebermaknaan hidup dibandingkan dengan yang tidak memiliki hubungan tersebut (Leath, 1999).

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan asumsi penelitian terhadap suatu permasalahan yang masih

Makna hidup

Dimensi Religiusitas

1. General Religiosity (religious coping)

2. Social Religiosity (social support)

(

3. Involve Good

4. Forgiveness

5. God as Judge

6. Unvengefulness

7. Thankfulness


(1)

2.

Analisis Konfirmatorik dari faktor Social Religiosity

3.

Analisis Konfirmatorik dari faktor Involve God

No Koef Eror T Sig

1 14 0.71 0.08 8.66 V

2 15 0.39 0.08 4.77 V

3 16 0.39 0.08 4.84 V

4 17 0.87 0.08 11.31 V

5 18 0.69 0.08 8.36 V

6 19 0.13 0.08 1.55 X

1

2

3

4

5

6

1

2

3

V

4

5

V


(2)

4.

Analisis Konfirmatorik dari faktor Forgiveness

No Koef Eror T Sig

1 20 0.84 0.09 9.59 V

2 21 0.96 0.09 10.74 V

3 22 -0.16 0.08 -1.95 X

4 36 0.35 0.08 4.29 V

1 2 3 4

1 2 3 4

1

2

3

4

5

6

1

2

3

V

V

4

5

V

6

V

V

No Koef Eror T Sig

1 23 0.34 0.08 4.04 V

2 24 0.95 0.09 10.20 V

3 25 0.88 0.08 11.39 V

4 26 0.72 0.07 9.56 V

5 27 0.31 0.07 4.20 V


(3)

5.

Analisis Konfirmatorik dari faktor God as Judge

6.

Analisis Konfirmatorik dari faktor Unvengefulness

No Koef Eror T Sig

1 0.64 0.08 8.05 V

2 0.89 0.08 11.68 V

3 0.56 0.08 6.90 V

4 0.63 0.08 7.97 V

1 2 3 4

1 2 3 4


(4)

No Koef Eror T Sig

1 32 0.94 0.12 8.12 V

2 38 0.49 0.09 5.36 V

3 39 0.48 0.09 5.22 V

4 41 0.53 0.09 5.68 V

7.

Analisis Konfirmatorik dari faktor Thankfulness

1 2 3 4

1 2

3 V

4

No Koef Eror T Sig

1 0.80 0.09 8.96 V

2 0.87 0.09 9.65 V

3 0.47 0.08 5.61 V

1 2 3

1 2 3


(5)

Makna Hidup (

meaning in life

)

Analisis Konfirmatorik dari Makna Hidup (

meaning in life

)


(6)

Muatan faktor aitem Makna Hidup

No

Koefisien

Standar Eror

Nilai t

Sig

1

0.60

0.07

8.32

V

2

0.60

0.07

8.46

V

3

0.60

0.07

8.64

V

4

0.95

0.06

15.64

V

5

0.65

0.07

9.26

V

6

0.42

0.08

5.56

V

7

0.74

0.08

9.38

V

8

0.69

0.08

0.62

X

9

0.66

0.07

9.96

V

10

0.66

0.07

9.54

V

11

0.50

0.08

6.41

V

12

0.52

0.07

7.26

V

13

0.15

0.07

1.98

V

14

0.12

0.07

1.63

X

15

0.43

0.07

5.96

V

16

0.42

0.08

5.32

V

17

0.40

0.09

4.69

V

18

0.51

0.08

6.47

V

19

0.08

0.07

1.05

X

20

0.28

0.08

3.52

V

21

0.43

0.08

5.49

V

22

0.45

0.08

5.45

V