1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan langit dan bumi untuk manusia dan diamanatkan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Tanah yang merupakan salah satu bagian
dari bumi mempunyai hubungan erat dengan kehidupan manusia. Bahkan dapat dikatakan setiap manusia berhubungan dengan tanah, tidak hanya pada masa
hidupnya tetapi sesudah meninggal pun masih tetap berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah merupakan suatu kebutuhan yang paling penting dalam kehidupan
dunia ini.
1
Hubungan manusia dengan tanah adalah merupakan hubungan yang bersifat abadi, baik manusia sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Selamanya
tanah selalu dibutuhkan dalam kehidupannya, misalnya untuk tempat tinggal, bercocok tanam, tempat beribadah, tempat pendidikan, dan sebagainya sehingga
segala sesuatu yang menyangkut tanah akan selalu mendapat perhatian.
2
Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah Negara yang kaya dengan sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia menjadi
suatu keprihatinan. Jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun terus bertambah jumlahnya sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga sekarang. Pengabaian atau
1
Mudjino, Politik Hukum Agraria, Yogyakarta:Liberty, 1977, Cet 1, h. 19
2
Ibid., h. 19
2 tidak seriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa
yang tersebar di seluruh tanah air. Dalam keadaan seperti ini, di mana pembangunan sosial dan ekonomi tidak
berjalan dengan sukses, diperlukan kesadaran dari masyarakat khususnya umat Islam sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia dan merupakan agama yang paling
banyak penganutnya, sebenarnya mempunyai beberapa lembaga yang diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yaitu, salah satunya
adalah institusi wakaf. Wakaf telah disyariatkan dan dipraktekkan oleh Umat Islam di seluruh penjuru dunia sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di Indonesia. Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang erat kaitannya dengan
sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukum sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik dibeberapa Negara
muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki, faedahnya adalah untuk diambil manfaatnya sebanyak mungkin untuk digunakan di jalan yang diridhoi Allah SWT,
dan kemaslahatan umat.
3
Perkembangan wakaf khususnya di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Di masa-masa awal penyiaran Islam, keterlibatan
Negara dalam mengelola wakaf pada umumnya dapat dipahami mengingat besarnya harta wakaf yang ada diberbagai Negara Muslim, saat terjadi pengambil alihan wakaf
3
Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2004. Tentang Wakaf. Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2005, Cet II, Hal 5
3 oleh negara di awal abab ke-20 M. Di Turki tahun 1924 misalnya, 75 dari tanah
pertanian adalah tanah wakaf. Demikian pula di Al-jazair pada abad ke-19 50, di Tunisia 33, dan Mesir 12,5. Namun besarnya jumlah wakaf bukanlah alasan
satu-satunya alasan untuk mengundang intervensi negara. Kebanyakan wakaf dikelola dengan manajemen buruk. Selain itu, penyalahgunaan wakaf oleh tangan-tangan para
nadzir yang tidak kompeten menyebabkan wakaf gagal menopang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yang sehat. Berdasarkan realitas ini, di berbagai
belahan dunia Muslim terdapat kecenderungan umum dimana kontrol negara terhadap wakaf semakin kuat.
4
Dalam operasional di lapangan masih ditemukan masalah-masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak-pihak yang terkait secara terkordinasi, seperti
permasalahan tentang tanah wakaf yang tidak bersertifikat. Dalam pelaksanaan wakaf, ternyata ketentuan-ketentuan administratif dalam PP N0. 28 Tahun 1977,
Kompilasi Hukum Islam, dan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf belum sepenuhnya mendapat perhatian masyarakat pada umumnya, dan khususnya pihak
yang berwakaf pada diri wakif yang amat menonjol adalah sisi ibadah dari praktek wakaf. Oleh karena itu, wakif tidak merasa perlu untuk dicatat atau
diadministrasikan. Dengan demikian, perwakafan itu dilakukan atas dasar keikhlasan dan keridhoan semata serta menurut tata cara adat setempat tanpa didukung data
4
Prihatna, Andy Agung, dkk. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan. Jakarta. CSRC UIN Syarif Hidayatullah 2006, Hal 3.
4 otentik dan surat-surat keterangan, sehingga secara yuridis administratif status wakaf
banyak yang tidak jelas. Kejadian-kejadian tersebut menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan
untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, disertai dengan aturan
pelaksanaan wakaf, selain dikeluarkannya PP No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, juga diantaranya Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1978, Peraturan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No.KepD751978, dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam, lahirnya peraturan tersebut
menunjukkan adanya peraturan pemerintah terhadap salah satu bagian hukum Islam yaitu wakaf.
Dalam praktek di Indonesia, masih sering terjadi peristiwa yang mengisyaratkan banyaknya tanah-tanah wakaf menjadi tanah-tanah untuk kepentingan pribadi. Karena
sebagian besar dari tanah-tanah wakaf tersebut belum didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga belum ada kepastian hukum.
Contoh saja seperti di daerah Kelurahan Pulo Gebang Cakung Jakarta Timur. Banyak tanah yang ada di daerah tersebut yang belum terdaftar dan belum sertifikasi,
dan juga melihat data yang ada dalam Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan Cakung pada tahun 2010-2011 bahwa banyak tanah wakaf yang belum sertifikasi
tetapi hanya didaftarkan untuk diikrarwakafkan saja dari banyaknya tanah yang sudah diwakafkan, masuk dalam data KUA Kecamatan Cakung. Hal ini merupakan
permasalahan yang perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut untuk memberikan solusi.
5
Maka dari itu, penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji tentang PENGARUH PP NO 28 TAHUN 1977 PERWAKAFAN TANAH MILIK DI KELURAHAN
PULO GEBANG . Dengan adanya motivasi di atas diharapkan mampu memberikan
suatu jawaban dan penjelasan akurat, sedangkan untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan mengenai permasalahan di atas diperlukan suatu kejelian, pemahaman serta
terlibat langsung kearea lokasi tempat penelitian yang dimaksud.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah