40
b. Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik dalam novel ini menggambarkan keraguan tokoh Karman ketika hendak pulang untuk menikmati
kebebasannya setelah sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B Buru. Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci
orang-orang sedesanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman
sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada
dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya
rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku
kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya.
6
Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena Karman sadar akan statusnya sebagai bekas tahanan politik yang baru saja
dibebaskan dari Pulau B. Semua orang tahu bahwa Pulau B adalah tempat pengasingan para tahanan politik orang-orang PKI, sehingga wajar kalau
Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak
bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk
menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia sendiri masih berada di pengasingan.
Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak,
dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah dirongrongnya sendiri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain kecuali harus
melangkah pulang ke desanya, Pegaten. Kemudian dia memutuskan ke rumah Gono, saudara sepupunya yang tidak jauh dari pusat kota.
Sambutan Bu Gono yang tulus merupakan isyarat awal tentang keikhlasan
6
Ibid., h. 30