40
b. Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik dalam novel ini menggambarkan keraguan tokoh Karman ketika hendak pulang untuk menikmati
kebebasannya setelah sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B Buru. Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci
orang-orang sedesanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman
sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada
dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya
rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku
kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya.
6
Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena Karman sadar akan statusnya sebagai bekas tahanan politik yang baru saja
dibebaskan dari Pulau B. Semua orang tahu bahwa Pulau B adalah tempat pengasingan para tahanan politik orang-orang PKI, sehingga wajar kalau
Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak
bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk
menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia sendiri masih berada di pengasingan.
Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak,
dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah dirongrongnya sendiri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain kecuali harus
melangkah pulang ke desanya, Pegaten. Kemudian dia memutuskan ke rumah Gono, saudara sepupunya yang tidak jauh dari pusat kota.
Sambutan Bu Gono yang tulus merupakan isyarat awal tentang keikhlasan
6
Ibid., h. 30
41
masyarakat menerima kembali orang-orang bekas PKI. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis
dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu yang terkecil
meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.
7
Konflik awal yang dialami Karman yaitu ketika kisah ini mengingatkan kembali ke masa lalu di mana tokoh Marni yang tak lain
adalah mantan istrinya meminta izin menikah dengan Parta teman sekampungnya. Karman pun harus merelakan sang istri untuk menikah
lagi, karena pada saat itu posisi dirinya sedang berada di Pulau Buru tahanan. Pada konflik awal ini merupakan kilas balik dari jalannya cerita
dalam novel ini. Yang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta,
seorang teman sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan
istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah punya tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang
diceraikan. Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten, tidak juga oleh Karman.
8
Selanjutnya, konflik kedua yang dialami Karman ketika kehidupan semasa ia ditinggal oleh ayahnya dan hanya hidup dengan ibu beserta
adiknya. Dalam kehidupan ini ia merasa sebagai pengganti ayahnya dan bertanggung jawab kepada keluarganya. Ia mesti mencari singkong atau
ubi untuk makan ibu dan adiknya yang masih kecil. Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan
seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman mempunyai dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam
bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan.
9
7
Ibid., h. 34
8
Ibid., h. 12
9
Ibid., h. 56
42
Dari kutipan di atas menggambarkan perubahan kehidupan Karman yang bermula hidup serba kecukupan sehingga harus menjalankan
kepahitan hidup bersama keluarganya. Konflik ketiga yaitu, ketika Karman melamar Rif’ah anak Haji
Bakir tetapi ditolak oleh Haji Bakir lantaran Rif’ah telah dilamar oleh pemuda lain. Pemuda tersebut bernama Abdul Rahman, ia adalah seorang
santri dari sebuah pesantren di daerah Jawa Timur. Sebelumnya calon suami Rif’ah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir.
Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman; Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain.
10
c. Tahap Klimaks
Tahap klimaks dari alur novel Kubah ini berawal dari hasutan Margo dan Triman kepada Karman. Dua orang tersebut ingin menjauhkan
Karman dengan Haji Bakir. Mereka memanfaatkan situasi seperti ini, karena orang tua Karman pernah memiliki satu hektar tanah yang saat ini
sudah menjadi milik Haji Bakir. Masalah tanah ini menjadi senjata utama bagi Margo dan Triman untuk menghasut Karman, mereka memutar
balikan fakta, bahwa tanah milik orang tua Karman telah dikuasai oleh Haji Bakir. Pada kenyataannya ketika ayah Karman masih hidup tanah
tersebut sudah ditukar oleh bahan pangan untuk para tetangganya, itulah sebabnya tanah tersebut sudah sah dimiliki oleh Haji Bakir.
Selain itu pula Margo serta Triman tidak begitu puas dalam menghasut Karman, mereka tidak tinggal diam serta selalu mencari cara
agar hasutan untuk menjauhkan Karman dan Haji Bakir semakin kuat. Belum lama masalah tanah selesai, Karman melamar Rifah yang kedua
kalinya, keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman. Karman pun harus menerima nasib yang sama saat melamar Rifah yang
pertama, ia pun ditolak kembali oleh Haji Bakir dengan alasan sudah terlambat melamar Rifah. Haji Bakir yang sebelumnya sudah benci pada
partai adalah salah satu alasan utama penolakan lamaran Karman. Akan
10
Ibid., h. 76
43
tetapi Karman menganggapnya berbeda, ia beranggapan bahwa penolakan tersebut mengatasnamakan harta atau materi, karena sebelumnya suami
Rifah adalah pemuda yang kaya, sedangkan dirinya hanya dari kalangan keluarga miskin.
Akibat dendam terhadap Haji Bakir serta hasutan yang mempengaruhi pikiran Karman maka, ia sudah siap dengan keputusan
untuk meninggalkan Pegaten atas rasa sakit hati dan merasa tidak berarti lagi tinggal di Pegaten tempat kelahirannya. Ia juga sampai hati
meninggalkan ajaran agamanya, karena terlalu banyak hasutan yang diterima olehnya dari Margo dan Triman. Hasutan Margo dan Triman
yang semakin menguasai pikiran Karman, membuat Karman semakin membenci masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir.
Karman pun berani berterus terang meninggalkan mesjid, meninggalkan peribadatan bahkan tentang agama, Karman sudah
pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.
11
Kutipan di atas merupakan klimaks dari cerita novel Kubah karya Ahmad Tohari. Hal ini terlihat ketika Karman mulai berani meninggalkan
kampungnya bahkan meninggalkan agamanya, di sinilah puncak kemarahan Karman serta hasutan yang diberikan oleh Margo.
d. Tahap Peleraian
Tahap peleraian alur dalam novel ini yaitu pelarian Karman untuk menyelamatkan diri dari kepungan polisi dan tentara akibat kebodohannya
yang terjebak sebagai anggota partai. Karman berusaha pergi ke tempat yang dapat menyelamatkan dirinya dari kepungan polisi. Setiap kali ia
selalu berpindah tempat yang menurut dirinya aman sebagai tempat untuk bersembunyi. Akan tetapi, ke mana pun ia bersembunyi tetap saja
tertangkap oleh warga yang menemukannya. Dan tamat sudah kisah pelariaannya, karena seorang gembala
kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang
11
Ibid., h. 94
44
pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang
tidak tega menghabisi nyawanya.
12
e. Tahap Penyelesaian
Pada tahap terakhir ini menceritakan kepulangan Karman ke Pegaten yang diterima kembali oleh masyarakat. Masyarakat pegaten
menerima dan memaafkan atas semua kesalahan Karman di masa lalu, mereka tidak menyimpan dendam sedikit pun kepada bekas tahanan
politik ini. Karman dijemput anaknya yang bernama Tini ke rumah Bu Mantri yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pada tahap akhir ini pula
menceritakan rencana pernikahan Tini anak Karman dan Marni dengan Jabir anak Rifah wanita yang pernah ia cintai.
Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari
Pulau B itu sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.
13
Rasa saling memaafkan yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten ditunjukkan ketika Karman dipercaya untuk membangun kubah masjid
milik Haji Bakir. Kubah yang dibuat Karman terlihat indah ketika sudah terpasang di atap bangunan masjid. Masyarakat Pegaten yang melihat
kubah tersebut saling memuji atas apa yang telah dibuat oleh Karman. “Luar biasa bagusnya,” kata seseorang ketika kubah masjid
hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid.
14
Kutipan di atas menggambarkan kepuasan masyarakat Pegaten atas kinerja Karman dalam pembuatan kubah di masjid Haji Bakir. Akhir kisah
Karman, seorang bekas tahanan politik yang telah menemukan kesadaran hidupnya merupakan akhir jalannya cerita dalam novel Kubah ini.
Kesadarannya yang telah hilang kini kembali lagi menjadi seorang taat beragama dan berguna bagi masyarakat di sekelilingnya.
12
Ibid., h. 166
13
Ibid., h. 167
14
Ibid., h. 189
45
Berdasarkan paparan
alur tersebut,
tampak alur
cerita menggunakan alur campuran.
3. Tokoh dan penokohan
Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam
permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita
sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan tokoh.
Pada novel Kubah karya Ahmad tohari yang termasuk ke dalam tokoh utama yaitu, tokoh Karman. Tokoh Karman ini yang mengalami
banyak konflik di dalamnya, karena tokoh Karman sebagai pusat yang diceritakan oleh Ahmad Tohari. Namun, terdapat pula tokoh tambahan
yang membangun konflik tokoh Karman, diantaranya: Haji Bakir, Rif’ah,
Marni, Margo, Triman, Parta, Kastaghetek, Kapten Somad.
a. Karman
Karman adalah seorang bekas tahanan politik yang mengalami berbagai gejolak dalam hidupnya. Pada mulanya Karman merupakan
anak dari kalangan keluarga keturunan Priyayi, ayahnya seorang mantri pasar. Akan tetapi, kepriayiyannya itu hilang ketika ayahnya dibawa
oleh para pemuda pejuang dan tidak kembali lagi ke Pegaten. Pada novel Kubah ini, Karman di posisikan sebagai tokoh utama, karena ia
selalu muncul dalam setiap episode dan peristiwa yang dialaminya. Apabila diurutkan peristiwa-peristiwa yang menimpa diri tokoh
utamanya, yaitu Karman, dari masa kecil sampai ia bebas dari pengasingan Pulau Buangan dan kemudian diterima kembali oleh
masyarakat, akan terlihat jalur perkembangan wataknya.
15
Peristiwa pertama menggambarkan sikap Karman yang pasrah ketika harus
15
Anonim, Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari, Berita Buana: Jakarta, 1985.
46
merelakan istrinya menikah dengan orang lain pada saat dirinya berada di Pulau Buangan.
“Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku tak pernah menceraikannya. Takkan pernah”
16
Kutipan di atas menunjukkan Karman yang berat hati dalam mengambil keputusan bahwa dirinya telah merelakan Marni dengan
orang lain, walaupun sebenarnya Karman tidak pernah menceraikan Marni.
Selanjutnya, peristiwa ketika Karman sedang berada di Pulau Buangan. Pada saat itu dirinya dalam keadaan sakit, karena lelah
memikirkan yang sudah terjadi terhadap rumah tangganya. Hal ini menunjukkan sikap Karman yang pasrah dan mudah putus asa.
“Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh? Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-gala.
Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.”
17
Selanjutnya, sikap Karman dapat dilihat kembali ke masa kecilnya merupakan anak yang mandiri dan memiliki tanggung jawab
terhadap keluarganya, karena ia telah ditinggal oleh ayahnya sekitar tahun 40-an. Sikap mandiri dan rasa tanggung jawab Karman dapat
dilihat dari kutipan berikut: “Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras.
Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan nasi yang empuk.”
18
Pada di atas, menunjukkan bahwa sikap Karman sebagai anak yang memiliki rasa tanggungjawab dan sebagai tulang punggung
keluarga setelah ditinggal oleh sang ayah. Terlihat jelas ketika musim panen tiba, bagaimana caranya pada musim panen saat ini ibu dan
adiknya harus bisa memakan serta menikmati nasi yang didapatkannya dari hasil upah tuaian di sawah tetangganya. Ia memutuskan untuk
16
Ahmad Tohari, op. cit., h. 16
17
Ibid., h. 24
18
Ibid., h. 63
47
menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuain padi yang diperolehnya.
Selanjutnya, sikap tanggungjawab Karman dapat dilihat ketika ia diberi pekerjaan oleh Haji Bakir untuk mengasuh Rifah anak
bungsunya. Karman pun menjaga dan melindungi Rifah dengan baik. Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan
muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat terayun-ayun oleh hempasan binatang
yang marah itu.
19
Kutipan di atas menggambarkan sosok Karman yang berani melawan amukan binatang bertanduk itu demi melindungi Rifah. Ia
sama sekali tidak memikirkan dirinya dalam keadaan berbahaya karena menahan binatang yang sedang mengamuk itu.
Selain itu, Karman juga memiliki rasa peduli antarsesama. Ia tidak memandang kejelekan yang telah diperbuat oleh tetangganya,
walaupun masyarakat Pegaten sangat menjunjung tinggi nilai moral dalam beragama. Hal ini terlihat ketika peristiwa yang terjadi pada saat
penuaian padi di sawah Sanawi. Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman
bertindak. Padi dan ani-ani diletakkannya di atas pematang. Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika sampai tujuan, hal
pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah dengan kain.
20
Dari kutipan ini, terlihat bagaiman rasa kepedulian Karman terhadap tetangganya itu. Ia rela menghentikan penuaiannya demi
menolong seorang anak bayi yang tidak lain merupakan anak tetangganya. Ketika yang lain sibuk dengan tuaian mereka, ia hanya
seorang diri menolong bayi tersebut. Walaupun yang lainnya menyaksikan keadaan yang terjadi di sawah, mereka tidak bisa berbuat
apa-apa dan tak ada satu orang pun yang mau menolong bayi Kinah
19
Ibid., h. 62
20
Ibid., h. 71
48
kecuali Karman. Mereka membenci perbuatan Kinah melahirkan seorang bayi, tetapi tak memiliki seorang suami. Hal ini disebabkan
mereka benci dengan percabulan. Perubahan sikap Karman selanjutnya, ketika lamarannya ditolak
oleh Haji Bakir. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman,
barangkali Haji Bakir akan menghapus kata ‗terlambat’ dan aku akan diterima menjadi menantunya. Pokoknya tidak adil.”
21
Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana Karman menilai sosok Haji Bakir terhadap dirinya. Ia menjadi sosok yang selalu
berburuk sangka terhadap orang disekitarnya.Ia merasa dari penolakan tersebut merupakan sebab dari kedudukan derajat yang harus
berimbang diantara kedua belah pihak. Berhubung Karman dari kalangan keluarga kurang mampu, berbeda halnya dengan kedudukan
pria pilihan Haji bakir yang merupakan dari kalangan keluarga terpandang di daerahnya. Hal ini, yang menyebabkan Karman berburuk
sangka terhadap keputusan Haji Bakir. Sikap Karman selanjutnya yaitu sebagai seorang pendendam
terhadap orang lain yang tidak disukainya. Hal ini dilihat ketika Karman dikecewakan oleh Haji Bakir yang selama ini telah
menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri. Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati
Karman.Akibatnya ia mendendam dan membenci Haji Bakir.
22
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana sosok Karman adalah manusia yang mudah kecewa, marah dan malu dengan sebuah
perlakuan yang mungkin kurang berkenan di hatinya, yakni kekecewaan terhadap Haji Bakir.
Sikap Karman yang jauh dari ajaran agama akibat dirinya mudah dipengaruhi oleh kawan partainya dapat dilihat kembali pada
21
Ibid., h. 91
22
Ibid., h. 91
49
alur klimaks ketika Karman sudah siap meninggalkan masjid serta desa Pegaten demi kepentingan partai. Hal ini dapat di lihat pada pemaparan
alur klimaks. Selain itu, sikap Karman yang mudah terpengaruh dapat diakui oleh teman separtainya.
Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.
23
Perubahan-perubahan sikap diri Karman yang akhirnya ia sadar kembali setelah mengalami berbagai gejolak dalam kehidupannya.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam analisis tema novel Kubah mengisahkan seorang bekas tahanan politik, tema tersebut telah
membuktikan bahwa tokoh utama inilah yang menjadi pusat fokus dalam cerita Kubah.
b. Haji Bakir
Haji Bakir merupakan salah seorang tokoh agama dan orang terkaya di daerah Pegaten. Selain kaya, Haji Bakir termasuk orang yang
sayang terhadap anak yatim dan peduli terhadap tetangganya. Hal ini dapat dibuktikan ketika iamenolong penderitaan keluarga Karman dari
kemiskinan serta sulitnya mendapatkan makanan yang jarang ia temukan bersama ibu dan adiknya. Kemudian, Haji Bakir memberikan
Karman pekerjaan pada saat dirinya masih kecil setelah sepeninggalan ayahnya.
Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya.
Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan
yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan
bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam dan melayani si manja
Rifah.
24
23
Ibid., h. 102
24
Ibid., h. 60
50
Kutipan di atas menggambarkan bahwa sikap Haji Bakir yang bijaksana dan tidak memberikan beban kepada anak yatim dalam
memperoleh uang atau upah untuk keluarga. Haji Bakir menganggap Karman seperti keluarga sendiri, tidak menganggapnya sebagai
pembantu di rumahnya, bahkan Karman diberikan pekerjaan yang ringan sesuai dengan usianya pada saat itu.
Selain kutipan di atas ada juga kutipan lain yang menunjukkan tokoh Haji Bakir berikut adalah kutipannya.
Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Dua tahun dicari dan ditunggu,
pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung tiba. Untung Haji Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman
tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak.
25
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Haji Bakir begitu baik masih mau memberikan kesibukan kepada Karman agar tidak
menganggur dan sering meminta pada Karman untuk mengangkut bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak semasa Karman belum
mendapatkan pekerjaan. Tokoh Haji Bakir dengan teknik dramatik sebagai tokoh yang baik, suka menolong, pemaaf dan bersahaja di
masyarakat Pegaten, karena beliau tokoh ulama di daerah Pegaten. Haji Bakir termasuk orang yang bijaksana dalam mengambil
keputusan. Hal ini, dapat dilihat jawaban Haji Bakir ketika Karman melamar Rifah yang kedua kalinya.
Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang teguh; aku hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang
dapat membimbing Rifah di dunia sampai ke akhirat. Kulihat keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau bukan laki-laki
yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap orang sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut
iman dan takwa kepada Tuhan.
26
25
Ibid., h. 75
26
Ibid., h. 121
51
Kutipan di atas menjelaskan maksud dari penolakan Haji Bakir terhadap Karman. Haji Bakir sadar bahwa anak didiknya itu telah
banyak berubah berbeda ketika sebelum Karman terjun ke politik. Oleh karena itu, Haji Bakir menolak lamaran Karman, ia hanya ingin
anaknya memiliki suami yang dapat membimbingnya di dunia dan akhirat.
Selain memiliki sifat yang baik, tokoh Haji Bakir termasuk ke dalam pembangun konflik tokoh utama. Tokoh Karman yang pernah
dikecewakan oleh Haji Bakir karena telah menolak lamaran untuk meminang putrinya itu, membuat tokoh utama membenci Haji Bakir.
Hal ini, merupakan salah satu gejolak batin yang dialami Karman.
c. Marni
Marni merupakan gadis cantik yang telah memikat hati Karman ketika ia sedang patah hati dan sakit hati terhadap Haji Bakir karena
telah menolak lamarannya. Pada akhirnya Karman bertemu Marni dan meminang Marni untuk dijadikan seorang istri. Marni termasuk seorang
istri yang setia ketika suaminya sedang berada di Pulau Buangan. Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima
tahun ditinggal suami. Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan menunggu suaminya kembali. “Siapa tahu, suamiku masih
hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan kembali.”
27
“.........istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri selama lima tahun.”
28
Dari kedua kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang setia dan teramat sayang terhadap suaminya. Ia rela menunggu
suaminya datang kembali untuk tinggal bersama dirinya dan anak-anak. Walaupun seiring jalannya waktu, kesetiaan yang dimiliki Marni tidak
berlangsung lama karena melihat kondisi kehidupan ekonominya
27
Ibid., h. 13
28
Ibid., h. 15
52
bersama anak-anak. Marni yang didesak oleh sanak keluarganya untuk menikah lagi agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya beserta
ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Hal seperti ini membuat dirinya bingung antara menerima lamaran dari orang lain atau lebih memilih
setia dan menanti kedatangan suaminya kembali. Setelah dipikirkan matang-matang oleh Marni dan akhirnya ia pun menerima pendapat
dari keluarganya untuk menikah lagi. Selain itu, Marni termasuk orang yang bijak sebagai orang tua
ketika berhadapan dengan anaknya. Untung ibu yang bijak itu bisa mengalihkan perhatian
Tini.
29
Dari kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang bijaksana dalam mencari perhatian anaknya. Walaupun keadaan apapun
Marni tetap berusaha untuk menjadi ibu yang baik dan adil bagi anak- anaknya.
Kutipan lain yang dapat menunjukkan sosok Marni dapat ditemukan pada kutipan berikut.
Di kamar persalatan Marni berusaha mencari kesadaran tertinggi agar bisa berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh
dan merasa begitu kecil dan lemah. Namun dalam kesadaran akan ditempuhnya. ”Besok, aku akan bertawakal; membiarkan
apa yang harus terjadi, terjadilah.”
30
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sosok Marni selalu berserah diri kepada Allah SWT sebagai tempat dirinya mengadu dan
bersimpuh sebagai seorang hamba. Apapun yang akan terjadi padanya esok ia serahkan hanya pada Allah SWT semata. Kutipan-kutipan di
atas mencerminkan tokoh Marni sebagai seorang yang sudah matang, tetapi masih cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang
29
Ibid., h. 45
30
Ibid., h. 50
53
menarik, ramping, berlengan kecil, bersuara bening, serta selalu tampak tenang, selalu berserah diri kepada Allah, tabah dan lembut.
Hubungan Marni dengan konflik batin Karman yaitu ketika Marni sudah matang dengan keputusannya untuk menikah dengan
orang lain. Hal ini, yang membuat jiwa Karman terguncang dan jatuh sakit ketika berada di Pulau Buangan.
d. Parta
Parta adalah teman sekampung Karman, ia juga yang telah menikahi istrinya. Parta juga merupakan tokoh tambahan yang
membangun konflik tokoh utama. Hal ini dapat dilihat ketika Parta berencana untuk menikahi Marni. Hati Karman menjadi gelisah bahkan
membuat dirinya jatuh sakit. Rencana Parta untuk menikahi Marni, dikarenakan gadis ini lebih cantik dari istri pertamanya, sehingga
sampai hati Parta menceraikan istri pertamanya itu. Dapat disimpulkan atas kejadian ini, Parta merupakan orang yang memanfaatkan keadaan.
Kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa Parta sampai hati melepas istri pertamannya.
31
Apabila dilihat dari kutipan di atas, Parta merupakan sosok yang hanya melihat dari segi fisik pendamping hidupnya. Ia merupakan pria
yang tidak setia terhadap istri sebelumnya. Meskipun demikian, Parta termasuk pria yang bertanggung
jawab terhadap Marni. Hal ini, dapat dilihat dari kutipan berikut: Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan
Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio.
32
Kutipan di atas menggambarkan sosok Parta yang bertanggung jawab sehingga tidak pernah mengecewakan Marni. Akan tetapi, di sisi
lain Parta termasuk orang tua yang tidak adil terhadap anak tirinya.
31
Ibid., h. 13
32
Ibid., h. 40
54
Selain itu, Parta digambarkan sebagai sosok pria yang penyakitan, ia menderita sakit asma.
Berdasarkan paparan tersebut tampak kemunculan Parta pada cerita memunculkan konflik pada diri Karman. hadirnya orang ketiga
dalam rumah tangga Karman dan Marni membuat rumah tangga mereka hancur. Marni menulis surat pada Karman dan memintanya untuk
melepas Marni.
e. Margo
Margo merupakan seorang kader partai yang menghasut pikiran Karman. Ia sangat pandai dalam berbicara tentang politik sehingga
banyak orang terjebak oleh hasutannya untuk masuk ke dalam anggota partai yang dianutnya. Ia selalu memanfaatkan keadaan untuk
keberhasilan rencananya itu. Karman yang mengalami berbagai gejolak batinnya itu dengan mudah terhasut oleh ajakan Margo. Ia juga yang
telah memisahkan Karman dari lingkungannya. Selain itu pula Margo yang membuat Karman membenci Haji Bakir dan menjauhkan Karman
dari ajaran agamanya akibat masuk ke dalam anggota Partai. Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa
agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.
33
Selain itu, Margo memiliki sifat yang cerdik dan ulet. Akibat kecerdikan yang ia miliki, dimanfaatkannya untuk kepentingan partai.
Cerdik dan ulet serta sangat gemar membaca buku atau brosur yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan Harian Merah,
sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.
34
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Margo sebenarnya orang yang terpelajar, selain itu ia juga menjadi seorang guru di Pegaten.
Rekan-rekan separtai biasa memanggilnya dengan panggilan Kawan Margo, karena ia salah seorang kader pilihan di partainya. Dia adalah
seorang yang cerdik dan ulet serta gemar membaca buku atau brosur
33
Ibid., h. 94
34
Ibid., h. 76
55
yang menyangkut partainya, bahkan dia berlangganan Harian Merah kebanggaannya.
Hubungan antara Margo dengan Karman adalah kawan separtai. Dari partailah tokoh Margo dimunculkan sebagai tokoh yang
membangun tokoh utama. Margo dihadirkan untuk menghasut pikiran Karman, sehingga Karman memiliki konflik yang cukup berat dengan
masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir. Hasutan demi hasutan membuat konflik Karman ini mencapai klimaks dengan
pelariannya dari masyarakat Pegaten dan Haji Bakir.
f. Triman
Triman adalah seorang terpelajar sama halnya dengan Margo teman separtainya. Ia bekerja sebagai kepala Kantor penerangan.
Berikut merupakan kutipan tentang sosok Triman: Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan
Triman terhadap Camat. Meskipun Kawan Triman hanya seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan,
wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap asal tahu beres itu sering menggunakan Kawan Triman untuk
menutupi semua kekurangannya. Dan di sana peran Kawan Triman tidak mencolok sebab dia tidakdikenal sebagai orang
kita, melainkan orang Partindo.
35
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Triman mrmpunyai pengaruh dan wibawa cukup besar di kecamatan, meskipun
Trimanhanya pekerja kantor penerangan. Triman tidak terlalu mencolok sebagai partai Komunis, tetapi melainkan orang Partindo.
Tokoh Triman digambarkan oleh pengarang sebagai seorang lelaki yang terpelajar, ia bekerja sebagai kepala Kantor Penerangan,
ramah tapi dia seorang yang licik dan mempunyai pengaruh di kantor kecamatan. Hubungan Triman dengan Karman sama seperti Margo
sebagai teman separtai. Ia disebut sebagai tokoh yang membantu untuk membangun konflik tokoh utama, karena peranannya sama halnya
35
Ibid., h. 79
56
dengan Margo. Kelicikan yang dimiliki keduanya merupakan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu menjauhkan Karman dari lingkungan
masyarakat Pegaten dan Haji Bakir semata-mata hanya demi kepentingan partainya.
g. Kastaghetek
Kastaghetek adalah
manusia bebas
yang menyadari
ketergantungannya dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Kastaghetek seorang rakyat biasa, tukang rakit, namun seorang sosok manusia yang
mengerti peranannya sebagai makhluk Tuhan. Kastaghetek yang lugu dan tidak mengerti politik, ternyata dapat menangkap makna eksistensi
manusia, dengan mendendangkan lagu religi. Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah Dulu aku tiada
Kini aku meng-ada Kelak aku lagi tiada
Kembali ke rahmat ilahi
36
Lirik lagu di atas sebelumnya telah tercantum pada analisis tema. Pentingnya lagu ini muncul kembali untuk menemukan watak
seorang Kastaghetek. Dengan munculnya tembang di atas, tergambar sikap Kasta yang religi dan pasrah kepada Tuhan akan kehidupan yang
dijalaninya. Sikap hidup seperti itulah yang justru memungkinkan hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan kebahagiaan.
Pengarang memunculkan tokoh Kastaghetek sebagai tokoh tambahan yang membantu kesadaran Karman akan kesalahan di masa
lalunya. Sikap hidup Kastaghetek yang lugu, bersahaja, dan tahu akan keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan secara tidak langsung
mempengaruhi Karman dan seolah-olah membawa nurani dan akalnya
36
Ibid., h. 152
57
untuk berpikir tentang eksistensi dirinya. Sehingga secara otomatis timbul getar-getar suara hati dalam diri Karman untuk mencari
jawabannya ke arah yang lebih baik.
h. Kapten Somad
Kapten Somad adalah seorang perwira yang bertugas membina kehidupan rohani para tahanan. Perwira ini memiliki sikap yang tegas,
bijaksana, disiplin, baik, teliti dalam menjalankan tugasnya serta perhatian terhadap para tahanan salah satunya kepada Karman. Ketika
Karman jatuh sakit di dalam tahanan yang selalu mengurusi dan memberikan perhatian kesehatan kepadanya yaitu Kapten Somad.
Kebetulan Kapten Somad diberikan tugas untuk memperhatikan kondisi Karman, perhatiannya yang sangat teliti dapat membantu kesembuhan
Karman. Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju
dipan tempat Karman terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap jernih dan tersenyum. Perwira yang baik itu tahu mengambil
sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seoranga ayah, Kapten Somad meraba dahi
Karman sambil berkata, “Ya, ya,
Karman aku
mengerti. Aku
dapat merasakan
penderitaanmu. ”
37
Kutipan di atas menunjukkan sikap tokoh Kapten Somad yang sabar, penuh kasih sayang, perhatian, pengertian, serta bijaksana.
Selain itu ia juga selalu memberikan nasihat-nasihat yang sangat menjiwai hati Karman. Dalam keterpurukan kehidupan Karman yang
sulit untuk bangkit lagi, Kapten Somad selalu memberikan semangat untuk memotivasi Karman agar bangkit kembali. Kapten Somad pula
yang membantu Karman agar kembali ke ajarannya sebelum ia masuk sebagai anggota politik. Sehingga Karman telah sadar dari
kesalahannya di masa lalu, perubahan seperti ini ia bawa pulang kembali ke lingkungan masyarakat Pegaten.
37
Ibid., h. 21
58
“Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar. Tidak pernah”
38
“Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.”
39
Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan bahwa Kapten Somad menasehati Karman dengan memberikan pencerahan bahwa
yang dapat menyembuhkan jiwa Karman adalah berawal dari kepercayaan. Kepercayaan yang selama ini ia hilangkan selama menjadi
seorang atheis akibat mengikuti partai komunis. “Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa
atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu.”
40
Tokoh Kapten Somad dimunculkan oleh pengarang sebagai tokoh tambahan yang dapat membantu menyembuhkan kejiwaan tokoh
utama dalam menghadapi gejolak hidupnya. Peranan Kapten Somad hampir sama dengan Kastaghetek yaitu, menawarkan dan mengajak
Karman untuk merenungkan apa dan siapa dirinya. Di sini nasehat Kapten Somad menawarkan kepada Karman suatu perenungan ke arah
kebaikan.
4. Latar
Latar dalam novel ini terbagi menjadi empat, diantaranya: latar tempat, latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Berikut merupakan pemaparan
latar:
a. Latar Tempat
Latar tempat yang terdapat dalam novel Kubah ini, hanya diambil dua tempat, yaitu Pegaten dan pulau Buangan. Kedua tempat
ini sangat bersejarah bagi kehidupan serta peristiwa yang dialami tokoh utama. Desa pegaten disebut sebagai tempat bersejarah bagi
tokoh utama, karena di dalamnya menggambarkan kehidupan serta
38
Ibid., h. 21
39
Ibid., h. 22
40
Ibid., h. 25
59
keadaan yang terjadi di desa Pegaten. Selanjutnya, Pulau Buangan merupakan tempat kedua yang telah disinggahi oleh tokoh utama
akibat kesalahan di masa lalunya. Berikut pemaparan desa Pegaten dan pulau Buangan:
1. Pegaten
Desa Pegaten adalah sebuah nama desa tempat Karman dilahirkan dan dibesarkan sebelum ia diasingkan ke Pulau Buru
dan kembali lagi ke desa Pegaten. Cerita-cerita yang terdapat dalam novel ini pun seringkali menceritakan tentang keadaan desa
Pegaten dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh Kali Mudu
di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu berwarna kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air di Kali Mudu
bening dan sejuk. Di musim kemarau Kali Mudu berubah menjadi selokan besar penuh pasir dan batu.
41
Kutipan di atas merupakan ciri-ciri keadaan yang terdapat di desa Pegaten. Kali Mudu merupakan salah satu sungai yang
berada di wilayah desa Pegaten. Selain itu, tergambar pula keadaan sungai yang setiap musimnya sewaktu-waktu akan berubah
keadaan airnya. Selain itu terdapat pula kutipan yang menunjukan bahwa
desa Pegaten inilah merupakan tempat kelahiran Karman, serta tempat ayahnya bekerja sebagai gurbemen. Diceritakan pula mata
pencaharian masyarakat Pegaten tidak jauh dari seorang petani. Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya
seorangmantri pasar di sebuah kota kecamatan. Waktu itu gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk mencukupi
kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa Pegaten adalah petani. Maka ayah Karman sangat bangga
akan jabatannya sebagai pegawai gubermen.
42
41
Ibid., h. 36
42
Ibid., h. 54
60
Selain tempat kelahiran serta tempat tinggal Karman, desa Pegaten juga memiliki sebuah tradisi yang tak bisa ditinggalkan
kesempatannya yang biasa dilakukan oleh para tetangganya yaitu menuai padi pada saat musim panen tiba.
Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan
murai terbang berkelompok – kelompok menuju sawah.
Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari
hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh seperdelapan bagian. Sebagiannya menjadi hak pemilik sawah.
43
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan masyarakat Pegaten pada saat musim panen tiba. Mereka berlomba-lomba
menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuaiannya tersebut. Tak seorang pun melewatkan kesempatan seperti ini, demi dapat
memakan nasi yang empuk mereka rela seharian menuai padi di sawah para tetangga. Selain itu, tidak hanya orang tua saja yang
sibuk menuai, bahkan anak-anak pun sibuk bermain dengan meniup-niupkan puput. Musim panen ini merupakan musim yang
sangat istimewa bagi masyarakat Pegaten. Hal ini dapat diakui oleh Bu Haji Bakir.
Perempuan itu sadar bahwa masa panen adalah masa istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman
diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk melaksanakan kepentingan sendiri.
44
Bagi diri Karman desa Pegaten banyak mengisahkan kenang-kenangan di masa lalunya. Di sinilah ia dilahirkan, bekerja
di rumah Haji Bakir, banyaknya konflik yang dialaminya, terjerumusnya ke dalam partai komunis, belajar mandiri setelah
ditinggal oleh ayahnya, bergaul dengan masyarakat Pegaten terutama budaya yang sudah menjadi tradisi pada saat musim
43
Ibid., h. 63
44
Ibid., h. 63 —64
61
panen tiba, serta diterimanya kembali tinggal di desa ini. Pada akhirnya desa Pegaten pula yang telah menerima Karman tinggal
kembali di desa ini sehingga ia dipercaya membuat sebuah kubah untuk masjid milik Haji bakir. Hal ini, dapat dilihat pada alur akhir
cerita novel Kubah ini.
2. Maluku Utara Pulau Buangan
Maluku Utara merupakan tempat kedua yang sangat bersejarah bagi Karman selain Pegaten. Di tempat inilah Karman
menyadari kekhilafan yang telah diperbuatnya. Karman ditahan karena kesalahannya yang telah mengikuti anggota Partai Komunis
Indonesia selama berteman dengan Margo dan Triman. Berikut kutipan yang menunjukkan bahwa Pulau Buangan tepatnya berada
di Maluku Utara: Jabir memang tak urusan dengan kenyataan ayah Tini
seorang penghuni pulau tahanan, jauh di Maluku Utara.
45
Di tempat ini pula Karman bertemu dengan Kapten Somad yang telah menyadarkan dirinya dari ajaran atheis.
Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi serta tugasnya harus memperhatikan Karman. Dia adalah
Kapten Somad, perwira yang bertugas membina kehidupan rohani para tahanan.
46
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan di penjara tidak hanya sekedar ditahannya para ekstapol, tetapi adanya siraman
rohani yang diberikan oleh salah satu petugas tahanan yaitu, Kapten Somad.
Pulau Buangan ini merupakan tempat bersejarah bagi diri Karman, karena selama ia ditahan di Pulau Buangan banyak
pelajaran yang ia tangkap. Selain siraman rohani yang diterimanya dari Kapten Somad, ia juga belajar bagaimana menjadi seorang
45
Ibid., h. 38
46
Ibid., h. 18
62
tukang. Pekerjaan seperti inilah ia bawa ke Pegaten sehingga dirinya dipercaya dan diterima kembali oleh masyarakat Pegaten
akan perubahannya itu. Pada kesempatan yang istimewa bagi Karman, ia menyanggupi untuk membuat kubah masjid Haji Bakir.
Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas.
47
“Beruntung,” sambung yang lain, “kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa
bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.”
48
b. Latar Waktu
Latar waktu yang pertama terjadi pada Oktober 1965. Pada saat itu terjadi kegegeran, peristiwa ini menyebabkan seseorang di asingkan
ke Pulau Buangan. Selain itu, merupakan sebuah peristiwa terpisahnya antara anak dengan ibu, suami dengan istri, anak dengan ayah yang
dicintainya.Kegegeran ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di
Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi
warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut sebagai orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah
menyebabkan
guncangan besar
di tengah
kehidupan masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang
paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa bersahabat diantara sesama warga desa
Pegaten.
49
Latar waktu selanjutnya yaitu pada permulaan tahun ajaran baru, tahun 1950. Pada tahun ini, Hasyim yang tak lain adalah paman dari
Karman merencanakan untuk menyekolahkan keponakannya itu. Karman pun di ambil kembali oleh keluarganya dari Haji Bakir, dan
beliau pun tidak dapat menolak keputusan keluarga Karman yang ingin menyekolahkannya ke tingkat menengah. Karman merasa menjadi
anak yang paling bahagia, karena ia bisa melanjutkan sekolahnya ke
47
Ibid., h. 187
48
Ibid., h. 189
49
Ibid., h. 36
63
tingkat SMP. Selain itu, Karman pun menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah. Hal ini
dapat dibuktikan dengan: Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di
dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten
yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.
50
Latar waktu selanjutnya adalah awal tahun enam puluhan. Pada tahun enam puluhan ini keadaan ekonomi masyarakat Pegaten sangat
krisis. Keadaan alam pun sangat tidak mendukung untuk hasil panen mereka. Hanya singkong kukus yang dapat mereka makan. Kesulitan
seperti ini membuat masyarakat Pegaten terserang penyakit busung lapar. Mereka jarang menemukan makanan yang lebih baik lagi untuk
dikonsumsi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan,
sama seperti yang terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan
hidup yang terjadi waktu itu.
51
Latar waktu selanjutnya adalah bulan Agustus tahun 1977. Pada tahun ini, merupakan tahun kebebasan Karman dari Pulau Buru.
Walaupun sudah beberapa tahun yang lalu Karman meninggalkan desa kelahirannya, akan tetapi, nama Pegaten tidak mengalami perubahan
dan entah sampai kapan nama Pegaten ini dilestarikan sebagai nama desa tempat ia tinggal.
Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada
hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna coklat kembali setelah
beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.
52
50
Ibid., h. 74
51
Ibid., h. 132
52
Ibid., h. 167
64
Bulan Agustus ini pula Tini dan Jabir menyambut kedatangan Karman serta menjemputnya ke kota. Karman yang telah dijemput
oleh anak dan calon menantunya itu, kini tinggal di rumah Bu Mantri, ibunya sendiri nenek dari Tini.
c. Latar Suasana
Latar suasana yang pertama adalah gembira dan bercampur dengan kepedihan. Kabar yang sudah ditunggu-tunggu sekian lamanya
walaupun hanya melalui sepucuk surat. Hal ini terjadi ketika Marni mengirimkan surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau
Buru. Surat tersebut berisikan bahwa Marni meminta izin nikah lagi dengan Parta teman sekampung Karman. Mendapatkan surat dari
seorang istri yang terpisah beberapa tahun lamanya merupakan suatu kegembiraan bagi seorang suami. Akan tetapi, dibalik surat tersebut
ada suatu kepedihan bagi si suami yang masih mengharapkan istrinya untuk setia walaupun jarak ribuan kilometer telah memisahkan
keduanya. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati serta jiwa Karman terguncang mendengar kabar tersebut, hal ini membuat diri
Karman hilang semangat sehingga dirinya jatuh sakit di Pulau Buru. Semakin hari semakin terguncang hatinya ketika teman-temannya
mengejek curhatannya tentang Marni, karena menurut mereka Karman bernasib sama dengan teman-temannya itu bahwa sama-sama ditinggal
nikah dengan orang lain. Apalagi dengan keadaan wajah Marni yang cantik merupakan sebab orang lain terpikat dengan kecantikannya itu.
Waktu menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula- mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang
terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang.
Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang bagus; suaranya yang lembut, atau
segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai
membaca surat itu, Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan
mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat
65
mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri. Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat
hidupnya nyaris runtuh.
53
Latar suasana selanjutnya adalah peristiwa yang menegangkan. Hal ini terjadi ketika lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir,
keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman untuk menghasut Karman terhadap Haji Bakir. Hasutan demi hasutan telah
menguasai diri Karman, sehingga ia tidak mendengarkan alasan kenapa penolakannya ditolak oleh Haji Bakir. Pada lamaran yang
kedua kalinya pun Karman ditolak oleh tuan tanah ini, seperti biasanya keadaan inilah dimanfaatkan kembali oleh kedua orang
partai tersebut. Bukan hanya persoalan lamarannya untuk meminang Rifah, tetapi ada persoalan lain pula yaitu Margo dan Triman
menghasut masalah tanah milik Pak Mantri yang dulu dijual kepada Haji Bakir. Margo dan Triman menghasut pikiran Karman bahwa
sawah milik ayahnya itu telah dikuasai oleh Haji Bakir, namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Namun, hasutan yang diterima oleh
Karman sudah menguasai dirinya,sehingga akhirnya Karman merasa dendam kepada Haji Bakir. Terbukti dengan:
Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati Karman. Akibatnya, ia mendendam dan membenci Haji Bakir. Karman
memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan
di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila menunaikan sembahyang Jumat.
54
Kutipan di atas menggambarkan apa yang dilakukan Karman semata-mata hanya untuk membalas dendam. Ia merasa disakiti atau
dizholimi oleh Haji Bakir dan keluarganya. Dengan meninggalkan sembahyang wajib dan meninggalkan masjid Haji Bakir merupakan
suatu kepuasan bagi diri Karman dalam membalas dendamnya itu.
53
Ibid., h. 14
54
Ibid., h. 91
66
Selanjutnya, latar suasana dalam novel ini adalah mengharukan. Suasana mengharukan dalam novel ini ketika Marni menjenguk
Karman di rumah Bu Mantri. Hati Marni yang merasa bingung harus bagaimana setelah ia bertemu Karman, rasa rindu dan bimbang
menjadi satu. Di satu sisi ia rindu kepada Karman yang telah meninggalkannya selama beberapa tahun, di sisi lain juga ia harus
memikirkan perasaan Parta yang telah menjadi suaminya selama Karman berada di Pulau Buru hingga sampai sekarang ini. Ketika
mereka dipertemukan kembali di rumah Bu Mantri suasana mengharukan itu pun terjadi, diantara keduanya terlihat saling
menahan rasa rindu yang teramat sangat setelah sekian lama berpisah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa.
Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana mendadak bisu tetapi penuh
haru-biru.
55
Latar suasana yang terakhir adalah suatu kehormatan dan kebanggaan bagi diri Karman, ia merasa hidupnya berarti kembali
untuk masyarakat disekitarnya. Masyarakat Pegaten yang sangat memiliki sikap solidaritas tinggi, membuat kesalahan Karman di masa
lalu telah dimaafkan. Sikap pemaaf yang dimiliki masyarakat Pegaten telah dibuktikan ketika Karman dipercaya untuk membuat bangunan
kubah di masjid milik Haji Bakir. Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu
sebagai kesempatan yang istimewa.
56
d. Latar Sosial
Latar sosial dalam novel Kubah ini disesuaikan dengan keadaan sosial tempat dan waktu yang digambarkan dalam cerita. Di dalam
novel ini pengarang menampilkan latar sosial mengenai kehidupan
55
Ibid., h. 175
56
Ibid., h. 188
67
masyarakat Pegaten yang masih menggunakan sistem perjodohan. Apabila dilihat pada zaman sekarang kemungkinan sangat tipis adanya
sistem perjodohan seperti yang dilakukan oleh keluarga Haji Bakir ketika menjodohkan Rifah dengan Abdul Rahman seorang pemuda
santri disebuah pesantren daerah Jawa Timur. Calon suami Rifah telah ditemukan oleh keluarga Haji
Bakir. Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur, dan boleh jadi Rifah pun belum tahu apa-apa tentang
perjodohannya.
57
Kutipan di atas menunjukkan latar sosial masih adanya gambaran sistem perjodohan yang dilakukan keluarga Haji Bakir
terhadap putrinya, Rifah. Apabila dikaitkan dengan zaman sekarang, bisa saja yang menggunakan sistem perjodohan hanyalah di tempat-
tempat terpencil pedalaman, jika memiliki anak gadis para orang tua menjodohkan anaknya dengan pria pilihan mereka bukan pilihan sang
anak. Selain latar sosial yang menggunakan sistem perjodohan di
dalam Novel Kubah ini, ada pula latar sosial pada zaman PKI. Hal ini berkaitan pada latar waktu 1965 terjadinya kegegeran yang merugikan
masyarakat Pegaten sehingga menyebabkan seseorang masuk ke dalam tahanan politik.
Berikut ini kutipan yang menggambarkan adanya latar sosial yang lain dalam novel Kubah:
Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar. Makar itu dikobarkan untuk merobohkan Republik yang baru
berusia tiga tahun, dan menggantinya dengan sebuah pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan
korban itu gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan dihukum mati.
58
Kutipan di atas menunjukkan adanya latar sosial di mana masih ada pemberontakan besar. Banyaknya para korban yang berjatuhan
57
Ibid., h. 76
58
Ibid., h. 76
68
pada pemberontakan ini. Peristiwa ini menggambarkan para PKI berusaha untuk merobohkan sistem pemerintahan Republik yang
masih sangat muda dengan merubahnya menjadi sistem pemerintahan komunis.
Latar sosial selanjutnya, dapat dilihat pada latar tempat bagaimana kehidupan serta keadaan di daerah Pegaten. Kekompakan
masyarakat Pegaten pada saat musim panen tiba berlomba-lomba menuai padi di sawah para tetangga demi mendapatkan nasi untuk
mereka makan. Latar sosial yang terakhir dalam novel Kubah yaitu, diterimanya
kembali kehadiran Karman di Pegaten dari pengasingan. Masyarakat Pegaten telah memaafkan semua kesalahan Karman di masa lalu.
Karman dipercaya untuk membuat kubah di masjid Haji Bakir, hal ini membuktikan
bahwa masyarakat
Pegaten telah
memaafkan kesalahannya.
Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual tiga ekor kambing untuk membeli bahan-bahan pembuat kubah
serta biaya sewa alat-alat las dan patri.
59
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam sebuah cerita merupakan dari posisi mana sebuah cerita dilihat. Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang
membawakan cerita atau narator. Hal ini terkait pula dengan di mana seorang pengarang memposisikan dirinya dalam cerita. Penggunaan sudut
pandang yang tepat, membuat cerita menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam novel Kubah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia maha tahu, karena dalam novel ini pun tampak diawali pada bagian
pertama dengan sudut pandang dia maha tahu. Dari sudut pandang orang ketiga dia serba tahu ini, mengetahui segala hal yang terjadi pada setiap
tokoh yang terdapat dalam cerita, baik dari segi peristiwa, perasaan,
59
Ibid., h. 189
69
pikiran, maupun pandangan setiap tokoh terhadap berbagai hal. Terlihat di awal kisah pengarang memposisikan dirinya sebagai narator, dapat dilihat
dari kutipan berikut: Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya serba
kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa
langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu dipegangnya dengan hati- hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh
dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak
semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.
60
Kutipan di atas menggambarkan suasana dan keadaan yang dialami tokoh utama setelah dibebaskan dari Pulau Buangan.
Dari episode ke episode hingga akhir cerita Ahmad tohari memposisikan dirinya sebagai orang ketiga dia maha tahu. Hal ini dapat
dilihat dalam setiap cerita novel Kubah, Ahmad Tohari selalu menyebutkan nama para tokoh atau menggunakan kata ganti: ia, dia,
mereka. Selain itu, ia sering menyebutkan nama tokoh utama dalam cerita ini.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai
bahasa. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.
61
Gaya bahasa yang digunakan oleh Ahmad Tohari tidak terlepas dari gaya bahasa kias, sama halnya seperti pengarang lainnya. Gaya
bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Diantara ketiga majas ini, Ahmad
Tohari lebih banyak menggunakan majas personifikasi yang menggunakan
60
Ibid., h. 7
61
Henry Guntur Tarigan, op. cit., h. 5
70
alam sebagai benda hidup. Berikut merupakan penjabaran hasil penelitian gaya bahasa dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari:
a. Hiperbola
Ahmad Tohari menyisipkan majas hiperbola dalam novel Kubah menggambarkan keadaan gejolak batin yang dialami Karman ketika
mendapatkan surat dari Marni. Jiwanya terguncang, seakan-akan Karman merasa sesak nafas mendengar berita tersebut.
Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat
mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri.
62
Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana kata-kata tersebut sangat menakutkan atau dibuat pernyataan berlebih-lebihan dengan
maksud memberikan penekanan pada keadaan yang dialami Karman.
b. Personifikasi
Analisis novel Kubah, Ahmad Tohari juga menyisipkan beberapa majas personifikasi, diantaranya terdapat pada kutipan berikut:
Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas. Rumput dan
tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang keing dan mati. Debu mengepul
mengikuti langkah-langkah lelaki yang baru datang dari Pulau B itu.
63
Majas personifikasi pada kutipan di atas, menggambarkan matahari seolah-olah seperti benda hidup. Pada kenyataannya matahari
tidak dapat menyiram, melainkan teriknya menyinari tubuh seseorang, sehingga tubuh yang dimaksud mengeluarkan keringat akibat sinar
yang dipancarkan oleh matahari. Majas personifikasi dapat dilihat pula pada bagian yang
mengisahkan sekelompok burung dengan para penuai padi. Berikut kutipannya:
62
Ahmad Tohari, op. cit.., h. 14
63
Ibid., h. 7
71
Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang sedang sibuk memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya
renyah. Unggas itu terkenal pintar menirukan suara burung- burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi matahari.
Sejuk, walaupun sejenak.
64
Kutipan di atas menggambarkan kegiatan antara sekelompok burung dengan sekelompok para penuai yang terjadi di sawah. Suara
burung diibaratkan seperti rasa mengunyah makanan, suara renyah disini maksudnya yaitu, suara yang nyaring.
c. Klimaks
Majas klimaks digunakan Ahmad Tohari pada bagian nasehat yang diberikan Kapten Somad terhadap Karman.
Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.
65
Kutipan di atas mengarahkan Karman agar tidak menjadi manusia yang mudah berputus asa. Ungkapan di atas mengandung susunan yang
semakin lama semakin mengandung penekanan. Majas klimaks ini dapat dilihat dari kata awal “bila”, yang berarti merupakan syarat jika
ingin mencapai tujuan, dan kata “menyingkirkan” yang berarti
merupakan suatu ajakan. Dengan demikian, gaya bahasa yang paling dominan dipakai oleh
Ahmad Tohari yaitu, majas personifikasi. Ahmad tohari seorang penulis desa selalu menggambarkan keadaan alam yang ia ibaratkan sebagai
benda hidup. Oleh karena itu, majas personifikasi ini merupakan salah satu ciri khas gaya penulisan Ahmad Tohari.
B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
Novel Kubah karya Ahmad Tohari ini menceritakan pertobatan seseorang yang terjerumus ke dalam anggota PKI. Gambaran pertobatan
yang dilakukan tokoh Karman merupakan isyarat bahwa para anggota
64
Ibid., h. 67
65
Ibid., h. 22
72
ekstapol hanya mungkin dapat diterima masyarakat jika mereka menunjukkan pertobatannya lewat amal perbuatan yang baik. Gerakan 30
September yang merupakan tragedi nasional itu, memang sulit untuk dilupakan. Namun, tidak pada tempatnya jika masyarakat menolak mereka
yang sungguh-sungguh sudah insyaf dan hendak bertobat. Selain itu, novel Kubah karya Ahmad Tohari mengisahkan kehidupan
yang terdapat dalam masyarakat Pegaten. Bisa dibilang masyarakat Pegaten sangat terbelakang dalam hal pendidikan, hanya beberapa orang saja yang
bisa melanjutkan sekolah. Namun, hal seperti ini tidak menjadi masalah bagi mereka. Mata pencaharian masyarakat Pegaten mayoritas sebagai
seorang petani, mereka bekerja di sawah-sawah para tetangga. Maka, setiap musim panen tiba mereka selalu mengisi waktu dengan berlomba-lomba
menuai padi agar mendapatkan upah berupa beras. Selain tradisi penuaian padi, ada pula tradisi yang tidak bisa
ditinggalkan oleh anak-anak masyarakat Pegaten, hal ini dapat dilihat ketika menceritakan tokoh utama semasa kecil. Anak-anak di Pegaten lebih senang
tidur di masjid milik Haji Bakir ketimbang di rumah masing-masing. Sewaktu subuh tiba mereka berkumpul di pancuran air wudhu untuk bersih-
bersih sebelum melaksanakan salat. Hal seperti ini, menggambarkan masyarakat Pegaten yang bernuansa religi.
Ada pula tradisi masyarakat Pegaten yang sangat tipis kemungkinan untuk dilakukan pada masa sekarang. hal ini dapat dilihat kembali pada latar
sosial yang menjelaskan adanya sistem perjodohan contohnya pada keluarga Haji Bakir.
Apabila dilihat dari latar tempat dan latar belakang pengarang, nama Pegaten berada di daerah pulau Jawa. Hal ini, dapat dilihat dari tembang
yang menggunakan bahasa Jawa. “Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah.
”
66
66
Ibid., h. 152
73
Tembang ini muncul kembali pada analisis nilai sosial kebudayaan masyarakat Pegaten, untuk membuktikan latar belakang kehidupan Ahmad
Tohari sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa berpengaruh dengan munculnya filsafat Jawa yang terkandung dari tembang tersebut.
Bila saja Ahmad Tohari bukan suku Jawa, ia mungkin tidak akan menangkap makna yang terkandung dari tembang tersebut sehingga ia tidak
akan mencantumkan dalam karya-karyanya. Wawasan imajinasi dan pengalamannya tidak terlepas dari aspek sosial budaya yang melingkupinya
ataupun ideologi yang dianutnya.
67
Maksud adanya hubungan latar belakang Ahmad Tohari dengan karya sastra yaitu, bahwa karya sastra bukan salinan biografi Ahmad Tohari.
Melainkan, karya sastra hanyalah imajinasi penulis, tetapi secara tidak sadar mungkin latar belakang kehidupan pengarang ikut mempengaruhi, dan
kehidupan yang sejak kecil melingkari kehidupan pengarang karyanya.
68
Dari berbagai pendapat di atas, menunjukkan adanya kaitan antara pengarang dengan latar belakang kehidupannya. Maka, dalam analisis nilai
sosial masyarakat Pegaten penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yakni, berkaitan dengan mempertimbangkan segi-segi kemayarakatan yang
ada dalam karya sastra. Di dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai- nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di mana karya sastra tersebut
diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada suatu masyarakat.
Dalam melakukan analisis ini, penulis membaginya berdasarkan nilai sosial yang terdapat di masyarakat Pegaten. Berikut pemaparannya:
1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku dan tata cara hidup sosial. Hal ini berkaitan erat dengan karya sastra,
karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat. Nilai tersebut mencakup kebutuhan hidup
67
Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. Harian Republika: Jakarta, 2003.
68
Ibid.
74
bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap
lingkungan sekitar. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga
diharapkan mampu
memberikan peningkatan
kepekaan rasa
kemanusiaan. Pentingnya berhubungan baik dengan tetangga maupun orang
lain dapat mempererat tali silaturahmi antarsesama. Berbuat baik terhadap orang lain akan membuat hidup terasa tenang dan tentram. Ini
merupakan nilai sosial yang patut untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hikmah yang dapat diambil dari nilai sosial
hubungan antara manusia dengan masyarakat. Seperti halnya di dalam novel Kubah, banyak peristiwa yang perlu diteladani untuk setiap
manusia yang merupakan makhluk sosial. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang
lain di sekitarnya. Suatu saat pasti akan membutuhkan pertolongan dari orang lain. Pentingnya hidup bermasyarakat maupun bertetangga,
adalah untuk bersosialisasi, karena hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial. Seperti halnya yang terjadi di masyarakat Pegaten yang
memiliki sikap kebersamaan dalam lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat dari tradisi-tradisi serta kehidupan yang dijalani oleh masyarakat
Pegaten. Masyarakat Pegaten bisa dikatakan sangat terbelakang dalam hal pendidikan, namun mereka merupakan orang-orang yang wajib
dikagumi, lantaran sifat pemaaf masyarakat sangat berarti bagi Karman yang merupakan tokoh utama pada novel Kubah ini.
Hubungan antara manusia dengan masyarakat pada novel Kubah dapat di tunjukkan dari kehidupan yang terjadi di Pegaten, diantaranya:
a. Agama
Nilai-nilai sastra religius yang tampak dalam novel-novel Ahmad Tohari sangat terasa dipengaruhi oleh kehidupan
kesehariaanya yang bernafaskan ideologi Islam, sehingga unsur