BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai etnik dan memiliki latar belakang budaya yang beraneka ragam. Budaya adalah hasil budi
dan daya yang berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Bronislow
Malinowsky, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem
teknologi dan kesenian.
1
1
M.Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama. 1998, hlm.14
Dengan memandang kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan, maka fungsi kesenian dalam kehidupan manusia yaitu sebagai pedoman hidup bagi
masyarakat pendukungnya dalam melaksanakan kegiatan khususnya yang bertalian dengan keindahan. Secara umum, kesenian dapat dibagi menjadi
beberapa cabang antara lain: seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni pertunjukan. Cabang-cabang kesenian tradisional juga dapat digolongkan dalam
kesenian tradisional dan kesenian modern. Kesenian tradisional adalah bentuk kesenian yang lahir berdasarkan nilai-nilai tradisi masyarakatnya, dan kesenian
modern lahir karena adanya pengaruh modernisasi yang usianya relatif muda.
Universitas Sumatera Utara
Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang telah ada sejak beberapa abad yang lalu yaitu sejak zaman prasejarah, yang kemudian
berkembang sesuai zamannya dengan mengambil cerita dari Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India dan kemudian diadopsi oleh masyarakat
Jawa pada masa masuknya Islam di Jawa sekitar abad ke-15.
2
Wayang kulit adalah bayangan yang merujuk pada boneka dari kulit binatang belulang
kerbau, pipih, di pahat, di warna dan bertangkai.
3
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang
2
Sumber : Berdasarkan silsilah keturunan dalang yang berasal dari pulau Jawa yang diperbaharui tahun 1982. Melalui daftar silsilah keturunan dalang-dalang wayang kulit, dapat
dilihat bahwa kesenian wayang kulit memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang berada di pulau Jawa. Agama Islam mulai masuk ke Pulau
Jawa sekitar abad 15 sebelum keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berdiri Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang pertama serta mulai mengambil alih kekuasaan Majapahit,
salah satunya melalui kebudayaan secara khusus pada kesenian wayang kulit. Para Wali dan Sultan sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa mulai merintis kesenian yang bercirikan
Islam, agar menarik simpati masyarakat Jawa maka kesenian yang sudah ada di poles berbentuk ke Islaman. Misalnya kesenian wayang kulit yang sudah merupakan kesenian dari masyarakat
Jawa. Pada masa periode Islam wayang kulit mengalami perubahan dan perkembangan yang mendasar, sehingga sekarang sudah dibakukan dalam beberapa bentuk gagrak. Hasil karya para
Wali mulai menyempurnakan wayang kulit antara lain pada bentuk muka, yang semula berwajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak samping; warna wayang yang semula
hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa pada boneka wayang semula menyatu dengan tubuhnya tidak
dapat digerakkan dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang. Para Wali mengubah tokoh wayang kulit yang semula
adalah para dewa dalam agama Hindu menjadi babad dengan silsilah wayang purwa yang disesuaikan dengan misi Islam yaitu dengan mengatur posisi mulai dari para dewa, pendahulu
Bharata, keturunan Bharata, sampai kerajaan Mataram Kuno, Majapahit, dan Surakarta- Yogyakarta semuanya disusun dibawah satu keturunan Nabi Adam. Perkembangan wayang
pada periode Islam makin memperjelas kesinambungan perjalanan seni tradisi di Indonesia, bahkan ada beberapa daerah di luar Jawa yang mengenal wayang, hal ini diperkirakan akibat
asimilasi budaya yang menggunakan wayang sebagai media penyebaran ajaran agama.
3
Setyo Budi, Wayang Wahyu Katolik Surakarta Spesifikasi dan Karakteristiknya, Bandung: Proyek Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional. Bandung, 2002, hlm.2
Universitas Sumatera Utara
diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Dalam perkembangannya wayang dibagi kedalam beberapa periode antara lain :
a. Periode Prasejarah
Pada dasarnya pertunjukan wayang kulit adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa. Pada saat itu bangsa Indonesia yang masyarakatnya
masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Pada zaman itu para pendahulu kita telah membuat alat-alat pemujaan berupa patung-patung sebagai
media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang dipercaya dapat memberikan
pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral tersebut
mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti, selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk
mempermudah proses pemujaan.
4
b. Periode Hindu-Budha
Perupaan wayang dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan dalam batas-batas kepercayaan dan agama
yang mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah muncul kembali dalam
perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan terhadap nenek
4
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992, hlm. 253
Universitas Sumatera Utara
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek
moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c. Periode Islam
Wayang kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan
dalam beberapa bentuk seperti sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada bentuk muka yang semula wajah tampak dari
depan dirubah menjadi tampak dari samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi
berbagai warna, tangan-tangan raksasa yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain
itu juga menambah ragam wayang.
5
d. Periode Kolonial
Wayang sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat
II 1680 dengan bantuan Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura. Pada saat yang bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai
disempur nakan. Pada zaman ini pertunjukan wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh seorang sinden, namun
5
R. Sutrisno, Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm. 40
Universitas Sumatera Utara
pertunjukan wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil
masyarakat yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.
6
e. Periode Pasca kemerdekaan
Selama masa penjajahan Jepang 1942-1945 tidak terjadi perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru.
Sesudah melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada
periode ini pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang
menjadi suatu seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana
pendidikan dan komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama. Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul
adalah wayang suluh pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan
wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita,
gaya dan dalang yang luar biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
6
Sri Mulyono, Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta : Haji Masagung, 1975, hal. 87
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa periode tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan mulai banyak digemari di kota Medan yaitu
pada awal tahun 1970. Kesenian wayang kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada saat itu kesenian wayang
merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang
disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya
sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan
yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota
Medan dan membuat perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini lah yang memperkenalkan kesenian wayang
kulit di kota Medan. Meskipun diketahui bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Karo, Mandailing,
Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu Jawa. Meskipun banyak
kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh masyarakat
Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka sehari-
hari.
Universitas Sumatera Utara
Wayang memang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar ke berbagai
wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera
Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar tahun 1864.
7
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak
khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan
Pada saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak.
Pada awalnya para kuli kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas lelah dan sebagai obat penawar rindu ke
kampung halaman mereka. Seiring dengan perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan politik sistem buruh
kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan kantong-kantong
perjudian agar kuli kontrak orang Jawa menghambur-hamburkan uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan
memperbaharui kontraknya kembali.
7
Pengertian Onderneming dalam buku Toean Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik Belanda bermodal asing lengkap dengan
perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau, kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa
sawit, dan teh.
Universitas Sumatera Utara
berupa pertunjukan kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecil- kecilan yang dapat menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang
habis dalam arena perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan Simalungun,
mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.
8
8
Anthoni Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hlm. 87
Masyarakat Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar
pelabuhan Belawan, kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana. Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan
mereka tetap dapat menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk, ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun
mereka telah berbaur dengan etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orang- orang Jawa yang sangat kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata,
kekerabatan, hubungan sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi.
Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat sehingga kebudayaan masyarakat
Jawa tetap dapat berkembang.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Jawa yang telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan dibukanya perkebunan di Sumatera Timur
umumnya telah mengalami pembauran dengan penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini lebih ditekankan kepada
para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam. Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat kultur dominan
lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa dengan
masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.
9
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak
dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa Melayu.
10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya
banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses
perkembangan zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
9
Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan syarat utama kepada para pendatang
untuk diterima di kesultanan Melayu.
10
Ketoprak dor merupakan kesenian Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan musik Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan
menggunakan alat musik according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan dalam lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga mengenai
riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
Universitas Sumatera Utara
kemunduran akibat pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman
awal pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur khususnya masyarakat Jawa untuk
mengadakan pementasan kesenian asli mereka. Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari oleh
masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi
yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta
perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat
laun menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu
dapat ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar. Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan,
meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian
tradisional wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila, karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang
dipertunjukkan berisi nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
Universitas Sumatera Utara
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan arus
modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa. Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau
oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit
sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit
penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk pewayangan.
1.2 Rumusan Masalah