dari hasil pertunjukan ini mereka akan mendapatkan upah untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka di samping itu juga agar mereka
tetap dapat mempertahankan kesenian tradisional asli masyarakat Jawa. Umumya jika dilihat dari tempat tinggal orang-orang Jawa yang
berada di luar perkebunan, mereka selalu meminta keselamatan dimanapun mereka berada dengan cara mengadakan acara bersih desa yang dilakukan
dengan menggelar pertunjukan kesenian tradisional wayang kulit. Karena pada dasarnya kesenian ini bukan sarana hiburan namun lebih kepada acara adat
yang bersifat sakral. Oleh karena itu dimanapun mereka bertempat tinggal dan telah membentuk sub kelas baru, mereka khususnya orang-orang Jawa ini tetap
melaksanakan acara bersih desa agar daerah atau wilayah tempat tinggal mereka selalu dilindungi dari ancaman yang datang dari luar ataupun dalam
seperti bencana alam, roh-roh jahat yang mengganggu kelangsungan hidup mereka. Maka dari itu tidak heran apabila kesenian wayang kulit ini cepat
tersebar luas ke pelosok penjuru kota Medan, khususnya wilayah yang banyak didiami oleh orang-orang Jawa.
3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan
Wayang kulit di kota Medan menyebar ke seluruh wilayah perkebunan yang ada di Medan seperti Kebun Pisang, Tembung, Sei
Sikambing, Belawan, Tanjung Selamat dan Pondok Batuan. Penyebaran kesenian wayang kulit bersamaan dengan penyebaran penduduk Medan
khususnya orang-orang Jawa yang menyebar ke seluruh wilayah kota Medan
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi tempat tinggal masyarakat Jawa, karena pada waktu-waktu tertentu diadakan pertunjukan wayang kulit, seperti pada acara bersih desa,
ruwatan dan hari besar Jawa lainnya. Orang-orang Cina merupakan mayoritas buruh yang ada di
perkebunan. Pada tahun 1871 sudah bekerja lebih kurang 3000 buruh Cina di perkebunan Sumatera Timur. Namun, jumlah orang-orang Jawa yang dijadikan
buruh terus membesar dan semakin banyak sampai pada akhirnya melebihi jumlah buruh Cina. Di tahun 1930-an, terjadi perubahan besar dalam kontrak
kerja yang memungkinkan para kuli perkebunan Jawa meninggalkan perkebunan setelah masa kontrak habis.
34
Banyaknya masyarakat etnis Jawa yang masuk ke Sumatera Timur juga berlangsung ketika pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1952
melaksanakan program transmigrasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa dan salah satu tujuan transmigrasi tersebut
Mereka tidak dapat kembali ke kampung asalnya di pulau Jawa karena kondisi mereka yang memprihatinkan
dan ekonomi yang kurang mendukung sehingga mereka hidup menetap di daerah Sumatera khususnya di kota Medan. Kebanyakan yang meninggalkan
perkebunan tetap hidup berkelompok di pinggir-pinggir perkebunan sebagai petani atau pindah ke kota-kota terdekat. Di kota Medan mereka tinggal secara
turun-temurun di daerah pinggiran kota dan di areal bekas perkebunan yang telah dinasionalisasikan.
34
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peran Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1994, hlm. 101
Universitas Sumatera Utara
adalah Pulau Sumatera. Kota Medan sebagai kota yang lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Sumatera menjadi obyek
para transmigran untuk bertempat tinggal. Etnis Jawa di kota Medan pada umumnya banyak bertempat tinggal di daerah pinggiran kota Medan seperti
Tembung tepatnya di Kampung Kolam, Saentis, Sampali, Batang Kuis, Kelambir Lima, Labuhan, Tandem, Glugur Darat, Pulo Brayan, Simpang
Limun, Kampung Anggrung, Kampung Lalang, Sei Agul, Marelan serta Tanjung Morawa. Menurut informan Bapak Muhalim, orang Jawa di kota
Medan juga banyak bertempat tinggal di daerah Sunggal tepatnya di Jalan Dwikora, Jalan Perjuangan yang rata-rata bermatapencaharian sebagai tukang
bakso dan tukang es.
35
Masyarakat Jawa yang tersebar di berbagai daerah pinggiran kota Medan ini membentuk perkumpulan-perkumpulan untuk membahas persoalan-
persoalan hidup mereka dan juga mengadakan kegiatan berupa pertunjukan kesenian tradisional Jawa yang salah satunya adalah kesenian tradisional
wayang kulit. Karena sebagai warga pendatang atau perantauan yang jauh dari kampung halamannya pasti akan menimbulkan rasa rindu tersendiri bagi
mereka. Oleh karena itu dengan seseringnya mereka berkumpul dan melakukan kegiatan kesenian tradisional Jawa seperti wayang kulit, seolah-olah mereka
berada di kampung sendiri. Dari sinilah akhirnya kesenian wayang kulit Banyak juga dari mereka yang tersebar di beberapa
kecamatan Deli Serdang seperti di Denai, Tuntungan, Sunggal dan Johor. Mayoritas mereka beragama Islam.
35
Wawancara dengan Bapak Muhalim, Medan, 27 Mei 2009
Universitas Sumatera Utara
semakin terus berkembang hingga masa keemasannya sekitar tahun 1970-an, apalagi kegiatan kesenian mereka ini didukung dengan dibentuknya suatu
organisasi masyarakat Jawa yang ada di Medan yaitu Pujakesuma Putra Jawa Kelahiran Sumatera pada tahun 1978. Sebelum organisasi Pujakesuma ini
dibentuk telah ada perhimpunan yang khusus untuk melestarikan berbagai kesenian Jawa seperti BKKJ Badan Kesenian Keluarga Jawa, namun badan
kesenian tersebut hanya menampung masalah kesenian Jawa, maka dibentuklah organisasi Pujakesuma yang sifatnya lebih nasionalis. Hal inilah yang menjadi
penyebab kesenian tradisional wayang kulit dapat berkembang di kota Medan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebaran kesenian wayang
kulit hingga sampai ke Medan dimulai dari terbentuknya perhimpunan masyarakat Jawa pada tahun 1978, meskipun pada tahun 1950 kesenian wayang
kulit telah ada di Sumatera. Dengan dibentuknya perhimpunan tersebut maka kesenian wayang kulit cepat merambah ke berbagai wilayah di kota Medan
terutama di sekitar pinggiran kota Medan yang banyak terdapat pemukiman masyarakat Jawa. Hingga pada akhirnya dari perkumpulan masyarakat Jawa
yang ada di Medan mereka sering menyelenggarakan pergelaran wayang kulit akbar yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali yang dimulai dari tahun
1970 sampai pada tahun 1980. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari bibit-bibit dalang yang dapat memainkan wayang dengan baik. Namun kegiatan ini tidak
di khususkan untuk orang-orang yang berada di Medan saja melainkan yang berada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar dapat turut serta dalam
pagelaran kesenian wayang kulit ini. Dari kegiatan inilah kesenian wayang kulit
Universitas Sumatera Utara
menyebar hingga ke wilayah pelosok Medan seperti Tembung, Kebun Pisang, Batangkuis, Pondok Batuan dan Sunggal. Selain itu juga di Medan terdapat
sanggar yang dikhususkan untuk keterampilan kesenian wayang kulit pada tahun 1970-an yang berada di daerah Sei Mencirim yaitu Badan Kesenian
Kebudayaan Jawa BKKJ.
36
Penyebaran kesenian wayang kulit di kota Medan tidak berlangsung dengan lancar karena menurut hasil wawancara dengan bapak Selamet, beliau
mengatakan bahwa kesenian wayang kulit dalam proses penyebarannya terdapat berbagai halangan, karena para pemimpin yang biasanya membuat
pagelaran wayang tidak berdomosili di kota Medan, sehingga untuk melaksanakan kesenian wayang kulit mereka yang ada di Medan harus
menghubungi pemimpin-pemimpin mereka yang ada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar. Para pemimpin mereka khususnya masyarakat Jawa ini
adalah golongan Priyayi, karena mereka adalah golongan bangsawan Jawa yang mempunyai tradisi Hindu-Jawa dan mempunyai kebudayaan yang halus
Namun pada kenyataannya sanggar tersebut tidak bertahan lama dikarenakan pengurus badan kesenian tersebut telah meninggal
dunia dan tidak ada lagi yang meneruskannya, hal ini yang akhirnya membuat kesenian wayang kulit terhambat dalam proses penyebarannya.
37
36
Wawancara dengan Ibu Cempluk, Medan tanggal 10 Mei 2009
37
Kebudayaan yang halus dalam masyarakat Jawa adalah kebudayaan yang masih memegang adat-istiadat para leluhur mereka.
. Ketika akan diadakan pertunjukan kesenian wayang kulit biasanya pencetusnya
atau idenya berasal dari para golongan bangsawan, sementara yang termasuk dalam golongan abangan, santri hanya sebagai pendukung pelaksana.
Universitas Sumatera Utara
Medan yang pada awalnya adalah kota yang berfungsi sebagai pendukung industri agraria seperti perkebunan secara cepat berkembang
menjadi kota industri, administrasi pemerintah dan bisnis modern yang lengkap dengan berbagai macam bentuk industri jasa dan hiburan. Perkembangan yang
mencakup perluasan kota sejak pertengahan tahun 1970-an telah menyebabkan daerah-daerah pinggiran kota Medan tersebut menjadi tempat berbagai kesenian
khususnya Jawa, perlahan berkembang dan menjadi bagian dari kota Medan. Namun eksistensi kesenian Jawa khususnya yang bersifat tradisional seperti
kesenian wayang kulit tergeser kedudukannya oleh adanya budaya modern yang masuk ke kota Medan sekitar tahun 1990-an seperti hiburan keyboard,
layar tancap, vcd dan lain sebagainya. Akibat masuknya budaya modern ini membuat kesenian tradisional kurang diminati, karena dianggap sebagai budaya
kuno. Akan tetapi khususnya masyarakat Jawa berusaha untuk tetap mempertahankan kesenian tradisional yang bersaing dengan budaya modern
dengan tetap terus menggelar pertunjukan kesenian tradisional khususnya wayang kulit pada acara-acara seperti sunatan, perkawinan, bersih desa dan
ruwatan.
3.3 Orang Jawa di Kota Medan