BAB III LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN
3.1 Datangnya Wayang Kulit di Kota Medan
Kedatangan masyarakat Jawa ke Sumatera Utara khususnya di Medan tahun 1865, bersamaan dengan dibukanya lahan perkebunan tembakau di
wilayah sungai Belawan. Secara tidak langsung membawa masuk kesenian tradisional Jawa ke Medan. Masyarakat Jawa datang ke Medan bertujuan untuk
bekerja sebagai buruh kontrak di perkebunan tembakau asing. Pihak perkebunan juga dengan sengaja membawa perkelengkapan
kesenian-kesenian tradisional Jawa untuk dijadikan hiburan bagi para buruh Jawa yang tinggal di dalam perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada
periode tertentu, ketika para buruh menerima gaji, pihak majikan perkebunan sengaja mengadakan berbagai hiburan terutama wayang kulit yang menjadi
primadona sebagai hiburan bagi buruh Jawa. Hiburan kesenian tradisional wayang kulit ini lebih sering diadakan untuk menjaga agar masyarakat Jawa
dapat bertahan di Medan. Selain itu, sebenarnya hubungan para majikan perkebunan dengan
pekerja tidak begitu harmonis, dalam perkebunan-perkebunan terdapat sistem kerja rodi, hal ini dapat dilihat dari pekerjaan para buruh yang selalu diawasi
dengan ketat oleh mandor kebun dan biasanya adalah orang Batak. Apabila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh buruh tersebut maka sanksi yang
diberikan tidak setimpal dengan kesalahan mereka yaitu berupa pemotongan
Universitas Sumatera Utara
gaji, hukuman mati seperti hukuman gantung, penyiksaan ataupun kurungan. Kesalahan yang dilakukan para buruh biasanya adalah tidak mampu bekerja
secara maksimal, melawan para tuan kebun dan berkelahi, hal ini diakibatkan karena pasokan makanan yang diberikan oleh tuan kebun juga tidak sesuai
dengan pekerjaan mereka.
30
30
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta : Sinar Harapan, 1985, hlm : 57
Akibatnya banyak dari para buruh yang bekerja di perkebunan merasa tidak betah dan berusaha untuk melarikan diri.
Jan Breman dalam bukunya yang berjudul “menjinakkan sang kuli politik kolonial awal abad ke 20” menyatakan bahwa para kuli perkebunan
banyak yang berusaha untuk kabur dan banyak juga yang berhasil ditangkap, akibatnya para buruh tersebut mendapat sanksi yang berat. Kehidupan dalam
perkebunan sendiri layaknya sebuah pemerintahan dengan hukum yang berlaku berdasarkan ketentuan dari pengusaha-pengusaha perkebunan.
Untuk memikat para buruh agar tetap bertahan bekerja di perkebunan para pengusaha berusaha menjerat pekerjanya pada saat penerimaan gaji
dengan diadakannya hiburan-hiburan rakyat seperti wayang kulit agar mereka dapat mengobati rindu terhadap kampung halaman, selain itu arena perjudian
dan wanita penghibur juga tidak lepas dari acara tersebut, sehingga banyak dari pekerja yang tidak sadar telah menghabiskan gaji mereka untuk hiburan, maka
untuk biaya hidup secara terpaksa mereka memperpanjang kembali kontrak kerja di perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
Biaya pagelaran wayang kulit dikutip dari masyarakat Jawa itu sendiri dengan istilah pajak kepada penonton dan untuk biaya pertunjukan
tersebut masyarakat dikenakan perorangnya satu ketip.
31
Kelompok kesenian wayang kulit tidak semua terikat dengan pihak perkebunan. Kelompok ini datang secara tidak sengaja ke Medan, pada tahun
1905 ada seorang penjual gamelan asli dari pulau Jawa yang berdagang ke Medan, pedagang ini berkeliling dari satu pekebunan ke perkebunan lain hanya
untuk menjajakan barang dagangannya yaitu gamelan. Melihat banyaknya kebutuhan hiburan bagi para buruh Jawa yang haus akan hiburan maka dia
Menurut informan yang sama juga pada masa Belanda juga sering diadakan pertunjukan wayang
kulit alasannya tidak hanya karena mayoritas pekerja banyak dari orang Jawa tetapi orang-orang Belanda juga suka terhadap hiburan wayang kulit.
Di perkebunan-perkebunan asing seperti Tembung, Tanjung Selamat, Kebun Pisang, pihak majikan sengaja menyediakan satu perangkat kesenian
Wayang Kulit mulai dari dalang, sinden, pemain musik serta perlengkapan untuk pertunjukan wayang kulit. Semuanya ini sengaja didatangkan dari Pulau
Jawa untuk memenuhi kebutuhan hiburan para buruh terutama orang-orang Jawa yang banyak menjadi kuli di perkebunan. Tugas dari mereka khususnya
para pemain wayang kulit hanya sebagai penghibur bagi orang-orang yang tinggal di perkebunan namun bukan hanya untuk orang-orang Jawa saja yang
boleh menikmati hiburan tersebut tetapi seluruh masyarakat yang ada di perkebunan boleh menikmati hiburan tersebut.
31
Hasil wawancara dengan bapak Kadir, Tanjung Sari, Medan, 21 April 2009
Universitas Sumatera Utara
mendatangkan kelompok kesenian wayang kulit dan yang bertindak sebagai pimpinan adalah beliau sendiri.
32
Kesenian wayang kulit bisa sampai ke Medan tahun 1970 dikarenakan persebaran penduduk terutama masyarakat Jawa yang tidak lagi bekerja di
perkebunan atau telah habis masa kontraknya tetap berusaha untuk mempertahankan hidup mereka dengan cara meminjam atau menyewa tanah
untuk bermukim di desa-desa Melayu. Cara mereka khususnya orang-orang Jawa dalam mempertahankan hidupnya adalah dengan melakukan pekerjaan
pertanian sebagai imbalan untuk memperoleh makan dan hak atas tanah yang mereka sewa. Selain itu kebanyakan dari mereka hidup dalam keadaan yang
tidak menentu dan tersembunyi. Menjelang tahun 1920-an hampir sepertiga orang Jawa tinggal di perkebunan Simalungun yang berpenduduk padat
menetap di luar perkebunan. Angka-angka dari sensus tahun 1930 untuk Sumatera Timur memperkirakan bahwa hampir seluruh dari setengah juta lebih
orang Jawa di daerah tersebut tidak bertempat tinggal di dalam perkebunan. Jadi kedatangan kesenian wayang kulit ini ke
Medan karena kebutuhan penikmat hiburan dengan istilah komersialisasi dan bukan didatangkan sebagai kebutuhan hiburan semata .
33
32
Wawancara dengan Dalang Sunardi, Medan, tanggal 5 Mei 2009, beliau adalah anak seorang pedagang alat-alat kesenian tradisional Jawa yang berasal dari Pulau Jawa.
33
Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan konfrontasi di sabuk perkebunan sumatera 1870-1979, Yogyakarta : Karsa, 2005, hlm. 57
Dengan begini maka mereka bebas untuk melaksanakan pertunjukan wayang kulit. Selain itu juga mereka mengadakan pertunjukan kesenian wayang kulit
ini adalah untuk menaruh perhatian dari berbagai etnis yang ada di Medan agar
Universitas Sumatera Utara
dari hasil pertunjukan ini mereka akan mendapatkan upah untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka di samping itu juga agar mereka
tetap dapat mempertahankan kesenian tradisional asli masyarakat Jawa. Umumya jika dilihat dari tempat tinggal orang-orang Jawa yang
berada di luar perkebunan, mereka selalu meminta keselamatan dimanapun mereka berada dengan cara mengadakan acara bersih desa yang dilakukan
dengan menggelar pertunjukan kesenian tradisional wayang kulit. Karena pada dasarnya kesenian ini bukan sarana hiburan namun lebih kepada acara adat
yang bersifat sakral. Oleh karena itu dimanapun mereka bertempat tinggal dan telah membentuk sub kelas baru, mereka khususnya orang-orang Jawa ini tetap
melaksanakan acara bersih desa agar daerah atau wilayah tempat tinggal mereka selalu dilindungi dari ancaman yang datang dari luar ataupun dalam
seperti bencana alam, roh-roh jahat yang mengganggu kelangsungan hidup mereka. Maka dari itu tidak heran apabila kesenian wayang kulit ini cepat
tersebar luas ke pelosok penjuru kota Medan, khususnya wilayah yang banyak didiami oleh orang-orang Jawa.
3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan