Latar Belakang Permasalahan PENUTUP

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud di sini adalah suatu sifat “tidak kekal” yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Sifat tidak kekal termaksud, selalu meliputi dan menyertai manusia, baik ia sebagai pribadi, maupun ia dalam kelompok atau dalam bagian kelompok masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat di ramalkan lebih dahulu secara tepat. Sehingga dengan demikian keadaan termaksud tidak akan pernah memberikan rasa pasti. Karena tidak adanya suatu kepastian, tentu saja akhirnya sampai pada suatu keadaan yang tidak pasti pula. Keadaan tidak pasti tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa, yang biasanya selalu dihindari. Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai risiko. 1 Pada sisi yang lain, manusia sebagai makhluk Tuhan di anugerahi berbagai kelebihan. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang lebih dari makhluk lain mencari daya upaya guna mengatasi rasa tidak aman tadi sehingga ia merasa menjadi aman. Dengan daya upayanya tersebut manusia berusaha bergerak dari ketidakpastian menjadi suatu kepastian, sehingga ia selalu dapat menghindarkan atau mengatasi risiko-risikonya, baik secara individual atau bersama-sama. 2 1 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta; Sinar Grafika, 2008 hal 2. 2 Ibid. Universitas Sumatera Utara Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak pasti tadi, antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindari, atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya sendiri. Upaya atau usaha manusia untuk mengurangi, menghindarkan risikonya itu sudah lama dilakukan. Usaha itu dimulai sejak permulaan kegiatan ekonomi manusia, yaitu sejak manusia melakukan kegiatan perdagangan yang sederhana. Usaha-usaha manusia untuk mengatasi risiko dengan cara melimpahkannya kepada pihak lain beserta proses pertumbuhannya, dikenal oleh peradaban atau manusia, baik di dunia bagian Timur maupun Tengah pada abad-abad awal sebelum Masehi. 3 Usaha dan upaya manusia untuk menghindari dan melimpahkan merupakan risikonya kepada pihak lain beserta proses pelimpahan sebagai suatu kegiatan itulah yang merupakan embrio atau cikal bakal perasuransian yang dikelola sebagai suatu kegiatan ekonomi yang rumit sampai saat ini. 4 Kegiatan dan hasil peradaban dan kebudayaan manusia mengatasi risiko terungkapkan mencapai titik permulaan kurang lebih 3000 sampai 4000 tahun sebelum Masehi, yaitu pada masa kejayaan Babilonia, yang diperkirakan berada di kawasan sungai tigris dan daratan euphrat, yaitu sekitar kawasan Irak sekarang. Meskipun demikian oleh R.L Carter dikatakan bahwa sesungguhnya asal usul asuransi dan reasuransi itu merupakan suatu misteri. Secara tidak tegas disebutkan bahwa usaha-usaha reasuransi dan asuransi itu bermula dari usaha-usaha komersial yang telah dilakukan manusia. Olehnya selanjutnya diberikan suatu gambaran konkret pada keadaan di daratan cina pada sekian abad sebelum masehi. Para saudagar cina biasanya dalam melakukan kegiatan dagangannya, terutama dalam mengangkut barang-barang dagangannya, selalu menggunakan beberapa kapal selama melayari sungai Hoang Hoo, dan tidak pada satu kapal saja. Hal ini dilakukan ialah dalam rangka membagi dan atau mengurangi risiko yang mungkin timbul, agar tidak berada pada satu posisi saja. Dengan demikian apabila terjadi 3 Ibid, hal 3. 4 Ibid. Universitas Sumatera Utara kerugian karena bahaya dalam dan selama pelayaran tidak menyebabkan kerugian yang fatal sifatnya. Dengan demikian dapat diikuti adanya kenyataan bahwa sesungguhnya manusia itu selalu berupaya mencari “siapa’’ yang bersedia menerima pelimpahan risikonya itu. Siapa, dalam hal ini dan sejarah membuktikan bahwa pelimpahan risiko itu hanya di tangani oleh satu lembaga ialah lembaga asuransi. 5 Suatu lembaga atau suatu institusi pada hakikatnya dan ada di tengah-tengah masyarakat yang masing-masing mempunyai tugas sendiri, sesuai dengan maksud dan tujuan dari tiap lembaga yang bersangkutan. Lembaga yang merupakan organ masyarakat merupakan “sesuatu” yang keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas sosial dan kebutuhan khusus masyarakat. Jadi keberadaan suatu lembaga itu sebenarnya tidak untuk memenuhi kepentingan dari lembaga itu sendiri atau kelompok orang tertentu dan apalagi untuk kepentingan perorangan. Karena Pada hakikatnya lembaga itu bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanyalah suatu sarana belaka untuk suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Perbedaan antara lembaga yang satu dengan yang lain, terletak pada tujuan dan tugas-tugas khusus serta fungsi-fungsi yang khas yang melekat pada lembaga itu sendiri masing- masing. 6 Perusahaan, sebagai suatu lembaga ekonomi mempunyai ciri yang lebih khusus, yaitu membuat karya ekonomi sebagai tugas dan tujuannya. Sebagai lembaga ekonomi, maka perusahaan mempunyai tugas, dan tanggung jawab ekonomi yang bersumber pada dan harus dimulai dari tujuan perusahaan itu sendiri. Karena tujuan itu selalu berada di luar perusahaan, maka sebenarnya tujuan perusahaan itu tidak lain adalah menciptakan pelanggan. Pelanggan merupakan dasar dari perusahaan dan ialah yang melestarikan adanya keberadaan suatu perusahaan, karena ia pulalah yang memberikan pekerjaan bagi perusahaan. Sedangkan pelanggan selalu membutuhkan adanya kepuasan tertentu guna memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian dapat dimengerti pendapat P.F. 5 Ibid, hal 4. 6 Ibid. Universitas Sumatera Utara Drucker yang menyatakan bahwa pada hakikatnya perusahaan itu mempunyai dua fungsi pokok saja yaitu pemasaran dan pembaharuan. 7 Lembaga atau institusi yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi, dalam hal ini adalah perusahaan- perusahaan asuransi. Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, perusahaan asuransi mempunyai peranan dan jangkauan yang sangat luas, karena Perusahaan Asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan- kepentingan ekonomi maupun kepentingan-kepentingan sosial. Disamping itu ia juga dapat menjangkau baik kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan-kepentingan masyarkat luas, baik risiko individu maupun risiko- risiko kolektif. 8 Pada dasarnya Perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka mengadakan penawaran atau menawarkan suatu perlindungan atau proteksi serta harapan pada masa yang akan datang kepada individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat atau institusi-institusi lain, atas kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti. Di samping itu perusahaan asuransi dapat pula memberikan jaminan atas kelangsungan kehidupan perusahaan-perusahaan dari kerugian ekonomi. Disamping itu perusahaan asuransi juga memberikan jaminan atas terpenuhinya pendapatan seseorang, karena tempat di mana yang bersangkutan bekerja tetap terjamin kelangsungan kehidupannya. Dengan demikian perusahaan asuransi dapat pula memberikan rasa aman dan pasti atas suatu pendapatan yang pasti dan tetap bagi anggota masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan kehadiran perusahaan asuransi dalam masyarakat itu jauh lebih bermanfaat bagi semua pihak dibandingkan dengan ketidakhadirannya. 9 Selain mengenai fungsi dan tujuannya bentuk perbankan juga mulai berkembang, yaitu munculnya sebuah asuransi yang berdasarkan syariah islam, 7 Ibid. 8 Ibid, hal 6. 9 Ibid, hal 7. Universitas Sumatera Utara yang disebut asuransi takaful atau asuransi syariah. Pengertian asuransi dalam konteks perusahaan asuransi menurut syariah atau asuransi islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasiliator hubungan struktural antara peserta penyetor premi penanggung dengan peserta penerima pembayaran klaim tertanggung. Secara umum asuransi islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan As-sunah. 10 Dalam terjemahan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful bahasa arab, ta’min bahasa arab dan islamic insurance bahasa inggris. Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam praktiknya istilah yang paling popular digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa Negara termasuk Indonesia adalah istilah Takaful. Istilah takaful ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Geneva yang berdiri pada tahun 1983. 11 Apabila kita memasukkan asuransi takaful kedalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung risiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing- masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung risiko tersebut. 10 H. A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat Sebuah Pengenalan, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002 hal 120. 11 Gemala dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, Jakarta; Kencana, 2006 hal 136. Universitas Sumatera Utara Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, dimana dalam asuransi konvensional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. 12 Asuransi syariah juga mengarah kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat. Hakikat asuransi secara islami adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau bantu-membantu dan saling melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariat, karena prinsip- prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesame manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana firman Allah Taala dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesumgguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” 13 Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata 12 Ibid, hal 137. 13 Ibid, hal 142. Universitas Sumatera Utara lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 21DSN-MUIX2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah. Fatwa dari Dewan Syariah Nasional DSN MUI tidak mempunyai kekuatan hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan dalam Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah. Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu: 1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426KMK.062003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. 2. Keputusan Menteri Keuangan Republik IndonesiaNomor 424KMK.062003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. Universitas Sumatera Utara 3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499LK2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Berdasarkan peraturan ini, jenis investasi bagi perusahaan asuransi dan perusaahaan reasuransi dengan prinsip syariah terdiri dari: a. Deposito dan sertifikat deposito syariah; b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia; c. Saham syariah yang tercatat di bursa efek; d. Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek; e. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah f. Unit penyertaan reksadana syariah; g. Penyertaan langsung syariah; h. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi; i. Pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema murabahah jualbeli dengan pembayaran ditangguhkan; j. Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah bagi hasil; k. Pinjaman polis. Dari peraturan perundang-undangan yang ada tersebut dapat dilihat adanya kemajuan perangkat pengaturan asuransi syariah, namun belum cukup untuk mengakomodasi kegiatan perasuransian syariah di Indonesia terutama jika dibandingkan dengan perbankan syariah yang kerangka dan perangkat pengaturannya lebih baik. 14 Meskipun demikian, pada dasarnya pelaksanaan sistem konvensional dan sistem syariah hampir sama karena kedua sistem ini harus mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun, kedua sistem ini juga memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, khususnya dalam hal penerapan sistem bunga dalam 14 Pengaturan mengenai perbankan syariah diatur secara tersendiri dan terinci dalam SK BI3236KepDir tanggal 12 mei 1998 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah dan SK BI3234KepDir tanggal 12 mei 1998 tentang Bank Pengkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah tanggal 12 mei 1998. Universitas Sumatera Utara asuransi konvensional dan prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem konvensional dan syariah tersebut khususnya dalam hal penerapan sistem bunga pada asuransi konvensional dan sistem bagi hasil pada asuransi syariah, mendorong penulis untuk membahasnya dan memilih judul, dengan mengambil studi kasus pada PT Prudential Life Assurance Medan.

B. Perumusan Masalah