Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada PT Prudential Life Assurance (Asuransi Syariah) Dan Sistem Bunga (Asuransi Konvensional).

(1)

PELAKSANAAN SISTEM BAGI HASIL PADA PT PRUDENTIAL

LIFE ASSURANCE (ASURANSI SYARIAH) DAN SISTEM

BUNGA (ASURANSI KONVENSIONAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Oleh :

Sarjana Hukum

NIM : 060200148

FHEBY THEA ANGGRENY HSB

Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata Dagang

Disetujui, Ketua Jurusan

NIP. 196603031985081001 (Hasim Purba S.H., M.Hum.)

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ramlan Y. Rangkuti M.A) (Zulfi Chairi S.H., M.Hum. NIP. 195103171980031002 NIP. 197108012001122006

)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan sebagian syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum jurusan Hukum Perdata Dagang (S1) di Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada PT Prudential Life Assurance (Asuransi Syariah) Dan Sistem Bunga (Asuransi Konvensional)”. Pemilihan judul ini didasari oleh rasa ketertarikan penulis tentang masalah penerapan sistem bunga pada perasuransian konvensional dan pelaksanaan prinsip bagi hasil pada perasuransian syariah yang berkembang pesat akhir-akhir ini.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada di lingkungan pendidikan hukum. Sebuah pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan penulisan skripsi ini. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungannya baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluargaku tercinta, mami Sonya Pulungan, Papi Rahmat Hidayat Hsb, adik Claery Pranayuda Hsb, yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang yang begitu besar kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kalian penulis bukan berarti apa-apa.

2. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum


(3)

3. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH., M.S, selaku Ketua Jurusan Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ramlan Y. Rangkuti, M.A selaku dosen pembimbing I penulis, dan Ibu Zulfi Chairi, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing II penulis, yang mana telah memberikan saran-saran serta pengarahan kepada penulis disaat melakukan penulisan skripsi ini, dan yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Ibu Dr. Sunarmi SH., M.Hum selaku dosen penasihat akademik penulis, yang penulis anggap sebagai orangtua penulis selama berada di fakultas hukum, yang selalu memotivasi penulis dalam dunia akademik.

6. Ibu Puspa Melati SH., M.Hum selaku dosen jurusan Keperdataan Dagang, yang telah banyak membantu penulis pada saat mengikuti mata kuliah hukum dagang.

7. Semua dosen-dosen Fakultas Hukum USU yang dengan ikhlas mencurahkan ilmu-ilmunya kepada penulis.

8. Keluarga besar Hasibuan dan Pulungan, terimakasih atas dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis baik moril maupun materil selama ini.

9. Budhi Prasetyo yang selalu menghibur, menemani, mengingatkan, membantu dan mendukung penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dan yang selalu sabar mendengarkan keluh kesah penulis. Terimakasih telah menjadi bagian hidupku selama 4 tahun lebih di kampus ini. You are my guardian angel.

10. Pacar, sahabat-sahabat terbaikku Deasy Avriesta Sembiring, Layla Maysaroh, Hanisa Astri, Bembenk, Rahmat. Serta teman-teman seperjuangan di fakultas hukum yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

11. Pegawai-pegawai fakultas hukum terutama bagian pendidikan maupun perpustakaan yang telah banyak membantu penulis selama kuliah dan penyusunan skripsi ini.


(4)

Terimakasih banyak untuk semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan dari semua pihak, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, November 2011


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Judul ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI ASURANSI A. Dasar Hukum Asuransi ... 17

B. Tujuan Asuransi ... 23

C. Prinsip-Prinsip Dasar Perjanjian Asuransi ... 30

D. Dasar Hukum Asuransi Syariah ... 35

E. Tujuan Asuransi Syariah ... 42

F. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah ... 44

BAB III : PELAKSANAAN SISTEM BAGI HASIL PADA ASURANSI SYARIAH DAN SISTEM BUNGA PADA ASURANSI KONVENSIONAL A. Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada PT Prudential Medan ... 49

B. Pelaksanaan Sistem Bunga Pada PT Prudential Medan ... 60

C. Pelaksanaan Sistem Yang Lebih Menguntungkan Bagi Perusahaan (Penanggung) dan Pemegang Polis (Tertanggung) ... 95


(6)

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 107 B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110 LAMPIRAN


(7)

ABSTRAK

Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat di ramalkan lebih dahulu secara tepat. Keadaan tidak pasti tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa, yang biasanya selalu dihindari. Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai risiko.

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil (asuransi syariah) dan sistem bunga (asuransi konvensional) pada PT Prudential Life Assurance. Dan pelaksanaan sistem mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pemegang polis.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data-data yang terdapat dalam praktek, metode pengumpulan bahan ini dilakukan dengan metode pendekatan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dimana penelitian terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaedah Disamping itu digunakan juga pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian dilakukan dengan mempelajari hukum sebagai gejala sosial biasa, sama dengan gejala sosial lainnya, yang kemudian didukung dengan data primer yang diperoleh dari wawancara asuransi yang bersangkutan.

Pelaksanaan sistem bagi hasil pada asuransi syariah khususnya pada PT Prudential dapat dilihat bahwa penggunaan sistem bagi hasil tidak digunakan pada keseluruhan produk yang dikeluarkan oleh asuransi syariah, baik itu produk pendanaan maupun produk pembiayaan. Hal ini dikarenakan sistem bagi hasil itu sendiri adalah merupakan bagian dari prinsip syariah yang diterapkan pada asuransi konvensional.


(8)

ABSTRAK

Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat di ramalkan lebih dahulu secara tepat. Keadaan tidak pasti tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa, yang biasanya selalu dihindari. Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai risiko.

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil (asuransi syariah) dan sistem bunga (asuransi konvensional) pada PT Prudential Life Assurance. Dan pelaksanaan sistem mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pemegang polis.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data-data yang terdapat dalam praktek, metode pengumpulan bahan ini dilakukan dengan metode pendekatan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dimana penelitian terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaedah Disamping itu digunakan juga pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian dilakukan dengan mempelajari hukum sebagai gejala sosial biasa, sama dengan gejala sosial lainnya, yang kemudian didukung dengan data primer yang diperoleh dari wawancara asuransi yang bersangkutan.

Pelaksanaan sistem bagi hasil pada asuransi syariah khususnya pada PT Prudential dapat dilihat bahwa penggunaan sistem bagi hasil tidak digunakan pada keseluruhan produk yang dikeluarkan oleh asuransi syariah, baik itu produk pendanaan maupun produk pembiayaan. Hal ini dikarenakan sistem bagi hasil itu sendiri adalah merupakan bagian dari prinsip syariah yang diterapkan pada asuransi konvensional.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud di sini adalah suatu sifat “tidak kekal” yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Sifat tidak kekal termaksud, selalu meliputi dan menyertai manusia, baik ia sebagai pribadi, maupun ia dalam kelompok atau dalam bagian kelompok masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat di ramalkan lebih dahulu secara tepat. Sehingga dengan demikian keadaan termaksud tidak akan pernah memberikan rasa pasti. Karena tidak adanya suatu kepastian, tentu saja akhirnya sampai pada suatu keadaan yang tidak pasti pula. Keadaan tidak pasti tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa, yang biasanya selalu dihindari. Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai risiko.1

Pada sisi yang lain, manusia sebagai makhluk Tuhan di anugerahi berbagai kelebihan. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang lebih dari makhluk lain mencari daya upaya guna mengatasi rasa tidak aman tadi sehingga ia merasa menjadi aman. Dengan daya upayanya tersebut manusia berusaha bergerak dari ketidakpastian menjadi suatu kepastian, sehingga ia selalu dapat menghindarkan atau mengatasi risiko-risikonya, baik secara individual atau bersama-sama.2

1 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta; Sinar Grafika, 2008) hal 2.

2


(10)

Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak pasti tadi, antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindari, atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya sendiri. Upaya atau usaha manusia untuk mengurangi, menghindarkan risikonya itu sudah lama dilakukan. Usaha itu dimulai sejak permulaan kegiatan ekonomi manusia, yaitu sejak manusia melakukan kegiatan perdagangan yang sederhana. Usaha-usaha manusia untuk mengatasi risiko dengan cara melimpahkannya kepada pihak lain beserta proses pertumbuhannya, dikenal oleh peradaban atau manusia, baik di dunia bagian Timur maupun Tengah pada abad-abad awal sebelum Masehi.3

Usaha dan upaya manusia untuk menghindari dan melimpahkan merupakan risikonya kepada pihak lain beserta proses pelimpahan sebagai suatu kegiatan itulah yang merupakan embrio atau cikal bakal perasuransian yang dikelola sebagai suatu kegiatan ekonomi yang rumit sampai saat ini.4

Kegiatan dan hasil peradaban dan kebudayaan manusia mengatasi risiko terungkapkan mencapai titik permulaan kurang lebih 3000 sampai 4000 tahun sebelum Masehi, yaitu pada masa kejayaan Babilonia, yang diperkirakan berada di kawasan sungai tigris dan daratan euphrat, yaitu sekitar kawasan Irak sekarang. Meskipun demikian oleh R.L Carter dikatakan bahwa sesungguhnya asal usul asuransi dan reasuransi itu merupakan suatu misteri. Secara tidak tegas disebutkan bahwa usaha-usaha reasuransi dan asuransi itu bermula dari usaha-usaha komersial yang telah dilakukan manusia. Olehnya selanjutnya diberikan suatu gambaran konkret pada keadaan di daratan cina pada sekian abad sebelum masehi. Para saudagar cina biasanya dalam melakukan kegiatan dagangannya, terutama dalam mengangkut barang-barang dagangannya, selalu menggunakan beberapa kapal selama melayari sungai Hoang Hoo, dan tidak pada satu kapal saja. Hal ini dilakukan ialah dalam rangka membagi dan atau mengurangi risiko yang mungkin timbul, agar tidak berada pada satu posisi saja. Dengan demikian apabila terjadi

3

Ibid, hal 3.

4


(11)

kerugian karena bahaya dalam dan selama pelayaran tidak menyebabkan kerugian yang fatal sifatnya. Dengan demikian dapat diikuti adanya kenyataan bahwa sesungguhnya manusia itu selalu berupaya mencari “siapa’’ yang bersedia menerima pelimpahan risikonya itu. Siapa, dalam hal ini dan sejarah membuktikan bahwa pelimpahan risiko itu hanya di tangani oleh satu lembaga ialah lembaga asuransi.5

Suatu lembaga atau suatu institusi pada hakikatnya dan ada di tengah-tengah masyarakat yang masing-masing mempunyai tugas sendiri, sesuai dengan maksud dan tujuan dari tiap lembaga yang bersangkutan. Lembaga yang merupakan organ masyarakat merupakan “sesuatu” yang keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas sosial dan kebutuhan khusus masyarakat. Jadi keberadaan suatu lembaga itu sebenarnya tidak untuk memenuhi kepentingan dari lembaga itu sendiri atau kelompok orang tertentu dan apalagi untuk kepentingan perorangan. Karena Pada hakikatnya lembaga itu bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanyalah suatu sarana belaka untuk suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Perbedaan antara lembaga yang satu dengan yang lain, terletak pada tujuan dan tugas-tugas khusus serta fungsi-fungsi yang khas yang melekat pada lembaga itu sendiri masing-masing.6

Perusahaan, sebagai suatu lembaga ekonomi mempunyai ciri yang lebih khusus, yaitu membuat karya ekonomi sebagai tugas dan tujuannya. Sebagai lembaga ekonomi, maka perusahaan mempunyai tugas, dan tanggung jawab ekonomi yang bersumber pada dan harus dimulai dari tujuan perusahaan itu sendiri. Karena tujuan itu selalu berada di luar perusahaan, maka sebenarnya tujuan perusahaan itu tidak lain adalah menciptakan pelanggan. Pelanggan merupakan dasar dari perusahaan dan ialah yang melestarikan adanya keberadaan suatu perusahaan, karena ia pulalah yang memberikan pekerjaan bagi perusahaan. Sedangkan pelanggan selalu membutuhkan adanya kepuasan tertentu guna memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian dapat dimengerti pendapat P.F.

5

Ibid, hal 4.

6


(12)

Drucker yang menyatakan bahwa pada hakikatnya perusahaan itu mempunyai dua fungsi pokok saja yaitu pemasaran dan pembaharuan.7

Lembaga atau institusi yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi, dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan asuransi. Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan asuransi mempunyai peranan dan jangkauan yang sangat luas, karena Perusahaan Asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan sosial. Disamping itu ia juga dapat menjangkau baik kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan-kepentingan masyarkat luas, baik risiko individu maupun risiko-risiko kolektif.8

Pada dasarnya Perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka mengadakan penawaran atau menawarkan suatu perlindungan atau proteksi serta harapan pada masa yang akan datang kepada individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat atau institusi-institusi lain, atas kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti. Di samping itu perusahaan asuransi dapat pula memberikan jaminan atas kelangsungan kehidupan perusahaan-perusahaan dari kerugian ekonomi. Disamping itu perusahaan asuransi juga memberikan jaminan atas terpenuhinya pendapatan seseorang, karena tempat di mana yang bersangkutan bekerja tetap terjamin kelangsungan kehidupannya. Dengan demikian perusahaan asuransi dapat pula memberikan rasa aman dan pasti atas suatu pendapatan yang pasti dan tetap bagi anggota masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan kehadiran perusahaan asuransi dalam masyarakat itu jauh lebih bermanfaat bagi semua pihak dibandingkan dengan ketidakhadirannya.9

Selain mengenai fungsi dan tujuannya bentuk perbankan juga mulai berkembang, yaitu munculnya sebuah asuransi yang berdasarkan syariah islam,

7

Ibid.

8

Ibid, hal 6.

9


(13)

yang disebut asuransi takaful atau asuransi syariah. Pengertian asuransi dalam konteks perusahaan asuransi menurut syariah atau asuransi islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasiliator hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan As-sunah.10

Dalam terjemahan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa arab), ta’min (bahasa arab) dan islamic insurance (bahasa inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam praktiknya istilah yang paling popular digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa Negara termasuk Indonesia adalah istilah Takaful. Istilah takaful ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Geneva yang berdiri pada tahun 1983.11

Apabila kita memasukkan asuransi takaful kedalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung risiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung risiko tersebut.

10

H. A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah

Pengenalan), (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal 120. 11

Gemala dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di


(14)

Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, dimana dalam asuransi konvensional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.12

Asuransi syariah juga mengarah kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.

Hakikat asuransi secara islami adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau bantu-membantu dan saling melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariat, karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesame manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana firman Allah Taala dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesumgguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

13

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata

12

Ibid, hal 137.

13


(15)

lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah.

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi syariah. Fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tidak mempunyai kekuatan hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan dalam Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah.

Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:

1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik IndonesiaNomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.


(16)

3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Berdasarkan peraturan ini, jenis investasi bagi perusahaan asuransi dan perusaahaan reasuransi dengan prinsip syariah terdiri dari:

a. Deposito dan sertifikat deposito syariah; b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;

c. Saham syariah yang tercatat di bursa efek; d. Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek;

e. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah f. Unit penyertaan reksadana syariah;

g. Penyertaan langsung syariah;

h. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi;

i. Pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema murabahah (jualbeli dengan pembayaran ditangguhkan);

j. Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil); k. Pinjaman polis.

Dari peraturan perundang-undangan yang ada tersebut dapat dilihat adanya kemajuan perangkat pengaturan asuransi syariah, namun belum cukup untuk mengakomodasi kegiatan perasuransian syariah di Indonesia terutama jika dibandingkan dengan perbankan syariah yang kerangka dan perangkat pengaturannya lebih baik.14

Meskipun demikian, pada dasarnya pelaksanaan sistem konvensional dan sistem syariah hampir sama karena kedua sistem ini harus mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun, kedua sistem ini juga memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, khususnya dalam hal penerapan sistem bunga dalam

14

Pengaturan mengenai perbankan syariah diatur secara tersendiri dan terinci dalam SK BI/32/36/Kep/Dir tanggal 12 mei 1998 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah dan SK BI/32/34/Kep/Dir tanggal 12 mei 1998 tentang Bank Pengkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah tanggal 12 mei 1998.


(17)

asuransi konvensional dan prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem konvensional dan syariah tersebut khususnya dalam hal penerapan sistem bunga pada asuransi konvensional dan sistem bagi hasil pada asuransi syariah, mendorong penulis untuk membahasnya dan memilih judul, dengan mengambil studi kasus pada PT Prudential Life Assurance Medan.

B.Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimanakah pelaksanaan sistem bagi hasil (asuransi syariah) PT Prudential Life Assurance.

2. Bagaimanakah pelaksanaan sistem bunga (asuransi konvensional) pada PT Prudential Life Assurance.

3. Pelaksanaan sistem manakah yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pemegang polis.

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan dari sistem bagi hasil pada lembaga perasuransian.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan dari sistem bunga pada lembaga perasuransian.

3. Untuk mengetahui mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pemegang polis dari penerapan sistem bagi hasil pada asuransi syariah dan sistem bunga pada asuransi konvensional.


(18)

1. Bagi masyarakat diharapkan dengan tulisan ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang sistem bagi hasil pada asuransi syariah dan sistem bunga pada asuransi konvensional sehingga dapat menentukan pilihannya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan ilmu hukum dalam bidang perasuransian sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembinaan hukum dimasa yang akan datang.

D.Keaslian judul

Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri dengan masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan ini, karena melihat fenomena perkembangan asuransi yang begitu pesat baik itu asuransi konvensional maupun asuransi syariah. Skripsi ini belum pernah dibuat oleh mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya, kalaupun ada kesamaan, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan tentunya dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda, seperti :

1. Judul skripsi “Perbandingan Asuransi Takaful dengan Asuransi Konvensional dalam Praktek” ditulis oleh Yani Mirsa P. RG NIM 990200196 Fakultas Hukum USU, pembahasan skripsi ini mengenai bagaimana perbandingan dari kedua asuransi tersebut dalam praktek dan manakah yang lebih menguntungkan.

2. Judul skripsi “Perbandingan Sistem Bunga pada Perbankan Konvensional dengan Prinsip Bagi hasil pada Perbankan Syariah” ditulis oleh Fitri Zakiyah NIM 040200160 Fakultas Hukum USU, pembahasan skripsi ini mengenai bagaimana perbandingan sistem bunga pada perbankan konvensional dan prinsip bagi hasil pada perbankan syariah dan apa kelebihan serta kekurangannya.

Penulisan ini juga dilengkapi adanya kutipan-kutipan dari beberapa sumber yang disebutkan diatas dengan tidak bermaksud untuk mengurangi manfaat, tujuan, dan keaslian dari penulisan ini.


(19)

E.Tinjauan Kepustakaan

Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.15 Pengertian lain dari asuransi adalah suatu persetujuan dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.16

“Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seorang atau badan hukum pada pihak lain, yang dalam undang-undang ini disebut penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha Berdasarkan prinsip kerja asuransi, asuransi itu ada yang konvensional dan ada yang berdasarkan prinsip syariah. Asuransi syariah berdasarkan sistem bagi hasil, yaitu prinsip muamalat berdasarkan syariat Islam dalam melakukan kegiatan usaha perasuransian tersebut. Adapun pengertian bagi hasil atau perjanjian bagi hasil di Indonesia adalah mengacu pada konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah pertanian yang sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia asli dan telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam ketentuan pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa:

15

Pasal 1 Undang-undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.

16


(20)

pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.”17

Jadi, secara ringkas dapat dikatakan, bahwa perjanjian bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah dengan upah, berupa sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu. Dalam perkembangannya perjanjian bagi hasil ini juga dikenal di lapangan perasuransian, dengan istilah tabarru’. Dimana defenisi dari tabarru’ adalah sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi lainnya. Dengan adanya dana tabarru’ dari para peserta asuransi syariah ini maka semua dana untuk menanggung risiko dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan demikian kontrak polis pada asuransi syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung risiko, bukan perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional. Oleh karena dana-dana yang terhimpun dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara baik dari segi administratif maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai operator yang bertugas mengelola dana-dana tersebut secara baik.18

Sementara asuransi konvensional berdasarkan sistem bunga, dimana pengertian bunga adalah balas jasa yang diberikan oleh asuransi yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (tertanggung) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada perusahaan asuransi (penanggung). Pendapatan atau hasil yang diterima peserta atau perusahaan didasarkan atas perjanjian dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, pendapatan dapat ditentukan di awal periode perjanjian dengan persentase bunga tertentu. Prinsip bisnis yang diterapkan atas dasar untung atau

17

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta; Citra Media., 2006) hal 60.

18

PT Prudential Life Assurance, Materi PRUfast start, (Jakarta; PRUsales Academy, 2008) hal 87.


(21)

rugi. Perusahaan akan mendapatkan untung besar jika kegiatan bisnisnya berhasil, sementara nasabah atau peserta akan mendapatkan persentase penghasilan tetap, tidak menjadi lebih besar. Sebaliknya, jika perusahaan mengalami kerugian perusahaan akan mendapatkan kesulitan. Namun, peserta atau nasabah tidak akan merasakan kesusahan karena tetap akan mendapatkan penghasilan sebesar persentase yang telah ditetapkan di depan.19

F. Metode Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data-data yang terdapat dalam praktek, metode-metode pengumpulan bahan ini antara lain :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dimana penelitian terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaedah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaedah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat, yang kemudian didukung dengan data-data sekunder yang diperoleh dari buku-buku, hasil-hasil penelitian, surat kabar, makalah, dan sebagainya. Disamping itu digunakan juga pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian dilakukan dengan mempelajari hukum sebagai gejala sosial biasa, sama dengan gejala sosial lainnya, yang kemudian didukung dengan data primer yang diperoleh dari wawancara asuransi yang bersangkutan dan juga pengamatan berdasarkan gejala-gejala yang ada di masyarakat.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif, artinya bahwa penelitian ini nantinya dapat memberikan data yang seteliti mungkin tentang sistem yang terdapat pada kedua bentuk asuransi yaitu sistem bagi hasil pada asuransi syariah dan sistem bagi hasil

19

Amrin Abdullah, Asuransi Syariah Keberadaannya dan Kelebihannya di Tengah


(22)

pada asuransi konvensional, sehingga dapat menggambarkan perbandingan antara kedua sistem tersebut.

3. Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada PT Prudential Life Assurance cabang Medan, yang beralamat di jalan Adam Malik Medan provinsi Sumatera Utara.

4. Data yang digunakan

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : a) Data Primer.

Adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni hasil dan wawancara yang diperoleh dari PT Prudential Life Assurance Medan.

b) Data Sekunder.

Yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumber pertama, yang meliputi:

1) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi. 2) Buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi.

3) Keterangan-keterangan yang berasal dari literatur.

4) Dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan judul penulisan.

5) Data dan studi yang diperoleh dari PT Prudential Life Assurance Medan. 5. Metode Pengumpulan Data

a) Library Research (Penelitian Pustaka).

Penelitian ini dirumuskan adalah mencari bahan-bahan atau data-data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan atau mentransfer buku-buku atau literatur, baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Keputusan lainnya, yang penulis anggap penting sebagai pendukung dalam pembuatan skripsi ini.

b) Field Research (Penelitian Lapangan).

Maksud dari penelitian ini adalah mengadakan penelitia langsung ke lapangan untuk mengetahui sejauh manakah teori, pedoman yang telah tersedia dapat diterapkan dilapangan ataupun apakah praktek yang terdapat


(23)

dilapangan telah sesuai dengan ketentuan yang ada atau terhadap kenyataan yang ada.

Misalnya dengan melakukan wawancara ataupun membuat daftar pertanyaan. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah pada PT Prudential Life Assurance Medan.

6. Alat Pengumpulan Data.

Data primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, didapat dengan menggunakan alat-alat pengumpul data sebagai berikut :

a. Wawancara.

Yaitu mengadakan komunikasi langsung secara verbal dengan instansi yang terkait untuk memperoleh informasi yang diperlukan.

b. Pengamatan.

Yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap perilaku masyarakat yang bersangkutan terkait dengan penulisan skripsi ini.

7. Analisa Data.

Analisa data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara menerangkan dan menjelaskan semua data yang diterima dan didapat dari sumber-sumber data. Semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

G.Sistematika Penulisan

Suatu penulisan ilmiah perlu dibatasi ruang lingkupnya, agar hasil yang akan diuraikan terarah dan data yang diperoleh relevan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan menghindari data yang membias.

Untuk mempermudah pemahaman seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka pembahasan penulisan ini mencakup 4 bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN.

Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi latar belakang permasalahan dari skripsi ini, merumuskan masalah yang menjadi pokok pembahasan, memaparkan tujuan dan manfaat dari


(24)

penulisan skripsi ini, keaslian judul dan tinjauan kepustakaan, juga mengenai metode dan sistematika penulisan dari skripsi ini.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI ASURANSI

Berisi uraian secara teoritis secara umum, yaitu membahas mengenai asuransi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang itu dan hal-hal lain yang berkaitan dengan asuransi.

BAB III : PELAKSANAAN SISTEM BAGI HASIL PADA ASURANSI SYARIAH DAN SISTEM BUNGA PADA ASURANSI KONVENSIONAL

Berisikan suatu masalah mengenai pelaksanaan sistem bagi hasil pada asuransi syariah dan sistem bunga pada asuransi konvensional pada praktek di lembaga keuangan asuransi serta mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pemegang polis.

BAB IV : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditarik berdasarkan hasil analisa data, dimana berdasarkan kesimpulan ini kemudian diberikan saran-saran yang dianggap dapat memberikan masukan untuk semua pihak, minimal dapat memperluas wacana dan wawasan berpikir pembaca.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI ASURANSI

A.Dasar Hukum Asuransi

Asuransi berasal dari kata verzekering (Belanda) yang berarti pertanggungan atau asuransi. Istilah pertanggungan umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia. Sedangkan istilah asuransi yang berasal dari istilah assurantie (Belanda) atau assurance (Inggris) banyak dipakai dalam praktik dunia bisnis. Dari istilah-istilah tersebut lahirlah istilah hukum pertanggungan atau hukum asuransi. Dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht dan dalam bahasa Inggris disebut Insurance Law.20

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau Defenisi asuransi diatur dalam Pasal 246 KUHD. Pasal tersebut menyatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak pasti.

Defenisi asuransi yang lebih lengkap yang mencakup baik asuransi kerugian maupun asuransi sejumlah uang dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang menyatakan:

20


(26)

untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Bila dikelompokkan, maka dasar pengaturan asuransi bisa dilihat dalam tiga kelompok peraturan perundang-undangan.

1. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Dalam KUHD ada dua cara pengaturan asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan pengaturan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab 9 Pasal 246-286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 Pasal 287-308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 592-695 KUHD, dengan rincian sebagai berikut:21

− Bagian pertama : mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran. Buku I Bab 9 : Mengatur tentang Asuransi pada umumnya.

Buku I Bab 10 : Mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran, terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian di sawah dan tentang asuransi jiwa.

Buku I Bab 10 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu :

− Bagian kedua : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian di sawah.

− Bagian ketiga : mengatur asuransi jiwa.

Buku II Bab 9 : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan bahaya-bahaya perbudakan.

Buku II Bab 9 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu :

− Bagian pertama : mengatur tentang bentuk dan isi asuransi.

− Bagian kedua : mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang diasuransikan.

− Bagian ketiga : mengatur tentang awal dan akhir bahaya.

21

Abdul muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-bentuk Perasuransian, (Medan; Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2005) hal 5.


(27)

− Bagian keempat : mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban penanggung dan tertanggung.

− Bagian kelima : mengatur tentang abandonemen.

− Bagian keenam : mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak makelar di dalam asuransi laut.

Buku II bab 10 : mengatur tentang asuransi terhadap bahaya-bahaya pengangkutan di darat dan sungai-sungai serta perairan pedalaman.

Pengaturan asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan yang didasarkan pada perjanjian antara tertanggung dan penanggung. Perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban dan hak tertanggung dan penanggung secara bertimbal balik. Sebagai perjanjian khusus, asuransi dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi.

Pengaturan asuransi dalam KUHD meliputi substansi berikut ini :22 a. Asas-asas asuransi;

b. Perjanjian asuransi; c. Unsur-unsur asuransi;

d. Syarat-syarat (klausula) asuransi; e. Jenis-jenis asuransi;

2. Dalam Undang-Undang Usaha Perasuransian

Saat ini terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan usaha atau bisnis perasuransian. Undang-undang dimaksud adalah UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 tanggal 11 Februari 1992.

Undang-undang ini mengutamakan pengaturan dari segi bisnis dan publik administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian

22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung; PT. Citra Aditya bakti, 2006) hal 18.


(28)

harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan Negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar maka pelanggaran tersebut diancam sanksi pidana dan sanksi administratif menurut undang-undang perasuransian. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992.23

Pengaturan usaha perasuransian dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 terdiri dari 13 (tiga belas) bab dan 28 (dua puluh delapan) pasal dengan rincian substansi sebagai berikut :24

a. Bidang usaha perasuransian meliputi kegiatan: 1) Usaha asuransi, dan

2) Usaha penunjang asuransi.

b. Jenis usaha perasuransian sebagai meliputi:

1) Usaha asuransi terdiri dari: asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi. 2) Usaha penunjang asuransi terdiri dari: pialang asuransi, pialang reasuransi,

penilai kerugian asuransi, konsultan aktuaria, dan agen asuransi. c. Perusahaan Perasuransian meliputi:

1) Perusahaan Asuransi Kerugian. 2) Perusahaan Asuransi Jiwa. 3) Perusahaan Reasuransi. 4) Perusahaan Pialang Asuransi. 5) Perusahaan Pialang Reasuransi.

6) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. 7) Perusahaan Konsultan Aktuaria. 8) Perusahaan Agen Asuransi.

d. Bentuk hukum usaha perasuransian terdiri dari: 1) Perusahaan Perseroan (Persero).

23

Ibid, hal 19.

24


(29)

2) Koperasi.

3) Perseroan Terbatas. 4) Usaha Bersama (mutual).

e. Kepemilikan Perusahaan Perasuransian oleh:

1) Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia.

2) Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia bersama dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada ghukum asing.

f. Perizinan usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan.

g. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan mengenai:

1) Kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi.

2) Penyelenggaraan usaha perasuransian dan modal usaha.

h. Kepailitan dan likuidasi Perusahaan Asuransi melalui keputusan Pengadilan Niaga.

i. Ketentuan sanksi pidana dan sanksi administratif meliputi:

1) Sanksi pidana karena kejahatan: menjalankan usaha perasuransian tanpa izin, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan kekayaan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, menerima atau menadah atau membeli kekayaan Perusahaan Asuransi hasil penggelapan, pemalsuan dokumen Perusahaan Asuransi, Reasuransi.

2) Sanksi administratif berupa: ganti kerugian, denda administratif, peringatan, pembatasan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha perusahaan.

3. Undang-Undang Asuransi Sosial

Asuransi sosial di Indonesia pada umumnya meliputi bidang jaminan keselamatan angkutan umum, keselamatan kerja, dan pemeliharaan kesehatan. Program asuransi sosial diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2


(30)

tahun 1992. Perundang-undangan yang mengatur asuransi sosial adalah sebagai berikut:25

a. Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Jasa Raharja):

1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.

2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965.

b. Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek):

1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1990 tentang Penyelenggaraan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977).

3) Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).

4) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (ASPNS).

c. Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan (Askes)

1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan Beserta Keluarganya.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Perundang-undangan Asuransi Sosial disamping Ketentuan Asuransi dalam KUHD, maka dianggap cukup memadai aturan hukum yang

25


(31)

mengatur tentang usaha perasuransian, baik dari segi keperdataan maupun dari segi publik administratif.

B.Tujuan Asuransi

Pada prinsipnya, asuransi bertujuan untuk mengalihkan atau membagi risiko. Tetapi dalam perkembangannya, tujuan itu kemudian dipecah menjadi tujuan yang bersifat sosial dan tujuan yang bersifat ekonomis. Tujuan yang bersifat sosial, meliputi kesejahteraan anggota dan keamanan sosial. Sedangkan tujuan yang bersifat ekonomis mencakup tujuan pengalihan risiko itu sendiri, kebutuhan akan ganti kerugian dan premi.

Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya benda itu, maupun karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab lainnya. Banyak diantara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan sudah diharapkan akan terjadinya. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi nilai benda itu mempunyai sifat yang tak dapat diharapkan lebih dahulu.26

Disebabkan kebakaran, maka benda seseorang akan hancur, karena kecurian, maka seseorang akan kehilangan barang-barang perhiasan, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya menderita kerugian yang lebih besar dari faktor-faktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang. Jika ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh

26

Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Asuransi, (Medan; Badan Penerbit STIE Tri Karya, 1994) hal 8.


(32)

orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya. Diantara orang yang khawatir akan menderita kerugian dengan orang yang mau menanggung kerugian itu diadakanlah perjanjian asuransi.27

1. Teori Mengalihkan atau Membagi Risiko

Adapun tujuan asuransi adalah sebagai berikut :

Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-sewaktu dapat terjadi.

Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban risiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi. Dalam dunia bisnis Perusahaan Asuransi selalu siap menerima tawaran dari pihak tertanggung untuk mengambil alih risiko dengan imbalan pembayaran premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung.

Berbeda dengan asuransi kerugian, pada asuransi jiwa apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri tertanggung, maka tertanggung akan memperoleh pengembalian sejumlah uang dari penanggung sesuai dengan isi perjanjian asuransi. Premi yang dibayar oleh tertanggung itu seolah-olah sebagai tabungan pada penanggung. Timbulnya perbedaan dengan asuransi kerugian karena

27


(33)

pembayaran premi pada asuransi jiwa dilakukan secara berkala biasanya secara bulanan. Dalam jangka waktu yang cukup lama premi yang disetor kepada penanggung dapat berfungsi sebagai modal usaha dengan mana tertanggung diberi hak untuk menikmati hasilnya setelah jangka waktu asuransi berakhir tanpa terjadi evenemen.28

a) Keahlian, yaitu dengan menjadi seorang ahli dalam menanggung risiko, maka perusahaan asuransi mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang risiko daripada para tertanggung.

Dengan menerima risiko dari tertanggung, perusahaan asuransi jelas akan menanggung risiko sendiri. Berkaitan dengan keadaan tersebut, timbul pertanyaan, mengapa perusahaan asuransi bersedia menerima hal tersebut? Hal demikian antara lain disebabkan pada dasarnya perusahaan asuransi itu memiliki keahlian untuk menerapkan teknik-teknik mengurangi risiko yang tidak terbuka bagi setiap pihak yang ditanggung dan karena itu membuat risiko yang dialihkan kepadanya dapat memberikan keuntungan baginya dari premi yang dikenakan.

Adapun teknik-teknik mengurangi atau memperkecil risiko tersebut pada dasarnya yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung adalah sebagai berikut :

b) Pengelompokan, yaitu menerapkan berlakunya bilangan besar (law of large number) dan membuat risiko lebih mudah untuk diramalkan dengan memakai data statistik yang dihimpunnya. Apabila kelompok risiko tidak cukup besar untuk meningkatkan daya peramalannya, para penanggung akan mengatur kelompok-kelompok antara perusahaan sehingga penyebarannya cukup luas untuk mengurangi penyimpangan kerugian-kerugian sebenarnya dari yang diperkirakan.

c) Pencegahan risiko, yakni apabila keadaan keuangan perusahaan asuransi cukup kuat, mereka dapat memperkuat atau menambah atau melengkapi sarana-sarana untuk mengurangi risiko yang oleh tertanggung tidak mau atau tidak mampu untuk mereka lakukan sendiri.

28


(34)

d) Melakukan pengalihan risiko lebih lanjut yaitu melalui lembaga reasuransi yang dimungkinkan oleh Pasal 271 KUHD.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa asuransi mempunyai fungsi atau tujuan untuk mengalihkan atau membagi risiko. Berkaitan dengan hal tersebut, William Jr. dan heins mengatakan “Insurance is a key tool of risk management”

Dari kalimat tersebut tersirat bahwa asuransi merupakan cara terbaik untuk mengelola risiko yang mungkin terjadi. Dapat diartikan pula bahwa risiko merupakan inti dari asuransi. Apabila kita berbicara mengenai asuransi, tidak akan dapat dilepaskan dari pembahasan tentang risiko yang ditanggungnya. Disamping itu, berdasarkan penelitian serta pendapat para sarjana antara lain Emmy Pangaribuan Simanjuntak dan Wirjono Prodjodikoro, dapat disimpulkan bahwa asuransi mempunyai peranan yang besar dalam menunjang kegiatan manusia ataupun perusahaan. Hal itu disebabkan asuransi memberikan beberapa manfaat, antara lain:

a) Ditutupnya perjanjian asuransi akan menciptakan rasa tentram kepada yang bersangkutan;

b) Adanya keberanian untuk menggalang tujuan yang lebih besar, dapat melahirkan rasa optimisme dalam meningkatkan usaha;

c) Asuransi merupakan dasar pertimbangan atau persyaratan dari pemberian kredit;

d) Asuransi merupakan alat untuk membentuk modal dan pendapatan untuk masa depan;

e) Dengan asuransi akan menaikkan efisiensi dan kegiatan perusahaan; f) Sebagai sarana jaminan sosial, dll.

2. Pembayaran Ganti Kerugian

Seiring dengan berkembangnya masyarakat, dan berubahnya orientasi hidup masyarakat yang cenderung konsumtif dan profit oriented, maka motif menutup asuransi saat ini tidak semata-mata untuk mengalihkan risiko apalagi untuk tujuan kesejahteraan anggota dan sosial. Dari sisi penanggung yang biasanya berbentuk


(35)

perusahaan badan hukum bahwa motif mengumpulkan premi (sebagai modal) merupakan tujuan utama didirikan asuransi. Sedangkan dari sisi tertanggung, motif menutup asuransi adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atau pengembalian sejumlah uang atau santunan.

Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan baik bagi penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika pada suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya, kerugian yang timbul itu bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya.

Jika dibandingkan dengan jumlah premi yang diterima dari beberapa tertanggung, maka jumlah ganti kerugian yang dibayarkan kepada tertanggung yang menderita kerugian itu tidaklah begitu besar jumlahnya. Kerugian yang diganti oleh penanggung itu hanya sebagian kecil dari jumlah premi yang diterima dari seluruh tertanggung. Dari sudut perhitungan ekonomi, keadaan ini merupakan faktor pendorong perkembangan Perusahaan Asuransi, disamping faktor tingginya pendapatan perkapita warga negara (warga masyarakat).

Berbeda dengan asuransi kerugian, pada asuransi jiwa apabila dalam jangka waktu asuransi terjadi peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri tertanggung, maka penanggung akan membayar jumlah asuransi yang telah disepakati bersama seperti tercantum dalam polis. Jumlah asuransi yang disepakati itu merupakan dasar perhitungan premi dan untuk memudahkan penanggung membayar sejumlah uang akibat terjadinya peristiwa kematian atau kecelakaan. Jadi, pembayaran sejumlah uang itu bukan sebagai ganti kerugian,


(36)

karena jiwa atau raga manusia bukan harta kekayaan dan tidak dapat dinilai dengan uang.

3. Pembayaran Santunan

Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dan tertanggung (voluntary Insurance). Akan tetapi, undang-undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya tertanggung terikat dengan penanggung karena perintah undang-undang, bukan karena perjanjian. Asuransi jenis ini disebut asuransi sosial (social security insurance). Asuransi sosial bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Dengan membayar sejumlah kontribusi (semacam premi), tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari ancaman bahaya.

Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung, mereka (atau ahli warisnya) akan memperoleh pembayaran santunan dari penanggung (BUMN), yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang-undang. Jadi, tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.

4. Kesejahteraan Anggota

Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan anggota perkumpulan berkedudukan sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayar


(37)

sejumlah uang kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan.29

1. Perusahaan Perseroan (Persero);

Asuransi seperti ini mirip dengan perkumpulan koperasi yang didasarkan pada prinsip saling menanggung. Asuransi saling menanggung lebih tepat jika dikelola oleh perkumpulan koperasi atau usaha bersama (mutual insurance) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anggotanya.

Setelah ditelaah dengan seksama, asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, tetapi hanya mempunyai unsur-unsur yang mirip dengan asuransi kerugian atau asuransi jumlah. Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (semacam premi oleh tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya, misalnya bantuan biaya upacara bagi anggota yang mengadakan selamatan, bantuan biaya penguburan bagi anggota yang meninggal dunia, dan biaya perawatan bagi anggota yang mengalami kecelakaan atau sakit.

Asuransi kesejahteraan seperti ini lebih sesuai apabila dikelola oleh perkumpulan Koperasi atau Usaha Bersama karena sesuai benar dengan asas dan tujuan keduan badan hukum tersebut. Kedua badan hukum ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 sebagai berikut:

“usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk:

2. Koperasi;

3. Perseroan Terbatas; 4. Usaha bersama (mutual)”.

Usaha Bersama semacam ini dalam praktek asuransi kini telah dilakukan dalam bentuk Asuransi Takaful (asuransi kesejahteraan) berdasarkan prinsip syariah islam, yang menghindari sistem bunga yang disebut riba. Asuransi Takaful merupakan alternatif yang dikembangkan oleh pengusaha islam yang menampung hasrat para peminat, mengingat sebagian besar anggota masyarakat Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu prospek Asuransi Takaful cukup cerah.

29


(38)

C.Prinsip-Prinsip Dasar Perjanjian Asuransi

Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada penegrtian dasar dari perjanjian. Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut:30

1. Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

2. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang sau (yang berpiutang atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. (yang berhubungan atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi.

Sebagai suatu perjanjian, asuransi juga tunduk pada ketentuan-ketentuan dasar yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) buku III bab Kedua. Asuransi dikatakan suatu perjanjian jelas ditentukan dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum dagang (K.U.H.D). Sebagai suatu perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :31

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, 3. Mengenai suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal.

Adapun prinsip-prinsip dasar perjanjian asuransi itu adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (Insurable Principle)

Dalam hukum asuransi, ditentukan bahwa apabila seseorang menutup perjanjian asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap

30

Sri Rejeki., Op Cit., hal 82.

31


(39)

obyek yang diasuransikannya. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 250 KUHD yang berbunyi :

“Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu perjanjian asuransi untuk diri sendiri, atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang diasuransikannya itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian”.

Jelas dari ketentuan diatas bahwa kepentingan merupakan syarat mutlak (essential vereiste) untuk dapat diadakan perjanjian asuransi. Bila hal itu tidak dipenuhi, penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian.

Menurut Molengraaff, kepentingan dirumuskan sebagai kekayaan atau bagian dari kekayaan tertanggung yang apabila terkena bencana dapat diterima, dengan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kekayaan dalam defenisi dimaksud harus diartikan secara luas. Hal itu berarti meliputi kekayaan yang dapat dinilai dengan uang atau tidak, baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Bertitik tolak dari rumusan demikian, hak dan kewajiban seseorang dapat merupakan kepentingan, sehingga dapat menjadi obyek asuransi.

Masalah selanjutnya adalah mengenai kapan kepentingan itu harus ada. Apabila memperhatikan Pasal 250 KUHD, jelas dikatakan bahwa kepentingan harus ada pada saat diadakan perjanjian asuransi. Akan tetapi, sebagian besar sarjana (Volmar, Dorhout Mees, dan Emmy Pangaribuan Simanjuntak) berpendapat bahwa pengertian kepentingan harus ada pada Pasal 250 KUHD, harus diartikan bukan waktu perjanjian asuransi diadakan, melainkan pada waktu kerugian terjadi. Diharuskan ada kepentingan dalam perjanjian asuransi dengan maksud mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian.

2. Prinsip Itikad Baik yang Sempurna (Principle of Utmost Good Faith)

Istilah prinsip itikad baik yang sempurna, terkadang disebut juga dengan istilah asas kejujuran yang sebaik-baiknya. Ini merupakan padanan istilah dari principle of utmost good faith (Inggris) atau uberrimae fidei (Latin).


(40)

Penerapan asas itikad baik yang sempurna di dalam hukum Inggris bertitik tolak dari sifat khusus perjanjian asuransi sebagai perjanjian alletoir (bersyarat), sehingga hukum asuransi dianggap perlu menyimpang dari asas hukum yang menguasai perjanjian lainnya seperti asas caveat emptor atau let the buyer be aware.32

“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, atau setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh sitertanggung betapapun itikad baik itu ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak

Tetapi karena sifatnya yang khusus, maka didalam perjanjian asuransi pihak tertanggunglah yang memberikan segala keterangan (informasi) mengenai keadaan obyek atau benda yang akan diasuransikan. Jadi, perjanjian asuransi didasarkan pada asumsi bahwa calon tertanggung pada waktu akan menutup asuransi mengetahui semua keadaan dan risiko yang akan diasuransikan, sedangkan penanggung tidak mengetahuinya, dan bagi pihak penanggung dalam menganalisa risiko yang akan diasuransikan sangat bergantung pada informasi yang diberikan oleh calon tertanggung tersebut.

Dengan demikian asas itikad baik yang sempurna di atas menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian asuransi. Hal ini berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 (3) KUHPerdata tersebut terletak pada pelaksanaan perjanjian.

Menurut H.Gunanto, dalam kenyataannya asas yang oleh hukum inggris disebut sebagai principle of utmost good faith bukan soal itikad baik sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, melainkan menyangkut soal “cacat kehendak”.

Berkaitan dengan asas itikad baik yang sempurna ini, diatur dalam Pasal 251 KUHD, yang berbunyi:

32

Menurut asas ini, suatu pihak dalam perjanjian tidak wajib memberitahukan sesuatu yang ia ketahui mengenai obyek perjanjian kepada pihak lawannya. Pihak lawan harus


(41)

akan ditutup atau ditutupnya dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan”.

Pasal 251 KUHD diatas, menekankan kewajiban tertanggung untuk memberitahukan atau memberikan segala informasi yang benar (fakta materil) mengenai obyek asuransi kepada penanggung.

3. Prinsip Ganti Kerugian (Indemnity Principle)

Pada hakekatnya, fungsi asuransi adalah mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh tertanggung karena terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti. Oleh karena itu, besarnya ganti kerugian yang diterima oleh tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang dideritanya. Hal ini merupakan inti dari prinsip ganti kerugian atau keseimbangan. Prinsip ini tercermin dalam Pasal 246 KUHD, yaitu pada bagian kalimat “…untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak pasti”.

Untuk dapat mengadakan keseimbangan antara kerugian yang diderita oleh tertanggung dengan ganti kerugian yang diberikan oleh penanggung, harus diketahui berapa nilai atau harga dari obyek yang diasuransikan. Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip ganti kerugian hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingan dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi kerugian (schade verzekering).

Kepentingan di dalam asuransi jumlah (sommen verzekering) tidak dapat dinilai dengan uang, sehiingga diadakan tidak dengan tujuan mengganti suatu kerugian yang diderita oleh tertanggung. Dengan perkataan lain, prinsip ganti kerugian tidak berlaku bagi asuransi jumlah.

4. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle)

Di dalam pelaksanaan perjanjian asuransi, kemungkinan peristiwa kerugian terjadi disebabkan perbuatan pihak ketiga. Dalam keadaan biasa, kerugian yang ditimbulkan oleh pihak ketiga tersebut mengakibatkan harus


(42)

dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Dengan kata lain, pemilik barang dapat melakukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut untuk memberikan ganti kerugian atas perbuatannya. Mengenai hal ini, dapat diperhatikan, ketentuan pasal 1365 KUHPerdata. Akan tetapi, persoalannya menjadi lain dalam perjanjian asuransi. Apabila tertanggung yang telah mendapat ganti kerugian dari penanggung, juga diperkenankan menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga yang menyebabkan timbulnya kerugian tersebut, maka tertanggung dapat menerima ganti kerugian yang melebihi kerugian yang dideritanya. Jika hal ini terjadi tentu akan bertolak belakang dengan prinsip ganti kerugian atau indemnitas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Untuk menghindarkan hal tersebut, dalam KUHD diatur mengenai subrogasi bagi penanggung dalam Pasal 284 KUHD yang berbunyi sebagai berikut:

“Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga itu”.

Dapat diketahui bahwa subrogasi adalah penggantian kedudukan tertanggung oleh penanggung yang telah membayar ganti kerugian, dalam melaksanakan hak-hak tetanggung kepada pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian. Akan tetapi, kemungkinan terjadi kerugian yang diderita oleh tertanggung tidak diganti sepenuhnya oleh penanggung. Apabila dilaksanakan secara ketat ketentuan Pasal 284 KUHD, maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi tertanggung sebab ia kehilangan haknya untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga, sedangkan asuransi mempunyai tujuan memberikan ganti kerugian yang diderita tertanggung (prinsip indemnitas). Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tepat apa kata Emmy Pangaribuan Simanjuntak bahwa untuk subrogasi haruslah bersifat terbatas. Hal itu berarti, apabila penggantian kerugian hanya sebagian saja diberikan oleh penanggung maka hanya dapat disubrogasikan untuk sejumlah kerugian yang telah dibayarnya. Hak-hak selebihnya dari


(43)

tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian masih dipegang tertanggung sendiri. Singkatnya, subrogasi penuh menurut Pasal 284 KUHD hanya diterapkan apabila penanggung telah membayar semua kerugian yang diderita tertanggung.

D.Dasar Hukum Asuransi Syariah

1. Al-Qur’an

Apabila dilihat sepintas keseluruhan ayat Al-Qur’an, tidak terdapat satu ayat pun yang menyebutkan istilah asuransi seperti yang kita kenal sekarang ini, baik istilah “al-ta’min” ataupun al-takaful”. Namun demikian, walaupun tidak menyebutkan secara tegas, terdapat ayat yang menjelaskan tentang konsep asuransi dan yang memiliki muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut antara lain :33

a. Perintah Allah untuk Mempersiapkan Hari Depan

1) QS. Al-Hasyr (59) : 18

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan”.

2) QS. Yusuf (12) : 47 – 49

“Yusuf berkata, supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa. Maka, apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit unuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan bulirnya kecuali sediki untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sult yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit

33

Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 189.


(44)

gandum) yang kamu simpan. Kemudian akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”.

b. Perintah Allah untuk Saling Menolong dan Bekerja Sama

1) QS. Al-Maidah (5) : 2

“…..Tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

2) QS. Al-Baqarah (2) : 185

“…..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….”

c. Perintah Allah untuk Saling Melindungi dalam Keadaan Susah

1) QS. Al-Auraisy (106) : 4

“yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.

2) QS. Al-Baqarah (2) : 126

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa (selamat).

d. Perintah Allah untuk Bertawakal dan Optimis Berusaha

1) QS. Al-Taghaabun (64) : 11

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah….”

2) QS. Luqman (3) : 34

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalan pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan, tidak seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besoj; dan tiada seorangpun


(45)

yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

e. Penghargaan Allah Terhadap Perbuatan Mulia yang Dilakukan

Manusia

QS. Al-Baqarah (2) : 261

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

2. Sunnah Nabi SAW34

a. Hadis tentang Aqilah

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, dia berkata : ‘Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tesebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW, memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki).” (HR. Bukhari).

Hadis di atas menjelaskan tentang praktik aqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Aqilah dalam Hadis di atas dimaknai dengan ashabah (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat) jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain. Penangungan bersama oleh qilah-nya merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi.

34


(46)

Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antaraanggota suku.

b. Hadis tentang Anjuran Menghilangkan Kesulitan Seseorang

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad bersabda “Barangsiapa yang menghilangkah kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT, akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat”.

c. Hadis tentang Anjuran Meninggalkan Ahli Waris yang Kaya

Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW : “Lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya” (HR. Bukhari).

Nabi Muhammad SAW, sangat memerhatikan kehidupan yang akan terjadi di masa datang (future time) dengan cara mempersiapkan sejak dini bekal yang harus diperlukan untuk kehidupan dan keturunan (ahli waris)-nya di masa mendatang. Meninggalkan keluarga (ahli waris) yang berkecukupan secara materi, dalam pandangan Rasulullah SAW., sangatlah baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan telantar yang harus meminta-minta ke orang lain. Dalam pelaksanaan operasionalnya, organisasi asuransi mempraktikkan nilai yang terkandung dalam hadis di atas dengan cara mewajibkan anggotanya untuk membayar uang iuran (premi) yang digunakan sebagai tabungan dan dapat dikembalikan ke ahli warisnya apabila ada suatu saat terjadi peristiwa yang merugikan, baik dalam bentuk keamtian nasabah atau kecelakaan diri.

d. Hadis tentang Mengurus Anak Yatim (Kifl –al-Yatim)

Diriwayatkan dari Sabal bin Sa’ad r.a mengatakan Rasulullah telah bersabda : “Saya dan orang yang menanggung anak yatim nanti akan di surga seperti ini.”


(47)

Rasulullah bersabda sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari yang tengah. (HR. Bukhari).

e. Hadis tentang Menghindari Risiko

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, r.a, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW, tentang (untanya): “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)?” Bersabda Rasulullah SAW : “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertakwalah kepada Allah SWT” (HR. At-Turmudzi).

Nabi Muhammad SAW. Memberi tuntunan pada manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan terjadi, bukannya langsung menyerahkan segalanya (tawakkal) kepada Allah SWT. Hadis di atas mengandung nilai implisit agar kita selalu menghindar dari risiko yang membawa kerugian pada diri kita, baik berbentuk kerugian materi ataupun kerugian yang berkaitan langsung dengan diri manusia (jiwa). Praktik asuransi adalah bisnis yang bertumpu pada bagaimana cara mengelola risiko itu dapat diminimalisasi pada tingkat yang sedikit (serendah) mungkin.Risiko kerugian tersebut akan terasa ringan jika dan hanya jika ditanggung bersama-sama oleh semua anggota (nasabah) asuransi. Sebaliknya, apabila risiko kerugian tersebut hanya ditanggung oleh pemiliknya, maka akan berakibat terasa berat bagi pemilik risiko tersebut.

f. Hadis tentang Piagam Madinah

Dalam Piagam Madinah yang dikeluarkan oleh Nabi terdapat ketentuan tentang keharusan untuk membayar tebusan tawanan oleh komunitasnya. Bunyi Piagam Madinah tersebut adalah sebagai berikut :

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi SAW., di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang yang mengakui mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka,


(48)

bahu-membahu membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil di antara mukminin.

Demikian pula, suku Bani Auf, Bani Harits, dan suku lainnya yang hidup di Madinah pada waktu itu juga, mengharuskan membayar uang darah dalam komunitas bersama bersandarkan pada doktrin aqilah sebagai peraturan dalam konstitusi.

Dalam konstitusi ini dijelaskan tentang pengaturan bersama antara orang Quraisy yang berhijrah (migran) dengan suku-suku yang tinggal di Madinah untuk saling melindungi dan hidup bersama dalam suasana kerja sama saling menolong. Pasal 11 Piagam Madinah memuat ketentuan bahwa kaum mukminin tidak boleh membiarkan sesama mukmin berada dalam kesulitan memenuhi kewajiban membayar diyat atau tebusan tawanan seperti yang disebutkan dalam pasal-pasal terdahulu. Ketentuan ini menekankan solidaritas sesama mukmin dalam mengatasi kesulitan.

3. Ijtihad35

a. Fatwa Sahabat

Praktik Sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab. Beliau berkata : “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.” Umarlah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional per wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.

b. Ijma

35


(1)

Cara bagi hasil untuk nasabah : dana tabarru’ nasabah A = 1.367.356 : 2.061.034 x 100% = 66,3% jadi hasil untuk nasabah A = 66,3% x 1.154.179 = 765.220.


(2)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya dan permasalahan yang telah dirumuskan, dapat diambil beberapa kesimpulan :

1. Pelaksanaan sistem bagi hasil pada asuransi syariah khususnya pada PT Prudential dapat dilihat bahwa penggunaan sistem bagi hasil tidak digunakan pada keseluruhan produk yang dikeluarkan oleh asuransi syariah, baik itu produk pendanaan maupun produk pembiayaan. Hal ini dikarenakan sistem bagi hasil itu sendiri adalah merupakan bagian dari prinsip syariah yang diterapkan pada asuransi konvensional. Dalam melaksanakan prinsip bagi hasil, terdapat berbagai macam produk dan jasa yang ditawarkan oleh PT Prudential Assurance, yaitu : PRUlink syariah investor account dan PRUlink syariah assurance account. PRUsyariah adalah sebuah produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi berbasis syariah. PRUsyariah dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rancangan keuangan masa depan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam. Produk PRUsyariah Prudential sudah sesuai dengan Ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI).

2. Pelaksanaan sistem bunga pada asuransi konvensional khususnya pada PT Prudential dapat dilihat dari penggunaan sistem bunga pada seluruh produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, baik itu berupa produk pendanaan maupun produk pembiayaan. Dalam melaksanakan sistem bunga, terdapat berbagai macam produk dan jasa yang ditawarkan oleh PT Prudential Assurance, yaitu : PRUlink investor account (PIA), PRUlink assurance account (PAA), dan Produk Asuransi Tambahan (Riders).

3. Bahwa sistem yang lebih menguntungkan bagi pihak tertanggung (pemegang polis) adalah asuransi syariah dengan sistem bagi hasil yang meniadakan unsur-unsur yang masih meragukan yang terdapat didalam asuiransi


(3)

konvensional, yaitu unsur ketidakpastian, gambling atau untung-untungan dan riba (membungakan uang). Dana yang terkumpul pada asuransi syariah berasal dari nasabah (iuran atau premi) merupakan milik peserta, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Jadi pada asuransi syariah, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional. Didalam asuransi syariah investasi dana berdasarkan syariah yaitu dengan sistem bagi hasil (mudharabah), selain itu kebijaksanaan investasi perusahaan bersifat transparan artinya harus diketahui dengan jelas oleh setiap peserta. Sedangkan sistem yang lebih menguntungkan bagi perusahaan (penanggung) adalah asuransi konvensional dengan sistem bunga karena jika pemutusan kontrak perjanjian asuransi yang dilakukan pihak tertanggung sebelum jangka waktu pertanggungan habis, maka premi yang telah dibayar oleh peserta atau tertanggung tidak dapat ditarik kembali karena premi tersebut sudah menjadi hak perusahaan, kecuali asuransi yang diikuti oleh tertanggung berbentuk asuransi plus tabungan, namun dalam asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi berbentuk asuransi plus tabungan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan antara lain, yaitu :

1. Sebagai seorang muslim, tentunya memiliki tugas untuk membangun dan mengembangkan sistem ekonomi islam yang menjadi sistem ekonomi alternatif menggantikan sistem kapitalisme dan pada akhirnya mensejahterakan umat. Bagi masyarakat pengguna jasa asuransi hendaknya mempertimbangkan matang-matang segi keuntungan dan kerugian dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem bagi hasil dan sistem bunga, sehingga didalam menentukan pilihan nantinya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri namun juga untuk bangsa dan Negara.

2. Hendaknya lembaga asuransi syariah lebih meningkatkan lagi sosialisasinya kepada masyarakat agar lembaga asuransi syariah ini semakin dipercaya dan


(4)

mampu menghidupkan gairah masyarakat terhadap perasuransian yang islami dan menghilangkan pandangan negatif umat terhadap asuransi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Ali, Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Amrin, Abdullah, Asuransi Syariah Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah Asuransi Konvensional, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2006.

Anshori, Abdul Ghofur, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta : Citra Media, 2006.

Arqam, Andi Ihsan, Asuransi Takaful: Sebuah Solusi, Dalam Bunga Rampai Asuransi Takaful, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2005.

Djamin, Djanius, dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Asuransi, Medan : STIE Trikarya, 1994.

Dzajuli, H.A, dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Hartono, Sri Rejeki, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta : UII Press, 2000.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Muis, Abdul, Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, Medan : FH USU, 2005.


(6)

PT Prudential Life Assurance, Materi PRUfast Start, Jakarta : PRUsales Academy, 2008.

Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) : Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta : Gema Insani, 2004.

Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2005.

__________, Majalah Hukum, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2002.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Makalah, Artikel, dan Internet

Makalah Mengenai Hukum Asuransi Fakultas Hukum USU Tahun 2008. Artikel Asuransi Jiwa Unit Link PT Prudential Life Assurance Tahun 2008.

http: http: