Konsep Kemiskinan TINJAUAN PUSTAKA

negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi. Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai produksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga. Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Atas promosi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat. Dir. Kewilayahan 1, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah: 5-6.

2.2 Konsep Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembang kehidupan yang bermartabat Bappenas, 2004. Hak-hak dasar antara lain a terpenuhinya kebutuhan pangan, b kesehatan, pendidikan, pekerjaan, Universitas Sumatera Utara perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, c rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, d hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Badan Pusat Statistik. Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu: 1. Dimensi Ekonomi Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara finansial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Dimensi Sosial dan Budaya Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. 3. Dimensi Sosial dan Politik Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik. Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan Universitas Sumatera Utara diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan dihadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang Bayo, 1996. Menurut Drs. Edi Suharto, M.Sc, tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relative, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Pertama , kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. Penentuan kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui “batas kemiskinan” atau “garis kemiskinan” poverty line, baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapata, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut biasanya dikonversikan dalam bentuk uang pendapatan atau pengeluaran. Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai miskin secara absolut. Bank Dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi kedalam US PPP Puchasing Power Parity Paritas Daya Beli, bukan nilai tukar US resmi. Tujuannya adalah untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial dana yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dala memerangi kemiskinan. Angka konversi PPP menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah Universitas Sumatera Utara kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US 1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasaya dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a US 1 PPP perkapita perhari; b US 2 PPP perkapita perhari. Ukuran tersebut sering direvis menjadi US 1,25 PPP dan US 2 PPP perkapita perhari. Pendapatan perkapita yang Tinggi sama sekali bukan merupakan jaminan tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah yang besar. Hal ini mengingat besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok- kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-masing negara, sehingga mungkin saja suatu negara dengan pendapatan perkapita yang Tinggi justru mempunya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan internasional yang lebih besar dibandingkan suatu negara yang pendapatan perkapitanya lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemsikinan tersebut antara lain struktur pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di negara yang bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan kelembagaan yang dalam prakteknya ikut menentukan pola-pola dstribusi pendapatan nasional. Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan “kondisi umum” suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 30.000 per kapita per bulan, seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 75.000 per bulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 100.000, maka relatif orang tersebut dikatakan miskin. Universitas Sumatera Utara Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan modernisasi. Sikap malas, tidak memiiki kebutuhan berprestasi needs for achievement, fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah bebrapa karakteristik yang menandai kemiskinan kultural. Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai “pemiskinan” yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para petani tidak memiliki tanah sendiri atau hanya memiliki hanya sedikit tanah,para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang tidak terampil unskilled labour, termasuk ke dalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural. Disadari atau tidak kita memang patut berterima kasih pada pemerintah pada komitmen dan kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan khususnya pada zaman orde baru, secara nasional jumlah kemiskinan absolut di Tanah Air mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika pada tahun 1970, terdapat 70 juta atau 60 persen penduduk Indonesia terhimpit kemiskinan, maka hanya dalam dua dasawarsa jumlah tersebut telah menjadi 27,7 juta atau 15,08 Universitas Sumatera Utara persen saja dari populasi keseluruhan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk yang masih berada di garis kemiskinan menjadi 25,9 juta atau 13,67 persen. Akan tetapi, data-data “makro” tersebut belumlah mengungkap dimensi kemiskinan relatif yang berwujud ketimpangan sektoral maupun ketimpangan regional antar wilayah. Belum lagi persoalan indikator kemsikinan yang oleh sebagian ahli masih dipandang sebagai “belum mencerminkan” kebutuhan manusia secara manusiawi. Indikator kemiskinan yang ditetapkan menurut Badan Pusat Statistik adalah kemampuan seseorang dalam memenuhi khususnya kebutuhan pangan minimal sebesar 2.100 kalorihariorang atau sekitar Rp. 35.000 per kapita per bulan kemudian kemampuan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar seperti pakaian, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,perumahan, rasa aman, partisipasi sosial politik, dll. Indikator dari BPS ini juga dipandang masih terlalu rendah karena pendapatan sebesar itu tentunya hanya “cukup“ untuk memenuhi kebutuhan “sangat dasar”. Dengan batas kemiskinan yang rendah ini, sangat dimaklumi jika banyak penduduk yang sebenarnya masih dalam kategori miskin, misalnya pendapatan Rp. 36.000 per kapita per bulan terangkat menjadi kelompok “tidak miskin” atau “agak miskin” nearly poor. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa di daerah pedesaan tengah terjadi proses penurunan kemakmuran yang tampak dari sempitnya pemilikan lahan. Menurut data statistik dari BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi penurunan luas tanah yang dimiliki petani dari 18,35 juta hektare menjadi 17,67 juta ha. Sejalan dengan itu, petani gurem yang memiliki lahan dibawah 0,5 ha melonjak dari 9,5 juta menjadi 10,9 juta keluarga. Suharto, 1997: 74-76 Universitas Sumatera Utara

2.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan