diskriminasi pelayanan pendidikan antara penduduk yang mampu dan tidak mampu membuat penduduk yang tidak mampu miskin akan
semakin tertinggal tingkat pendidikannya. c. Tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal di evaluasi berdasarkan tiga
komponen: perumahan, pelayanan, dan lingkungan. Indikator perumahan mencakup jenis bangunan ukuran dan jenis bahan bangunan,
kepemilikan tempat tinggal sewa atau milik sendiri, dan perlengkapan rumah tangga. Indikator pelayanan menitikberatkan pada ketersediaan dan
penggunaan air minum, jasa komunikasi, listrik, dan sumber energi lain. Terakhir, indikator lingkungan menekankan pada level sanitasi, tingkat
isolasi ketersediaan jalan yang dapat digunakan pada setiap saat, lamanya waktunya waktu tempuh dan tersedianya transportasi ke tempat kerja dan
tingkat keamanan personal. Secara umum terbentuk bahwa rumah tangga miskin hidup dalam kondisi yang lebih berbahaya beresiko, lingkungan
yang kurang higienis yang mempunyai kontribusi terhadap tingkat kesehatan yang rendah dan produktifitas anggota rumah tangga yang lebih
rendah.
2.4 Potensi Wilayah Pesisir dan Kondisi Ekonomi Masyarakat Pesisir
Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 34MEN2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisir, dan Pulau-Pulau
Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daearan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kea rah laut mencakup bagian laut yang
masih dipengarui oleh proses alami terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti
Universitas Sumatera Utara
penggundulan hutan dan pencemaran. Batasan diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat garis batas nyata wilayah pesisir. Batas tersebut hanyalah garis khayal
yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Ditempat yang landau garis batas itu dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknnya untuk wilayah
pantai yang terjal. Pengertian tersebut mengindikasikan terjadinya interaksi antar ekosistem perairan pesisir sehingga memunculkan kekayaan potensi habitat
pesisir yang beragam. Namun demikian, kondisi hidup habitat pesisir seperti ini berpotensi mudah mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia yang tidak
bertanggung jawab. Menurut Dahuri et al. 1998, hingga saat ini masih belum ada definisi
yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan Kadir et al,.
2009: 2. Apabila ditinjau dari garis pantai coast line, maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas boundaries, yaitu batas yang sejajar garis pantai
long shore dan batas yang tegak lurus garis pantai cross shore. Berdasarkan kedua pengertian diatas dapat adikatakan bahwa wilayah
pesisir mempunyai dua karakteristik, yaitu sebagai wlayah pertemuan antara daratan dan lautan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling
berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
disebut masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
lingkungan pesisir pantai. Karena masyarakat ini hidup dilingkungan pesisir pantai, maka masyarakat ini menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam yang
ada dilaut. Pekerjaan masyarakat pesisir ini secara umum sebagai nelayan. Para nelayan ini ada yang menggunakan teknologi sederhana atau disebut nelayan
Universitas Sumatera Utara
tradisional namun ada juga nelayan yang menggunakan teknologi yang berbeda yang disebut nelayan modern, hanya saja jumlahnya tidak banyak.
Pekerjaan lain yang ada di kawasan pesisir adalah sewa-menyewa kapal. Ada juga kalangan masyarakat pembuat garam. Pada umumnya ketergantungan
masyarakat pesisir pada sektor kelautan menjadi kendala bagi masyarakat untuk berhasil keluar dari garis kemiskinan. Hal ini karena terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi penghasilan masyarakat pesisir, sehingga pekerjaan ini tidak menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan para keluarga yang tergolong
masyarakat pesisir. Inilah sebabnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki variasi hidup yang kompleks.
Selain menangkap ikan masyarakat pesisir juga mengolah kebun kelapa. Terutama karena didekat pantai biasanya pohon kelapa mudah tumbuh. Namun,
jika memiliki tanah maka tanah tersebut dikelola secara optimal. Pada saat musim padi maka tanah akan berfungsi menjadi sawah dan pada saat yang lain tanah akan
dikelola sebagai kebun. Selain itu, kolektifitas masyarakat maritime masih banyak sebagai pelayar dan pedagang antar pulau.
Cuaca ekstrem semakin memperburuk kehidupan nelayan. Kondisi ini praktis dialami oleh 2,34 juta nelayan perikanan tangkap laut di Indonesia. Data
Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan KIARA menyebutkan, jumlah nelayan miskin saat ini 7,87 juta orang. Sekitar 25,14
persen dari penduduk miskin nasional. Saat musim angin barat, mereka tidak bisa melaut. Mereka juga tidak bisa
memaksimalkan jumlah hasil tangkapan karena keterbatasan peralatan. Sejak awal Desember mereka tidak bisa setiap hari melaut karena angin kencang. Dalam
setiap harinya ia bahkan bisa hanya membaca pulang Rp. 5.000, padahal untuk
Universitas Sumatera Utara
makan sekeluarga setidaknya butuh Rp. 50.000 per hari. Kompas, 9 April 2012:0115.
Adapun ciri-ciri yang dipantulkan komunitas atau masyarakat pesisir di Indonesia adalah:
1 Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tergantung pada alam laut. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap alam laut itu dalam bentuk fisik
maupun emosional sesuai dengan kondisi alam yang mempengaruhinya. Masyarakat pesisir dengan demikian menggantungkan hidupnya dengan
cuaca, iklim dan pergantian musim terutama masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan.
2 Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang murah dan konvensional untuk dapat menggali kekayaan alam laut yang merupakan
tempat pencaharian kebutuhan hidup. 3 Masyarakat pesisir sangat tergantung pada modal tunai untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk modal kegiatan pelayanan dan konsumsi.
4 Masyarakat pesisir sangat tergantung kepada pihak lain baik secara individu maupun berkelompok dalam sistem jaringan kerja, baik penangkapan ikan,
jasa pelelangan ikan maupun terhadap para pemilik modal. 5 Masyarakat pesisir sangat membutuhkan program-program pemberdayaan
yang dapat mengeluarkan masyarakat pesisir dari jerat kehidupan yang sangat tajam dan tidak mengenal kompromi. Suwardi Lubis, 2010
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini
Universitas Sumatera Utara
sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km Dahuri et al. 2001. Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan
sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang,
sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata..
Oleh karena itu sungguh ironi sekali dengan banyaknya potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir namun kondisi ekonomi masyarakat pesisir masih
banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Kusnadi 2002, perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-
faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta
akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang
mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah
menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan
tidak mudah untuk diatasi. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus
dengan teknologi yang dapat di hasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami
Universitas Sumatera Utara
proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi
pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan
karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaha nelayan terhadap teknologi Kusnadi, 2000.
Selain itu boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskinan nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru
memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki
jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah.
Masalah pemasaran hasil tangkapan juga terkadang dapat merepotkan masyarakat pesisir. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan TPI. Hal
tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
Dengan demikian, masalah sosial ekonomi yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah:
a. Rendahnya tingkat pendidikan, b. Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya,
c. Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d. Kurangnya daya kreativitas, serta
e. Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak.
Universitas Sumatera Utara
Smith 1979 yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia serta Anderson 1979 yang melakukannya di negara-negara
Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan, bahwa kekakuan aset perikanan fixity and
rigidity of fishing assets adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka
untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat asset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk
dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih
fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan
operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Subade and Abdullah 1993 mengajukan argumen lain yaitu bahwa
nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau
alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan
lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost
rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen
yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka
nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian
Universitas Sumatera Utara
apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Panayotou 1982 mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu preference for a
particular way of life . Pendapat Panayotou 1982 ini dikalimatkan oleh Subade
dan Abdullah 1993 dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku
sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya,
hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam
kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
Sosial ekonomi masyarakat nelayan dilihat dari kehidupan masyarakat terkait dengan penambahan pendapatan hidup mereka untuk peningkatan taraf
hidup masyarakat nelayan. Jika mengkaji dari segi sosial budaya masyarakat nelayan, kita menilai kehidupan masyarakat terkait dengan budaya atau adat
istiadat yang mereka miliki dalam kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN