Terjadinya Komunikasi Antarbudaya Uraian Teoritis

untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.

II.2 Terjadinya Komunikasi Antarbudaya

Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi komunikasi lintasbudaya yang mereka jalani. Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI Foreign Service Institute. FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberpa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa keluar negeri. Karena bahan pelatihan antarbudaya masih jaranglangka maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat baudaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya Martin, Thomas , 2007:44-45 Istilah antarabudaya interculture pertama kali diperkenalkan oleh seorang antroplog, Edward T.Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaab konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya system ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo mealui bukunya The Process of Communication an introduction to theory and practice pada tahun 1960. Dalam tulisan itu Berlo Universitas Sumatera Utara menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komuniksi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu : source, messege, channel, receiver. Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komuniksi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komuniksi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda Liliweri, 2001:1-2. Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitu budaya dan komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal balik. Jadi, budaya mempengahui komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam Intercultural Communication in Context , untuk itu, kelompok budaya mempengaruhi proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: ’’semua komunitas di semua tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas kontemporer’’. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas Martin Thomas, 2007: 92. Rumusan objek formal komuniksi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970- 1980an. ‘’Annual ‘’tentang komuniksi antarbudaya yang disponsori Speech Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The International anda Intercultural Communiction Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi anatarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977. Universitas Sumatera Utara Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication . selanjutnya thun 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain tentang komuniksi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 198, komunikasi anatretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi Lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir komuniksibahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey Korzenny, tahun 1988 Liliweri, 2001:2-3. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjaga makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan , bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia Liliweri, 2004:10. Young Yun Kim dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi anatarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang realatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kutural. Selanjtnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi anatarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereak daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda Rahardjo, 2005: 52-53. Selanjutanya, salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang Universitas Sumatera Utara lain. Gundykunst dan Kim dalam Alo Liliweri menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas realsi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dilakukan melalui tiga tahap interaksi , yakni: 1. pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal, 2. initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut, 3. closure, mulai membuka diri ynag semual tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Schramm dalam susanto yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, mengemukakan efektivitas komunikasi antara lain tergantung pada situasi dan hubungan sosial anatara komunikator dengan komunikan terutama dalam lingkup referensi maupn luasnya pengalaman di antara mereka Liliweri, 2001: 171. Sedangkan Schramm dalam Mulyana yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi menyebutkan, komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatiakn empat syarat, yaitu 1 menghormati anggota budaya lain sebagai manusia;2 menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; 3 menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan 4 komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari lain budaya. Sedangkan Devito mengemukakan beberapa faktor penentu efektivitas komunikasi antarpribadi, yakni: 1 keterbukaan; 2 empati; 3 perasaan positif; 4 dukungan; dan 5 keseimbangan Liliweri, 2001: 171. Beberapa ahli berusaha merumuskan kompetensi komunikasi antarbudaya, Kim menawarkan sebuah definisi detail mengenai kompetensi komuniksi anatbudaya yaitu ‘’ Universitas Sumatera Utara keseluruhan kapabilitas internal dari seseorang untuk menghadapi ciri-ciri dari tantangan yang sering terjadi saat komunikasi antarbudaya terjadi: yaitu, perbedaan budaya, dan ketidaksamaan, sikap inter-grup. Jadi, dari pengertian ini bisa dipahami untuk menjadi komunikator yang kompeten, kita harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi dan memilih mode dari perilaku yang tepat Samovar, dkk, 2007: 314 Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik Samovar, dkk, 2007: 314, sedangkan Judith N martin dan Thomas Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in Context merumuskan 2 komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri dari: motivasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan, dan komponen kontekstual yaitu melihat konteks-konteks yang dapat mempengaruhi komunikasi anatarbudaya sebagai contoh, konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya ataupun konteks lainnya seperti gender, ras dan sebagainya Martin Thomas, 2007: 435-445. Gundykunst dan Kim juga punya pandangan sendiri sehubungan dengan kompoonen kompetensi komuniksi antarbudaya yaitu: motivasi, pengetahuan, kemampuan. Motivasi sendiri dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif denganyang lain,dan motivasi dibagi menjadi 3 kebutuhan ynag penting yaitu, kebutuhan akan kemampuan untuk menebakperilaku orang lain, kebutuhan untuk menghindari perilaku menyebarkan kecemasan, kebutuhan untuk menopang konsep diri. Sedangkan komponen pengetahuan secara spesifik dibagi menjadi pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan kelompok, pengetahuan akan kesamaan pribadi, pengetahuan akan interpretasi alternatif. Skillkemampuan dimulai dari: kemampuan untuk menjadi sadar mindful dalam komunikasi antarbudaya, kemampuan untuk mengolah kecemasan, kemampuan untuk Universitas Sumatera Utara berempati, kemapuan untuk menagadaptasi perilaku, kemampuan untuk membuat penjelasan dan prediksi yang akurat Gundykunst Kim, 2003: 276-292. Gundykusnt Kim mengatakan sebenarnya bahwa paling tidak ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandangan pertama menegaskan kompetensi seharusnya didalam diri seseorang komunikator sebagai kapasitas atau kapabilitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antar individu yang berbeda budaya sedangkan pandangan kedua berpendapat, kompetensi harus ada pada kedua belah pihak Rahardjo, 2003: 72. Dalam ‘’Intercultural Communication In context’’, Howell menitikberatkan bahwa komunikasi anatarbudaya adalah sama, hanaya saja diperoleh melalui analisis kesadaran dan yang berada pada level teratas dari kompetensi komunikasi memerlukan kombinasi berpikir holistic dan analitik. Howell mengidentifikasikan 4 level kompetensi komunikasi antarbuadaya, unconscious incompetence, yaitu saat di mana kita tidak sadar akan perbedaan dan tidak butuh berbuat pada cara tertentu, conscious incompetence yaitu seseorang menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik saat interaksi tetapi mereka tidak yakin mengapa terjadi, conscious competence yaitu, seseorang sudah mulai sadar , berpikir analitik dan belajar, pada tahap ini seseorang menjalani proses menjadi seorang komunikator yang kompeten dan unconscious competence yaitu komunikasi berjalan lancar tetapi tidak dalam proses yang disadari.

II.2.1 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan komunikasi Antarbudaya

Yang juga turut mempengaruhi studi komunikasi antarbudaya adalah penelitian paradigma. Paradigma sendri secara sederhana dipahami sebagai pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh ilmu yang bersangkutan Purba, 2006: 16. Masing-masing paradigma Universitas Sumatera Utara tentu mengasusmikan interpretasi yang berbeda mengenai realitas, perilaku manusia, budaya dan komunikasi Martin Thomas, 2007: 47. Beberapa ahli komunikasi percaya bahwa ada sebuah realitas eksternal yang dapat diukur dan dipelajari, sementara yang lain percaya bahwa realitas dapat dimengerti hanya hidup dan dialami oleh individu. Pendek kata, kepercayaan dan asumsi tentang realitas mempengaruhi metode dan penemuan penelitian dan kemudian juga mempenagruhi apa yang secara tepat kita ketahui sebagai komuniksi antarbudaya. Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi 3 pendekatan yang masing-masing memberikan karaktersitik bagi budaya dan komunikasi. Ketiga pendekatan ini melibatkan sebuah campuran displin ilmu dan merefleksikan pandangan yangberbeda serta asumsi tntang realitas, perilaku manusia, dan cara untuk mempelajari budaya dan komunikasi. Tiga pendekatan yang mempelajari komunikasi antarbudaya adalah 1. pendekatan ilmu sosial fungsional, 2. pendekatan interpretif, 3. pendekatan kritis. Masing-masing memberikan cara yang unik untuk memahami hubungan anatara kebudayaan dan komunikasi tetapi msing-masing memiliki keterbatasan. Martin Thomas, 2007: 49. Table 1. Tiga pendekatan Komunikasi Antarbudaya Ilmu Sosial Fungsional Interpretif Kritis Disiplin dimana pendekatan ditemuka n Psikologi Antropologi Sosiolinguistik Beragam Tujuan penelitian Menjelaskan dan memprediksikan perilaku Menjelaskan perilaku Merubah perilaku Asumsi tentang Eksternal dan dapat Subjektif Subjektif dan Universitas Sumatera Utara realitas dijelaskan penting Asumsi tentang perilaku manusia Dapat ditebak Kreatif dan sengaja Berubah-ubah Metode studi Survei dan observasi Observasi partisipan, studi lapangan Analisis tekstual media Hubungan antara budaya dan komunikasi Komunikasi dipengaruhi budaya Budaya diciptakan dan dibangun melalui komuniksi Budaya adalah sebuah tempat dari perjuangn kekuasaan Kontribusi dari pendekatan Mengidentifikasi variasi kultural ; mengenali perbedaan kultural pada banyak aspek komunikasi tetapi sering tidak mempertimbangkan konteks Menekankan bahwa komunikasi dan budaya dan perbedaan kultural dpata dipelajari dalam konteks. Mengenali kekuatan ekonomi dan politik dalam kebudayaan dan komunikasi; menyatakan bahwa interaksi antarbudaya digolongkan oleh kekuasaan. Martin Thomas, 2007: 50. Dan untuk penelitian ini, maka perspektifpendekatan yang tepat dan digunakan adalah perspektif interpretif. Pendekatan interpretif memperoleh masa-masa keunggulan sekitar tahun 1980an. Para peneliti dengan pendekatan ini berasumsi pendekatan ini Universitas Sumatera Utara adalah tidak hanya realitas eksternal dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas. Mereka juga percaya bahwa pengalaman manusia, termasuk komunikasi, bersigat subjektif dan perilaku manusia tidak ada ditetapkan sebelumnya maupun diprediksi. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti dan menjelaskan perilaku manusia dan memprediksi tidak menjadi tujuan Martin Thomas, 2007: 56. Jadi, dengan pendekatan ini, penelitian akan fokus pada pengertian akan suatu fenomena secara subjektif dari dalam sebuah komunitas budaya tertentu, dan inilah yang disebut penelitian ‘’emik’’. Para peneliti akan mencoba untuk menjelaskan pola-pola atau aturan-aturan di mana individu mengikuti pada konteks yang spesifik. Penelitian akan cenderung jadi lebih tertaik untuk menjelaskan perilaku kultural dari sautu komunitas daripada melakukan perbandingan lintas budaya Martin Thomas, 2007: 57. Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran-pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks Rahardjo, 2005:41. Teori-teori dari genre interpretif ini berusaha menjelaskan suatu proses di mana pemahaman terjadai dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri Rahardjo, 2005:41. Dengan demikian secara operasional, pendekatan interpretif akan dipakai sebagai landasan berpikir dengan pertimbangan bahwa permasalah identitas etnik dalam komunikasi anatarbudaya merupakan hal yang dirasakan dan dialami secara subjektif oleh setipa individu subjek penelitian nantinya. Universitas Sumatera Utara

II.2.2 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan mengalami penurunan atau peningkatan dalam suatu pertemuan antarbudaya. Faktor- faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan Rahardjo, 2005: 69-70. Faktor-faktor tersebut disebut Gundykunst sebagai kompetensi komunikasi antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya Rahardjo, 2005:71. Motivasi sendiri adalah dimensi paling penting dalam kompetensi komunikasi. Jika kita tidak termotivasi dalam berkomunikasi dengan orang lain maka tak akan ada gunanya kemampuan yang kita punya. Jadi secara sederhana motivasi bisa dinilai sebagai hasrat untuk membuat komitmen dalam hubungan, untuik belajar tentang diri dan orang lain, dan untuk menyisakan keluwesan Martin Nakayama, 2007: 435. Sedangkan pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya Rahardjo, 2005:71. Dan kecakapan sendiri menyangkut pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi Rahardjo, 2005:71. Berikut adalah tabel penjelasan komponen kompetensi komunikasi antarbudaya: Komponen Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Elemen 1. Motivasi a. kebutuhan untuk memprediksi, b. kebutuhan untuk menghindari penyebaran kecemasan, dan c. kebutuhan untuk menopang konsep diri Gundykunst Kim, 2003: Universitas Sumatera Utara 276-279. d. mindful terhadap ranah identitas, e. mindful terhadap kebutuhan identitas, f. mindful terhadap kecenderungan etnosentrisme Rahardjo, 2005:76. 2. Pengetahuan a. pengetahuan tentang bagaimana mengumpulkan informasi, b. pengetahuan tentang perbedaan kelompok, c. pengetahuan tentang kesamaan personal, d. pengetahuan tentang interpretasi alternatif Gundykunst Kim, 2003: 279-283. e. pengetahuan tentang nilai kulturalpersonal, f. pengetahuan tentang bahasa dan komunikasi verbal, g. pengetahuan tentang komunikasi non verbal, h. pengetahuan tentang batas in-group dan out-group, i. pengetahuan tentang pengembangan relasi, Universitas Sumatera Utara j. manjemen konflik b. pengetahuan tentang adaptasi antarbudaya. Rahardjo, 2005:76. 3. Kecakapan a. kemampuan untuk memberi perhatianmengamati dan mendengarkan, b. kemampuan untuk bertoleransi pada ambiguitas, c. kemampuan dalam mengelola kecemasan, d. kemampuan berempati, e. kemampuan untuk menyesuaikan perilaku, f. kemapuan untuk memberikan ketepatan dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain Gundykunst Kim, 2003: 285- 292 g. mindful dalam pengamatan, dan dalam mendengarkan, h. mampu empati verbal, i. memiliki kepekaan non-verbal, j. memiliki kecakapan menyesuaikan diri dan konflik konstrukstif k. memiliki mindful terhadap stereotip Universitas Sumatera Utara Rahardjo, 2005:76. Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari kompetensi komunikais diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistik. Howell kemudian mendefinisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya yaitu: Unconcious Incompetence, Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence Martin Nakayama, 2007: 443 Unconcious Incompetence terjadi apabila seseorang tidak sadar, akan perbedaan dan merasa tidak butuh berprilaku pada situasi tertentu sedangkan Conscious Incompetence terjadi pada saat seseorang telah menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik dalam komunikasinya tapi tidak yakin kenpa dan tidak tahu harus berbuat apa. Conscious Competence terjadi bila seseorang sudah mampu berkomunikasi dengan baik, melalui proses pemikiran analitik dan belajar, dan terus mengubah perilakunya supaya komunikasi menjadai lebih lebih efektif. Dan Unconscious Competence terjadi apabila seseorang belum menyadari bahwa komunikasinya berjalan dengan lancar dan sebenarnya dia cukup memiliki kemampuan dalam berkomunikasi Martin Nakayama, 2007: 443- 445. Level dari kompetensi bukanlah sesuatu yang kita dapat peroleh melalui kesadaran untuk mencobanya. Hal itu terjadi ketika bagian proses analisis dan menyeluruh holistik pada komunikasi digunakan secara bersama-sama.

II.3 Identitas Etnis II. 3. 1 Pengertian Identitas Etnis