Rahardjo, 2005:76.
Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari
kompetensi komunikais diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistik. Howell kemudian mendefinisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya yaitu:
Unconcious Incompetence, Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence Martin Nakayama, 2007: 443
Unconcious Incompetence terjadi apabila seseorang tidak sadar, akan perbedaan dan merasa tidak butuh berprilaku pada situasi tertentu sedangkan Conscious
Incompetence terjadi pada saat seseorang telah menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik dalam komunikasinya tapi tidak yakin kenpa dan tidak tahu harus berbuat apa.
Conscious Competence terjadi bila seseorang sudah mampu berkomunikasi dengan baik, melalui proses pemikiran analitik dan belajar, dan terus mengubah perilakunya supaya
komunikasi menjadai lebih lebih efektif. Dan Unconscious Competence terjadi apabila seseorang belum menyadari bahwa komunikasinya berjalan dengan lancar dan sebenarnya
dia cukup memiliki kemampuan dalam berkomunikasi Martin Nakayama, 2007: 443- 445.
Level dari kompetensi bukanlah sesuatu yang kita dapat peroleh melalui kesadaran untuk mencobanya. Hal itu terjadi ketika bagian proses analisis dan
menyeluruh holistik pada komunikasi digunakan secara bersama-sama.
II.3 Identitas Etnis II. 3. 1 Pengertian Identitas Etnis
Universitas Sumatera Utara
Siapa aku? Pertanyaan ini mungkin mudah bagi seseorang dan bisa jadi sulit bagi orang lain. Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang
memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi.untuk itu penting memberikan apresiasai pada apa yang membawa identitas. Dan untuk memberikan
pemhaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragama budaya ini. Dan
kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi
kebaikankesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalah pembentukan
sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapai kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa
mereka dan apa peran mereka dalam hidup. Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan
praktik komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri
dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan oang lain Samovar dkk, 2007: 109-110.
Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografik, budaya dan politik. Menurut Mathews, identitas
adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri Samovar dkk, 2007: 111.
Tipologi identitas dalam Communication between Cultures, terbagi atas: identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas
organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi Samovar dkk, 2007: 113-
Universitas Sumatera Utara
118. Sedangkan dalam Intercultural Communicatin In contexts, identitas budaya dan sosial dibagi atas: identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas
agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi Martin Thomas, 2007:171-188.
E. Barth dan Zastrow dalam Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, menyebutkan etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun
kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya. Sedangkan kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu
kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Pengertian ras dan etnis
sendiri dapat dipilah dan harus dipahami bahwa etnis merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar kesamaan karakteristik yang sifatnya lebih ‘’kebudayaan’’ daripada
ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi Liliweri, 2001:335-336. Identitas etnis sering dikaji sosiolog, antropolog, psikolog, dan sejarahwan. Para
ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang sering menjadi sinonim adalah
etnisitas, dan konsep-diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Namun kadang-kadang konsep yang
sama diartikan secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajian-kajian itu. Sering ia berkelindan dengan dan atau tersirat dalam
kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis Mulyana Jalaludin, 2005: 151.
Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan
perasaan emotional significance dari seseorang untuk ikut dalam memiliki sense of
Universitas Sumatera Utara
belonging atau berafiliasi dengan kultur tertentu Rahardjo,. 2005: 1-2. Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan
keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi: Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan
sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain Martin Thomas, 2007:175..
Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota
kelompok Martin Thomas, 2007:175. 1. Identifikasi diri sendiri, 2. Pengetahuan tentang budaya etnis tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku 3. Perasaan mengenai
kepemilikan pada kelompok etni tertentu. Bagi penduduk AS, misalnya, etnisistas adalah sebuah konsep yang speseifik dan
relevan. Mereka melihat diri mereka di hubungkan pada sebuah daerah di luar AS-sebagai Mexico Amerika, Jepang Amerika dan sebagainya. Atau pada beberpa daerah yang
sebelumnya ada di AS, seperti Navajo, Hopi, dan sebagainya. Sedangkan sebagian yang lain menyebutkan etnisitas adalah sebuah konsep yang samar-samar. Mereka melihat diri
mereka sendiri sebagai ‘’Amerika’’ dan menolak dugaan gagasan sebagai orang Amerika yang mengidentifikasi mereka tidak hanya sebagai warga AS campuran, tapi juga
sebagai anggota dari kelompok etnis, artinya mereka hanya mengakui diri mereka sebagai orang Amerika tidak sebagai Jerman Amerika dan sebagainya Martin Thomas,
2007:176-177. Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang
menyebutkan keduanya berbeda. Beberapa ahli menyebutkan identitas etnis dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tapi identitas ras dikonstruksikan semata-
mata oleh dirinya Martin Thomas, 2007:177.
Universitas Sumatera Utara
Karena ‘’perbedaan antara istilah ras dan etnisitas telah tidak cukup dijelaskan dalam literatur’’ maka variasi antara ras dan identitas etnis dapat juga jadi tidak jelas dan
membingungkan. Masalah ini lebih jauh dipersulit karena orang-orang sering menggambarkan identitas etnis mereka dalam ‘’cara-cara individual yang tinggi sesuai
dengan situasi dan lingkungan tertentu.’’ Dari pandangan Samovar dkk, walaupun identitas ras dikaitkan pada warisan biologis yang menghasilkan karakteristik fisik yang
sama dan dapat diidentifikasi. Etnisitas identitas etnis diperoleh dari sebuah perasaan yang membagi warisan, sejarah, tradisi, nilai, perilaku yang sama, daerah asal dan dalam
beberapa hal membagi bahasa. Kebanyakan orang memperoleh identitas etnis mereka dari sebuah kelompok regional, misalnya Kurdi, sebuah kelompok etnis yang besar di Timur
Laut Irak dengan komunitas di Turki, Iran, Syria. Pada contoh di atas, perasaan mereka pada etnisitas melebihi batas Negara dan didasari pada praktek dan kepercayaan budaya
umum. Samovar dkk, 2007: 113-114. Selama beberapa tahun belakang ini di AS, imigran biasanya sering membuat
kelompok sesuai dengan daerah tertentu, untuk membentuk komunitas etnis. Biasanya sense orang-oarng tersebut pada kelompok etnisnya tetap kuat seperti praktik budaya
tradisional dan kepercayaan yang masih diikuti dan kekal dijalankan terus menerus. Tetapi seiring waktu, anggota dari generasi muda mengalami keragaman etnis yang lebih
besar dan sering menikah dengan anggota dari kelompok etnis lain. Hal ini, menimbulkan kecenderungan untuk menipiskan perasaan mereka pada identitas etnis dan hari ini, hal
tersebut menjadi biasa ketika mendengar orang Amerika menjelaskan etnisitas mereka dengan sejumlah historis yang panjang mengenai etnik keluarga yang telah bergabung
dari etnis lain. Yang lain bahkan sering secara sederhana mengakui diri mereka hanya sebagai orang Amerika atau ‘’Amerika kulit putih’’. Sering kali, mereka adalah anggota
dari kelompok budaya dominan Amerika, yang semula meninggalkan tradisi religius
Universitas Sumatera Utara
Kristen-Judeo yang berasal dari Eropa Barat, yang garis silsilah secara historis diberi ciri oleh pencampuran yang luas melalui pernikahan antar etnis selama bertahun-tahun.Martin
dan Nakayama menulis banyak praktik budaya yang diasosiasikan dengan ‘’warna kulit putih’’ melebihi kesadaran partisipan, tapi tidak dapat dilihat oleh anggota kelompok
budaya minoritas. Oleh karena itu, ‘’putih’’ sering diasosiasikan dengan posisi keistimewaan Samovar dkk, 2007: 114.
II. 3. 2 Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis
Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif struktural dan pendektan subjektif fenomenologis. Jika pendekatan objektif melihat sebuah
kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan.
Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu
kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiaanya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti Mulyana
Jalaludin, 2005: 152. Jadi penelitian ini menggunakan pendektan kedua yaitu pendekatan subjektif yang
sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas bersifat dinamik.
Pendekatan subjektif fenomenologis terhadap identitas etnis dapat dilacak hingga ke definisi Cooley dan Mead tentang diri. Pendekatan ini mengkritik pendekatan
positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang individu-individu
sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka,
Universitas Sumatera Utara
pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif Mulyana Jalaludin, 2005: 155.
Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri sosio-kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnik antara yang satu dengan lainnya. Barth yang
dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar,
memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor menggunakan identitas-identitas etnis untuk mengkategorisasikan diri mereka dan orang-
orang lain untuk tujuan interaksi Mulyana Jalaludin, 2005: 156. Perspektif Barth akhirnya mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang
disebut Paden dan Cohen etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnis digunakan individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kajian-kajian ini
menganggap identitas etnis sebagai dinamik, cair dan situasional Mulyana Jalaludin, 2005: 156.
Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpretif dalam menilai identitas. Perspektif interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa
dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas identitas etnis muncul ketika pesan saling dipertukaran di antara orang-orang. Ini artinya
bahwa menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal
pengakuan dan askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik Martin Thomas, 2007: 158
Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain mengatribusikan
identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu
Universitas Sumatera Utara
yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan
berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Intinya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas
etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core Symbols nilai budaya memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep
sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya.
II.3 Interaksionisme Simbolik II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik