BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, peradaban manusia telah berkembang demikian kompleksnya. Manusia selain sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok dan berkomunikasi
dengan sesamanya, juga sebagai individu-individu dengan latar belakang budaya yang berlainan. Mereka saling bertemu, baik secara tatap muka maupun melalui media
komunikasi. Maka tidaklah heran, perkembangan dunia saat ini semakin menuju pada suatu global village desa dunia. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa sekarang ini
komunikasi antarbudaya semakin penting dan semakin vital ketimbang di masa-masa sebelum ini.
Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa- bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami
komunikasi dengan orang yang berbeda budaya bila kita sangat etnosentrik. Begitupun dengan bangsa Indonesia yang ber-Bhineka, komunikasi antarbudaya lebih penting lagi
mengingat bangsa kita terdiri dari berbagai suku, agama, ras, etnik, dan golongan. Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat
dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat
dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya
untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain. Setiap kelompok etnik pendatang memiliki kebudayaan, nilai, norma dan pola
kelakuan tersendiri, yang belum tentu sama dengan penduduk lokal. Karena dalam setiap
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan dikenal istilah etnosentrime, yang berarti suatu keyakinan kelompok pendukung satu kebudayaan bahwa nilai dan norma kebudayaan yang mereka anut lebih
unggul. Dengan demikian dapat diberi batasan pengertian bahwa yang dimaksud dengan etnik pendatang adalah orang yang berasal dari daerah lain yang memiliki kebudayaan,
nilai, norma, dan polak kelakuan yang belum tentu sama dengan penduduk lokal. Artinya bahwa tidak terbatas pada suatu wilayah geografi saja melainkan dari luar wilayah
geografi, misalnya saja etnik minangkabau, jawa, malaysia, amerika, dan lain-lain adalah termasuk ke dalam kelompok etnik pendatang, bila konteksnya adalah Kota Medan.
Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar seperti Kota Medan, pertemuan kita dengan orang dari daerah lain yang berbeda budaya tidak terhindarkan
lagi. Seperti dikemukakan Margarete Schwezer dalam Mulyana dan Rahmat, 2003:215 perbedaan antar daerah tersebut khusus dapat ditemukan dalam bahasa, struktur ekonomi,
struktur sosial, agama, norma-norma, gaya interaksi dan pemikiran, serta sejarah lokal. Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia yang akan menuju pada
kota megapolitan nantinya, memiliki masyarakat majemuk, karena selain masyarakat tuan rumah etnik BatakMelayu, juga terdapat etnik-etnik pendatang dari berbagai pelosok
nusantara bahkan luar negeri. Sebagai tamu, etnik pendatang harus mampu untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan etnik BatakMelayu. Paraetnik yang berasal dari
berbagai daerah di Indonesia ini ada yang sudah berdomisili atau menetap settlers terutama mereka yang umumnya mengadu nasib dengan mencari sumber
penghidupanbekerja dan ada yang tidak menetap sojourners hanya untuk melanjutkan sekolah di kota Medan. Seperti Mahasiswa etnik pendatang yang studi di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan. Banyaknya mahasiswa etnik pendatang yang melanjutkan studi Di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan didorong oleh biaya pendidikan yang lebihmurah
Universitas Sumatera Utara
karena Universitas Sumatera Utara termasuk salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Selain itu, motivasi mereka kuliah di Medan adalah salah satu orangtua mereka
merupakan etnik Batak atau Melayu namun sudah menetap di kota lain. Ataupun disebabkan ada salah satu keluarga mereka yang sudah menetap di Kota Medan, serta
motivasi klise yaitu keinginan untuk merantau jauh dari kampung halaman dan pesona gadis-gadis Kota Medan yang terkenal akan kecantikannya.
Para mahasiswa pendatang tersebut tentunya akan memasuki budaya yang berbeda dengan budaya etnik asal. Ketika memasuki budaya baru kemungkinan mahasiswa etnik
pendatang mengalami gegar budaya culture shock sehingga menimbulkan kecemasan karena kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial sebelumnya.
Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang biasa kita lakukan sehari-hari seperti; kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang lain,
bagaimana berbelanja, kapan menerima dan kapan menolak undangan, ucapan apa yang harus dikatakan jika ingin turun dari angkutan kota, dan lain-lain. Perbedaan petunjuk-
petunjuk ini mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan- kebiasaan, norma-norma, dan bahkan makanan.
Kalvero Oberg dalamMulyana Dan Rahmat, 2003:174 menyatakan gegar budaya culture shock adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan
yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan keluar daerah asal. Sebagaimana penyakit lainya, gegar budaya ini dapat diatasi oleh etnik pendatang
dengan adaptasi terhadap budaya setempat. Young Yun Kim dalam Mulyana dan Rahmat, 2003:146 mengemukakan setiap individu pendatang untuk jangka waktu pendek
ataupun panjang harus beradaptasi dan berinteraksi dengan budaya tuan rumah. Demikian pula para mahasiswa etnik pendatang yang studi Di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan yang mempunyai latar belakang dan asal etnik yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda-beda ini memasuki suatu budaya baru yang tentunya banyak mengalami hal-hal baru. Cara untuk memahami hal baru tersebut melalui proses adaptasi terhadap budaya
setempat yaitu dengan budaya etnik Batak atau Melayu agar dapat diterima dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Akhirnya, berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis yang merupakan bagian dari etnik lokal tempatan berkeinginan untuk mengetahui interaksi komunikasi antarbudaya
pada mahasiswa etnik pendatang di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan dalam sebuah karya ilmiah.
1.2 Perumusan Masalah