Hakekat Budaya dan Komunikasi Antarbudaya

BAB II Uraian Teoritis

II.1 Hakekat Budaya dan Komunikasi Antarbudaya

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” global village yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat dalam arti luas harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu Universitas Sumatera Utara masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasike generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Tidak banyak orang menyadari bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau tidak melibatkan sebuah komunikasi. Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan semua orang untuk mengenal panorama dasar- dasar komunikasi antarbudaya itu. Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa interaksi antar-budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Maka dari itu kita perlu tahu apa-apa yang menjadi unsur-unsur dalam terbentuknya proses komunikasi antarbudaya, yang antara lain adalah adanya komunikator yang berperan sebagai pemrakarsa komunikasi; komunikan sebagai pihak yang menerima pesan; pesansimbol sebagai ungkapan pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Sehingga “kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall. Jadi sebenarnya tak ada komunitas tanpa kebudayaan, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari informasi. Dengan kata lain, tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi. Di sinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya itu. Menurut Alo Liliweri pakar komunikasi antarbudaya mengatakan bahwa sebagai bagian dari tuntutan glabalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini, mendorong kepada kita terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas Universitas Sumatera Utara sektoral. Belum lagi perubahan-perubahan global lainnya yang semakin deras dan menjadi bukti nyata bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara mendalam. Lebih lanjut, Alo Liliweri menjelaskan bahwa esensi komunikasi terletak pada proses, yakni sesuatu aktivitas yang “melayani” hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia human communication, sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia kemarin, kini, dan mungkin di masa yang akan datang. Sedangkan budaya atau kebudayaan menurut Burnett Taylor dalam karyanya yang berjudul Primitive Culture, adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Di samping mengetahui pengertian kebudayaan kita juga harus mengetahui unsur-unsur kebudayaan manusia yang antara lain adalah sejarah kebudayaan, identitas sosial, budaya material, peranan relasi, kesenian, bahasa dan interaksi, stabilitas kebudayaan, kepercayaan atas kebudayaan dan nilai, etnosentrisme, perilaku non-verbal, hubungan antar ruang, konsep tentang waktu, pengakuan dan ganjaran, pola pikir, dan aturan-aturan budaya. Jadi yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang dilakukan mereka yang berbeda latarbelakang kebudayaan. Jadi, suatu proses kumunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang karena memiliki keragaman memberikan interpretasi dan harapan secara berbada terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Secara alamiah, proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi antarbudaya yang Universitas Sumatera Utara menghendaki adanya interaksi sosial. Menurut Jackson 1967, menekankan bahwa isi content of communication komunikasi tidak berbeda dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi content dan makna meaning esensial dalam bentuk relasi relations. Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang manakala kita mampu meramalkan secara tepat proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai komunikasi yang sukses bila bentuk- bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya. Karena itu, terjadinya kesenjangan dalam masyarakat seringkali disebabkan oleh datangnya perubahan dari luar. struktur sosial baru berdasarkan profesi dan fungsi yang lebih rasional mengakibatkan perubahan relasi. Dalam kaitannya dengan komunikasi antar budaya, perubahan-perubahan yang datang dari dalam maupun dari luar sangat berpengaruh terhadap perubahan relasi antar budaya. Akibat kontak, interaksi dan hibingan antar anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya, muncullah komunikasi antarbudaya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada komunitas tanpa budaya, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari Universitas Sumatera Utara informasi. Dengan kata lain tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa adanya komunikasi. Disinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya. Semua fenomena itu, selain karena disebabkan perubahan yang ada, juga karena kurangnya komunikasi. Akhirnya, memerlukan sebuah komunikasi antarbudaya guna mengurangi kesalahpahaman di antara sesama manusia. Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994. Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku non- verbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman. Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35 komponen verbal sedangkan 65 lagi terjadi dalam komponen nonverbal Ray L. Birdwhistell, 1969. Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk Universitas Sumatera Utara komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan peng- alaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri de- ngan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal. Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khusus- nya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cen- derung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama Bennet, Milton J., 1998. Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini. Universitas Sumatera Utara

II.1.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan

Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan. Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negara- negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998. Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin. Universitas Sumatera Utara

II.1.2 Individualisme dan Kolektivisme

Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semua- nya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka Hofstede, Geert, 1980. Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong Universitas Sumatera Utara untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.

II.2 Terjadinya Komunikasi Antarbudaya