“Interaksi Komunikasi Antar Budaya Pada Mahasiswa USU.

(1)

( Suatu Studi Deskriptif Terhadap Mahasiswa Etnik Pendatang Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara )

Disusun Oleh HERIANTO SIHOTANG


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Interaksi Komunikasi Antar Budaya Pada Mahasiswa USU” dengan perumusan masalah, untuk mengetahui bagaimana proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi komunikasi antar budaya, antara Mahasiswa pendatang dengan Mahasiswa lokal di fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No.19 Medan.

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adaptasi serta proses yang mempengaruhi adaptasi Mahasiswa etnik pendatang sebagai komunikasi antarbudaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan analisa tabel tunggal yang mana menggunakan suatu analisa yang dilakukan dengan membagi-bagikan varibel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa kolom yang merupakan sejumlah frekuensi dan persentase untuk setiap kategori.

Adapun populasi dalam penelitian adalah seluruh mahasiswa pendatang di fakukltas Sastra Universitas Sumatera Utara yang teregistrasi pada bagian kemahasiswaan dari stambuk 2008-2010 yang berjumlah 952 orang. Sedangkan jumlah sampel yang diambil menurut rumus Taro Yamane sebesar 90 orang.

Dari penelitian yang dilakukan bahwa interaksi komunikasi antar budaya pada Mahasiswa etnik pendatang memiliki peranan penting untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan persahabatan. Sementara Komunikasi sebagai solusi konflik pada hubungan persahabatan mahasiswa fakultas Sastra pada dasarnya sudah diterapkan dalam hubungan persahabatan. Karena penerapan komunikasi yang efektif dalam persahabatan dapat memperkecil masalah yang terjadi bahkan dalam hal penyelesaian konflik dalam pergaulan.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaannirrahiim

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.shalawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang senantiasa kita harapkan syafaatnya di yaumil akhir.

Adapun judul dari penelitian ini adalah ”Interaksi Komunikasi Antar Budaya Pada Mahasiswa USU (Suatu Studi Deskriptif Terhadap Mahasiswa Etnik Pendatang Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara).” Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan studi Strata 1 (S1) pada program studi Ilmu Komunikasi FISIP di Universitas Sumatera Utara (USU).

Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini adalah karena adanya motivasi, masukan serta kritikan yang penulis peroleh dari berbagai pihak.oleh karena itu,penulis pertama kali menyampaikan terima kasih kepada Bapakku S.Sihotang dan mamakku R.Hasibuan yang telah berkorban untuk anaknya sampai saat ini dan mendukung penulis baik moril maupun materil. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih untuk Adik-adikku, Candra Kirana Sihotang dan istri Mariance Juliana Hasibuan beserta kedua ponakan ku, Prawira Aji Kirana dan adiknya Revaldi Kirana Sihotang,adikku Nopa Sartika Sihotang,dan adikku Neni Ad yang telah menjadi penyemangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penghargaan yang tak ternilai penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si. Dekan FISIP USU


(4)

2. Bapak Drs. Amir Purba,MA,selaku Ketua Departemen Ilmu komunikasi Fisip USU.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati,M.Si,sekretaris Departemen Ilmu komunikasi Fisip USU

4. Ibunda Dra. Lusiana A.Lubis,MA,Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan,bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Ilm ukomunikasi Fisip USU

6. Kak maya yang banyak membantu peneliti untuk mengurusi atministrasi peneliti 7. Abanganda Zulham, kepala tata tata usaha PD 1 sastra USU yang telah banyak

memberi bantuaan kepada penulis

8. Abangda Samsul Tarigan, Pembantu Dekan 2 Sastra yang telah banyak memberikan banyak ilmu dan pengalaman sewaktu penulis masi kuliah di Sastra. 9. Abang-abang senioren yang ada di Sastra, Abangda Drs.Boyke Turangan

MSP,Abangda Drs.Yos Rizal,MSP,Abangda Efrison Coto SS,M.Hum,Abanda Azrai MSP Abangda Sabriandi Erdian SS,M.Hum,Mas yono,Pak Win Ariyoga,Alm Jhon Irwansah,Singa Maung, Juraidi tanjung, yang telah banyak memberikan pengalaman kepada penulis

10.Kawan-kawan seperjuangan, Ansor Harahap, Murtopo MT, Palit Hanafi Lubis, Mario Halawa, Jan Butar-butar, Frans Jun Manalu, Utan Rangga sona, Budi Warsito,Palla Muara Dona Silaban,Pain dan lain-lain yang tak tertuliskan satu persatu,semoga cepat sukses ya!!

11.Adik adik yang ada di Gemapala FS USU, dek Arfansyah, Frezer, Afrio landra, Rocky Tanaka, Alfa reza Lubis, Yogi Satara, Nur Fatimah, heny, Iyan Siregar, Teguh, Tari, Leony, Ema dan Angkatan 1216 semuanya.


(5)

12.Kawan-kawan extensi Fisip angkatan 2008 yang telah pada tamat maupun yg belum,yang belum mudah-mudahan cepat tamat ya!

13.Kantin mom yang telah banyak membantu Mahasiswa tempat hutang anak-anak kurang mampu. Makasih atas bantuan yang mem berikan

14.Semua pihak yang belum tersebutkan diatas yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaannya,untuk itu dengan segala kerendahan hati peneliti berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan.semoga skripsi ini dapat memberikan sembangan pemikiran kepada pembaca.

Medan, Desember 2010 Peneliti,


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ………..………...………..…i

DAFTAR ISI………...………..……….v

DAFTAR LAMPIRAN………..……….………...ix

BAB I PENDAHULUAN……….…...1

I.1 Latar Belakang Masalah….…….……….…….…...…..1

I.2 Perumusan Masalah…...……….………....…..5

I.3 Pembahasan masalah……...………..………...…...5

I.4 Tujuan Manfaat Penelitian ………..…...……...5

I.4.1 Tujuan Penelitian………...…..5

I.4.2 Manfaat Penelitian……….………..…...…..6

I.5 Kerangka Pemikiran……….…….…………6

I.5.1 Komunikasi Antarbudaya…………....……….……….6

I.5.1.1 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi Antar budaya...7

I.5.1.2 Bahasa Sebagai Bagian Dari Kebudayaan………..9

I.5.1.3 Model Komunikasi antarbudaya……….11

I.5.2 Konsep Interaksi Dalam Komunikasi………14

I.5.3 Model Komunikasi ABX Newcomb (model keseimbangan)....…19

I.5.4 Teori Adaptasi Antar budaya……….21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………..…..23

II.1 Hakekat Budaya dan Komunikasi Antarbudaya……….….23


(7)

II.1.2 Individualisme dan Kolektivisme………..……31

II.2 Terjadinya Komunikasi Antarbudaya………..32

II.2.1 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan Komunikasi Antarbudaya....38

II.2.2 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya … ………… .…….41

II.3 Identitas Etnis………...44

II.3.1 Pengertian Identitas Etnis………....……44

II.3.2 Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis………49

II.4 Interaksionisme Simbolik………..…52

II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik………....52

II.5 Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)....………..57

II.6 Remaja dan Persahabatan……….……….61

II.7 Konflik Dalam Hubungan Persahabatan……….……..64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………..…...70

III.1 Metode Penelitian………..…. 70 III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……….…...70

III.3 Populasi dan Sampel……… ………… ……...70

III.3.1 Populasi………..…70

III.3.2 Sampel………..…71


(8)

III.4 Teknik Pengumpulan

Data………...……….72

III.5 Teknik analisis Data………...………72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….74

IV.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………..74

IV.1.1 Lokasi Penelitian…………...………74

IV.1.2 Keadaan Mahasiswa………. ..…..76

IV.2 Analisis Tabel Tunggal………...77

IV.2.1 Karakteristik Responden………...…...……….77

IV.2.2 Peranan Komunikasi Antarpribadi…………....…...……82

IV.2.3 Konflik Dalam Hubungan Persahabatan………...….…..93

IV.3 Pembahasan………...…..95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...….….99

V.1 Kesimpulan ………...99


(9)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Interaksi Komunikasi Antar Budaya Pada Mahasiswa USU” dengan perumusan masalah, untuk mengetahui bagaimana proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi komunikasi antar budaya, antara Mahasiswa pendatang dengan Mahasiswa lokal di fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No.19 Medan.

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adaptasi serta proses yang mempengaruhi adaptasi Mahasiswa etnik pendatang sebagai komunikasi antarbudaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan analisa tabel tunggal yang mana menggunakan suatu analisa yang dilakukan dengan membagi-bagikan varibel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa kolom yang merupakan sejumlah frekuensi dan persentase untuk setiap kategori.

Adapun populasi dalam penelitian adalah seluruh mahasiswa pendatang di fakukltas Sastra Universitas Sumatera Utara yang teregistrasi pada bagian kemahasiswaan dari stambuk 2008-2010 yang berjumlah 952 orang. Sedangkan jumlah sampel yang diambil menurut rumus Taro Yamane sebesar 90 orang.

Dari penelitian yang dilakukan bahwa interaksi komunikasi antar budaya pada Mahasiswa etnik pendatang memiliki peranan penting untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan persahabatan. Sementara Komunikasi sebagai solusi konflik pada hubungan persahabatan mahasiswa fakultas Sastra pada dasarnya sudah diterapkan dalam hubungan persahabatan. Karena penerapan komunikasi yang efektif dalam persahabatan dapat memperkecil masalah yang terjadi bahkan dalam hal penyelesaian konflik dalam pergaulan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, peradaban manusia telah berkembang demikian kompleksnya. Manusia selain sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok dan berkomunikasi dengan sesamanya, juga sebagai individu-individu dengan latar belakang budaya yang berlainan. Mereka saling bertemu, baik secara tatap muka maupun melalui media komunikasi. Maka tidaklah heran, perkembangan dunia saat ini semakin menuju pada suatu global village (desa dunia). Hal ini menimbulkan anggapan bahwa sekarang ini komunikasi antarbudaya semakin penting dan semakin vital ketimbang di masa-masa sebelum ini.

Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi dengan orang yang berbeda budaya bila kita sangat etnosentrik. Begitupun dengan bangsa Indonesia yang ber-Bhineka, komunikasi antarbudaya lebih penting lagi mengingat bangsa kita terdiri dari berbagai suku, agama, ras, etnik, dan golongan.

Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.

Setiap kelompok etnik pendatang memiliki kebudayaan, nilai, norma dan pola kelakuan tersendiri, yang belum tentu sama dengan penduduk lokal. Karena dalam setiap


(11)

kebudayaan dikenal istilah etnosentrime, yang berarti suatu keyakinan kelompok pendukung satu kebudayaan bahwa nilai dan norma kebudayaan yang mereka anut lebih unggul. Dengan demikian dapat diberi batasan pengertian bahwa yang dimaksud dengan etnik pendatang adalah orang yang berasal dari daerah lain yang memiliki kebudayaan, nilai, norma, dan polak kelakuan yang belum tentu sama dengan penduduk lokal. Artinya bahwa tidak terbatas pada suatu wilayah geografi saja melainkan dari luar wilayah geografi, misalnya saja etnik minangkabau, jawa, malaysia, amerika, dan lain-lain adalah termasuk ke dalam kelompok etnik pendatang, bila konteksnya adalah Kota Medan.

Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar seperti Kota Medan, pertemuan kita dengan orang dari daerah lain yang berbeda budaya tidak terhindarkan lagi. Seperti dikemukakan Margarete Schwezer (dalam Mulyana dan Rahmat, 2003:215) perbedaan antar daerah tersebut khusus dapat ditemukan dalam bahasa, struktur ekonomi, struktur sosial, agama, norma-norma, gaya interaksi dan pemikiran, serta sejarah lokal.

Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia yang akan menuju pada kota megapolitan nantinya, memiliki masyarakat majemuk, karena selain masyarakat tuan rumah (etnik Batak/Melayu), juga terdapat etnik-etnik pendatang dari berbagai pelosok nusantara bahkan luar negeri. Sebagai tamu, etnik pendatang harus mampu untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan etnik Batak/Melayu. Paraetnik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini ada yang sudah berdomisili atau menetap (settlers) terutama mereka yang umumnya mengadu nasib dengan mencari sumber penghidupan/bekerja dan ada yang tidak menetap (sojourners) hanya untuk melanjutkan sekolah di kota Medan. Seperti Mahasiswa etnik pendatang yang studi di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Banyaknya mahasiswa etnik pendatang yang melanjutkan studi Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan didorong oleh biaya pendidikan yang lebihmurah


(12)

karena Universitas Sumatera Utara termasuk salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Selain itu, motivasi mereka kuliah di Medan adalah salah satu orangtua mereka merupakan etnik Batak atau Melayu namun sudah menetap di kota lain. Ataupun disebabkan ada salah satu keluarga mereka yang sudah menetap di Kota Medan, serta motivasi klise yaitu keinginan untuk merantau jauh dari kampung halaman dan pesona gadis-gadis Kota Medan yang terkenal akan kecantikannya.

Para mahasiswa pendatang tersebut tentunya akan memasuki budaya yang berbeda dengan budaya etnik asal. Ketika memasuki budaya baru kemungkinan mahasiswa etnik pendatang mengalami gegar budaya (culture shock) sehingga menimbulkan kecemasan karena kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial sebelumnya. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang biasa kita lakukan sehari-hari seperti; kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang lain, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan kapan menolak undangan, ucapan apa yang harus dikatakan jika ingin turun dari angkutan kota, dan lain-lain. Perbedaan petunjuk-petunjuk ini mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, norma-norma, dan bahkan makanan.

Kalvero Oberg (dalamMulyana Dan Rahmat, 2003:174) menyatakan gegar budaya

(culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan

yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan keluar daerah asal. Sebagaimana penyakit lainya, gegar budaya ini dapat diatasi oleh etnik pendatang dengan adaptasi terhadap budaya setempat. Young Yun Kim (dalam Mulyana dan Rahmat, 2003:146) mengemukakan setiap individu pendatang untuk jangka waktu pendek ataupun panjang harus beradaptasi dan berinteraksi dengan budaya tuan rumah.

Demikian pula para mahasiswa etnik pendatang yang studi Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan yang mempunyai latar belakang dan asal etnik yang


(13)

berbeda-beda ini memasuki suatu budaya baru yang tentunya banyak mengalami hal-hal baru. Cara untuk memahami hal baru tersebut melalui proses adaptasi terhadap budaya setempat yaitu dengan budaya etnik Batak atau Melayu agar dapat diterima dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Akhirnya, berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis yang merupakan bagian dari etnik lokal (tempatan) berkeinginan untuk mengetahui interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa etnik pendatang di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan dalam sebuah karya ilmiah.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimaina proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi komunikasi antarbudaya antara mahasiswa pendatang dengan mahasiswa lokal (tempatan) di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimana adaptasi mahasiswa etnik pendatang berlangsung sebagai komunikasi antarbudaya Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan


(14)

2) Apa yang mempengaruhi proses interaksi mahasiswa etnik pendatang Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mengetahui bagaimana adaptasi mahasiswa etnik pendatang berlangsung sebagai komunikasi antarbudaya Di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan 2) Mengetahui proses yang mempengaruhi adaptasi mahasiswa etnik pendatang Di

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan

1.4 Manfaat Penelitian dan mamfaat penelitian

Manfaat Teoritis : diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi antarbudaya.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1. Komunikasi Antarbudaya

Pada dasarnya, antara komunikasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan itu terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok social. Yang menjadi pusat perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi

bagaimana menjajaki makna, model tindakan dan bagaimana makna serta model‐model itu diartikulasi sebuah kelompok sosial yang melibatkan interaksi antar manusia.

Dari penjelasan tersebut, berikut beberapa pendapat tentang definisi komunikasi antarbudaya, yaitu : pertama, lomunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara


(15)

orang‐orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antar suku bangsa, antar etnik, ras dan kelas sosial. (Andrea L. dan Dennis dalam Liliweri, 2003:12)

Kedua, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi antara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. (Samovar dan Porter dalam Liliweri, 2003:12). Ketiga, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi atau kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. (Charley H. Dood dalam Liliweri, 2003:12) Dari beberapa

definisitadi, Nampak jelas bahwa factor fungsi‐fungsi dan hubungan‐hubungan antara komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antar budaya. Namun, yang menjadi ciri utama dari suatu komunikasi antarbudaya yaitu adanya komunikator dan komunikan berasal dari budaya yang berbeda. Maka dari itu, komunikasi antar budaya dapat disimpulkan sebagai komunikasi yang komunikatornya adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.

1.5.1.1 Bahasa sebagai Bagian Dari Kebudayaan

Bahasa berfungsi sebagai medium perantara informasi dari satu tempat ke tempat yang lain. (Samovar dan Porter, 2003, p.186). Peran bahasa dalam budaya dapat dilihat sebagai suatu perkembangan karena bahasa adalah suatu tindakan simbolik yang menciptakan suatu substansi dari budaya. Dalam studi kebudayaan, bahasa ditempatkan

sebagai sebuah unsur penting selain unsur‐unsur lain seperti system pengetahuan, mata pencaharian, adat istiadat, kesenian dan sistem peralatan hidup. Bahkan bahasa dapat dikategorikan sebagai unsure kebudayaan yang berbentuk non material selain nilai, norma dan kepercayaan.


(16)

Sebagaimana diketahui, kebudayaan hanya ditemukan dalam masyarakat manusia sebab hanya manusialah yang dapat mengembangkan sistem simbol dan menggunakannya secara lebih baik, apalagi simbol-simbol itu dibentuk dalam kebudayaan. Secara sederhana, simbol dapat diartikan sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu, dan frekuensi penggunaanya yang paling tinggi ada dalam bahasa. Bahasa yang digunakan oleh semua komunitas suku bangsa didunia terdiri dari susunan kata-kata, kata-kata disusun oleh simbol sehingga bahasa merupakan susunan berlapis-lapis dari simbol yang ditata menurut ilmu bahasa. Pada gilirannya, simbol-simbol itu (baik yang

berasal dari bunyi maupun ucapan) dibentuk oleh sebuah kebudayaan sehingga kata‐kata maupun bahasa dibentuk pula oleh kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa merupakan kbudaya yang sangat penting yang mempengaruhi penerimaan kita, perilaku kita perasaan dan kecenderungan kita untuk bertindak menanggapi dunia sekeliling. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi kesadaran kita, aktivitas dan gagasan kita, benar atau salah, moral atau tidak bermoral, dan baik atau buruk. Bahasa atau peristiwa mempengaruhi cara berpikir seseorang atau caranya memandang dunia.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan salah satu unsur penting dari kebudayaan yang berbentuk nonmaterial, bahasa mencerminkan budaya. Orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga memiliki cara pandang yang berbeda. Selain itu, bahasa juga merupakan intisari dari fenomena social. Karena tanpa adanya bahasa, tidak mungkin ada masyarakat.

1.5.1.2 Model Komunikasi Antarbudaya.

Sesuai dengan subyek penelitian yang sedang dikaji, kita dihadapkan pada


(17)

komunikasi interpersonalnya itu harus disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Namun sekalipun budaya itu turut mempengaruhi pribadi (frame of

references and field of experiences) seseorang, tapi tidak 100%. Jika dilihat dari perilaku

yang nampak pada proses komunikasi seseorang, bentuknya tidak akan 100% sama dengan bentuk budaya yang ia anut. Pengaruh budaya terhadap proses penyandian dan penyandian balik dalam komunikasi interpersonal terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Model Komunikasi Antarbudaya

Budaya C

Sumber: Deddy Mulyana dan Jalalludin,2002

Gambar ini menunjukkan adanya tiga budaya yang berbeda yang diwakili oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Bentuk budaya A dan budaya B hampir serupa, namun lain dengan budaya C yang bentuknya jauh berbeda.

bbbbbBb


(18)

Dalam setiap budaya ada bentuk lain individu yang agak serupa dengan bentuk budaya itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini menggambarkan adanya pengaruhpengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu dan sekalipun budaya itu dominant dalam mempengaruhi individu, orang-orang

dalam suatu budaya pun memiliki sifat‐sifat yang berbeda.

Sementara model Gudykunst dan Kim mengasumsikan bahwa dua orang yang terlibat dalam kegiatan komunikasi ini mempunyai kedudukan yang sama, sama-sama sebagai pengirim sekaligus penerima pesan, serta sama-sama melakukan enconding dan

deconding. Hal tersebut mengakibatkan pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan

balik bagi pihak laiinnya yang ditunjukkan oleh adanya garis dari penyandian seseorang ke penyandian balik orang lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian balik orang pertama. Sedangkan kedua garis umpan balik atau pesan itu menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara bersamaan kita melakukan penyandian dan penyandian balik. Dengan kata lain, komunikasi yang terjadi itu tidak statis.

Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian dan penyandian balik terhadap pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan menjadi factor-faktor kultur, sosiokultur dan psikokultur yang nampak pada lingkaran dengan garis putus-putus. Garis putus-putus itu sendiri menggambarkan bahwa ketiga factor ini saling berhubungan dan mempengaruhi. Selain itu, kedua individu yang terlibat juga terletak dalam suatu kotak dengan garis putus-putus yang berarti mewakili pengaruh lingkaran. Hal ini sekali lagi menggambarkan bahwa lingkaran tersebut bukanlah suatu sistem tertutup.

Pengaruh kultur dalam model ini meliputi penjelasan mengenai kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia, bahasa, sikap kita terhadap manusia


(19)

(individualisme atau kolektivisme). Sebab ini akan mempengaruhi perilaku komunikasi kita.

Pengaruh sosiokultur akan nampak pada proses penataan sosial yang berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu. Ada empat faktor utama dalam sosiobudaya yaitu : keanggotaan kita dalam kelompok sosial, konsep diri kita, ekspektasi peran kita, dan definisi kita mengenai hubungan antarpribadi.

Dimensi psikokultur mencakup proses penataan pribadi. Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis. Faktor-faktor dalam psikobudaya adalah stereotip dan sikap terhadap kelompok lain. Kedua factor ini akan menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku, dan pada akhirnya akan mempengaruhi cara kita menafsirkan stimulus yang dating dan prediksi kita tentang perilaku orang lain.

Ada pula unsur lain yang melengkapi model Gudykunst dan Kim yaitu lingkungan. Lingkungan akan mempengaruhi kita dalam melakukan penyandian dan penyandian balik suatu pesan. Yang dimaksudkan dengan lingkungan adalah mencakup iklim, lokasi geografis, lingkungan fisik, dan persepsi kita atas suatu lingkungan.


(20)

1.5.1.3 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya

Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai komunikasi antar budaya, hal yang terpenting didalamnya yang membedakan dengan kajian ilmu komunikasi lainnya adalah

adanya perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang dari pihak‐pihak yang terkait dalam proses komunikasi.

Adapun penyebab perbedaan ini tak lain adalah perbedaan budaya. Perbedaan-perbedaan budaya bersama-sama dengan Perbedaan-perbedaan-Perbedaan-perbedaan lain dalam diri seorang individu (misalnya kepribadian individu, umur, jenis kelamin, dan penampakan fisik) dapat memberikan kontribusi pada sifat permasalahan yang melekat dalam komunikasi antarmanusia. Menurut Lewis dan Slade, ada tiga perbedaan yang paling mendasar dalam proses komunikasi antar budaya yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. (Lewis dan Slade dalam rahardjo, 2005:54). Ketiga hal ini bisa mengakibatkan kemacetan dalam proses komunikasi antarbudaya.Namun selain itu, ada pula beberapa faktor penghambat lain seperti etnosentrisme, prasangka dan stereotip.

Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka (Rogers & Steinfatt dalam rahardjo, 2005:55).Tanpa memandang siapa individu yang terlibat dan bagaimana budayanya, etnosentrisme selalu muncul sebagai penghambat terjalinnya komunikasi antar budaya yang efektif. Perlu diketahui, etnosentrisme itu biasanya dipelajari oleh setiap individu dalam keadaan tidak sadar, namun selalu diekspresikan dalam keadaan sadar, sehingga perlu adanya kewaspadaan terhadap perilaku etnosentrisme tersebut.

Stereotip adalah generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rogers & Steinfatt dalam rahardjo, 2005:57).Sikap seperti ini seringkali nampak ketika seseorang menilai orang lain pada basis kelompok etnis tertentu, dan selanjutnya dibawa pada penilaian terhadap pribadi individu tersebut. Maka dari itu,


(21)

sebenarnya ketika seseorang sedang melakukan kontak antar budaya dengan individu lain, pada dasarnya seseorang tersebut sedang berkomunikasi dengan identitas etnis dari individu tersebut.

Yang menjadi permasalahan utama dalam proses komunikasi antarbudaya adalah ketika individu-individu yang terkait yang notabene berbeda budaya itu memfokuskan secara destruktif stereotip negatif yang mereka pegang masing-masing, sehingga persepsi mereka tidak akan berubah.

Prasangka adalah sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasrkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak disadari. (Rogers & Steinfatt dalam rahardjo, 2005:.55).Berdasarkan penilaian tadi, sikap prasangka telah membuat seseorang memasang pagar pembatas terhadap orang lain dalam pergaulan dan justru seseorang akan cenderung menjadi emosional ketika prasangka terancam oleh hal-hal yang bersifat kontradiktif. Itu sangat menghalangi seseorang untuk dapat melihat kenyataan secara akurat.

Biasanya sikap prasangka diekspresikan melalui komunikasi. Dari uraian tentang stereotip dan prasangka, perbedaan utama diantara keduanya adalah jika prasangka merupakan sikap (attitude), namun kalau stereotip merupakan keyakinan (belief). Tapi, keduanya sama-sama dapat menjadi positif maupun negatif. Baik stereotip maupun prasangka akan mempengaruhi persepsi seseorang ketika melakukan kontak antarbudaya dalam berbagai cara.

1.5.2 Konsep Interaksi dalam Komunikasi

Adanya aktivitas-aktivitas dalam kehidupan sosial menunjukkan bahwa manusia mempunyai naluri untuk hidup bergaul dengan sesamanya (disebut gregariousness). Naluri ini merupakan salah satu yang paling mendasar dalam kebutuhan hidup manusia,


(22)

disamping kebutuhan akan; afeksi (kebutuhan akan kasih sayang), inklusi (kebutuhan akan kepuasan), dan kontrol (kebutuhan akan pengawasan). Dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup tersebut akan mendorong manusia untuk melakukan interaksi dengan sesamanya, baik untuk mengadakan kerjasama (cooperation) maupun untuk melakukan persaingan (competition).

Kata interaksi berasal dari Bahasa Inggris interaction artinya suatu tindakan yang berbalasan. Dengan kata lain suatu proses hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi. Jadi interaksi sosial (social interaction) adalah suatu proses berhubungan yang dinamis dan saling pengatuh mempengaruhi antar manusia.

Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack dalam buku Sociology and

Social Life menyatakan bahwa : “Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan

sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Sementara itu Soerjano Soekamto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar menyatakan bahwa : “Interaksi sosial (yang juga dinamakan proses sosial) merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.”

Interaksi antar manusia dimaksud adalah :

a) interaksi antara individu dengan individu,

b) interaksi antara individu dengan kelompok, dan

c) interaksi antara kelompok dengan kelompok.

Hasil dari pada interaksi sosial ada dua sifat kemungkinan :

a. Bersifat positif; suatu interaksi yang mengarah kerjasama dan menguntungkan. Contoh persahabatan.

b. Bersifat negatif; suatu interaksi yang mengarah pada suatu pertentangan yang berakibat buruk atau merugikan. Contoh perselisihan, pertikaian, dan sebagainya.


(23)

Berdasarkan hasil interaksi yang negatif tersebut di atas maka itulah yang menjadi hambatan dalam proses Komunikasi Interpersonal. Dalam situasi pertentangan Komunikasi Interpersonal tidak dapat dilaksanakan dengan baik, kalau pun dipaksakan dilaksanakan pasti kegiatan Komunikasi Interpersonal efeknya tidak akan berhasil.

Sehubungan dengan komunikasi antarbudaya. Dalam khasanah ilmu pengetahuan kata kebudayaan/budaya merupakan terjemahan dari kata culture. Kata culture sendiri berasal dari Bahasa Latin dari kata colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah/pertanian.

E.B. Taylor yang dikutip Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi menyatakan bahwa : “Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang meliputi keyakinan dan cara hidup suatu masyarakat yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Keyakinan adalah keseluruhan idea yang dianut meliputi religi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan adat istiadat. Cara hidup adalah pola-pola tindakan yang berhubungan dengan soal kebiasaan meliputi makanan, pakaian, perumahan, cara-cara perkawian, hiburan, estetika dan sebagainya.

Rapl Linton menyatakan bahwa : “Kebudayaan adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap, pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masysrakat tertentu.”

Koentjaraningrat (1984:25) menyatakan bahwa : “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” Dari beberapa definisi kebudayaan tersebut di atas dapat disimpulkan dan juga telah disepakati beberapa ahli antropologi, bahwa kebudayaan dan tindakan kebudayaan itu adalah segala tindakan yang harus dilalui dan dibiasakan manusia melalui proses belajar (learned behavior) .


(24)

Berkaitan dengan hal tersebut di atas hal tersebut sesuai dengan fungsi komunikasi menurut Harol D. Lasswell yang ketiga yaitu; The transmission of the social heritage

from one generation to the next, dalam hal ini transmission of culture difocuskan kepada

kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai, dan norma sosial dari suatu generasi ke generasi lain. Itulah fungsi komunikasi terutama Komunikasi Interpersonal. (Liliweri, 2003: 75)

Yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimana kedudukan kultur atau budaya dalam proses kegiatan Komunikasi Interpersonal. Untuk sementara ini para ahli baru meninjau hanya mengenai hambatan budaya/kulur dalam proses Komunikasi Interpersonal terutama kegiatan Komunikasi Interpersonal lintas budaya, yaitu diantaranya :

a. Menyampaikan pesan pada orangθ yang berlainan kultur akan mengundang perbedaan persepsi terhadap isi pesan sehingga efek yang diharapkan akan sukar timbul.

b. Menyampaikan pesan verbal pada orang yang berlainan kultur tentu saja akan banyak perbedaan dalam bahasa sehingga dalam proses kegiatan Komunikasi Interpersonal tersebut selain hambatan dalam bahasa juga terdapat hambatan semantic, yaitu perbedaan peristilahan dalam masing-masing bahasa.

c. Menyampaikan pesan verbal pada orang yang berlainan kulturθ disertai penekanan pesan dengan pesan non-verbal mungkin akan mengundang penafsiran berbeda hingga tujuan penyampaian pesan tidak akan tersampaikan.

d. Menyampaikan pesan pada orang yang berlainan kulturθ jika bertentangan dengan adat-kebisaannya, norma-normanya maka akan terjadi penolakan Komunikasi Interpersonal.

Sehubungan dengan komunikasi antarbudaya antara seseoarang dengan orang lain jelas sangat berbeda. Pengalaman masing-masing individu akan berbeda-beda tidak akan


(25)

persis sama, bahkan pasangan anak kembar pun yang dibesarkan sama-sama dalam lingungan keluarga yang sama pengalamannya tidak akan persis sama bahkan mungkin akan berbeda.

Perbedaan pengalaman antara individu (bahkan antar anak kembar) ini bermula dari perbedaan persepsi masing-masing tentang sesuatu hal. Perbedaan persepsi tersebut banyak disebabkan karena perbedaan kemampuan kognitif antara individu termasuk anak kembar tersebut, sedangkan bagi individu yang saling berbeda budaya tentu saja perbedaan persepsi tersebut karena perbedayaan budaya. Perbedaan persepsi tersebut kemudian ditambah dengan perbedaan kemampuan penyimpanan hal yang dipersepsi tadi dalam strorage sirkit otak masing-masing individu tersebut menjadi long-term memory-nya. Setelah itu perbedaan akan berlanjut dalam hal perbedaan kemampuan mereka memanggil memori mereka jika diperlukan.

Perbedaan pengalaman tentu saja menjadi hambatan dalam Komunikasi Interpersonal, karena seperti telah di bahas di muka bahwa terjadinya heterophilious karena salah satunya diakibatkan perbedaan pengalaman. Sehingga jika terjadi heterophilious maka proses Komunikasi Interpersonal tidak akan berjalan dan tujuan penyampaian pesan pun tidak akan tercapai. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Lubis (2002:4) bahwa, jika pesan-pesan yang disampaikan melampau batas-batas kebudayaan, yang dapat terjadi adalah apa yang dimaksud oleh pengirim dalam suatu konteks tertentu akan diartikan dalam konteks yang lain lagi oleh penerima. Dalam situasi antar budaya demikian, dapat dikatakan hanya sedikit saja atau tidak sama sekali “ko - orientasi yang merupakan persyaratan bagi komunikasi umumnya”. Dengan ko-orientasi yang dimaksud ialah bahwa antara dua pihak yang berkomunikasi seharusnya terdapat persamaan dalam orientasi terhadap topik dari komunikasi mereka. Atau dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip homofili, orang cenderung untuk berinteraksi


(26)

dengan individu-individu lain yangserupa dalam hal karekteristik-karekteristik sosial dengannya.

Bahkan lebih jauh lagi Lubis (2002) mengatakan bahwa

d

alam komunikasi manusia, agaknya diperlukan juga keseimbangan diantara kesamaan dan tidak kesamaan, antara yang sudah dianggap biasa dengan sesuatu yang baru. Ada suatu proposisi dasar yang menyatakan bahwa kekuatan pertukaran informasi pada komunikasi (antara dua orang) ada hubungannya dengan derajat heterofili antara mereka. Dengan kata lain, orang akan menerima hal-hal baru, yang informasional, justru melalui ikatan-ikatan yang lemah. Heterofili adalah derajat perbedaan dalam beberapa hal tertentu antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi

1.5.3 Model Komunikasi ABX Newcomb (Model Keseimbangan)

Salah satu teori atau model yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah Model ABX Newcomb dari Theodore Newcomb. Model komunikasi yang dikembangkan Newcomb merupakan model komunikasi antar pribadi. Melalui modelnya ini Newcomb menggambarkan tentang dinamika hubungan komunikasi antara dua individu mengenai suatu objek yang dipersoalkan mereka. Pendekatan Theodore Newcomb (dalam Effendy, 2000:260) terhadap komunikasi adalah pendekatan seorang pakar psikologi sosial berkaitan dengan interaksi manusia.

Gambar 1. Model Komunikasi ABX Newcomb X


(27)

Berdasarkan gambar di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut. Dalam model Newcomb ada dua individu (A) dan (B) berorientasi terhadap satu sama lain dan terhadap objek, manusia atau benda (X). Model ini merupakan pengembangan dari hasil pemikiran psikolog Heider. Menurut Teori Heider ada dua orang (A) dan (B) yang saling menyukai, disamping itu ada orang ketiga atau benda lain (X), maka hubungan A dan B disebut

Balanced atau seimbang. Sebaliknya jika A suka pada B dan B suka pada A, namun A

suka pada X tetapi B tidak suka pada X maka hubungan mereka unbalanced atau tidak seimbang. Bila hubungan seimbang maka tiap pihak akan menentang perubahan. Juka hubungan tidak seimbang maka akan timbul usaha-usaha untuk memulihkan keseimbangan tersebut.

Newcomb mengembangkan Teori Heider menjadi hubungan antara dua atau lebih manusia. Newcomb mengembangkan postulate = dalil (pendapat yang dikemukakan sebagai kebenaran): A strain symmentry = tekanan menuju kesamaan. Sebagai akibatnya: bidangpersamaan pendapat akan meluas dengan mengadakan komunikasi. Newcomb mengemukakan assumption = anggapan komunikasi menyelenggarakan fungsi pokok yang memungkinkan dua orang atau lebih memelihara perhatian terus –menerus terhadap satu sama lain dan terhadap objek-objek lingkungan luar mereka. Dengan demikian: komunikasi adalah a learned response to strain = reaksi yang dipelajari terhadap tekanan dan bahwa kita ingin memperoleh lebih banyak kegiatan komunikasi (memberi, mencari dan bertukar informasi) di dalam kondisi ketidakpastian dan ketidakseimbangan.

Model ini mengingatkan kepada diagram jaringan kelompok kerja yang dibuat para psikologi sosial dan merupakan awal formulasi konsistensi kognitif. Menurut Newcomb, yang kemudian dikenal dengan sebutan “model keseimbangan”, pola komunikasi yang terjadi antara dua individu mempunyai dua bentuk atau situasi “seimbang” dan “tidak seimbang”. Situasi komunikasi seimbang akan terjadi apabila dua


(28)

orang yang berkomunikasi tentang suatu hal/objek sama-sama mempunyai sikap menyukai atau selera yang sama terhadap hal/objek yang dibicarakan. Keadaan tidak seimbang terjadi apabila terdapat perbedaan sikap diantara kedua orang tersebut. Namun, apabila keadaan tidak seimbang ini terjadi, umumnya masing-masing pihak akan berupaya untuk mengurangi perbedaan sehingga keadaan “relatif seimbang” bisa tercapai.

Sementara kalau keadaan seimbang terjadi masing-masing pihak berusaha untuk terus mempertahankannya. Menjaga keseimbangan inilah yang menurut Newcomb merupakan hakekat utama dari komunikasi antar pribadi (McQual dan Windahl dalam Effendy, 2000:262).

Model ABX dari Theodore Newcomb jika dikaitkan dengan penelitian ini adalah keadaan mahasiswa etnik pendatang yang tidak seimbang dalam berkomunikasi dengan etnik tuan rumah (etnik Batak/Melayu), sehingga agar keadaan menjadi relatif seimbang salah satu pihak yaitu etnik pendatang harus bisa mengurangi keadaan yang tidak seimbang tersebut dengan cara beradaptasi.

1.5.4 Teori Adaptasi Antar Budaya

pendekatan kedua yang dijadikan landasan berfikir dalam penelitia ini adalah Teori Adaptasi Antarbudaya yang dikemukakan oleh Young Yun Kim (dalam Liliweri, 2001:82) tentang pengalaman-pengalaman adaptasi antarbudaya dari individu-individu yang tumbuh, dilahirkan dan ditingkatkan pada suatu kebudayaan kemudian pindah ke kebudayaan lain. Beberapa perspektif teori ini diambil dari beberapa konsep dan prinsip-prinsip dari “teori sistem umum” yang menekankan ciri-ciri dinamik holisentrik, interaktif dari individu-individu sebagai sistem komunikasi terbuka. Proses dan hasil adaptasi antarbudaya secara teoritis berdasarkan pada perspektif “teori sistem umum” , yang memfokuskan pada pengalaman-pengalaman komunikasi imigran. Proses adaptasi dapat


(29)

dijelaskan sebagai suatu proses komunikasi dimana orang-orang asing mempelajari dan mendapatkan bentuk-bentuk komunikasi dominan dari masyarakat tuan rumah. Orang asing memperoleh bentuk-bentuk komunikasi kultural dari masyarakat tuan rumah dan mengembangkan hubungan dengan lingkungan sosial baru melalui komunikasi.

Adaptasi merupakan proses pengambangan dari organisme manusia untuk berusaha menurunkan keseimbangan internal dari stress yang berkepanjangan dengan meningkatkan kemampuan komunikasi tuan rumah dan berpartisipasi melalui komunikasi antar pribadi dan aktifitas komunikasi massa dengan lingkungan masyarkat tuan rumah. Sebagaimana ditunjukan oleh para imigran tetap dan tidak tetap yang secara sukses berhasil mengatasi situasi yang menekan dan mentransformasikan diri mereka secara adaptif. Seperti Young Yun Kim kemukakan (dalam Mulyana dan Rahmat, 2003:138) bahwa pada saatnya seorang imigran akan menggunakn cara-cara berprilaku masyarakat pribumi untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola yang diterima masyarakat setempat.


(30)

1.5.5 Kerangka konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional, yang bersipat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi.1995:40). Kerangka konsep dapat berupa teori-teori yang sudah ada dan bahkan berupa kemungkinan-kemungkinan implementasi hasil penelitian bagi kehidupan nyata.

Adapun konsep-konsep dapat diteliti secara empiris,maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variable. Suatu variable adalah konsep tingkat rendah,yang acuan-acuanya secara relatif mudah diidentifikasikan dan diobservasi serta mudah diklasifikasi, diurut atau di ukur (Kriyantono,2006:20). Dalam penelitian ini variable-variabel yang akan diteliti adalah:

a. Variabel Bebas (X) adalah sejumlah gejala,factor,atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya gejala,factor,atau unsure lainya. Dengan kata lain variable bebas adalah variable yang mempengaruhi variable lain (variable terikat/Y). variabel bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya.

b. Variabel terikat (Y)

Variabel terikat adalah sejemlah gejala atau factor maupun unsur yang ada atau muncul yang ditentukan oleh adanya variabel bebas dan bukan karena adanya variabel lain. Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah interaksi Mahasiswa pendatang.


(31)

Variabel (X) Komunikasi Antar Budaya

Variabel (Y)

Interaksi Mahasiswa Pendatang 1.5.6 Model Teoritis

Model teoritis merupakan desain penelitian berdasarkan variabiabel yang telah ditetapkan,yaitu:

berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk lebih memudahkan penelitian perlu dibuat operasionel variabel-variabel sebagai berikut :

Variabel Teoritis Variabel Oprasioanal Variabel Bebas (X)

Komunikasi Antar Budaya : Etnosentrisme

1. Prasangka Sosial a. Kepribadian b. Pendidikan c. Status Sosial 2. Strereotip

a. Mendengar

b. Mengganggu

Variabel Terkait (Y)

Interaksi Mahasiswa pendatang

1. Keterbukaan a. Perhatian b. Sikap 2. Empati

a. Menerima Perbedaan

b. Mengenali Diri 3. Merasa Positif


(32)

a. Interaksi Pribadi b. Perasaan Pikiran

4. Member Dukungan

a. Member Pendapat

b. Bekerja Sama

c. Memberi Penghargaan

1.5.7 Definisi Operasional

Definisi operasional menyatakan bagaimana operasi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk memperoleh data atau indicator yang menunjukkan konsep dimaksud (irawan,1995:29), maka variabel yang perlu didefinisikan sebagai berikut:

A. Komunikasi antarbudaya indikatornya adalah Etnosentrisme merupakan suatu

kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua budaya lain. Indikatornya yaitu:

1. Prasangka social

Prasangka social adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai negative yang diwarnai oleh perasaan sesaat, artinya kondisi emosional yang berperan menimbulkan prasangka social. Factor-faktor yang mempengaruhi prasangka social yaitu :

a. Kepribadian

Dalam perkembangan kepribadian seseorang akan terliat pula pembentukan prasangka sosialanya,karena ada kecenderungan orang tersebut selalu merasa curiga, berpikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.


(33)

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka sangat mempengaruhi cara berpikirnya.

c. Status Sosial

status social sangat mempengaruhi seseorang dalam proses pembentukan prasangka social.

2. Stereotip

Stereotif adalah citra yang dimiliki sekelompok orang tentang sekelompok orang lainya. Stereotip biasanya negative dan dinyatakan sebagai sifat-sifat kepribadian tertentu antara lain yaitu:

a. Mendengar

Tidak jarang kita mendengar hal negative yang sama tentang sekelompok orang,misalnya:orang sunda suka basa-basi,orang padang pelit,orang batak kasar dan sebagainya.

b. mengganggu

akibat citra negatif yang melekat pada kelompoknya menyebabkan kelompok lain suka mengganggunya.

B. interaksi mahasiswa Pendatang merupakan hubungan-hubungan atau kontak-kontak social yang dinamis dalam kompus yang menyangkat hubungan antara mahasiswa local dengan Mahasiswa pendatang dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tertentu. Indikatornya adalaha:


(34)

Keterbukaan merupakan suasana sikap komunikator yang menerima dan memahami semua pesan tentang cirri dan sifat khas komunikan. Keadaan ini ditunjukkan melalui:

a. Perhatian

Perhatian merupakan bentuk tanggapan terhadap keberadaan orang lain yang diwujudkan dalam tegur sapa,kunjungan dan tegur sapa.


(35)

b. Sikap

sikap merupakan kecenderungan untuk berprilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap yang diwujudkan dalam penerimaan perbedaan,saling pengertian dan sikap menghargai.

2. Empati

Empati merupakan suasana emosional komunikator yang menerima dan memahami semua pesan tentang komunikan sama seperti sikap komunikan menerima dan memahami dirinya,dengan cara:

a. Menerima perbedaan

Menerima perbedaan merupakan asumsi dari perbedaan dan teori realitas majemuk yang diperlukan untuk menjembatani pemisahan inividu yang terkandung dengan cara menerima perbedaan.

b. Mengenali diri

Mengenali diri merupakan pengembangan Empati melalui mengenal diri kita secukupnya sehingga dimungkinkan peneguhan kembali identitas individual secara mudah dengan menyadari nilai,asumsi,dan keyakinan individu secara cultural.

3. Merasa positif

Merasa positif merupakan suatu perasaan komunikator tentang pribadi komunanikannya serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung untuk dipahami. Perasaan positif tersebut antara lain:

a. sebagai suasana interaksi pribadi

dimana komunikator merasa bahwa pesan-pesan tentang pribadinya bersipat menyenangkan.


(36)

4. Memberi dukungan

Memberi dukungan merupakan pemahaman sikap komunikator untuk mempertahankan diri dalam berinteraksi dengan orang lain dengan cara memberi pendapat,bekerjasama dan memberikan penghargaan.


(37)

BAB II Uraian Teoritis

II.1 Hakekat Budaya dan Komunikasi Antarbudaya

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu


(38)

masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasike generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Tidak banyak orang menyadari bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau tidak melibatkan sebuah komunikasi. Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan semua orang untuk mengenal panorama dasar-dasar komunikasi antarbudaya itu.

Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa interaksi antar-budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Maka dari itu kita perlu tahu apa-apa yang menjadi unsur-unsur dalam terbentuknya proses komunikasi antarbudaya, yang antara lain adalah adanya komunikator yang berperan sebagai pemrakarsa komunikasi; komunikan sebagai pihak yang menerima pesan; pesan/simbol sebagai ungkapan pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol.

Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Sehingga “kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall. Jadi sebenarnya tak ada komunitas tanpa kebudayaan, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari informasi. Dengan kata lain, tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi. Di sinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya itu.

Menurut Alo Liliweri (pakar komunikasi antarbudaya) mengatakan bahwa sebagai bagian dari tuntutan glabalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini, mendorong kepada kita terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas


(39)

sektoral. Belum lagi perubahan-perubahan global lainnya yang semakin deras dan menjadi bukti nyata bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara mendalam.

Lebih lanjut, Alo Liliweri menjelaskan bahwa esensi komunikasi terletak pada proses, yakni sesuatu aktivitas yang “melayani” hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia kemarin, kini, dan mungkin di masa yang akan datang.

Sedangkan budaya atau kebudayaan menurut Burnett Taylor dalam karyanya yang berjudul Primitive Culture, adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Di samping mengetahui pengertian kebudayaan kita juga harus mengetahui unsur-unsur kebudayaan manusia yang antara lain adalah sejarah kebudayaan, identitas sosial, budaya material, peranan relasi, kesenian, bahasa dan interaksi, stabilitas kebudayaan, kepercayaan atas kebudayaan dan nilai, etnosentrisme, perilaku non-verbal, hubungan antar ruang, konsep tentang waktu, pengakuan dan ganjaran, pola pikir, dan aturan-aturan budaya.

Jadi yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang dilakukan mereka yang berbeda latarbelakang kebudayaan. Jadi, suatu proses kumunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang (karena memiliki keragaman) memberikan interpretasi dan harapan secara berbada terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Secara alamiah, proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi antarbudaya yang


(40)

menghendaki adanya interaksi sosial. Menurut Jackson (1967), menekankan bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berbeda dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) esensial dalam bentuk relasi (relations).

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang manakala kita mampu meramalkan secara tepat proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi.

Demikian pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya.

Karena itu, terjadinya kesenjangan dalam masyarakat seringkali disebabkan oleh datangnya perubahan dari luar. struktur sosial baru berdasarkan profesi dan fungsi yang lebih rasional mengakibatkan perubahan relasi. Dalam kaitannya dengan komunikasi antar budaya, perubahan-perubahan yang datang dari dalam maupun dari luar sangat berpengaruh terhadap perubahan relasi antar budaya. Akibat kontak, interaksi dan hibingan antar anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya, muncullah komunikasi antarbudaya.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada komunitas tanpa budaya, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari


(41)

informasi. Dengan kata lain tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa adanya komunikasi. Disinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya. Semua fenomena itu, selain karena disebabkan perubahan yang ada, juga karena kurangnya komunikasi. Akhirnya, memerlukan sebuah komunikasi antarbudaya guna mengurangi kesalahpahaman di antara sesama manusia.

Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku non-verbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.

Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk


(42)

komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.

Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan peng-alaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri de-ngan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.

Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khusus-nya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cen-derung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998).

Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.


(43)

II.1.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan

Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.

Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.


(44)

II.1.2 Individualisme dan Kolektivisme

Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semua-nya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismesemua-nya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980).

Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong


(45)

untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.

II.2 Terjadinya Komunikasi Antarbudaya

Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi komunikasi lintasbudaya yang mereka jalani.

Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI (Foreign Service Institute). FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberpa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa keluar negeri. Karena bahan pelatihan antarbudaya masih jarang/langka maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat baudaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya ( Martin, Thomas , 2007:44-45)

Istilah antarabudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antroplog, Edward T.Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaab konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya system ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.

Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo mealui bukunya The Process of Communication


(46)

menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komuniksi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu : source, messege, channel,

receiver.

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komuniksi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komuniksi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001:1-2).

Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitu budaya dan komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal balik. Jadi, budaya mempengahui komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam

Intercultural Communication in Context , untuk itu, kelompok budaya mempengaruhi

proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: ’’semua komunitas di semua tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas kontemporer’’. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas ( Martin & Thomas, 2007: 92).

Rumusan objek formal komuniksi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980an. ‘’Annual ‘’tentang komuniksi antarbudaya yang disponsori Speech

Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The International anda Intercultural Communiction Annual. Kemudian Dan Landis

menguatkan konsep komunikasi anatarbudaya dalam International Journal of


(47)

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of

Intercultural Communication . selanjutnya thun 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus

untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain tentang komuniksi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 198, komunikasi anatretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi Lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir komuniksi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny, tahun 1988 (Liliweri, 2001:2-3).

Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjaga makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan , bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004:10).

Young Yun Kim dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi anatarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang realatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kutural. Selanjtnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi anatarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereak daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 52-53).

Selanjutanya, salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang


(48)

lain. Gundykunst dan Kim dalam Alo Liliweri menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas realsi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dilakukan melalui tiga tahap interaksi , yakni:

1. pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal,

2. initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul

dari kontak awal tersebut,

3. closure, mulai membuka diri ynag semual tertutup melalui atribusi dan

pengembangan kepribadian implisit.

Schramm dalam susanto yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, mengemukakan efektivitas komunikasi antara lain tergantung pada situasi dan hubungan sosial anatara komunikator dengan komunikan terutama dalam lingkup referensi maupn luasnya pengalaman di antara mereka ( Liliweri, 2001: 171). Sedangkan Schramm dalam Mulyana yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi menyebutkan, komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatiakn empat syarat, yaitu (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia;(2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari lain budaya. Sedangkan Devito mengemukakan beberapa faktor penentu efektivitas komunikasi antarpribadi, yakni: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) perasaan positif; (4) dukungan; dan (5) keseimbangan ( Liliweri, 2001: 171).

Beberapa ahli berusaha merumuskan kompetensi komunikasi antarbudaya, Kim menawarkan sebuah definisi detail mengenai kompetensi komuniksi anatbudaya yaitu ‘’


(49)

keseluruhan kapabilitas internal dari seseorang untuk menghadapi ciri-ciri dari tantangan yang sering terjadi saat komunikasi antarbudaya terjadi: yaitu, perbedaan budaya, dan ketidaksamaan, sikap inter-grup. Jadi, dari pengertian ini bisa dipahami untuk menjadi komunikator yang kompeten, kita harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi dan memilih mode dari perilaku yang tepat ( Samovar, dkk, 2007: 314)

Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik ( Samovar, dkk, 2007: 314), sedangkan Judith N martin dan Thomas Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in

Context merumuskan 2 komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri dari:

motivasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan, dan komponen kontekstual yaitu melihat konteks-konteks yang dapat mempengaruhi komunikasi anatarbudaya sebagai contoh, konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya ataupun konteks lainnya seperti gender, ras dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007: 435-445).

Gundykunst dan Kim juga punya pandangan sendiri sehubungan dengan kompoonen kompetensi komuniksi antarbudaya yaitu: motivasi, pengetahuan, kemampuan. Motivasi sendiri dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif denganyang lain,dan motivasi dibagi menjadi 3 kebutuhan ynag penting yaitu, kebutuhan akan kemampuan untuk menebakperilaku orang lain, kebutuhan untuk menghindari perilaku menyebarkan kecemasan, kebutuhan untuk menopang konsep diri. Sedangkan komponen pengetahuan secara spesifik dibagi menjadi pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan kelompok, pengetahuan akan kesamaan pribadi, pengetahuan akan interpretasi alternatif. Skill/kemampuan dimulai dari: kemampuan untuk menjadi sadar (mindful dalam komunikasi antarbudaya), kemampuan untuk mengolah kecemasan, kemampuan untuk


(50)

berempati, kemapuan untuk menagadaptasi perilaku, kemampuan untuk membuat penjelasan dan prediksi yang akurat (Gundykunst & Kim, 2003: 276-292).

Gundykusnt & Kim mengatakan sebenarnya bahwa paling tidak ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandangan pertama menegaskan kompetensi seharusnya didalam diri seseorang (komunikator) sebagai kapasitas atau kapabilitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antar individu yang berbeda budaya sedangkan pandangan kedua berpendapat, kompetensi harus ada pada kedua belah pihak ( Rahardjo, 2003: 72).

Dalam ‘’Intercultural Communication In context’’, Howell menitikberatkan bahwa komunikasi anatarbudaya adalah sama, hanaya saja diperoleh melalui analisis kesadaran dan yang berada pada level teratas dari kompetensi komunikasi memerlukan kombinasi berpikir holistic dan analitik. Howell mengidentifikasikan 4 level kompetensi komunikasi antarbuadaya, unconscious incompetence, yaitu saat di mana kita tidak sadar akan perbedaan dan tidak butuh berbuat pada cara tertentu, conscious incompetence yaitu seseorang menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik saat interaksi tetapi mereka tidak yakin mengapa terjadi, conscious competence yaitu, seseorang sudah mulai sadar , berpikir analitik dan belajar, pada tahap ini seseorang menjalani proses menjadi seorang komunikator yang kompeten dan unconscious competence yaitu komunikasi berjalan lancar tetapi tidak dalam proses yang disadari.

II.2.1 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan komunikasi Antarbudaya

Yang juga turut mempengaruhi studi komunikasi antarbudaya adalah penelitian paradigma. Paradigma sendri secara sederhana dipahami sebagai pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh ilmu yang bersangkutan ( Purba, 2006: 16). Masing-masing paradigma


(51)

tentu mengasusmikan interpretasi yang berbeda mengenai realitas, perilaku manusia, budaya dan komunikasi ( Martin & Thomas, 2007: 47).

Beberapa ahli komunikasi percaya bahwa ada sebuah realitas eksternal yang dapat diukur dan dipelajari, sementara yang lain percaya bahwa realitas dapat dimengerti hanya hidup dan dialami oleh individu. Pendek kata, kepercayaan dan asumsi tentang realitas mempengaruhi metode dan penemuan penelitian dan kemudian juga mempenagruhi apa yang secara tepat kita ketahui sebagai komuniksi antarbudaya. Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi 3 pendekatan yang masing-masing memberikan karaktersitik bagi budaya dan komunikasi. Ketiga pendekatan ini melibatkan sebuah campuran displin ilmu dan merefleksikan pandangan yangberbeda serta asumsi tntang realitas, perilaku manusia, dan cara untuk mempelajari budaya dan komunikasi.

Tiga pendekatan yang mempelajari komunikasi antarbudaya adalah 1. pendekatan ilmu sosial (fungsional), 2. pendekatan interpretif, 3. pendekatan kritis. Masing-masing memberikan cara yang unik untuk memahami hubungan anatara kebudayaan dan komunikasi tetapi msing-masing memiliki keterbatasan. (Martin & Thomas, 2007: 49).

Table 1. Tiga pendekatan Komunikasi Antarbudaya Ilmu Sosial

(Fungsional)

Interpretif Kritis

Disiplin dimana pendekatan

ditemuka n

Psikologi Antropologi Sosiolinguistik

Beragam

Tujuan penelitian

Menjelaskan dan memprediksikan

perilaku

Menjelaskan perilaku

Merubah perilaku


(52)

realitas dijelaskan penting Asumsi tentang

perilaku manusia

Dapat ditebak Kreatif dan

sengaja

Berubah-ubah

Metode studi Survei dan observasi Observasi

partisipan, studi lapangan Analisis tekstual media Hubungan antara budaya dan komunikasi Komunikasi dipengaruhi budaya Budaya diciptakan dan dibangun melalui komuniksi Budaya adalah sebuah tempat dari perjuangn kekuasaan Kontribusi dari pendekatan Mengidentifikasi variasi kultural ; mengenali

perbedaan kultural pada banyak aspek komunikasi tetapi sering tidak mempertimbangkan konteks Menekankan bahwa komunikasi dan budaya dan perbedaan kultural dpata dipelajari dalam konteks. Mengenali kekuatan ekonomi dan politik dalam kebudayaan dan komunikasi; menyatakan bahwa interaksi antarbudaya digolongkan oleh kekuasaan. ( Martin & Thomas, 2007: 50).

Dan untuk penelitian ini, maka perspektif/pendekatan yang tepat dan digunakan adalah perspektif interpretif. Pendekatan interpretif memperoleh masa-masa keunggulan sekitar tahun 1980an. Para peneliti dengan pendekatan ini berasumsi pendekatan ini


(53)

adalah tidak hanya realitas eksternal dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas. Mereka juga percaya bahwa pengalaman manusia, termasuk komunikasi, bersigat subjektif dan perilaku manusia tidak ada ditetapkan sebelumnya maupun diprediksi. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti dan menjelaskan perilaku manusia dan memprediksi tidak menjadi tujuan ( Martin & Thomas, 2007: 56).

Jadi, dengan pendekatan ini, penelitian akan fokus pada pengertian akan suatu fenomena secara subjektif dari dalam sebuah komunitas budaya tertentu, dan inilah yang disebut penelitian ‘’emik’’.

Para peneliti akan mencoba untuk menjelaskan pola-pola atau aturan-aturan di mana individu mengikuti pada konteks yang spesifik. Penelitian akan cenderung jadi lebih tertaik untuk menjelaskan perilaku kultural dari sautu komunitas daripada melakukan perbandingan lintas budaya ( Martin & Thomas, 2007: 57).

Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran-pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks ( Rahardjo, 2005:41). Teori-teori dari genre interpretif ini berusaha menjelaskan suatu proses di mana pemahaman terjadai dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri (Rahardjo, 2005:41).

Dengan demikian secara operasional, pendekatan interpretif akan dipakai sebagai landasan berpikir dengan pertimbangan bahwa permasalah identitas etnik dalam komunikasi anatarbudaya merupakan hal yang dirasakan dan dialami secara subjektif oleh setipa individu/ subjek penelitian nantinya.


(54)

II.2.2 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan mengalami penurunan atau peningkatan dalam suatu pertemuan antarbudaya. Faktor-faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70). Faktor-faktor tersebut disebut Gundykunst sebagai kompetensi komunikasi antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya (Rahardjo, 2005:71).

Motivasi sendiri adalah dimensi paling penting dalam kompetensi komunikasi. Jika kita tidak termotivasi dalam berkomunikasi dengan orang lain maka tak akan ada gunanya kemampuan yang kita punya. Jadi secara sederhana motivasi bisa dinilai sebagai hasrat untuk membuat komitmen dalam hubungan, untuik belajar tentang diri dan orang lain, dan untuk menyisakan keluwesan (Martin & Nakayama, 2007: 435). Sedangkan pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya (Rahardjo, 2005:71). Dan kecakapan sendiri menyangkut pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi (Rahardjo, 2005:71).

Berikut adalah tabel penjelasan komponen kompetensi komunikasi antarbudaya: Komponen Kompetensi

Komunikasi Antarbudaya

Elemen

1. Motivasi a. kebutuhan untuk memprediksi,

b. kebutuhan untuk menghindari penyebaran kecemasan, dan

c. kebutuhan untuk menopang konsep diri ( Gundykunst & Kim, 2003:


(55)

276-279).

d. mindful terhadap ranah identitas,

e. mindful terhadap kebutuhan

identitas,

f. mindful terhadap kecenderungan etnosentrisme (Rahardjo, 2005:76).

2. Pengetahuan a. pengetahuan tentang bagaimana

mengumpulkan informasi,

b. pengetahuan tentang perbedaan kelompok,

c. pengetahuan tentang kesamaan personal,

d. pengetahuan tentang interpretasi alternatif (Gundykunst & Kim, 2003: 279-283).

e. pengetahuan tentang nilai

kultural/personal,

f. pengetahuan tentang bahasa dan komunikasi verbal,

g. pengetahuan tentang komunikasi non verbal,

h. pengetahuan tentang batas in-group dan out-group,

i. pengetahuan tentang pengembangan relasi,


(56)

j. manjemen konflik

b. pengetahuan tentang adaptasi antarbudaya. (Rahardjo, 2005:76).

3. Kecakapan a. kemampuan untuk memberi

perhatian/mengamati dan mendengarkan,

b. kemampuan untuk bertoleransi pada ambiguitas,

c. kemampuan dalam mengelola kecemasan,

d. kemampuan berempati,

e. kemampuan untuk menyesuaikan perilaku,

f. kemapuan untuk memberikan ketepatan dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain (Gundykunst & Kim, 2003: 285- 292)

g. mindful dalam pengamatan, dan dalam mendengarkan,

h. mampu empati verbal,

i. memiliki kepekaan non-verbal, j. memiliki kecakapan menyesuaikan

diri dan konflik konstrukstif


(57)

(Rahardjo, 2005:76).

Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari kompetensi komunikais diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistik. Howell kemudian mendefinisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya yaitu:

Unconcious Incompetence, Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence (Martin & Nakayama, 2007: 443)

Unconcious Incompetence terjadi apabila seseorang tidak sadar, akan perbedaan

dan merasa tidak butuh berprilaku pada situasi tertentu sedangkan Conscious

Incompetence terjadi pada saat seseorang telah menyadari sesuatu tidak berjalan dengan

baik dalam komunikasinya tapi tidak yakin kenpa dan tidak tahu harus berbuat apa.

Conscious Competence terjadi bila seseorang sudah mampu berkomunikasi dengan baik,

melalui proses pemikiran analitik dan belajar, dan terus mengubah perilakunya supaya komunikasi menjadai lebih lebih efektif. Dan Unconscious Competence terjadi apabila seseorang belum menyadari bahwa komunikasinya berjalan dengan lancar dan sebenarnya dia cukup memiliki kemampuan dalam berkomunikasi (Martin & Nakayama, 2007: 443-445).

Level dari kompetensi bukanlah sesuatu yang kita dapat peroleh melalui kesadaran untuk mencobanya. Hal itu terjadi ketika bagian proses analisis dan menyeluruh (holistik) pada komunikasi digunakan secara bersama-sama.

II.3 Identitas Etnis


(1)

I. Identitas Responden

No. Responden

1 2

1. Usia :

1. 15 Tahun – 16 Tahun 2. 17 Tahun – 18 Tahun

3. 19 Tahun – 20 Tahun 3

4. > 20 Tahun

2. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki

2. Perempuan 4

3. Apakah kamu memiliki sahabat lain suku?

1. Ya

2. Tidak ada 5

4. Menurut pendapat anda hal apa saja yang menyebabkan terjadinya prasangka social pada saat berinteraksi?

6 7 8

No Penyebab prasangka social Sangat setju Setuju Kurang setuju Tidak setuju 1 Kepribadian


(2)

2 Jurusan 3 Status sosial

5. Bagaimanakah frekuensi anda berkomunikasi dengan mahasiswa lain? 1. Sering

2. Sangat sering 9 3. Jarang

4. Tidak ada

6. Bagaimanakah hubungan anda dengan mahasiswa lain? 1. Baik

2. Sangat baik 10 3. Kurang baik

7. Apakah anda sering berprasangka buruk terhadap etnis lain? 1. Sering

2. Sangat sering 11 3. Tidak ada

8. Apakah anda mengenal kepribadian teman anda? 1. Mengenal

2. Sangat mengenal 12

3. Kurang mengenal

9. apakah anda sering menilai seseorang yang berada diluar etnis anda? 1. Sering


(3)

2. Sangat sering

3. Jarang 13

10.Meneurut pendapat anda, apakah status social sangat mempengaruhi anda untuk berteman dengannya?

1. Benar

2. sangat benar 14

3. Kurang benar

11.Apakah anda sering mendengar strereotip antar suku? 1. Sering

2. Sangat Sering 15

3. Jarang 4. Tidak ada

12.Apakah anda pernah mengunakan stereotip sebagai bahan ejekan terhadap teman ? 1. Pernah

2. Jarang 16

3. Tidak pernah

13.menurut pendapat anda, apakha stereotif mengganggu anda dalam pergaulan? 1. Menggangu

2. Sangat mengganggu

3. kurang menggganggu 17

4. Tidak menggangu

14.Apakah anda berhubungan akrab dengan teman anda? 1. Akrap


(4)

2. sangat akrab

3. kurang akrap 18

4. tidak akrap

15.APakah anda sering menjaga jarak dengan teman anda yang berbeda etnis dengan anda?

1. Sering 2. Sangat sering

3. Jarang 19

4. tidak pernah

16.Menurut pendapat anda, apakah sudah efektif komunikasi yang anda lakukan dengan teman anda?

1. efektif

2. Sangat efektif 20

3. kurang efektif

17.Hal apa saja yang sering menjadi topic pembicaraan dengan teman anda?

21 22 23 24

No Topik pembicaraan Sering Sangat sering Jarang Tidak ada

1 2 3. 4

Masalah Kuliah Pacar

Keluarga Keuangan


(5)

18.apakah anda sering memberikan perhatian terhadap teman anda.? 1. Sering

2. Sangat sering 25

3. Jarang 4. Tidak pernah

19.bagaimakah bentuk perhatian yang sering anda lakukan terhadap teman anda?

26 27 28 29

No Bentuk perhatian Sering Sangat sering Jarang Tidak ada 1

2 3 4

Tegur sapa

Berkunjung kerumahnya Saling membantu

Sanling bekerja sama

20.Sikap apakah yang sering anda lakukan untuk menciptakan interaksi dengan teman anda?

30 31 32 33

No. Sikap yang dilakukan Sering Jarang Tidak ada Sangat sering 1 Menerima perbedaan

2 Saling pengertian 3 Saling menghargai


(6)

4 Saling menghormati .

21.Apa saran yang kamu rasa perlu untuk membina interaksi komunikasi antarbudaya yang harmonis pada mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara? ……… ……… ……… ………

………

22. Apa saran yang kamu rasa perlu untuk membina interaksi komunikasi antarbudaya yang harmonis pada mahasiswa di lingkungan Universitas Sumatera Utara?

……… ……… ……… ……… ………

Medan, Desember 2010 Terima kasih atas kerja sama yang telah kawan berikan.