Pengertian Perjanjian Pemborongan Outsourcing

BAB III TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PEMBORONGAN OUTSOURCING

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Outsourcing

Perjanjian pemborongan dapat diklasifikasikan menjadi dua jika dilihat dari segi pelakunya, yaitu: 1. Perjanjian pemborongan milik pemerintah, baik yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemerintah maupun pemerintah dengan swasta. Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan. Sedangkan apabila yang memborongkan pihak pemerintah sedangkan pemborongnya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja SPK, dan Surat Perjanjian KerjaKontrak. 2. Perjanjian pemborongan milik swasta yang dilakukan oleh swasta dengan swasta. Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja SPK, dan Surat Perjanjian Pemborongan Kontrak. 66 Perjanjian pemborongan pekerjaan baik milik pemerintah maupun milik swasta antarswasta, biasanya dilaksanakan untuk mengerjakan pemborongan bagunan konstruksi atau pengadaan barangjasa. Perbedaan pemborongan pekerjaan milik pemerintah dengan milik swasta antara lain: 1. Pemborongan pekerjaan umum yang dilakukan oleh instansi pemerintah, direksi lazim ditunjuk dari instansi yang berwenang, biasanya dari instansi 66 Djumialdji 1, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 29 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA pekerjaan umum atas dasar penugasan perjanjian kerja 67 2. Perjanjian pemborongan pekerjaan milik pemerintah, seluruh biayanya dibebankan pada APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara ataupun APBD Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Sedangkan perjanjian pemborongan pekerjaan antarswasta, biayanya berasal dari dana pihak swasta itu sendiri. dan pemilihan pemborong dilakukan melalui tender. Sedangkan pemborongan pekerjaan antarswasta, pemilihan pemborongnya dapat dilakukan melalui penunjukan langsung atau melalui tender. 3. Pemborongan pekerjaan milik pemerintah yang dilaksanakan untuk pembangunan proyek-proyek pemerintah dalam wujud bangunan atau fisik umumnya pemanfaatannya untuk kepentingan umum dimana jenis pekerjaan yang diborongkan antara lain di bidang arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, tata lingkungan, dan sebagainya, berupa: a. Bangunan gedung b. Bangunan jalan dan jembatan c. Bendungan dan bangunan irigasi d. Pekerjaan pondasi e. Bangunan pelabuhan f. Pekerjaan tanah g. Instalasi listrik h. Instalasi air i. Instalasi komunikasi j. Instalasi mesin-mesin k. Instalasi AC l. Instalasi elevator escalator m.Instalasi pipa n. Pengeboran air o. Pengeboran pertambangan 67 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan 2, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 62 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA p. Pertamanan. 68 Sedangkan pada pemborongan pekerjaan antarswasta umumnya ditujukan untuk kepentingan pihak swasta itu sendiri yang dapat berupa pembangunan gedungkantor, pengadaanpembuatan barang, ataupun pengadaan jasa tenaga kerja dari pihak swasta lainnya. Perjanjian pemborongan diatur dalam KUH Perdata dan beberapa peraturan lainnya. Beberapa peraturan yang mengatur perjanjian pemborongan milik pemerintah untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan bagunan konstruksi maupun antara lain: 1. Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara, 2. A.V. 1941 tentang Syarat-Syarat Umum untuk Pelaksanaan Pemborongan Pekerjaan Umum di Indonesia khusus untuk proyek-proyek pemerintah, 69 3. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dan 4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sedangkan peraturan yang mengatur perjanjian pemborongan milik pemerintah untuk pengadaan barangjasa pemerintah antara lain: 1. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan BarangJasa Pemerintah, dan 2. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan BarangJasa Pemerintah. Beberapa peraturan yang mengatur perjanjian pemborongan antarswasta untuk pemborongan pekerjaan bangunan konstruksi antara lain: 68 Asosiasi Kontraktor Indonesia AKI, Persyaratan Menjadi Anggota Asosiasi Kontraktor Indonesia AKI, diakses dari http:www.aki.or.id?idmembership, pada tanggal 7 April 2013 69 Djumialdji 2, Perjanjian Pemborongan, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 3 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA 1. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, 2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan 3. Peraturan Ikatan Arsitek Indonesia tahun 2001 tentang Pedoman Hubungan Kerja Antara Arsitek Dengan Pengguna Jasa. 70 Sedangkan perjanjian pemborongan untuk pengadaan barangjasa swasta outsoucing diatur antara lain dalam: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Berikut akan dijelaskan mengenai pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh swasta dengan swasta outsoucing dalam pengadaan jasa tenaga kerja menurut peraturan perundang-undangan dan pendapat para sarjana: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata Di dalam KUH Perdata, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, pemborongan pekerjaan adalah: “Perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Menurut Djumialdji, terdapat kelemahan dari definisi perjanjian pemborongan dalam ketentuan tersebut bahwa: 70 Ariansyah, Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Peningkatan Jalan dan Jembatan Antara PT.Apu Stiants dengan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal. 3 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA “Perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak sebab si pemborong hanya mempunyai kewajiban saja, sedangkan yang memborongkan hak saja. Perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik hak dan kewajiban”. Dengan demikian, definisi perjanjian pemborongan menurut Djumialdji sebagai berikut: “Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan.” 71 Pasal 1604 KUH Perdata berbunyi: “Dalam hal pemborongan pekerjaan dapat ditetapkan dalam perjanjian bahwa si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja atau bahwa ia juga akan memberikan bahannya”. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan ada dua macam pemborongan pekerjaan, yaitu: 72 a. dalam mana si pemborong hanya berjanji akan melakukan pekerjaan saja, dan b. dalam mana si pemborong juga berjanji menyediakan bahan-bahan yang dipergunakan untuk pekerjaan itu. Dari uraian di atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian pemborongan antara lain: a. Prestasi upah Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja tergantung pada objek kerja yang diborongnya, bisa saja si pemborong hanya menyediakan bahan-bahan atau barang-barang borongan, namun bisa juga sekaligus pemborong itu sendiri yang menyediakan bahan dan menyiapkan kerja borongan, seperti memborong bangunan rumah, bisa saja seorang pemborong hanya ditugaskan untuk menyediakan bahan bangunan saja, sedangkan pembangunan rumah 71 Djumialdji 1, Op.cit., hal 4 72 Wirjono Prodjodikoro 1, Op.cit., hal. 89 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA diserahkan kepada pemborong lain, tetapi bisa juga sekaligus alat bangunan dan pembangunan rumah diserahkan kepada seorang pemborong. 73 Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja juga tergantung pada sifat pekerjaan yang dijanjikan, apakah pekerjaan itu harus dilakukan oleh si pemborong sendiri atau dapat disuruh lakukan oleh orang lain, dalam hal seorang pelukis berjanji akan membuat lukisan tentunya si pelukis sendirilah yang harus melakukan pekerjaan berupa membuat lukisan itu, sebaliknya misalnya dalam hal membersihkan sebidang tanah, pekarangan, atau perkebunan, pekerjaan itu dapat dilakukan oleh orang lain. 74 b. Risiko Pasal 1605 KUH Perdata menyebutkan: “Dalam halnya si pemborong diwajibkan memberikan bahannya, dan pekerjaannya dengan cara bagaimana pun musnah sebelumnya pekerjaanitu diserahkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima pekerjaan tersebut”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa: 75 “Kalau si pemborong harus menyediakan bahan-bahan itu dan barang yang ia buat musnah sebelum diserahkan kepada pihak lain, maka si pemboronglah yang menanggung segala risiko, jadi tidak peduli apa musnahnya itu disebabkan oleh kesalahannya atau oleh keadaan memaksa, kecuali apabila pihak lain lalai nalatig untuk menerima barang itu”. Pasal 1606 KUH Perdata berbunyi: “Jika si pemborong diwajibkan melakukan pekerjaan saja dan pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Subekti berpendapat bahwa: 76 73 M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 258 74 Wirjono Prodjodikoro 1, Hukum Op.cit., hal. 89 75 Ibid. UNIVERSITAS SUMATRA UTARA “Hal ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundaknya pihak yang memborongkan ini, apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian ini, maka harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, sehingga si pemborong dapat dipertanggungjawabkan sekedar kesalahannya itu mengakibatkan kemusnahan bahan-bahan tersebut. c. Hal-hal yang menghilangkan tanggung jawab Pasal 1607 KUH Perdata menyatakan: “Jika didalam hal yang tersebut dalam pasal yang lalu, musnahnya pekerjaan itu terjadi di luar sesuatu kelalaian dari pihak si pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedangkan pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidaklah berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang itu disebabkan oleh sesuatu cacat dalam bahannya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa; “Pihak lain tidak berwajib membayar upah, kecuali: 77 a. pihak lain lalai untuk memeriksa dan menerima baik barang yang dibikin pada waktunya, atau b. musnahnya barang disebabkan oleh suatu cacat pada bahan-bahannya”. Subekti juga berpendapat bahwa: 78 “Kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu, pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan olehnya sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan. Pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut penggantian kerugiannya apabila dapat membuktikan adanya kesalahan dari pemborong, sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut harga yang dijanjikan apabila berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak yang memborongkan mengandung cacat yang menyebabkan kemusnahan pekerjaannya”. Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan antara lain: 76 Subekti 4, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 65 77 Wirjono Prodjodikoro 1, Op.cit., hal. 89 78 Subekti 4, Op.cit., hal. 66 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA a. Dalam hal telah terjadi kesepakatan pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah mulai dikerjakan maka pihak yang memborongkan pekerjaan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan, kecuali apabila dia bersedia memberikan ganti rugi atas segala biaya yang telah dikeluarkan pihak lainnya; b. pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong. Namun pihak yang memborongkan diwajibkan untuk membayar kepada ahli waris si pemborong, harga pekerjaan yang telah dikerjakan menurut imbangannya terhadap harga pekerjaan yang telah dijanjikan dalam perjanjian; c. si pemborong bertangggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang- orang yang telah dipekerjakan olehnya; d. pekerjaburuh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut adalah berhak menahan barang itu sampai biaya dan upah-upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali jika pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut. 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan, merupakan suatu kodifikasi dari berbagai ketentuan ketenagakerjaan yang sebelumnya terpisah-pisah. Sebelum undang-undang ini berlaku, ada sekitar lima belas ordonansi dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk mengatur ketenagakerjaan, dengan berlakunya UU Ketenagakerjaan ini, maka kelima belas ordonansiperaturan tersebut telah dinyatakan tidak berlaku. 79 UU Ketenagakerjaan merupakan tonggak baru yang mengatur dan melegalisasi masalah perjanjian pemborongan outsourcing. Istilah yang dipakai dalam undang-undang tersebut adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau 79 Sehat Damanik, Op.cit., hal. 11-12 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA penyedia jasa pekerjaburuh. Istilah tersebut diadopsi dari istilah yang dipakai dalam KUH Perdata. Secara eksplisit, dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah outsourcing, tetapi di dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan dapat dilihat yang dimaksud dengan praktik outsourcing yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan ini yakni: 80 a. penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan; b. penyediaan jasa pekerja. Peraturan pelaksana dari UU Ketenagakerjaan, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, yang selanjutnya disebut Permenaker No. 19 Thn 2012, juga memberikan pengertian dari perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang memuat hak dan kewajiban para pihak. 81 3. Pendapat para sarjana doktrin Beberapa sarjana hukum juga menyatakan pendapat mereka mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan antara lain: Menurut Maimun, pemborongan pekerjaan adalah: “Penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima 80 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaannya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 13 81 Pasal 1 angka 4 Permenaker Nomor 19 Tahun 2012 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh melalui perjanjian pemborongan secara tertulis”. 82 Menurut Subekti, pemborongan pekerjaan aanneming van werk ialah: “Suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula. Dalam pengertian pemborongan pekerjaan ini, tidak saja termasuk hal seorang aannemer yang membuat rumah dan bangunan, tetapi juga seorang penjahit yang membuat pakaian atau seorang tukang reparasi yang memperbaiki sebuah mobil”. 83 Isi perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu pihak yang satu menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya untuk diserahkannya dalam suatu jangka waktu yang ditentukan dengan menerima suatu jumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan tersebut. 84 Isi dari perjanjian pemborongan di dalam KUH Perdata tidak ditentukan lebih lanjut. Dengan demikian para pihak dapat menentukan sendiri sesuai dengan asas kebebaan berkontrak. 85 Namun demikian, sekalipun undang-undang memberikan kebebasan kepada pihak-pihak untuk menentukan isi perjanjian pemborongan pekerjaan, syarat, dan ketentuan dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan norma keadilan. 86 Djumialdji dalam bukunya Hukum Bangunan berpendapat: 87 “Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan mengikat kedua belah 82 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan: Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 147 83 Subekti 2, Op.cit., hal. 174 84 Ibid., hal. 65 85 Djumialdji 2, Op.cit., hal. 4 86 Sehat Damanik, Op.cit., hal. 10 87 Djumialdji 1, Op.cit., hal. 7 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pemborongan tanpa persetujuan pihak lainnya. Jika perjanjian pemborongan dibatalkan atau diputuskan secara sepihak, maka pihak lainnya dapat menuntutnya”. Perbedaan outsourcing yang diatur dalam KUH Perdata dan UU Ketenagakerjaan menurut Sehat Damanik, antara lain: 88 1. Dalam KUH Perdata semata-mata pemborongan dengan obyek pekerjaan tertentu, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan selain mengatur pemborongan pekerjaan juga mengatur penyediaan jasa pekerjaburuh untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. 2. Pemborongan pekerjaan dalam KUH Perdata lebih sebagai kontrak biasa yang ditujukan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bersifat jangka pendek. Pekerjaan-pekerjaan yang masuk dalam perjanjian pemborongan tersebut, misalnya pembangunan rumah atau gedung, pembuatan jalan, pelabuhan, dan lain-lain yang umumnya sifat pekerjaannya dilakukan satu kali dan selesai karena jangka waktu kerjasamanya sangat pendek, maka kerja sama tersebut tidak disertai dengan transfer alat-alat tekhnologi dan sumber daya manusia, demikian juga tidak disyaratkan pengaturan atas perlindungan kerja. Sedangkan pemborongan pekerjaan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan berbeda dengan kontrak jasa biasa. Kontrak kerja biasa umumnya sekedar menyerahkan pekerjaan tertentu kepada pihak ketiga untuk jangka pendek, sedangkan dalam outsourcing karena kerjasama yang diharapkan adalah untuk jangka panjang, maka penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lainnya dilakukan dengan mempertimbangkan profesionalisme perusahaan. Sifat outsourcing jangka panjang long term, maka penyerahan pekerjaan sering diikuti dengan transfer sumber daya manusia dan peralatan atau aset perusahaan. 3. Perbedaan lainnya adalah pada pasal-pasal yang diatur dalam KUH Perdata tidak dibatasi pekerjaan-pekerjaan mana saja yang dapat diborongkanoutsource, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan dibatasi, yakni hanya terhadap produkbagian-bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis utama perusahaan. 4. KUH Perdata sama sekali tidak mengatur bentuk dari perjanjian, apakah tertulis atau lisan. Para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri, apakah perjanjian secara lisan atau tertulis, ini berbeda dengan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan perjanjian pemborongan kerja dari satu perusahaan dengan perusahaan lain harus dibuat secara tertulis, tidak dipenuhinya 88 Sehat Damanik, Op.cit., hal. 57 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA syarat tersebut mengakibatkan batalnya syarat-syarat perjanjian pemborongan pekerjaan.

B. Syarat-Syarat Perjanjian Pemborongan Outsourcing