a. Paham pertama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada contractus sai generalis.
b. Paham kedua menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai
adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan teori absorbsi.
c. Paham ketiga menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan undang-
undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu teori kombinasi.
D. Syarat – Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat umum maupun syarat khusus. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal
1320 KUH Perdata berbunyi: 1.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2.
cakap untuk membuat suatu perikatan; 3.
suatu hal tetentu; 4.
suatu sebab yang halal. Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan
syarat umum, yaitu: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak
anatara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
35
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu
harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
36
35
Salim 1, Op.cit., hal. 162
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
timbal balik.
36
Subekti 3, Hukum Perjanjian Cetakan ke-12, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 7
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau
saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Persetujuan mana dapat
dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.
37
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacad
pada kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
38
a. Kekhilafan
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dikatakan tidak memenuhi syarat kesepakatan
kehendak apabila terdapat unsur-unsur antara lain:
Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kekhilafan mengenai orang
terjadi misalnya jika seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang dikiranya sebagai penyanyi tersohor, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang
dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jika orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan
Basuki Abdullah tetapi kemudian hanya turunan saja.
39
b. Paksaan
37
Riduan Syahrani, Op.cit., hal. 205
38
Mariam Darus Badrulzaman 2, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 99
39
Subekti 2, Op.cit, hal. 135.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan paksaan ialah: kekerasan jasmani atau ancaman akan membuka rahasia dengan sesuatu
yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut,
misalnya seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah perjanjian
sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi.
40
Sedangkan menurut Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa psysicis, jadi bukan paksaan badan fisik.
41
Paksaan terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui
persetujuan itu dan paksaan itu mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga.
42
c. Penipuan
Yang dimaksud dengan penipuan dalam suatu kontrak adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak lain
dalam kontrak tersebut telah menandatangani kontrak tersebut, tipu muslihat yang dimaksud di sini haruslah bersifat substansial.
43
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa satu macam pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus serangkaian
pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan.
44
Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat lainnya. Dan pihak
40
Mariam Darus Badrulzaman 1, Op.cit., hal. 76
41
Subekti 3, Op.cit., hal. 23
42
Wirjono Prodjodikoro 2, Op.cit., hal. 31
43
Munir Fuady, Op.cit., hal. 38
44
Wirjono Prodjodikoro 2, Op.cit., hal. 31
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk pembatalan perjanjian.
45
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
Yang dimaksud dengan cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata adalah: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut Abdul Kadir Muhammad, pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa
dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
46
Sedangkan yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata adalah:
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1.
Orang-orang yang belum dewasa; 2.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.
Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian berdasarkan ketentuan tersebut adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
Kriteria dari orang-orang yang belum dewasa diatur di dalam Pasal 330 KUH Perdata dimana ditentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
47
45
Setiawan, Op.cit., hal. 57
46
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal. 93
47
Mariam Darus Badrulzaman 2, Op.cit., hal. 103
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun sudah pernah kawin
dan sebagai suatu undang-undang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Umur dewasa 18 tahun ini juga telah dikuatkan oleh
Mahkamah Agung dalam putusannya No. 477 KSip1976 tanggal 13 Oktober 1976. Di samping itu, banyak pula perkecualian terhadap umur dewasa ini karena
dalam hal-hal tertentu, seseorang sudah dianggap berwenang untuk melakukan perbuatan tertentu sungguhpun dia belum dewasa, misalnya:
1 Dalam hal melakukan kontrak-kontrak transaksi sehari-hari seperti
berbelanja di pasar. 2
Terhadap hal-hal tertentu yang diatur dengan undang-undang tersendiri, misalnya:
a Untuk memilih dalam pemilihan umum yang diatur dalam undang-
undang tentang Pemilihan Umum; b
Untuk membuat perjanjian kawin asal dia sudah cukup usia kawin dan dibantu oleh orang yang harus member persetujuan untuk kawin
berdasarkan Pasal 151 KUH perdata; c
Untuk membuat kontrak perburuhan sepanjang dikuasakan oleh wakilnya Pasal 1601 g KUH Perdata.
48
d Untuk menghadap notaris yang diatur dalam undang-undang tentang
Jabatan Notaris. b.
Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
48
Munir Fuady, Op.cit., hal 65-66
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Salah satu golongan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Menurut Pasal
443 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaandungu, sakit otak atau
mata gelap, dan boros”. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dank arena
itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan
perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunya.
49
c. Perempuan-perempuan bersuami
KUH Perdata juga menempatkan perempuan-perempuan bersuami sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Hal yang menunjukkan i
perempuan-perempuan bersuami tidak cakap bertindak dalam hukum, misalnya Pasal 108 ayat 2 KUH Perdata berbunyi:
“Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia
karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau member perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya”.
Pasal 108 KUH Perdata menyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari
suami untuk membuat suatu akta. Demikian pula Pasal 110 KUH Perdata yang berbunyi:
“Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha
49
Mariam Darus Badrulzaman 1, Op.cit., hal. 78
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya”.
Pasal 110 KUH Perdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap di muka
pengadilan tanpa bantuan suami. Dalam perkembangannya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3
Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap
Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau
bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat 1 menyatakan
hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal
31 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
50
d. Orang yang dilarang oleh undang-undang unruk melakukan perbuatan
tertentu Ada juga orang-orang tertentu yang oleh undang-undang tertentu dianggap
tidak wenang membuat kontrak tertentu dengan cara tertentu atau dengan pihak tertentu Pasal 1330 ayat 3 KUH Perdata. Sebagai contoh dalam kontrak jual-
beli, ada pihak tertentu yang dilarang oleh undang-undang untuk mengadakan perjanjian, antara lain:
50
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal. 93
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1 Pada prinsipnya antara suami dan istri tidak boleh melakukan kontrak jual-
beli Pasal 1467 KUH Perdata. 2
Hakim, jaksa, panitera, advokat, pengacara, jurusita, dan notaris tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk dirinya sendiri
atau untuk orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara. 3
Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya sendiri atau untuk perantara atas barang-barang yang dijual oleh atau di
hadapan mereka.
51
3. Suatu hal tertentu
Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya unsur suatu hal tertentu. Yang dimaksudkan dengan suatu hal tertentu adalah objek dari suatu
perjanjian. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek bepaald onderwerp tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan.
52
Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang in casu KUH Perdata terhadap objek tertentu dari perjanjian, khususnya jika objek perjanjian
tersebut berupa barang adalah: a.
Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan
Dalam Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Barang-
barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan karena lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk
51
Munir Fuady, Op.cit., hal. 71
52
Mariam Darus Badrulzaman 2, Op.cit., hal. 105
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan obyek perjanjian.
53
b. Pada saat perjanjian dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat
ditentukan jenisnya Dalam Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.
c. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut
kemudian dapat ditentukan atau dihitung Menurut Pasal 1333 ayat 2 KUH Perdata bahwa: “Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
d. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari
Dalam Pasal 1334 ayat 1 KUH Perdata, ditentukan bahwa: “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
54
e. Tetapi tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam
warisan yang belum terbuka Menurut Wirjono Prodjodikoro, barang yang belum ada yang dijadikan obyek
perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak absolut dan bisa dalam pengertian relatif nisbi.
Menurut Pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata bahwa:
53
Riduan Syahrani, Op.cit., hal 210
54
Munir Fuady, Op.cit., hal. 72
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
“Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai
warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 169, 176, dan 178”.
Yang dilarang oleh undang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah
benda-benda yang berada di luar perdagangan dan warisan yang belum terbuka, adanya larangan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai obyek
perjanjian bertentangan dengan kesusilaan, lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam perjanjian
kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon suami atau calon isteri, ini diperkenankan.
55
4. Suatu sebab yang halal
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab causa, tetapi menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan causa adalah isi atau maksud dari
perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan bahwa perjanjian-
perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang dalam
Pasal 1337 KUH Perdata adalah: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
55
Riduan Syahrani, Op.cit., hal 210
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan.
56
Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian
yang sah. Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok syarat subjektif dan kelompok syarat objektif.
57
Para ahli hukum Indonesia, umumnya berpendapat syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan
dari pihak yang melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan
causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum,
tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik
dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subyektif maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya syarat
obyektif.
58
Sehubungan dengan pembedaan syarat-syarat sahnya perjanjian oleh banyak ahli hukum dalam dua kelompok di atas, Hardijan Rusli berpendapat bahwa:
59
“Pasal 1320 KUH Perdata secara jelas menyatakan untuk sahnya perjanjian- perjanjian diperlukan empat syarat sah. Jadi, secara analogi dapat dikatakan
bahwa dalam hal tidak terpenuhinya salah satu dari empat syarat yang ada
56
Mariam Darus Badrulzaman 2, Op.cit., hal. 106-107
57
Hardijan Rusli 1, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 44
58
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 93
59
Hardijan Rusli, Op.cit., hal. 46
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dalam Pasal 1320 itu, maka perjanjian menjadi tidak sah atau batal demi hukum void ab initio bukannya dpaat dimintakan pembatalannya
voidable.
Sedangkan syarat sah yang khusus perjanjian antara lain menurut Munir
Fuady adalah: 1.
Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan
suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat khusus agar perjanjian itu dapat mulai
berlakumengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat
tertulis bagi suatu perjanjian adalah:
a. Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.
b. Dipersyaratkan untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu.
d. Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.
2. Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu
Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, untuk perjanjian-perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis
tersebut harus dibuat olehdi hadapan pejabat tertentu dengan ancaman batal, misalnya:
a. Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris Pasal 1682 KUH
Perdata, untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak
berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung bendanya.
b. Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT Pejabat Pembuat
Akta Tanah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pertanahan.
3. Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang
Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata-mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut,
sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam
bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:
a. Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna
usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.
b. Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan
berupa penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan.
60
60
Munir Fuady, Op.cit., hal. 84-85
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
E. Saat Lahir dan Berakhirnya Suatu Perjanjian