Nilai Ekonomi Ekoturisme Kebun Raya Bogor

(1)

Oleh:

Nadya Tanaya Ardianti A07400018

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005


(2)

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada milenium ketiga, salah satu industri utama yang berkembang di dunia adalah kepariwisataan terutama di kawasan Asia Pasifik (Tisdell, 1996). Perkembangan industri kepariwisataan diperlihatkan oleh besarnya nilai kegiatan turisme. World Tourism Organization (WTO, 2000) menyatakan bahwa pada tahun 2000, 698 juta orang berwisata ke negara asing dan menghabiskan AS$ 575 milyar, menjadikan turisme industri penghasil terbesar selain automotif, kimia, minyak dan gas serta bahan pangan. WTO juga menyatakan bahwa turisme adalah salah satu penghasil devisa terbesar bagi 83% negara dan penghasil devisa utama bagi 38% negara di dunia.

Perkembangan industri kepariwisataan ditandai pergeseran orientasi dari pariwisata massal (mass tourism) menuju ke arah pariwisata alternatif (alternative tourism). Perubahan orientasi ini mengarah kepada pola wisata yang menekankan kepada aspek penghayatan dan penghargaan yang lebih pada aspek kelestarian alam, lingkungan dan budaya (enviromentally and cultural sensitivities). Indikator keberhasilan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan tidak hanya diukur dari perspektif ekonomi yaitu meningkatnya devisa dan lamanya waktu kunjungan (lenght of stay), tetapi harus dilandasi dengan kesadaran akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta penghargaan pada nilai- nilai sosiokultural masyarakat.


(3)

Salah satu bentuk pariwisata alternatif adalah ekoturisme atau ekowisata.

The Ecotourism Society (TES) mendefinisikan ekoturisme sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi tersebut memperlihatkan konsep integratif antara pariwisata yang mendukung upaya pelestarian lingkungan dengan partisipasi masyarakat baik dalam upaya mengelaborasi alam maupun melestarikannya.

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dimana kekayaan alam tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kedua di dunia setelah Brazil dalam hal keanekaragaman hayati atau biodiversity. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta didukung oleh kondisi alam dan budaya yang beragam, Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekoturisme. Potensi ekoturisme yang dimiliki Indonesia dapat berupa keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam dan gejala alam serta peninggalan sejarah dan budaya tradisional. Keseluruhan potensi tersebut merupakan sumber daya ekonomi dan sumber plasma nutfah yang bernilai tinggi dan berfungsi sebagai media pendidikan dan pelestarian lingkungan.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia sangat mendukung pengembangan ekoturisme di Indonesia. Dukungan pemerintah Indonesia untuk pengembangan kegiatan ekoturisme dikarenakan ekoturisme merupakan konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah - kaidah keseimbangan dan kelestarian alam dimana konsep ekoturisme tersebut sesuai dengan


(4)

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata haruslah melalui pendekatan sistem yang utuh terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan. Tidak hanya dikarenakan konsep ekoturisme sesuai dengan tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia, dukungan pemerintah Indonesia untuk pengembangan ekoturisme juga didasarkan fakta bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pendapatan negara.

Salah satu bentuk kawasan ekoturisme adalah kebun raya. Indonesia memiliki empat kebun raya dengan ciri khasnya masing- masing : Kebun Raya Bogor dan Cibodas di Jawa Barat, Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur dan Kebun Raya Eka Karya di Bedugul, Bali. Keempatnya memiliki koleksi tanaman ya ng penting bagi dunia internasional terlebih mengingat Indonesia adalah daerah asal dari hampir 10% spesies tumbuhan dunia. Jika Kebun Raya Bogor memiliki tanaman khas ekosistem hutan hujan tropis dari seluruh dunia, maka Kebun Raya Cibodas terkenal karena koleksinya yang menakjubkan dari tanaman dataran tinggi sedangkan Kebun Raya Purwodadi memiliki jenis tanaman yang sesuai dengan iklim musim kering hujan yang khas Jawa Timur.

Kebun Raya Bogor (KRB) adalah kebun raya pertama dan terutama di Indonesia. Kebun Raya Bogor juga tercatat sebagai kebun botani terbaik no. 6 di dunia dan no. 1 di Asia Tenggara. Sebagai suatu kawasan konservasi, Kebun Raya Bogor memiliki peranan penting bagi dunia pengetahuan karena Kebun


(5)

Raya Bogor merupakan lembaga penelitian dan pelestarian sumber daya hayati yang selama bertahun-tahun terus berkembang. Bagi kota Bogor, KRB merupakan sebuah bagian penting, karena selain memberikan lapangan pekerjaan dan menambah pemasukan pendapatan daerah melalui jasa rekreasi, Kebun Raya Bogor juga banyak memberikan manfaat ekologis yang tidak ternilai sebagai paru-paru kota, regulator iklim setempat, komponen sikus air serta sebagai sumber keanekaragaman hayati.

1.2 Perumusan Masalah

Kebun Raya Bogor mempunyai fungsi utama sebagai taman penelitian dan pendidikan sesuai dengan tugasnya sebagai Pusat Konservasi Tumbuhan. Akan tetapi budaya menjadikan Kebun Raya Bogor sebagai taman penelitian dan pendidikan masihlah rendah selama ini masyarakat atau pengunjung lebih melihat KRB sebagai taman rekreasi (LIPI,2004). Hal tersebut menjadi masalah, karena pelaksanaan fungsi wisata di KRB tidak hanya memberikan dampak positif seperti memberikan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah namun juga memberikan dampak negatif bagi KRB sebagi sebuah kawasan konservasi.

Dampak negatif yang ditimbulkan karena penggunaan KRB sebagai kawasan wisata terbagi 3 yaitu dampak negatif terhadap sumber daya alam seperti air, udara, tumbuhan dan satwa liar; dampak negatif terhadap ekosistem dan dampak negatif terhadap lingkungan sosial ekonomi. Adapununtuk lebih jelasnya, dampak negatif yang mungkin timbul dari pelaksanaan fungsi wisata di KRB antara lain:


(6)

(7)

Tabel 1. Dampak Negatif Pelaksanaan Turisme di Kebun Raya Bogor

Dampak Negatif Penyebab

Polusi Suara Kepadatan pengunjung, lalu lintas menuju KRB Polusi Udara Lalu lintas menuju KRB

Pulusi Air Pembungan sampah ke bantaran sungai Ciliwung Masalah Sampah Pengunjung yang tidak membuang sampah pada

tempatnya Perusakan Fasilitas Vandalisme Hilangnya habitat

vegetasi dan satwa liar

Pembangunan fasilitas wisata Erosi tanah Pembangunan fasilitas wisata

Sumber: Diadaptasi dari Tisdel, 1996

Salah satu solusi yang dapat meningkatkan fungsi pendidikan dan penelitian di Kebun Raya Bogor sekaligus meminimalkan dampak negatif wisata adalah pelaksanaan pola wisata ekoturisme. Dengan ekoturisme, diharapkan fungsi pendidkan dan penelitian KRB dapat ditingkatkan dengn tetap memberikan jasa rekreasi bagi masyarakat. Pelaksaan ekoturisme di KRB juga diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif wisata yang dapat merusak atau bahkan menghancurkan karakter KRB sebagai sebuah kawasan konservasi.

Akan tetapi, pengelolaan Kebun Raya Bogor sebagai objek wisata eko haruslah berkesinambungan. Pengelolaan secara berkesinambungan memerlukan informasi yang akurat agar arah kebijakan sesuai dengan fungsi dan peruntukan Kebun Raya Bogor sebagai objek wisata eko. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kunjungan ekowisata ke Kebun Raya Bogor serta penilaia n pengunjung terhadap atribut KRB sangat penting untuk


(8)

diketahui, sebagai dasar dalam penentuan arah dan kebijakan pengelolaan KRB kedepannya.

Sebagai kawasan wisata eko, pengelolaan Kebun Raya Bogor harus lah memenuhi prinsip ekoturisme. Salah satu prinsip ekoturisme menyatakan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekoturisme haruslah mendapat manfaat, artinya LIPI sebagai pengelola; Pemerintah dan masyarakat kota Bogor serta para pengunjung haruslah mendapat manfaat dari pengelolaan Kebun Raya Bogor sebagai kawasan wisata eko.

Manfaat dari pengelolaan KRB sebagai kawasan ekoturisme berupa nilai yang dirasakan langsung dan tidak langsung, namun yang menjadi masalah percerminan nilai manfaat ekoturisme di KRB tidak begitu terlihat. Pencerminan nilai tersebut tidak begitu terlihat dikarenakan yaitu sifat Kebun Raya Bogor sebagai barang publik (public goods) dan kesulitan pengukuran nilai ekonomi ekoturisme. Sebagai barang publik, KRB memiliki sifat joint consumption dan

non exclusion. Sifat joint consumption berarti KRB adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh seorang individu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang tersebut. Sifat non exclusion berarti bahwa KRB sebagai objek ekoturisme dapat dinikmati setiap orang tanpa batasan. Kedua sifat tersebut menyebabkan kurangnya insentif dan kompensasi dari pengunjung untuk menunjukkan preferensi mereka terhadap manfaat ekoturisme di KRB. Selain itu, KRB sebagai daerah tujuan ekoturisme yang memberikan banyak manfaat tidak memiliki harga atau nilai dalam mekanisme pasar yang dapat mencerminkan manfaat total dari pelaksanaan ekoturisme. Hal tersebut disebabkan karena masih


(9)

terbatasnya informasi mengenai manfaat ekoturisme itu sendiri. Keterbatasan informasi mengenai ekoturisme disebabkan karena ekoturisme adalah sebuah konsep baru yang tidak memiliki definisi yang diterima secara universal serta tidak tersedianya definisi ekoturisme yang bersifat kuantitatif.

Mengingat bahwa ekoturisme berdenotasi sebagai pariwisata berwawasan lingkungan yang tujuannnya adalah untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan lingkungan hidup dan sekaligus diharapkan mampu mewujudkan perilaku ramah lingkungan, maka pengetahuan mengenai pemahaman pengunjung akan nilai ekologis Kebun Raya Bo gor akan sangat dibutuhkan sebagai bahan evaluasi pencapaian tujuan kegiatan ekoturisme di KRB.

Dengan melihat latar belakang di atas, maka penelitian ini akan mengangkat tiga pertanyaan utama, yaitu :

1. Bagaimanakah pencerminan nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor?

2. Bagaimanakah pemahaman pengunjung akan fungsi ekologis KRB? 3. Faktor – faktor sosial ekonomi apa sajakah yang mempengaruhi

kunjungan ekoturisme ke Kebun Raya Bogor ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi manfaat pemakaian dan keberadaan


(10)

pelaksanaan ekoturisme di Kebun Raya Bogor yang dapat diperjelas sebagai berikut :

1. Menganalisis nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor. 2. Menganalisis fungsi ekologis Kebun Raya Bogor.

3. Menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kebun Raya Bogor.

I.4 Kegunaan Penelitian

1. Bahan masukan untuk Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pengelola dalam pemformulasian dan implementasi aturan dan kebijakan pengelolaan kegiatan ekoturisme di Kebun Raya Bogor.

2. Bentuk dukungan terhadap upaya konservasi yang dilakukan oleh Kebun Raya Bogor dan para konservasionis yang terkait.

3. Sebagai upaya penyadaran masyarakat dan pemerintah kota Bogor akan nilai dan kontribusi Kebun Raya Bogor.


(11)

Oleh:

Nadya Tanaya Ardianti A07400018

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005


(12)

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada milenium ketiga, salah satu industri utama yang berkembang di dunia adalah kepariwisataan terutama di kawasan Asia Pasifik (Tisdell, 1996). Perkembangan industri kepariwisataan diperlihatkan oleh besarnya nilai kegiatan turisme. World Tourism Organization (WTO, 2000) menyatakan bahwa pada tahun 2000, 698 juta orang berwisata ke negara asing dan menghabiskan AS$ 575 milyar, menjadikan turisme industri penghasil terbesar selain automotif, kimia, minyak dan gas serta bahan pangan. WTO juga menyatakan bahwa turisme adalah salah satu penghasil devisa terbesar bagi 83% negara dan penghasil devisa utama bagi 38% negara di dunia.

Perkembangan industri kepariwisataan ditandai pergeseran orientasi dari pariwisata massal (mass tourism) menuju ke arah pariwisata alternatif (alternative tourism). Perubahan orientasi ini mengarah kepada pola wisata yang menekankan kepada aspek penghayatan dan penghargaan yang lebih pada aspek kelestarian alam, lingkungan dan budaya (enviromentally and cultural sensitivities). Indikator keberhasilan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan tidak hanya diukur dari perspektif ekonomi yaitu meningkatnya devisa dan lamanya waktu kunjungan (lenght of stay), tetapi harus dilandasi dengan kesadaran akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta penghargaan pada nilai- nilai sosiokultural masyarakat.


(13)

Salah satu bentuk pariwisata alternatif adalah ekoturisme atau ekowisata.

The Ecotourism Society (TES) mendefinisikan ekoturisme sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi tersebut memperlihatkan konsep integratif antara pariwisata yang mendukung upaya pelestarian lingkungan dengan partisipasi masyarakat baik dalam upaya mengelaborasi alam maupun melestarikannya.

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dimana kekayaan alam tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kedua di dunia setelah Brazil dalam hal keanekaragaman hayati atau biodiversity. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta didukung oleh kondisi alam dan budaya yang beragam, Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekoturisme. Potensi ekoturisme yang dimiliki Indonesia dapat berupa keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam dan gejala alam serta peninggalan sejarah dan budaya tradisional. Keseluruhan potensi tersebut merupakan sumber daya ekonomi dan sumber plasma nutfah yang bernilai tinggi dan berfungsi sebagai media pendidikan dan pelestarian lingkungan.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia sangat mendukung pengembangan ekoturisme di Indonesia. Dukungan pemerintah Indonesia untuk pengembangan kegiatan ekoturisme dikarenakan ekoturisme merupakan konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah - kaidah keseimbangan dan kelestarian alam dimana konsep ekoturisme tersebut sesuai dengan


(14)

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata haruslah melalui pendekatan sistem yang utuh terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan. Tidak hanya dikarenakan konsep ekoturisme sesuai dengan tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia, dukungan pemerintah Indonesia untuk pengembangan ekoturisme juga didasarkan fakta bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pendapatan negara.

Salah satu bentuk kawasan ekoturisme adalah kebun raya. Indonesia memiliki empat kebun raya dengan ciri khasnya masing- masing : Kebun Raya Bogor dan Cibodas di Jawa Barat, Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur dan Kebun Raya Eka Karya di Bedugul, Bali. Keempatnya memiliki koleksi tanaman ya ng penting bagi dunia internasional terlebih mengingat Indonesia adalah daerah asal dari hampir 10% spesies tumbuhan dunia. Jika Kebun Raya Bogor memiliki tanaman khas ekosistem hutan hujan tropis dari seluruh dunia, maka Kebun Raya Cibodas terkenal karena koleksinya yang menakjubkan dari tanaman dataran tinggi sedangkan Kebun Raya Purwodadi memiliki jenis tanaman yang sesuai dengan iklim musim kering hujan yang khas Jawa Timur.

Kebun Raya Bogor (KRB) adalah kebun raya pertama dan terutama di Indonesia. Kebun Raya Bogor juga tercatat sebagai kebun botani terbaik no. 6 di dunia dan no. 1 di Asia Tenggara. Sebagai suatu kawasan konservasi, Kebun Raya Bogor memiliki peranan penting bagi dunia pengetahuan karena Kebun


(15)

Raya Bogor merupakan lembaga penelitian dan pelestarian sumber daya hayati yang selama bertahun-tahun terus berkembang. Bagi kota Bogor, KRB merupakan sebuah bagian penting, karena selain memberikan lapangan pekerjaan dan menambah pemasukan pendapatan daerah melalui jasa rekreasi, Kebun Raya Bogor juga banyak memberikan manfaat ekologis yang tidak ternilai sebagai paru-paru kota, regulator iklim setempat, komponen sikus air serta sebagai sumber keanekaragaman hayati.

1.2 Perumusan Masalah

Kebun Raya Bogor mempunyai fungsi utama sebagai taman penelitian dan pendidikan sesuai dengan tugasnya sebagai Pusat Konservasi Tumbuhan. Akan tetapi budaya menjadikan Kebun Raya Bogor sebagai taman penelitian dan pendidikan masihlah rendah selama ini masyarakat atau pengunjung lebih melihat KRB sebagai taman rekreasi (LIPI,2004). Hal tersebut menjadi masalah, karena pelaksanaan fungsi wisata di KRB tidak hanya memberikan dampak positif seperti memberikan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah namun juga memberikan dampak negatif bagi KRB sebagi sebuah kawasan konservasi.

Dampak negatif yang ditimbulkan karena penggunaan KRB sebagai kawasan wisata terbagi 3 yaitu dampak negatif terhadap sumber daya alam seperti air, udara, tumbuhan dan satwa liar; dampak negatif terhadap ekosistem dan dampak negatif terhadap lingkungan sosial ekonomi. Adapununtuk lebih jelasnya, dampak negatif yang mungkin timbul dari pelaksanaan fungsi wisata di KRB antara lain:


(16)

(17)

Tabel 1. Dampak Negatif Pelaksanaan Turisme di Kebun Raya Bogor

Dampak Negatif Penyebab

Polusi Suara Kepadatan pengunjung, lalu lintas menuju KRB Polusi Udara Lalu lintas menuju KRB

Pulusi Air Pembungan sampah ke bantaran sungai Ciliwung Masalah Sampah Pengunjung yang tidak membuang sampah pada

tempatnya Perusakan Fasilitas Vandalisme Hilangnya habitat

vegetasi dan satwa liar

Pembangunan fasilitas wisata Erosi tanah Pembangunan fasilitas wisata

Sumber: Diadaptasi dari Tisdel, 1996

Salah satu solusi yang dapat meningkatkan fungsi pendidikan dan penelitian di Kebun Raya Bogor sekaligus meminimalkan dampak negatif wisata adalah pelaksanaan pola wisata ekoturisme. Dengan ekoturisme, diharapkan fungsi pendidkan dan penelitian KRB dapat ditingkatkan dengn tetap memberikan jasa rekreasi bagi masyarakat. Pelaksaan ekoturisme di KRB juga diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif wisata yang dapat merusak atau bahkan menghancurkan karakter KRB sebagai sebuah kawasan konservasi.

Akan tetapi, pengelolaan Kebun Raya Bogor sebagai objek wisata eko haruslah berkesinambungan. Pengelolaan secara berkesinambungan memerlukan informasi yang akurat agar arah kebijakan sesuai dengan fungsi dan peruntukan Kebun Raya Bogor sebagai objek wisata eko. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kunjungan ekowisata ke Kebun Raya Bogor serta penilaia n pengunjung terhadap atribut KRB sangat penting untuk


(18)

diketahui, sebagai dasar dalam penentuan arah dan kebijakan pengelolaan KRB kedepannya.

Sebagai kawasan wisata eko, pengelolaan Kebun Raya Bogor harus lah memenuhi prinsip ekoturisme. Salah satu prinsip ekoturisme menyatakan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekoturisme haruslah mendapat manfaat, artinya LIPI sebagai pengelola; Pemerintah dan masyarakat kota Bogor serta para pengunjung haruslah mendapat manfaat dari pengelolaan Kebun Raya Bogor sebagai kawasan wisata eko.

Manfaat dari pengelolaan KRB sebagai kawasan ekoturisme berupa nilai yang dirasakan langsung dan tidak langsung, namun yang menjadi masalah percerminan nilai manfaat ekoturisme di KRB tidak begitu terlihat. Pencerminan nilai tersebut tidak begitu terlihat dikarenakan yaitu sifat Kebun Raya Bogor sebagai barang publik (public goods) dan kesulitan pengukuran nilai ekonomi ekoturisme. Sebagai barang publik, KRB memiliki sifat joint consumption dan

non exclusion. Sifat joint consumption berarti KRB adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh seorang individu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang tersebut. Sifat non exclusion berarti bahwa KRB sebagai objek ekoturisme dapat dinikmati setiap orang tanpa batasan. Kedua sifat tersebut menyebabkan kurangnya insentif dan kompensasi dari pengunjung untuk menunjukkan preferensi mereka terhadap manfaat ekoturisme di KRB. Selain itu, KRB sebagai daerah tujuan ekoturisme yang memberikan banyak manfaat tidak memiliki harga atau nilai dalam mekanisme pasar yang dapat mencerminkan manfaat total dari pelaksanaan ekoturisme. Hal tersebut disebabkan karena masih


(19)

terbatasnya informasi mengenai manfaat ekoturisme itu sendiri. Keterbatasan informasi mengenai ekoturisme disebabkan karena ekoturisme adalah sebuah konsep baru yang tidak memiliki definisi yang diterima secara universal serta tidak tersedianya definisi ekoturisme yang bersifat kuantitatif.

Mengingat bahwa ekoturisme berdenotasi sebagai pariwisata berwawasan lingkungan yang tujuannnya adalah untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan lingkungan hidup dan sekaligus diharapkan mampu mewujudkan perilaku ramah lingkungan, maka pengetahuan mengenai pemahaman pengunjung akan nilai ekologis Kebun Raya Bo gor akan sangat dibutuhkan sebagai bahan evaluasi pencapaian tujuan kegiatan ekoturisme di KRB.

Dengan melihat latar belakang di atas, maka penelitian ini akan mengangkat tiga pertanyaan utama, yaitu :

1. Bagaimanakah pencerminan nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor?

2. Bagaimanakah pemahaman pengunjung akan fungsi ekologis KRB? 3. Faktor – faktor sosial ekonomi apa sajakah yang mempengaruhi

kunjungan ekoturisme ke Kebun Raya Bogor ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi manfaat pemakaian dan keberadaan


(20)

pelaksanaan ekoturisme di Kebun Raya Bogor yang dapat diperjelas sebagai berikut :

1. Menganalisis nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor. 2. Menganalisis fungsi ekologis Kebun Raya Bogor.

3. Menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kebun Raya Bogor.

I.4 Kegunaan Penelitian

1. Bahan masukan untuk Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pengelola dalam pemformulasian dan implementasi aturan dan kebijakan pengelolaan kegiatan ekoturisme di Kebun Raya Bogor.

2. Bentuk dukungan terhadap upaya konservasi yang dilakukan oleh Kebun Raya Bogor dan para konservasionis yang terkait.

3. Sebagai upaya penyadaran masyarakat dan pemerintah kota Bogor akan nilai dan kontribusi Kebun Raya Bogor.


(21)

II.

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Rekreasi

Rekreasi berasal dari kata recreation yang merupakan gabungan 2 kata yaitu re yang artinya kembali dan create yang artinya mencipta atau menghasilkan sehingga rekreasi dapat diartikan sebagai menc iptakan kembali. Adapun makna rekreasi secara bahasa berarti kesukaan atau kesenangan dan berkaitan dengan hal melepaskan lelah.

Salah satu definisi rekreasi dikemukakan oleh Clawson et al (1975) yang menyatakan bahwa rekreasi merupakan kegiatan yang direncanakan dan dilakukan karena seseorang ingin melakukannya adapun menurut Douglas (1970) rekreasi adalah seluruh aktivitas yang menyegarkan atau nyaman untuk bersenang-senang atau bermain. Sebagai sebuah kegiatan, Pangemanan (1993) menyatakan bahwa rekreasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yaitu:

1. Aktivitas rekreasi tidak mempunyai bentuk tertentu. 2. Aktivitas rekreasi bersifat luwes.

3. Aktivitas rekrasi dapat dilakukan oleh individu ataupun sekelompok orang.

4. Aktivitas rekreasi bersifat universal.

Berdasarkan lokasi kegiatan, rekreasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu rekreasi pada tempat tertutup (indoor recreation) dan rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation). Menurut Clawson et al, (1975) outdoor recreation

merupakan rekreasi yang dilakukan di alam terbuka yang membutuhkan ruang dan sumber daya alam dalam jumlah yang relatif besar sedangkan menur ut Douglas (1970) outdoor recreation adalah rekreasi yang dilakukan di tempat-tempat yang


(22)

tidak dibatasi oleh suatu bangunan atau dengan kata lain merupakan rekreasi yang dilakukan di alam terbuka.

2.2. Turisme

Turisme atau wisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk bertamasya dan memenuhi keinginan yang beraneka ragam (Yoeti, 2001 dalam Wijayanti, 2003) sedangkan menurut Wahab (1990), wisata adalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar untuk mencapai kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda. Adapun menurut Undang-Undang Kepariwisataan (1990), wisata didefinisikan sebaga i kegiatan perjalanan atau sebagian kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait didalamnya sedangkan pariwisata didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk didalamnya pengusahaan obyek dan daya tarik wisata.

Ada empat kriteria suatu perjalanan dapat dikatakan sebagai perjalanan wisata yaitu (Yoeti, 2001 dalam Wijayanti, 2003):

1. Perjalanan itu tujuannya semata- mata untuk bersenang-senang. 2. Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain. 3. Perjalanan itu dilakukan minimal 24 jam.

4. Perjalanan itu tidak dikaitkan dengan mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan orang yang melakukan perjalanan itu semata- mata sebagai konsumen di tempat yang dikunjunginya.


(23)

Secara umum, turisme dapat dibedakan menjadi dua yaitu turisme yang berbasis sumber daya alam atau nature based tourism dan turisme yang tidak berbasis sumber daya alam atau non nature based tourism. Natue based tourism

dapat diklasifikasikan lagi menjadi beberapa tipe berdasarkan tipe wisatawan-nya yaitu (Lindberg, 1991):

1. Hard Core Tourist, jenis wisatawan yang menganggap keadaan alam serta kehidupan dan masyarakat lokal merupakan bagian penting dari perjalana n wisata.

2. Dedicated Nature Tourist, jenis wisatawan yang mengkhususkan diri untuk menikmati keindahan alam sehingga kehidupan lokal tidak menjadi bagian penting dari perjalanan wisata.

3. Main Stream Nature Tourist, jenis wisatawan pada umumnya yang megharapkan kondisi lokal dibuat senyaman mungkin sesuai dengan keinginan mereka. Jenis wisatawan ini pada umumnya mengikuti tur wisata yang mahal dan elite.

4. Casual Nature Tourist, jenis wisatawan yang menginginkan fasilitas wisata ‘western ‘. Jenis wisatawan ini umumnya mengikuti rencana perjalanan tur wisata masal.

Nature based tourism atau wisata alam juga bisa diklasifiklasikan berdasarkan karakteristik kawasan wisata-nya. Outdoor Recreation Resources Review Comission (ORRC) menetapkan bahwa ada 6 klasifikasi kawasan wisata alam yaitu:

1. High Density Resources Area. Areal rekreasi yang dibangun secara intensif dan dikelola untuk penggunaan yang luas.


(24)

2. General Outdoor Recreation Areas. Areal rekreasi yang menjadi sasaran pembangunan besar untuk pemakaian rekreasi secara khusus dan beragam. 3. Natural Environment Areas. Areal rekreasi yang terdiri dari beragam tipe

areal yang cocok untuk suatu rekreasi dalam lingkungan alami dan biasanya dikombinasikan dengan penggunaan lain.

4. Unique Natural Areas. Areal rekreasi yang terdiri dari areal yang memiliki karakteristik khas karena keindahan alamnya dan keajaiban alaminya. 5. Primitive Areas. Areal rekreasi yang terdiri dari areal hutan yang tak

terganggu.

6. Historic and Cultural Sites. Areal rekreasi yang merupakan tempat bersejarah atau situs budaya.

Adapun menurut palayanan dan aktivitas yang dapat dilakukan di suatu kawasan wisata alam, Clawson et al (1975) mengklasifikasikan 3 kategori kawasan wisata alam yaitu:

1. User Oriented Sites; dimana didalamnya termasuk taman kota, padang golf, lapangan tenis, kolam renang, taman bermain dan sebagainya.

2. Intermediate Sites; dimana didalamnya termasuk taman-taman rekreasi yang menyediakan fasilitas untuk berkemah, mendaki, memancing ikan, berperahu, berburu dan sebagainya.

3. Resources Based Sites; meliputi tempat-tempat yang memiliki karakteristik khusus dan biasanya merupakan taman nasional, suaka margasatwa dan sebagainya.


(25)

2.3 Ekoturisme

Ekoturisme adalah jenis pariwisata yang relatif baru dibandingkan pariwisata masal. Ide awalnya digulirkan oleh para konservasionis sebagai suatu strategi konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Konsep ini kemudian berkembang begitu cepat ke berbagai belahan dunia sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya.

Sebagai salah satu jenis pariwisata alternatif, ekoturisme diharapkan dapat mengurangi dampak negatif kegiatan pariwisata terhadap lingkungan (Munasinghe dan Mc Neely, 1994). Ekoturisme juga diharapkan dapat menjadi sumber ekonomi baru bagi negara berkembang terutama di daerah tropis dimana tingkat keanekaragaman hayatinya tinggi. Lindberg (1991) menyatakan bahwa pendapatan negara berkembang dari ekoturisme pada tahun 1988 mencapai US $ 12 milyar.

Di Indonesia, ekoturisme mulai dikenal sejak tahun 1990, setelah WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengundang Kreg Lindberg, seorang pakar ekoturisme dari Amerika Serikat berbicara mengenai “pariwisata sebagai upaya pelestarian lingkungan “. Kemudian, pada tahun 1995, Lembaga Studi Pariwisata Indonesia, Conservation International Indonesian Program dan Yayasan Bina Swadaya membentuk konsorsium jaringan kerja yang disebut

Indonesian Ecotourism Network (INDECON) yang bertujuan memperkenalkan dan mempromosikan ekoturisme melalui berbagai bentuk kegiatan baik yang bersifat advokatif, edukatif dan informatif.


(26)

2.3.1 Definisi dan Pengertian Ekoturisme

Frasa ekoturime berasal dari bahasa Inggris ecotourism. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata ecotourism. Pendapat pertama menyatakan bahwa

ecotourism terdiri atas dua kata yaitu eco dan tourism. Eco dalam bahasa Yunani berarti rumah sedangkan tourism berarti wisata atau perjalanan. Beberapa ahli menyatakan kata eco dapat diartikan sebagai ekonomi sehingga makna ecotourism

adalah wisata ekonomi, namun pemahaman umum menyatakan bahwa frasa

ecotourism merupakan gabungan dari ecologycal atau ekologidengan tourism. Sebagai konsep pariwisata yang relatif baru, banyak terdapat definisi ekoturisme walaupun pada umumnya semua definisi tersebut memperlihatkan dua aspek yang sama yaitu konservasi lingkungan hidup dan partisipasi masyarakat lokal. Ziffer (Ziffer 1989 dalam Alderman 1994) menyatakan bahwa definisi ekoturisme adalah sebuah konsep yang komplek karena harus memperlihatkan sebuah aktivitas konservasi, sebuah filosofi dan membangun suatu bentuk pengembangan ekoturisme.

Kesulitan dalam mendefinisikan ekoturisme disebabkan juga karana frasa ekoturisme sering disalahartikan sebagai wisata ala m padahal tidak semua wisata alam adalah ekoturisme. Sebuah wisata alam dapat dikatakan sebagai ekoturisme apabila wisata alam tersebut memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan pariwisata pada lingkungan. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam diagram berikut :

Gambar 1. Perbedaan Ekoturisme dan Wisata Berbasis alam (Tisdell, 1996)

Wisata berbasis alam Ekoturisme Pariwisata yang memperhatikan dampak lingkungan


(27)

Definisi ekoturisme pertama kali diperkenalkan oleh Ceballos-Lascurain (Ceballos-Lascurain, 1987 dalam Ceballos-Lascurain. 1996) yang menyatakan bahwa ekoturisme adalah suatu bentuk perjalanan ke lingkungan alami yang bertujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati keindahan alam termasuk tumbuhan dan hewan liar serta kebudayaan yang terdapat didalamnya. Western (Western 1987 dalam Western 1993) mempertegas dengan menyatakan bahwa ekoturisme adalah bentuk wisata yang dapat menciptakan dan memuaskan keinginan alam yang berhubungan dengan eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta mencegah dampak negatif terhadap ekologi. Ekoturisme juga dapat diterjemahkan menjadi pariwisata ekologi yang berarti perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke areal alam yang mampu memelihara lingkungan, serta bertanggung jawab untuk memelihara keberadaan manusia dan makhluk hidup di sekitarnya untuk tetap hidup nyaman dan aman dalam lingkungannya (Blangly dan Megan, 1994). Apabila ekoturisme dilihat sebagai sebuah proses, sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

Gambar 2. Skema Ekoturisme Sebagai Suatu Proses (Yusran, 2001)

Maka dalam ekoturisme yang menjadi input adalah manusia dimana disini yang dimaksud adalah para wisatawan ekoturisme (eco-traveller) dan alam yang di

konservasi

MANUSIA EKOTURISME

Hiburan dan pengetahuan ALAM


(28)

dalamnya termasuk budaya penduduk setempat, output yang dihasilkan dapat berupa output langsung maupun output tidak langsung,. Output langsung bagi manusia adalah unsur rekreasi dan penambahan pengetahuan sedangkan bagi alam adalah konservasi swadaya. Sedangkan output tak langsung berupa tumbuhnya kesadaran manusia (eco – traveller) akan pelestarian alam.

Beberapa lembaga yang memperhatikan masalah lingkunga n hidup juga memberikan berbagai sumbangan bagi penyempurnaan atau penambahan definisi ekoturisme. The Ecotourism Society, sebuah lembaga nirlaba yang berpusat di Vermont, Amerika Serikat, menyatakan bahwa ekoturisme adalah suatu bentuk perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat, sedangkan International Resources Group mendefinisikan ekoturisme sebagai sebuah bentuk perjalanan yang memperhatikan lingkungan dan menghargai daya tarik alami yang menjadi tujuan utama dari perjalanan tersebut. Senada dengan definisi diatas, Tourism Authority of Thailand dan Institute of Ecotourism-Sriakharinwot University

menyatakan bahwa ekoturisme adalah pariwisata berbasis alam yang bertujuan untuk mempelajari, menikmati serta menghargai lingkungan alam dan sosial termasuk gaya hidup dari masyarakat lokal; dikelola secara berkelanjutan; memperhatikan aspek sosial dan kultural serta memberikan pendidikan bagi para

eco traveller. Definisi ringkas mengenai ekoturisme dinyatakan oleh World Bank

yaitu ekoturisme sebagai perjalanan untuk menikmati dan mengapresiasi lingkungan alam.


(29)

2.3.2 Kriteria Ekoturisme

Ekoturisme dapat diartikan sebagai pariwisata berwawasan konservasi lingkungan. Oleh karena itu, tidak semua kegiatan wisata alam merupakan ekoturisme. Wisata alam yang dapat dikatakan sebagai ekoturisme haruslah memiliki aspek utama yaitu elaborasi dan pelestarian alam yang berkelanjutan. Prinsip ekoturisme yang berdasarkan kepada Quebec Declaration on Ecotourism

menyatakan bahwa ekoturisme haruslah memberikan kontribusi bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat lokal.

Menurut Cooper et al (1993), suatu kegiatan pariwisata dapat dikategorikan sebagai pariwisata ekologi apabila memenuhi 5 kriteria ekoturisme yaitu : 1) prinsip sustainable, dimana pariwisata tersebut harus berkonsentrasi pada pelestarian alam dan 2) lingkungan alam harus terjamin keselamatannya; dengan 3) pemeliharaan beraga m makhluk hidup yang berada di sekitarnya baik manusia, tumbuhan, hewan dan lain–lain; dengan 4) perencanaan dan implementasi secara holistik serta 5) adanya keterlibatan seluruh pihak. Di lain pihak, Fennel et al (1990), menyatakan bahwa kriteria ekoturisme adalah sebagai berikut :

1. Meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan 2. Meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat lokal 3. Memberikan kontribusi terhadap kelestarian alam

4. Meningkatkan kepuasan terhadap alam dan budaya lokal.

The Ecotourism Society (1993) menyatakan ekoturisme sebagai suatu bentuk perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung


(30)

konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Berdasarkan definisi tersebut, TES mengembangkan tuj uh prinsip dasar ekoturisme ya itu:

1. Menghindari dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan alam dan lingkungan budaya

2. Memberikan pendidikan konservasi

3. Memberikan kontribusi bagi upaya konservasi

4. Memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat

5. Memberikan penerimaan bagi negara tujuan wisata eko dengan menekankan penggunaan jasa dan fasilitas lokal

6. Membangun infrastruktur yang dikembangkan secara harmonis dengan keseimbangan alam

7. Memastikan bahwa pengembangan pariwisata tidak melebihi carrying capacity dari lingkungan sosial dan lingkungan alam.

Sebagai sebuah alat pembangunan, UNEP menyatakan bahwa ekoturisme harulah dapat me menuhi 3 tujuan dasarnya yaitu meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati, mempromosikan penggunaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan dan memberikan keuntungan dari pengembangan ekoturisme kepada masyarakat lokal.

Ekoturisme memiliki karakteristik yang sangat khas sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan manajemen yang khusus ditujukan untuk kenyamanan para ecotraveller namun di sisi lain juga mempertahankan perbaikan lingkungan hidup. Beberapa prinsip manajemen yang harus diterapkan bagi pengembangan ekoturisme yang berkelanjutan dijabarkan oleh Emphandhu dan Chettamart (1997) sebagai berikut:


(31)

1. Berbasis alam

2. Memiliki sensitifitas dan dampak negatif yang rendah terhadap lingkungan;

3. Memiliki nilai pendidikan;

4. Memberikan keuntungan dan membangun partisipasi bagi masyarakat lokal dan

5. Meningkatkan kesadaran akan konservasi.

Kegiatan ekoturisme yang dikelola secara baik akan memberikan hubungan simbolis yang saling menguntungkan bagi upaya konservasi, masyarakat lokal, turis dan industri pariwisata yaitu industri yang berhubungan dengan wisata termasuk didalamnya pengusahaan objek dan daya tarik wisata. Hubungan simbolis tersebut digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3. Humbungan Simbolis Pada Ekoturisme (Cater,1997)

2.4 Kebun Raya Bogor

Pada awal pendiriannya di tahun 1817, Kebun Raya Bogor dimaksudkan sebagai tempat penelitian bagi tumbuhan yang berada di Pulau Jawa seperti tumbuhan tembakau dan kina. Sekarang ini, fungsi utama Kebun Raya Bogor

Keuntungan bagi industri Perlindungan

Lingkungan Hidup Keuntungan bagi

upaya konservasi

Daya tarik alami bagi turis Peningkatan standar hidup


(32)

adalah sebagai pusat konservasi tumbuhan. Tugas pokok KRB berdasarkan fungsinya adalah sebagai lembaga yang bertugas menyelenggarakan penelitian tentang kekayaan alam hayati Indonesia, yaitu melaksanakan inventarisasi, eksplorasi dan konservasi tumbuhan tropika yang mempunyai nilai pengetahuan tinggi yang dikoleksikan dalam bentuk kebun botani.

Kebun Raya Bogor yang terletak di tengah kota Bogor dengan luas daerah 87 hektar merupakan museum hidup yang menyimpan kekayaan botani dari seluruh dunia. Beberapa koleksi Kebun Raya Bogor adalah koleksi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan seperi bunga bangkai atau Titan Arum (Amorphophallus titanum Becc.), koleksi anggrek (Orchidaceae), pohon palem (Arecaceae), meranti (Dipterocarpaceae), Kantung Semar (Nephentaceae) serta tanaman obat dan buah – buahan langka. Bagi kota Bogor, Kebun Raya Bogor adalah penanda (landmark) yang memiliki berbagai fungsi baik fungsi wisata, sosial, ekologi dan ekonomi.

2.4.1 Sejarah Kebun Raya Bogor

Hortus Botanicus Bogorinensis atau Kebun Raya Bogor (KRB) didirikan oleh Prof. Dr. Casper Georg Carl Reindwardt, seorang botanis dari Jerman pada abad 19. Pada awalnya, kebun ini bernama s’Lands Plantetuin teBuitenzorg dan menjadi pusat introduksi berbagai tanaman ekonomi penting pertanian. Ide awal pendirian KRB berasal dari anggapan Reindwardt bahwa eksplorasi tumbuhan dan masalah pertanian merupakan tugasnya di Hindia Belanda (Indonesia). Kemudian Reindwardt menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu,


(33)

G.A.G.P. Baron van der Capellen, memohon sebidang tanah untuk penelitian manfaat berbagai tumbuhan baik dari kawasan Indonesia maupun mancanegara.

Kemudian pada tanggal 18 Mei 1817, Gubernur Belanda menetapkan lahan seluas 47 hektar yang berbatasan dengan Istana Bogor sebagai kebun raya dengan Prof. DR. C.G.C. Reindwart sebagai direktur pertama Kebun Raya Bogor. Selama periode kepemimpinannya, sekitar 900 tumbuhan ditanam di Kebun Raya Bogor. Direktur kebun raya yang kedua adalah C.L. Blume. Pada masanya, katalog tanaman kebun raya yang pertama dipublikasikan. Katalog tersebut dipublikasikan pada tahun 1823 dan mencakup 914 spesies serta masih dipergunakan sebagai dasar katalog hingga saat ini.

Dari tahun 1826 sampai 1867, penanggungjawab kebun raya adalah seorang pegawai khusus dari Istana Guberur Jenderal dimana kuratornya adalah Johannes Elias Teysmann dengan asisten Justus Karl Hasskarl. Selama kurun waktu 50 tahun, Teysmann dan Hasskarl melakukan perubahan pola tanam di Kebun Raya Bogor berdasarkan family taksonomisnya. Teysman juga dikenang karena mengintroduksi tanaman pertanian yang bernilai ekonomi tinggi ke Indonesia seperi kelapa sawit (Elais guineensis ), kina dan ubi kayu (Manihot esculenta). Atas pengabdiannya, di dalam kebun raya didirikan tugu peringatan dan marga empat spesies pohon jati dan verbena dinamakan atas nama beliau (Teijsmaniodendron).

R.H.C.C. Scheffer adalah direktur ketiga Kebun Raya Bogor dari tahun 1869 – 1880. Selama masa itu, kebun raya menjadi sarana untuk pengembangan pertanian dan penelitian ilmiah. Pada tahun 1892, di bawah pimpinan Dr. Treub Melchiour, Kebun Raya Bogor diperluas hingga 60 hektar dengan tambahan pulau


(34)

diantara dua bagian sungai Ciliwung. Pada perkembangan selanjutnya luas KRB menjadi 87 hektar. Di bawah kepemimpinan Treub, berhasil diselesaikan penelitian dasar mengenai hama–hama penyakit yang mengancam tanaman tropis yang bernilai ekonomi tinggi. Tiga puluh tahun berikutnya, Kebun Raya Bogor menumb uhkan pengakuan dunia atas jasa Kebun Raya Bogor sebagai lembaga ilmiah yang bermanfaat bagi pertanian lokal dan Eropa

Selama Perang Dunia II, KRB diambil kepemimpinannya oleh pihak Jepang dengan Prof T. Nakai sebagai direkturnya dan Kanihera sebagai kepala herbarium. Selama di bawah pengawasan Jepang, KRB diberi nama Shokobutsuen

yang artinya kebun raya.

Usai perang dunia II, pada tahun 1949, ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan penuh, pengelo laan Kebun Raya Bogor diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Semenjak dikelola pemerintah Republik Indonesia, Kebun Raya Bogor sering mengalami perubahan kelembagaan. Pada awal pengelolaannya di tahun 1949, Kebun Raya Bogor berada di bawah Lembaga Djawatan Penyelidikan Alam dengan direktur Kusnoto Setyowirdjo dan kurator Sudjana Kassan. Tahun 1959, KRB menjadi bagian dari Lembaga Pusat Penyelidikan Alam dengan direktur Sadikin Sumintawikarta. Antara tahun 1964 – 1987 KRB menjadi bagian dari Lembaga Biologi Nasional (LBN) dimana KRB dikembangkan sebagai Lembaga Penelitian Biologi Tropika. Sekitar tahun 1980-an tepatnya tahun 1986, LBN ditata ul1980-ang d1980-an dipecah menjadi Pusat Peneliti1980-an dan Pengembangan Biologi (PUSLITBANG Biologi) dan Kebun Raya. Berdasarkan Keppres RI No. 1 Tahun 1986 ditetapkan bahwa Kebun Raya Bogor bersama PUSLITBANG Biologi berada di bawah LIPI. Kedudukan KRB


(35)

sekarang adalah sebagai Unit Pelaksana Tekhnis (UPT) Balai Pengembangan Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (KRB LIPI). Berdasarkan Keppres RI No. 103 Tahun 2001 tentang susunan organisasi dan tugas Lembaga Pemerintah Non Daerah (LPND) dan Keputusan Kepala LIPI Nomor 1151/M/2001 tentang organisasi dan tata kerja LIPI, maka KRB mengalami perubahan struktur organisasi dan perubahan nama lembaga menjadi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. KRB sendiri merupakan pusat kebun raya ya ng membawahi 3 kebun raya lainnya di Indonesia yaitu Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya Eka Karya di Bedugul- Bali.

2.4.2 Visi, Misi dan Fungsi Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor memiliki visi menjadi kebun raya terbaik kelas dunia, terutama dalam bidang konservasi tumbuhan, penelitian dan pelayanan dalam aspek botani, pendidikan dan lingkungan, hortikultura, lansekap dan pariwisata. Sementara itu, misi yang diemban KRB adalah melestarikan, mendayagunakan dan mengembangkan potensi tumbuhan melalui kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, rekreasi serta peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kebun raya, tumbuhan dan lingkungan dalam upaya pemanfaatan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

Fungsi Kebun Raya Bogor adalah sebagai tempat yang memberikan jasa ilmiah dan menjadi tempat rekreasi yang sehat bagi masyarakat. Sedangkan tugas pokok KRB adalah sebagai lembaga yang bertugas menyelenggarakan penelitian tentang kekayaan alam hayati Indonesia dengan cara melaksanakan inventarisasi,


(36)

eksplorasi dan konservasi tumbuhan tropika. Secara ringkas, fungsi dan manfaat KRB adalah:

1. Fungsi penelitian yang meliputi areal konservasi ex situ dan riset yang meliputi riset taksonomi, identifikasi tumbuhan, inventarisasi dan evaluasi

2. Fungsi pendidikan 3. Fungsi pariwisata.

2.4.3 Fasilitas Kebun Raya Bogor

Berdasarkan fungsi Kebun Raya Bogor yang bersifat edukatif dan ilmiah, maka fasilitas utama kebun raya adalah yang mendukung fungsi tersebut seperti Gedung Laboratorium Pendidikan Konservasi, rumah kaca, herbarium, orchidacium, koleksi bijidan perpustakaan. Laboratorium Kebun Raya Bogor atau yang lazim disebut Laboratorium Treub didirikan pada tahun 1884 oleh Dr. Melc hior Treub, direktur keempat KRB, sebagai tempat bagi peneliti tamu. Sedangkan perpustakaan KRB yang merupakan cikal bakal perpustakaan Indonesia dibuka pada tahun 1842 atas usul Justus Karl Hasskarl dengan nama

Bibliotheca Bogoriensis. Koleksi awal perpustakaan KRB adalah merupakan buku botani sebanyak 25 buah yang dibeli Hasskarl.

Fasilitas pendukung antara lain jalur dan papan interpretasi, pemandu, rumah tamu atau guest house, masjid dan mushola, shelter, cafe dedaunan, stand penjualan makanan dan minuman serta tanaman, waung telekomunikasi (wartel) dan toko cinderamata Garden’s Gifts. Setiap pengunjung yang membeli karcis masuk juga mendapat layanan asuransi jiwa.


(37)

2.4.4 Keadaan Fisik dan Biotik

Kebun Raya Bogor terletak di kaki Gunung Salak pada ketinggian 260 mdpl, lebar 636 dan panjang 10.632. Secara geografis letak Kebun Raya Bogor berada pada letak lintang 60 37’ LS dan 1060 32’ BT sedangkan secara administratif KRB termasuk dalam wilayah Bogor Tengah, Kotamadya Bogor, 60 km arah tenggara dari Jakarta. Alamat KRB terletak di Jl. Ir. Haji Juanda No.13 Bogor, Jawa Barat.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Kebun Raya Bogor termasuk daerah bertipe hujan A. Kebun Raya Bogor beriklim tropis dengan curah hujan rata – rata berkisar antara 3000-4330 mm per tahun dengan kele mbaban 80 – 90% Curah hujan tertinggi (>400 mm/bulan) terjadi pada bulan November, Desember dan Januari sedangkan curah hujan terrendah (<250mm/bulan) terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Suhu rata – rata sepanjang tahun berkisar antara 21,40 C – 30,20 C.

Jenis tanah di Kebun Raya Bogor adalah latosol coklat kemerahan. Jenis tanah tersebut mempunyai sifat antara lain teksturnya halus, drainase sedang, aktivitas biologi baik, permeabilitas baik, kepekaan terhadap erosi kecil, bahan organik rendah sampai sedang di lapisan atas dan menurun ke bawah serta daya absorpsi yang tergolong rendah sampai sedang.

Pada tahun 1830, kurator Kebun Raya Bogor pada waktu itu, Johannes Elias Teysman, menata ulang pola tanam di KRB berdasarkan suku (famili) taksonomisnya. Berdasarkan data terakhir pada bulan Maret 2001, terdapat lebih dari 13.865 spesimen tanaman hidup yang terdiri dari 222 family, 1266 marga dan


(38)

3444 spesies. 231 jenis koleksi KRB memiliki status kelangkaan berdasarkan

IUCN Redlist dengan berbagai tingkatan status kelangkaan

Tujuh puluh persen koleksi tanaman KRB berasal dari Kepulauan Indonesia dan sisanya berasal dari mancanegara seperti Victoria amazonica dari sungai Amazon, Brasil dan Cypres papyrus L. dari sunga i Nil, Mesir. Koleksi andalan KRB adalah bunga bangkai atau Titan Arum (Amorphophallus titanum Becc., koleksi 1000 spesimen anggrek (Orchidaceae) yang ditampilkan di rumah anggrek yang dilengkapai dengan sistem fogging, pohon palem (Arecaceae), meranti (Dipterocarpaceae), kantung semar (Nephentaceae) serta tanaman obat dan buah – buahan langka. Koleksi unik lainnya adalah pohon Raja (Koompassia excelsa), teratai raksasa (Victoria amazonica) serta berbagai pohon tua seperti jati, randu dan leci.

Kebun Raya Bogor memiliki 16 jenis tanaman tipe yaitu tanaman yang untuk pertama kalinya diberi nama ilmiah dengan menggunakan bahasa latin. Koleksi tanaman tersebut antara lain adalah Aglaonema oblanceolatum (sri rejeki), Artocarpus altissimus (sukun) dan Erycibe glandiflora (bunga irian).

Koleksi Kebun Raya yang lainnya antara lain koleksi pinang– inangan (aracaeae) 288 jenis dan polong-polongan (fabaceae) 292 jenis. Kebun Raya Bogor juga menyimpan koleksi tanaman buah–buahan yang banyak terdapat di Indonesia seperti belimbing (Averhoa calamboa), langsat atau duku (Lansium domesticum), durian (durio spp.), jambu (Syzygium spp), leci (Litchi sinensis), mangga (Mangifera spp), manggis (Garcinia mangostana), nangka (Artocarpus heterophyllus), pisang (musa spp), rambutan (Nephelium lappaceum) dan salak (Salacca endulis).


(39)

Sebagai areal konservasi ex situ, salah satu kegiatan Kebun Raya adalah melakukan inventarisasi tanaman tropika terutama tanaman herba dan rempah– rempahan mengingat sebagian besar pulau di Indonesia adalah penghasil rempah– rempah (spice island). Beberapa jenis tanaman herba dan rempah–rempah yang dapat ditemukan di Kebun Raya Bogor antara lain adalah asam jawa (Tamaricus indica), cengkeh (Syzygium aromaticum), kayu manis (Cinnamomum verum), pala (Myristica fragrans), jahe (Zingiber officinale) dan kunyit (Kurkuma domestica).

Kebun Raya Bogor juga merupakan tempat berlindung bagi beraneka ragam satwa terutama burung. Mamalia seperti kera dan kalong (Pteropus vampirus) serta berbagai jenis reptil amfibi juga menjadikan KRB sebagai habitat mereka. Tercatat lebih dari 5O jenis burung ada di KRB. Sebagian besar adalah burung – burung yang biasa dijumpai di Pulau Jawa seperti kutilang (Pycnonotus aurigaster), kucicca (Copsychu saularis) dan cinenen (Ptilinpous melanospila). Burung khas Kebun Raya Bogor adalah burung kepodang (Oriolus chinensis) dan walik kembang (Prilinopus melanospila). Pulau di tengah – tengah kolam gunting merupakan sarang dari kawanan kowak (Nyticorax nycticorax). Selain itu ada burung – burung tamu seperti kuntul (Egreetta sp.) dan burung udang/cekakak,

Halycon chloris

.

Kebun Raya Bogor juga memiliki beberapa tempat dan bangunan bersejarah yang menarik. Salah satunya adalah Taman Teysman, sebuah taman bergaya formal yang dibangun pada tahun 1889 sebagai penghargaan kepada Johannes Elias Teysmann, kurator Kebun Raya Bogor yang banyak berkarya di bidang lansekap. Tempat menarik lainnya adalah Taman Lebak Sudjana Kasan,


(40)

Taman Astrid, Taman Kaktus, Monumen J.J. Smith, Jembatan Gantung, Pohon Kalong, Kuburan Belanda serta Monumen Lady Raffles.

2.4 Nilai Kawasan Konservasi

Nilai atau value merupakan persepsi seseorang terhadap sesuatu pada suatu waktu dan tempat tertentu. Nilai dapat berupa harga yang diberikan karena kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang dihasilkan dari kegiatan mengkonsumsi barang dan jasa. Ukuran nilai ditentukan oleh sumber daya yang dikorbankan seseorang untuk memiliki atau mengkonsumsi barang dan jasa tersebut

Nilai kawasan konservasi mempunyai spektrum yang sangat luas karena mencakup faktor yang berkaitan dengan nilai–nilai sosial budaya yang dianut masyarakat, dipengaruhi oleh nilai politik dan aturan–aturan manajemen yang berlaku (Munasinghe dan Mc Neely, 1994). Penentuan nilai kawasan konservasi dapat menggunakan pendekatan penilaian ekonomi total atau Total Economic Valuation (TEV). Ide awal dari TEV adalah untuk menilai sumber daya yang ada pada daerah tropis dan polusi yang terjadi di daerah tersebut, namun TEV juga dapat dipergunakan pada konversi lahan maupun pada daerah konservasi dengan cara membandingkan berbagai nilai yang ada. Menurut konsep TEV, nilai kawasan konservasi terdiri atas nilai penggunaan (use value) dan nilai non penggunaan (non use value). Nilai penggunaan adalah keuntungan yang didapatkan dari penggunaan fisik ataupun dari akses terhadap kawasan konservasi. Nilai penggunaan terbagi tiga yaitu nilai penggunaan langsung, nilai


(41)

Direct Use Exixtence Values Indirect Use Values Option Values Other Non Use Values

Output that can be consumed directly

Functional benefits

Future directs & indirects values

Value from knowledge of continued existence

Food

Biomass

Recreation Health

Ecological Functions

Flood Control

Storm Protection

Biodiversity

Conserved Habitatas

Habitas

Endangered species

Use Value Non Use Value

Total Economic Value

penggunaan tidak langsung dan nilai pilihan. Untuk jelasnya pembagian nilai kawasan konservasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kategori Nilai Ekonomi Lingkungan Hutan Tropis (Pearce, 1992)

Nilai penggunaan langsung (direct use value) mengacu pada manfaat dari barang atau jasa lingkungan yang langsung dikonsumsi dari suatu kawasan konservasi sedangkan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) mengacu pada fungsi ekologis dari suatu kawasan konservasi yang dikonsumsi secara tidak langsung. Nilai pilihan (option value) berhubungan dengan kesediaan membayar untuk mempertahankan manfaat ekonomi dan ekologis dari suatu kawasan konservasi bagi kepentingan masa depan. Nilai non penggunaan berkaitan dengan


(42)

nilai keberadaan (existence value) dari suatu kawasan konservasi yaitu nilai keberlangsungan dari keberadaan suatu kawasan konservasi,dimana didalamnya termasuk nilai budaya. Secara matematis, Nilai Ekonomi Total (NET) dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut (Pearce,1992) :

NET = NP + NNP = NPL +NPTL+Np + Nk dimana dalam hal ini :

NET = nilai ekonomi total (total economi value) NP = nilai penggunaan (use value)

NNP = nilai non penggunaan (non use value)

NPL = nilai penggunaan langsung (direct use value)

NPTL = nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) Np = nilai pilihan (option cost)

Nk =nilai keberadaan (existence cost)

Pearce (1992) menyatakan kategori nilai ekonomi total tersebut tidak benar– benar total karena 1) tidak mencakup keseluruhan nilai kecuali nilai ekonomi dan 2) banyak ahli ekologi yang menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal.

Pendekatan lain mengenai nilai dan fungsi dari kawasan konservasi dikemukakan oleh Groot (1994) yang menyatakan bahwa nilai kawasan konservasi berhubungan erat dengan fungsi dari suatu kawasan konservasi. Groot menyatakan bahwa fungsi dari kawasan konservasi dapat dikategorikan sebagai:


(43)

1. Fungsi regulator yang mengacu pada kemampuan lingkungan untuk memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

2. Fungsi produksi yang berkaitan dengan kemampuan alam memberikan sumber daya produksi;

3. Fungsi informatif yang berhubungan dengan kemampuan alam untuk memberikan kontribusi bagi pemeliharaan kesehatan mental;

4. Carrier functions yaitu fungsi yang berkaitan dengan penggunaan kawasan konservasi sebagai tempat untuk berbagai aktivitas manusia.

2.6 Penilaian Sumber Daya Alam

Penilaian ekonomi sumber daya alam merupakan ilmu pengetahuan yang masih berkembang. Dalam konteks lingkungan, penilaian atau valuasi ekonomi mengukur preferensi seseorang terhadap kondisi lingkungan yang baik atau yang buruk. Hasil dari valuasi dinyatakan dalam bentuk uang yang menunjukkan kesediaan membayar yang pada akhirnya diharapkan dapat mengekpresikan nilai dalam bentuk uang atau economi rate of return (Pearce, 1992).

Kula (1992) menyatakan bahwa memberikan nilai pada sumber daya alam atau lingkungan terutama pada kerusakan lingkungan berperan penting untuk beberapa alasan yaitu:

1. Valuasi ekonomi memperjelas bahwa sumber daya alam terbatas dan bukanlah barang bebas


(44)

3. Ketika kebijakan perbaikan lingkungan direncanakan, valuasi ekonomi menunjukan manfaat ekonomi dari kebijakan tersebut 4. Valuasi ekonomi meningkatkan objektifitas pengambilan keputusan

yang berkaitan dengan lingkungan

5. Valuasi ekonomi menunjukan nilai ekonomi total dari suatu proyek lingkungan ataupun kualitas lingkungan suatu negara

6. Valuasi ekonomi membantu proses pembuatan kebijakan

Pearce (1992) juga menyatakan bahwa setidaknya ada lima alasan utama kenapa valuasi ekonomi dari barang dan jasa lingkungan penting; pertama, dikarenakan pentingnya lingkungan dalam strategi pembangunan nasional; kedua, sebagai bahan modifikasi anggaran pemerintah (APBN); ketiga, membantu menetapkan prioritas nasional dan sektoral; keempat, sebagai bahan evaluasi kebijakan dan program pemerintah; dan kelima, mendukung usaha pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Penilaian ekonomi sumber daya alam juga mempunyai kelemahan: pertama, tidak semua pihak setuju bahwa sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat dinilai secara ekonomi dan dapat dinya takan dalam bentuk satuan moneter; kedua, valuasi ekonomi membutuhkan data ekonomi yang biayanya sangat mahal (Kula,1992).

2.7 Metode Penilaian Sumber Daya Alam

Sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang masih berkembang, ekonomi sumber daya alam dan lingungan terus menerus mengembangkan metode penilaian sumber daya alam. Banyak teori mengenai pendekatan atau metode yang


(45)

Based on Wilingness to Accept Based on

Willingness to Pay

enviromental quality as consumption

goods

environmental quality as an

input in production

contingen valuation

travel cost

game theory

hedonic pricing

isoquant

direct opportunity cost

replacement cost

cost saving Economic Valuation

sebaiknya digunakan untuk menilai sumber daya alam dan lingkungan, namun pada intinya konsep dasar dari semua metode tersebut adalah untuk mengekspresikan preferensi seseorang terhadap kualitas lingkungan yang baik ataupun yang buruk.

Thampipali (1993) mengelompokkan metode penilaian sumber daya alam berlandaskan dasar penilaian ekonomi sumber daya alam yaitu berdasarkan

willingness to pay dan willingnes to accept. Pemilihan dasar penilaian ekonomi tersebut sangat mempengaruhi metode pengambilan data. Untuk jelasnya, metode valuasi ekonomi menurut Thampipali dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Metode Valuasi Ekonomi (Thampipali, 1993)

Adapun Pearce dan Moran (1994) menyatakan bahwa metode penentuan nilai ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan untuk mendapatkan penilaian secara langsung dengan


(46)

menggunakan percobaan dan survey. Tekhnik survey (kuesioner) terdiri atas dua tipe yaitu perolehan rangking (contingent ranking method ) dan perolehan nilai yang meliputi keinginan untuk membayar (willingnes to pay) dan keinginan untuk menerima kompensasi ( willingness to accept ).

Pendekatan lain dinyatakan oleh Hufschmidt et al (1983) yang menekankan bahwa secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi atau biaya lingkungan untuk sumber daya alam dan lingkungan dapat dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi survey atau penilaian hipotesis sebagai berikut :

a. Metode/tekhnik berorientasi pasar yaitu penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market method)

1. Penilaian dengan menggunakan harga pasar: perubahan nilai hasil produksi (change in productivity) dan metode hilangnya penghasilan (loss of earning method)

2. Penilaian dengan menggunakan harga pasar bagi input: pengeluaran biaya pencegahan (averted defensif expenditure method), biaya penggantian (replacement cost method), biaya proyek bayangan (shadow project method) dan analisis keefektifan biaya.

3. Penilaian keuntungan dengan menggunakan pasar pengganti (surrogate market based method) : barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan, pedekatan nilai kepemilikan, pendekatan lain terhadap nilai tanah, pendekatan biaya perjalanan (travel cost method), pendekatan perbedaan upah (wage differential method) dan penerimaan kompensasi.


(47)

b. Orientasi survey

1. Pertanyaan langsung kesediaan untuk membayar (willingnes to pay) 2. Pertanyaan langsung terhadap kemauan untuk dibayar (willingness to

accept)

2.8 Kesediaan Membayar

Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua tekhnik adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa–jasa lingkungan atau sumber daya (Munasinghe, 1994) sedangkan Hufschmidt et al (1983) menyatakan bahwa tekhnik penilaian manfaat didasarkan pada kesediaan membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi karena adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar.

Kesediaan membayar dan menerima merefleksikan preferensi individu terhadap perubahan lingkungan dari keadaan awal (Qo) menjadi kondisi

lingkungan yang lebih baik (Q1), yang dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai

berikut (Pearce dan Moran, 1994):

WTP

i

= ƒ (Q

1

– Q

0

, P

own, i

, P

sub, i

,

S

i

, E

i

)

WTPi = kesediaan membayar dari rumah tangga ke – i

Q0 = keadaan awal lingkungan

Q1 = keadaan baru lingkungan

Pown = harga dari penggunaan sumber daya lingkungan

Psub = harga substitusi untuk penggunaan sumber daya lingkungan

Si = karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke- i

Ei = galat acak


(48)

2.9 Metode Biaya Perjalanan

Berdasarkan kesediaan membayar, terdapat dua metode yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi sebuah kawasan konservasi: pendekatan biaya perjalanan (travel cost method) dan pendekatan nilai hipotetis. Namun, penilaian kawasan konservasi terutama yang dinilai terlalu rendah (underpriced) pada umumnya menggunakan metode biaya perjalanan.

Pemilihan metode biaya perjalanan dikarenakan metode ini memiki kemungkinan bias yang lebih kecil dibandingkan dengan pendekatan nilai hipotetis yang potensi penyimpangannya besar karena sifat hipotetis pendekatan dimana perilaku pasar tidak sepenuhnya diamati (Dixon, 1994). Pendekatan biaya perjalanan juga dinilai lebih efektif untuk mengukur nilai ekonomi objek wisata yang memiliki jumlah pengunjung yang cukup besar (Kamiharja, 2001).

Akan tetapi, metode biaya perjalanan juga memiliki beberapa kelemahan yaitu :

1. Atribut populasi yang tidak homogen (Tisdell,1991)

2. Tujuan kunjungan wisata yang tidak homogen (Tisdell,1991)

3. Kenyataan bahwa nilai ekonomi kawasan wisata tidak dapat ditentukan oleh jumlah kunjungan saja (Tisdell,1991)

4. Tidak dimasukkannya biaya waktu yang hilang untuk menempuh perjalanan ke lokasi wisata ke dalam model TCM (Turner et al,1994) 5. Multiple Visit Journey. Tujuan lokasi wisata yang lebih dari satu dalam

satu hari (Turner et al,1994)

6. Non paying visitor Dihilangkannya sampel pengunjung yang tidak membayar. (Randall, 1994 dalam Wijayanti,2003)


(49)

namun, secara keseluruhan TCM bekerja baik dengan dasar karena model TCM secara konsisten mendukung sifat–sifat yang diimplikasikan dalam teori permintaan seperti efek harga sendiri yang negatif (Smith, 1994 dalam Wijayanti, 2003)

Ada dua pendekatan metode biaya perjalanan yaitu Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan Individual Travel Cost Method (ITCM). ITCM lebih sering digunakan karena beberapa alasan yaitu 1), pengamatan jauh lebih kecil dibandingkan keseluruhan populasi zona; dan 2), kelompok individu seringkali terdispersi karena mereka mempunyai tujuan wisata yng berbeda, namun ITCM juga memiliki kelemahan yaitu bias pemilihan sampel (sample selection bias) dimana semakin sering seseorang berkunjung maka peluang untuk terpilih menjadi sampel juga semakin besar serta sensitifitas terhadap error dan pemilihan bentuk fungsi.

Pendekatan biaya perjalanan memanfaatkan informasi tentang waktu dan pengeluaran moneter yang dilakukan oleh para pengunjung untuk mengadakan perjalanan ke dan dari objek wisata. Pendekatan ini memperkirakan kurva permintaan untuk pemakaian kawasan konservasi sebagai tempat wisata. Informasi ini kemudian digunakan untuk menghitung surplus konsumen yang dinikmati para pengunjung. Dasar pendugaan pada model biaya perjalanan dengan pendekatan suplus konsumen adalah bahwa konsumen akan memberikan reaksi yang sama terhadap kenaikan biaya masuk ke objek wisata eko. Dalam perhitungannya, pengunjung dari tempat yang jauh dengan biaya yang paling tinggi dianggap memiliki surplus konsumen yang paling rendah atau sama sekali tidak memiliki surplus, sebaliknya, pengunjung yang tinggal lebih dekat dengan


(50)

biaya perjalanan terendah akan memiliki surplus konsumen terbesar. Beberapa asumsi yang dipakai dalam pendekatan biaya perjalanan menurut Hufcshmidt et al

(1987) adalah :

1. Semua pemakai memperoleh manfaat total yang sama yang besarnya sama dengan biaya perjalanan pemakai marjinal

2. Surplus konsumen pemakai marjinal adala h nol 3. Biaya perjalanan merupakan data ganti bagi harga

Pendekatan biaya perjalanan mengukur biaya transportasi dari dan ke objek wisata serta pengeluaran lain selama di perjalanan dan di dalam objek wisata yang mencakup dokumentasi, kons umsi, parkir dan pengeluaran lainnya namun tidak mencakup tiket masuk. Model dasar yang dipakai pendekatan ini menggambarkan derajat kunjungan tiap 1000 penduduk sebagi fungsi faktor dari biaya perjalanan, waktu yang diperlukan untuk perjalanan, tempat pengganti dan penghasilan rata – rata. Hubungannya dapat disimpulkan sebagai berikut (Dixon, 1994):

V

io

= ƒ ( C

i

, T

i

, A

i

, S

i

, Y

i

)

Dimana Vio = derajat kunjungan / 1000 orang tanpa pungutan masuk Ci = biaya perjalanan pulang pergi antara zona i dan objek

wisata

Ti = waktu total untuk perjalanan pergi pulang Ai = citarasa

Si = tempat pengganti yang tersedia bagi masyarakat di zona i Yi = penghasilan rata – rata tiap orang di zona i


(51)

2.10 Regresi

Persamaan regresi dinyatakan sebagai persamaan matematika yang memungkinkan kita meramalkan nilai – nilai suatu peubah tak bebas dari satu atau lebih peubah bebas (Walpole, 1982), sedangkan Ramanathan (1998) menyatakan bahwa model regresi linear adalah model yang menunjukan hubungan antara variabel dependent dengan satu atau lebih variabel independent. Istilah regresi sendiri berasal dari telaah yang dilakukan Sir Francis Galton (1822 – 1911) yang membandingkan tinggi badan anak laki- laki dengan tinggi badan ayahnya. Galton menemukan bahwa tinggi badan anak laki – laki dari ayah yang tinggi setelah beberapa generasi cenderung menurun (regressed) mendekati nilai tengah populasi. Sekarang istilah regresi diterapkan pada semua jenis peramalan dan tidak harus berimplikasi pada peramalan yang mendekati nilai tengah populasi.

Regresi menunjukkan hubungan kausalitas (sebab akibat ) antara 2 macam variabel yaitu 1) variabel independent disebut juga variabel penjelas dan secara umum disimbolkan dengan X dan 2) variabel dependent yaitu variabel terikat yang nilainya dipengaruhi atau tergantung variabel dependent dan disimbolkan dengan Y. Regresi sendiri memiliki dua bentuk yaitu regresi sederhana dimana hanya terdapat satu buah variabel penjelas dan regresi berganda dimana terdapat lebih dari satu va riabel penjelas.

Dalam analisis regresi asumsi-asumsi mendasar harus terpenuhi, yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat pengujian yang dilakukan menjadi tidak efisien dan kesimpulan yang didapat berbias. Asumsi yang ada dalam analisis regresi adalah:


(52)

1. Galat menyebar saling bebas dan mengikuti sebaran normal dengan nilai tengah nol dan ragam s2e (tidak terjadi autokorelasi)

2. ragam galat homogen atau tidak terjadi masalah heteroskedastisitas

3. galat saling bebas, artinya galat pada waktu ke-t tidakmempunyai hubungan dengan galat pada waktu sebelumnya

4. tidak ada hubungan antar peubah x sehingga tidak terjadi adanya multikolinearitas (keadaan dimana antar peubah X saling berhubungan) 5. galat bersifat bebas dengan peubah X

Bentuk dasar dari persamaan regresi sederhana secara umum berbentuk linear yang menunjukkan bahwa nilai atau parameter dari koefisien regresi ( a dan ß) berhubungan linear.

Y

t

= a + ßX

t

t

Dimana Y adalah variabel dependent dan X variabel independent dengan t menunjukkan waktu pada time series data dan menunjukkan observasi pada cross section data. Sedangkan a dan ß adalah koefisien regresi dimana dalam model a dan ß adalah parameter yang akan diestimasi. Dalam hal ini a menyatakan intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak dan ß adalah kemiringan atau gradiennya. Sedangkan pengertian a dan ß spesifik tergantung pada fungsinya. µ dinyatakan sebagai error yang bersifat random atau acak (galat acak) yang disebakan oleh empat efek yaitu oleh penghilangan variabel, non linearitas, kesalahan pengukuran dan efek yang tidak dapat diprediksi lainnya (Ramanathan, 1998).


(53)

2.11 Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian yang terdahulu mengenai nilai ekonomi dari suatu kawasan konservasi sudah sering dilakukan sejalan konsep valuasi ekonomi yang terus berkembang. Akan tetapi, penelitian yang meneliti nilai ekonomi wisata eko (ekoturisme) masih jarang dilakukan.

Pada kajian ini, penelitian yang akan dikaji adalah penelitian yang membatasi diri terhadap nilai ekonomi wisata dari kawasan konservasi. Penelitian yang dilakukan pada umumnya mengambil lokasi di kawasan konservasi yang berupa taman publik (Dixon, et al, 1994), Kebun Raya (Wijayanti, 2003) serta taman nasional (Kamiharja, 2001 dan Prihatin, 2004). Konsep dasar dari semua penelitian yang dikaji adalah konsep kesediaan membayar atau willingness to pay dengan menggunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan hipotetis, pendekatan biaya perjalanan dan pendekatan kontingensi.

Penelitian Dixon (1994) mengkaji nilai moneter pemakaian jasa rekreasi dan keberadaan Taman Lumpinee,Bangkok, Thailand. Penelitian ini mengukur kesediaan membayar apabila pungutan masuk berubah dari nol sampai titik tertentu yang tujuannya untuk memperkirakan fungsi permintaan akan kunjungan ke Taman Lumpinee yang pada akhirnya akan mencerminkan nilai pemakaian dan keberadaan taman. Dari hasil penelitian diperoleh 3 ukuran nilai taman yaitu nilai surplus konsumen sebesar 13,2 juta Bath, nilai hipotetis pemakai taman 13,0 juta Bath dan nilai hipotetis sosial taman 116,6 juta Bath. Penelitian ini menyimpulkan dilihat dari besarnya 3 ukuran nilai taman, Taman Lumpinee merupakan sumber daya lingkungan yang berharga. Kelebihan dari penelitian ini adalah digunakannya 2 pendekatan sekaligus yaitu pendekatan biaya perjalanan dan


(54)

pendekatan penilaian hipotetis. Penggunaan dua pendekatan pada penelitian ini mampu memperlihatkan perbedaan nilai taman dilihat dari sisi surplus konsumen dan nilai hipotetis pemakai; selain itu, penggunaan pendekatan hipotetis juga menerangkan nilai sosial taman yang tidak dapat diukur melalui pendekatan biaya perjalanan. Adapun kelemahan penelitian ini adalah tidak teramatinya seluruh perilaku pasar karena daerah studi yang berupa zona mengasumsikan bahwa perilaku konsumen pada zona tertentu dianggap sama.

Penelitian kedua, Kamiharja (2001) dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi menuju TNGP. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode biaya perjalanan zonal atau

Zonal Travel Cost Method. Dari hasil penelitian diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi permintaan rekreasi menuju TNGP adalah variabel biaya perjalanan, tingkat pendidikan serta tingkat pendapatan per tahun. Kelebihan penelitian ini adalah diukurnya elastisitas variabel yang berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap permintaan rekreasi menuju TNGP sedangkan kelemahan penelitian ini adalah tidak teramatinya seluruh perilaku pasar karena pada ZTCM perilaku konsumen pada zona tertentu diasumsikan sama.

Penelitian Wijayanti (2003) mengambil tempat di Kebun Raya Cibodas (KRC). Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menduga fungsi permintaan rekreasi di KRC dengan menggunakan analisis regresi Poisson dan menduga nilai manfaat rekreasi di KRC berdasarkan surplus konsumen dengan menggunakan pendekatan biaya perjalanan. Dari hasil analisis regresi Poisson, diperoleh 10 variabel yang berpengaruh nyata terhadap permintaan rekreasi di KRC yaitu


(55)

variabel biaya perjalanan, pendapatan per tahun, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jarak tempuh, daya tarik lokasi, waktu diskret, jumlah rombongan dan persepsi terhadap rekreasi serta lama mengetahui lokasi KRC. Adapun hasil analisis pendekatan biaya perjalanan memperlihatkan bahwa nilai surplus konsumen KRC adalah sebesar Rp. 12.995 dimana nilai tersebut masih dibawah tarif masuk KRC yang berlaku. Penelitian ini memiliki kelebihan karena mampu memperlihatkan nilai surplus konsumen bagi konsumen yang mampu mensubstitusikan waktu dengan pendapatan dibandingkan dengan konsumen yang tidak dapat mensubstitusikan waktu dengan pendapatan sedangkan kelemahan penelitian ini adalah terdapat kemungkinan bias ke atas dalam perhitungan surplus konsumen karena regresi Poisson yang tidak terpotong (untruncated poisson regression).

Penelitian terakhir yang dikaji adalah penelitian Prihatin (2004) yang membahas pengelolaan ekowisata Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat dan dampak ekowisata TNGH secara ekonomi, menganalisis harga optimal tiket masuk TNGH serta menge stimasi faktor- faktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi di TNGH dengan mengunakan metode penilaian kontingensi atau Contingent Valuation Method (CVM). Berdasarkan hasil analisis CVM, diketahui bahwa nilai manfaat ekowisata TNGH adalah sebesar Rp. 3.849.050.000 per tahun dengan harga tiket optimal sebesar Rp. 15.000 dimanan nilainya lebih rendah dari harga tiket masuk yang berlaku sekarang; sedangkan faktor- faktor yang berpengaruh nyata pada frekuensi kunjungan ekowisata TNGH pada taraf uji 20% adalah jarak tempat tinggal,


(56)

kesediaan membayar, hari kunjungan dan jumlah rekreasi pengunjung dalam satu tahun terakhir. Kemampuan penelitian ini menunjukkan tingkat harga optimal menjadi kelebihan penelitian ini adapun kelemahan penelitian ini adalah tidak terdapatnya kajian manfaat dan dampak ekowisata di TNGH secara ekologi atau lingkungan menginga t bahwa ekowisata adalah wisata berwawasan lingkungan.

2.12 Kerangka Pemikiran Operasional

Sebagai sebuah kawasan konservasi, fungsi dan manfaat Kebun Raya Bogor yang terutama adalah fungsi penelitian yang meliputi areal konservasi ex situ dan riset yang meliputi riset taksonomi, identifikasi tumbuhan, inventarisasi dan evaluasi. Namun, fungsi Kebun Raya Bogor sebagai media pendidikan dan tempat pariwisata juga tidak kalah penting. Selama ini fungsi KRB yang dominan adalah fungsi wisata oleh karena itu fungsi KRB sebagai tempat penelitian dan pendidikan akan ditingkatkan. Salah satu caranya adalah dengan menggiatkan wisata ekologi atau ekoturisme di KRB, karena dengan ekoturisme fungsi pendidikan dan pariwisata di KRB dapat dilakukan sejalan terutama pendidikan lingkungan hidup dan wisata ekologi. Dengan ekoturisme diharapkan fungsi konservasi di Kebun Raya juga dapat ditingkatkan.

Sesuai prinsip ekoturisme, suatu kegiatan ekoturisme harulah memberi manfaat bagi alam dan makhluk hidup yang berada di dalamnya. Bagi alam, manfaat tersebut berupa pelestarian sedangkan bagi manusia, manfaat dari kegiatan ekoturisme bisa berupa manfaat langsung yaitu rekreasi dan manfaat tidak langsung yaitu kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup. Manfaat yang disebutkan di atas merupakan hasil dari kegiatan ekoturisme,


(57)

namun sebagai suatu daerah tujuan ekoturisme yang banyak memberikan manfaat bagi pemakainya, pencerminan nilai ekoturisme Kebun Raya Bogor tidak begitu terlihat. Ini tidak berarti bahwa Kebun Raya Bogor sebagai sumber daya lingkungan tidak mempunyai nilai, oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji nilai moneter manfaat yang diterima para eco traveller di Kebun Raya Bogor.

Pengetahuan akan nilai ekonomi ekoturisme yang bersifat objektif dan kuantitatif akan membantu LIPI sebagai pengelola menformulasikan kebijakan pengembangan Kebun Raya Bogor di masa depan. Pengetahuan ini juga akan memperlihatkan kontribusi Kebun Raya Bogor terhadap ekonomi daerah kota Bogor.

Pengetahuan yang baik akan fungsi ekologis Kebun Raya Bogor juga sangat membantu Kebun Raya Bogor dalam melaksanakan kegiatan konservasi karena dengan adanya pengetahuan akan fungsi ekologis KRB maka masyarakat akan memberikan dukungan baik berupa apresiasi atau perilaku yang mendukung upaya konservasi yang pada akhirnya diharapkan akan mampu membentuk perilaku ramah lingkungan sesuai tujuan konservasi. Pentingnya pengetahua n nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor dapat dilihat pada gambar berikut :


(58)

Keterangan : * menunjukkan topik yang akan dianalisis

Gambar 6. Skema Pentingnya Nilai Ekologi dan Nilai Ekonomi Ekoturisme Kebun Raya Bogor (Diadaptasi dari Setiawan, 2002)

Gambar 6 memperlihatkan bahwa pengetahuan mengenai nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor merupakan hal yang penting baik bagi pengelola, masyarakat maupun instansi terkait. Bagi para pengambil keputusan, pengetahuan tersebut dapat dijadikan dasar dalam memberikan dukungan politis terhadap kegiatan ekoturisme yang mempunyai tujuan pelestarian dan konservasi alam; sedangkan bagi masyarakat, pengetahuan nilai ekonomi ekoturisme KRB diharapkan dapat meningkatkan persepsi dan sikap positif masyarakat terhadap ekoturisme yang pada akhirnya akan mendukung upaya konservasi yang dilakukan KRB.

Kebun Raya Bogor

Masyarakat

LIPI sebagai pengelola Pengambil Kebijakan dan Instansi Terkait

Pengetahuan Nilai Ekonomi Ekoturisme

*

Konservasi Apresiasi dan

Sikap Positif

Dukungan Konservasi Berhasil Pengetahuan Akan Fungsi Ekologis Kebun Raya Bogor

*


(59)

Atas dasar bahwa pengetahuan akan nilai ekonomi ekoturisme Kebun Raya Bogor sangatlah penting, maka studi kasus tentang nilai ekonomi ekoturisme dilakukan di KRB. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode kesediaan membayar dengan pendekatan biaya perjalanan. Pendekatan yang dipilih digunakan untuk menentukan fungsi permintaan konsumen akan jasa yang diberikan ekoturisme, sehingga dapat menjelaskan kesediaan membayar konsumen dan menguraikan faktor–faktor yang mempengaruhi kunjungan ekoturisme ke KRB sehingga dengan demikian dapat dengan jelas memberikan pengetahuan tentang nilai ekonomi wisata eko yang bersifat objektif dan kuantitatif, sedangkan analisis mengenai nilai ekologis Kebun Raya Bogor bagi masyarakat dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk jelasnya skema kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada halaman berikut:


(60)

Implikasi Terhadap Upaya konservasi

Pengambil Kebijakan dan Instansi Terkait

Masyarakat Kota Bogor LIPI sebagai

pengelola

Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)

Nilai Penggunaan Tak Langsung (Indirect Use Value)

Nilai Ekologis Kebun Raya Bogor

Nilai Ekonomi Ekoturisme KRB dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kunjungan Ekoturisme ke KRB

Nilai Penggunaan Kebun Raya Bogor

Analisis Statistika Deskriptif Analisis Regresi Log Linear

Metode Biaya Perjalanan Evaluasi Sistem Fungsi


(61)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Raya Bogor, Kota Bogor. Secara administratif, lokasi penelitian terletak di wilayah Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Penentuan tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan karena Kebun Raya Bogor merupakan museum botani yang paling lengkap menyimpan koleksi tanaman tropis dan juga dikarenakan Kebun Raya Bogor memberikan fungsi edukatif sekaligus rekreatif. Bagi kota Bogor, kebun raya merupakan sebuah bagian penting, karena selain memberikan lapangan pekerjaan dan menambah pemasukan pendapatan daerah melalui jasa rekreasi, Kebun Raya Bogor juga banyak memberikan manfaat ekologis yang tidak ternilai. Waktu penelitian dilakukan selama bulan November-Desember 2004

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan. Data primer yang diambil adalah data mengenai karakteristik responden, pengetahuan responden akan nilai ekologis Kebun Raya Bogor dan kesediaan membayar. Data sekunder diperoleh dari buku, majalah, jurnal, laporan penelitian terdahulu dan situs internet.


(1)

111

Lampiran 2. Hasil Analisis Regresi Model 1 (SPSS 12.0)

Exponential Regression Of Model 1

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,930(a) ,866 ,836 ,2934270

a Predictors: (Constant), Char, Ca, Job, Day, Sex, Dk, Marital, Ck, Edu, Inc, Ta, Freq, Age, Attrac b Dependent Variable: lnY

Analysis of Variance(b) (ANOVA)

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 41,016 16 2,563 29,773 ,000(a)

Residual 6,371 74 ,086

Total 47,387 90

a Predictors: (Constant), Char, Ca, Job, Day, Sex, Dk, Marital, Ck, Edu, Inc, Ta, Freq, Age, Attrac, Tk, Da


(2)

Lampiran 2. Lanjutan

Coefficients(a)

Model Variabel B

Std. Error

Std.

Beta t P VIF

1 (Constant) ,297 ,240 1,238 ,220

Age ,002 ,003 ,028 ,437 ,663 2,242

Sex -,052 ,077 -,035 -,676 ,501 1,451

Marital ,180 ,088 ,123 2,040 ,045 1,991

Edu -,005 ,012 -,022 -,436 ,664 1,359

Job -,031 ,072 -,020 -,424 ,673 1,256

Inc ,000 ,000 -,024 -,463 ,645 1,491

Freq ,053 ,011 ,291 4,760 ,000 2,055

Attrac ,920 ,098 ,616 9,341 ,000 2,397

Day ,032 ,075 ,021 ,425 ,672 1,342

Dk -,011 ,006 -,283 -1,895 ,062 12,286

Tk ,006 ,003 ,304 2,002 ,049 12,660

Ck ,000 ,000 ,003 ,048 ,962 1,850

Da ,005 ,015 ,186 ,322 ,749 184,963

Ta -,003 ,006 -,295 -,509 ,612 185,481

Ca ,000 ,000 ,094 1,804 ,075 1,485

Char ,150 ,096 ,088 1,567 ,121 1,717


(3)

113

Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Model 2 (SPSS 12.0)

Exponential Regression of Model 2

The regression equation is

lnY = 0,354 + 0.001Age - 0.81Sex + 1,87Marital -0.003Edu + 0.006Job + 0.000Inc + 0.51Inc + 0.51Frek + 0.947 Attrac + 0.20 Day + 0.000Ca – 0.001Ta + 1,43Char

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

2 ,926(a) ,857 ,831 ,2983716 2,113

a Predictors: (Constant), Char, Ca, Job, Day, Sex, Dk, Marital, Ck, Edu, Inc, Ta, Freq, Age, Attrac b Dependent Variable: lnY

Analysis of Variance(b)

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

2 Regression 40,621 14 2,901 32,592 ,000(a)

Residual 6,766 76 ,089

Total 47,387 90

a Predictors: (Constant), Char, Ca, Job, Day, Sex, Dk, Marital, Ck, Edu, Inc, Ta, Freq, Age, Attrac b Dependent Variable: lnY


(4)

Lampiran 3. Lanjutan

Coefficients(a)

Model Variabel B

Std.

Error Beta t P VIF

1 (Constant) ,354 ,231 1,536 ,129

Age ,001 ,004 ,017 ,270 ,788 2,226

Sex -,081 ,077 -,054 -1,056 ,294 1,390

Marital ,187 ,089 ,127 2,100 ,039* 1,963

Edu -,003 ,013 -,013 -,260 ,795 1,346

Job ,006 ,071 ,004 ,089 ,930 1,161

Inc ,000 ,000 -,044 -,854 ,396 1,440

Freq ,051 ,011 ,278 4,525 ,000* 2,015

Attrac ,947 ,099 ,635 9,550 ,000* 2,354

Day ,020 ,076 ,013 ,264 ,792 1,315

Dk ,000 ,002 ,004 ,088 ,930 1,256

Ck ,000 ,000 ,016 ,267 ,791 1,823

Ta -,001 ,001 -,104 -1,915 ,059* 1,574

Ca ,000 ,000 ,079 1,516 ,134* 1,461

Char ,143 ,097 ,083 1,475 ,144* 1,698

a Dependent Variable: lnY * Nyata pada taraf uji 15%


(5)

115

Lampiran 3. Lanjutan

Re sidu al

P e rc e n t 1.5 1.0 0.5 0.0 -0. 5 - 1.0 - 1.5 99. 9 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0. 1

N orm al Pr obabi li t y Pl ot of the Resi dual s

( res pons e is lny )

Fitte d Va lue

R e s id u a l 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0. 0 1. 0 0. 5 0. 0 -0. 5 -1. 0 -1. 5

Residuals Versus the Fitt ed Values

(response is lny)

Obse rv at ion Order

R e s id u a l 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 1. 0 0. 5 0. 0 -0. 5 -1. 0 -1. 5

Re siduals Versus the Order of the Dat a

(response is lny)


(6)