Sebagai ikatan bathin , perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri . Dalam taraf permulaan , ikatan bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai
untuk melangsungkan perkawinan . Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan .
Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal .
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal . Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan , akan
tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya , dan tidak boleh diputuskan begitu saja .Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan
untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak . Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa .
10
B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku,kalau perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka
perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-undang No 1
10
Ridwan Syahrani , op . cit , hal. 12
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut aturan hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut
tata-tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.
11
Syarat Materil dan Formal: Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan
undang-undang. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan
dilangsungkan. Syarat perkawinan itu banyak dan telah dirinci dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Syarat perkawinan diklasifikasikan menjadi dua kelompok,yaitu: a.
Syarat materilsubjektif
Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak- pihak yang akan melangsungkan perkawinan.Karena itu, disebutjuga syarat
subjektif. b.
Syarat formal objektif
Syarat formal adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-Undang yang disebut juga syarat objektif.
11
H.Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia , Bandung , CV Mandar Maju , 2007 , hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Syarat-syarat perkawinan yang dibahas dalam uraian ini hanya terbatas pada syarat materil subjektif. Syarat materil subjektif tersebut meliputi syarat
materil perkawinan monogami. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan
perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di bawah ini , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 sd 12 :
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai:
Pasal 6 ayat 1 :Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.Pada penjelasannya disebutkan:Oleh karena perkawinan mempunyai
maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun’’
Syarat perkawinan ini memberikan suatu jaminan agar tidak terjadi lagi adanya
perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang
sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu maka sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada
keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidup dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar
dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. 2.
Adanya izin kedua orang tuawali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 Tahun
Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6 ayat 2 , 3 , 4 , 5 dan 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Pasal 6 ayat 2 : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 6 ayat 3 : Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksud ayat 2 pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Pasal 6 ayat 4 : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Pasal 6 ayat 5 : Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang
yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya , maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2
, 3 dan 4 pasal ini.
Pasal 6 ayat 6 : Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal
ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
12
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 Tahun Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
’’Perkawinan hanya boleh diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas
tahun.”
Ketentuan Undang-undang perkawinan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur . Sehingga oleh
karena itu perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat ataupun juga tidak diperkenankan.Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak
dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin.
12
Ibid , hal 16
Universitas Sumatera Utara
Hubungan darah yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang Perkawinan pada pasal 8 adalah sebagai berikut:
a Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
b Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
c Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibubapak tiri
d Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudara susuan dan
bibipaman susuan e
Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang
f Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku ,
dilarang kawin. 4.
Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 9
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan : Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi , kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini.
13
13
Ibid , hal 21
Universitas Sumatera Utara
Pasal 3 menyatakan: Pasal 3 Ayat 1 :Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Pasal 3 Ayat 2:Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. 5.
Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin kembali untuk ketiga kalinya Dalam Pasal 10 Undang-undang perkawinan disebutkan: ”Oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan
harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga
suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain. 6.
Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu
tersebut diatur sebagai berikut : 1.Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat 2
undang-undang ditentukan sebagai berikut: a
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 seratus tiga puluh hari
b Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tungu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 tiga kali suci dengan sekurang-
Universitas Sumatera Utara
kurangnya 90 sembilan puluh hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 sembilan puluh hari
c Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan 2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
14
Syarat-Syarat perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dicantumkan pada buku ke satu tentang orang, Bab ke empat, bagian ke satu
tentang perkawinan mulai dari Pasal 27 sampai Pasal 49:
Pasal 27: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan
hanya dengan satu orang lelaki saja.
Pasal 28: Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri.
Pasal 29: Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak
diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan
memberikan dispensasi.
14
Ibid , hal. 26
Universitas Sumatera Utara
Pasal 30: Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik
karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik
laki-perempuan, sah atau tidak sah.
Pasal 31 KUH Perdata Perkawinan juga dilarang karena alasan-alasan berikut: 1.Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami
atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada
suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
2.Antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan
kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa
menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.
Pasal 32: Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan
pasangan zinahnya itu.
Pasal 33: Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 3? atau 4?, tidak boleh untuk kedua kalinya
dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan
sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
Pasal 34: Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang
terakhir.
Pasal 35: Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dari
mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka pengadilan negeri di daerah
tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan
sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga-keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda. Bila salah satu orang tua telah
Universitas Sumatera Utara
meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain.
Pasal 36: Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wali mereka, bila yang
melakukan perwalian adalah orang lain daripada ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah
satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas. Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah
dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea
kedua pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.
Pasal 37: Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing
harus digantikan oleh tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama. Bila orang lain daripada orang-orang
tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak dibawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak
memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua
pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila
salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.
Pasal 38: Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak
mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali
maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri
di daerah tempat tinggal anak masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan
perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.
Pasal 39: Anak luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin ayah dan ibu yang
mengakuinya, sejauh kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka.
Bila semasa hidup ayah atau ibu yang mengakuinya, orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka harus pula diperoleh izin dari
wali itu atau dari wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu sendiri atau dengan salah seorang dari
keluarga sedarah dalam garis lurus. Bila terjadi perselisihan pendapat
Universitas Sumatera Utara
antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberikan izin itu, maka
pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak berkuasa memberi izin untuk
melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik ayah maupun ibu yang
mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, diperlukan izin
dari wali dan wali pengawas. Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka
berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.
Pasal 40: Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila
kedua-duanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat
tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk setelah mendengar atau memanggil
dengan sah wali atau wali pengawas si anak.
Pasal 41: Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara.
Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding. s.d.u. dg. S.
1927-456. Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, bila mereka bertempat tinggal di
luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat
kedudukan mereka, dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri yang disebut pertama. Pemanggilan
mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga
semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum
dalam pasal 334.
Pasal 42: Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan.
Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 43: Dalam waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap perlu oleh pengadilan negeri, terhitung dari hari pengajuan
surat permohonan itu, pengadilan harus berusaha menghadapkan si ayah
Universitas Sumatera Utara
dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh
pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa
mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.
Pasal 44: Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan
ketidakhadiran itu.
Pasal 45: Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan
pengadilan.KUH Perdata 47, 48.
Pasal 46: Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka
perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan itu.
Pasal 47: Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya.
Pasal 48: Sekiranya kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang
tercantum dalam pasal 42 sampai dengan pasal 47.
Pasal 49: Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk
melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau
sementara di Indonesia.
15
Kekurangan Pasal 26 KUH Perdata, tidak memperhatikan beberapa hal seperti : 1.Unsur agama,Undang-Undang tidak mencampurkan upacara-upacara perkawinan
menurut peraturan Undang-Undang tidak memperhatikan larangan-larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama.
2.Segi biologis,Undang-Undang tidak memperhatikan faktor-faktor biologis seperti kemandulan.
3.Segi motif,Undang-Undang tidak memperdulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan.
15
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Jadi, KUH Perdata hanya memperhatikan segi-segi formalitasnya saja. Positifnya Pasal 26 KUH Perdata:
A. Perkawinan monogami sesuai dengan Pasal 27 KUH Perdata.
B. Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus
karena kematian. C.
Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan-alasan tertentu limitatif.
C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata