Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata

Jadi, KUH Perdata hanya memperhatikan segi-segi formalitasnya saja. Positifnya Pasal 26 KUH Perdata: A. Perkawinan monogami sesuai dengan Pasal 27 KUH Perdata. B. Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian. C. Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan-alasan tertentu limitatif.

C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata

Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat – istiadat, budaya dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh Konstitusi pada Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam sistem pergaulan di masyarakat terkait dengan keberadaan agama adalah tentang perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilaksanakan oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan pada saat melangsungkan perkawinan. Menurut pendapat yang berpegang teguh pada Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini,Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya bukan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi secara implisit ada diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” 16 Karena itu tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah agamanya memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama, dengan memperhatikan Pasal 8 butir f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 16 Djaja S. Meliala , Hukum Perdata Dalam Perspektif BW , Bandung , Nuansa Aulia , 2012 , hal. 97 Universitas Sumatera Utara Tahun 1974 tentang larangan perkawinan yang berbunyi: ”Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.” 17 Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah : 1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 4. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 5. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia 18 Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan peluang yang besar terhadap agama atau kepercayaan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. 19 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas dan eksplisit menentukan apakah perkawinan beda agama dibolehkan atau dilarang. Hal ini dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan norma penunjuk verwijzingsgregel pada hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh karena itu para penegak hukum di badan peradilan maupun lembaga pencatat perkawinan sering tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama ini karena bergantung pada penafsiran agama dan hukum yang berbeda – beda. 20 Undang-undang perkawinan hanya ada pembatasan pada perbedaan kewarganegaraannya antara mereka yang berkawin. Dengan demikian, Undang- 17 Ibid , hal. 98 18 Abdulkadir Muhammad, Op.cit , hal.67 19 Ahmad Tholabi Kharlie , Hukum Keluarga Indonesia , Jakarta , Sinar Grafika , 2013 , hal.244 20 http:darahapsarinastiti.blogspot.com201112perkawinan-beda-agama.html di akses pada tanggal 26 januari 2014 Universitas Sumatera Utara undang perkawinan tidak mengatur antara dua orang yang berbeda golongan maupun agama. Misalnya, bagaimana kalau golongan bumiputera yang beragama Islam harus berkawin dengan golongan keturunan agama lain, sekiranya tiap-tiap agama dalam peraturannya melarang seorang pemeluk agama itu berkawin dengan orang yang memeluk agama lain. Maka apabila laki-laki dan seorang perempuan, yang masing-masing memeluk agama lain, maka biasanya salah satu dari mereka mengalah dan beralih kepada agama dari pihak lain. Tetapi sering pula terjadi, bakal suami isteri masing-masing memeluk teguh kepercayaannya dan tetap akan memeluk agama masing-masing. Hal demikian ini tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya sebelum Undang-Undang Perkawinan ini ada, perkawinan yang demikian itu juga digolongkan perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken yang termuat dalam Staatsblad 1898-158 atau lebih dikenal dengan GHR. Dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan di Indonesia antara dua orang yang masing- masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan ‘perkawinan campuran’. Sedangkan Pasal 1 ayat 2 menentukan bahwa perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan. Dalam GHR ini cukup jelas, kepada siapa ia harus tunduk kalau terjadi perkawinan antaragama. Oleh karena itu dengan adanya Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, GHR ini tidak berlaku lagi. Pasal ini, bunyi lengkapnya adalah: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks Ordonantie Christen Indonesien S. 1933 Universitas Sumatera Utara No. 74. Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.Kalau memang terjadi perkawinan yang berlainan agama, hukum mana yang akan berlaku, ini juga tidak jelas dalam Undang-Undang Pekawinan.Karena dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 2 menyebutkan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 21 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat 1, Pasal 8 huruf f dan Pasal 57. Pasal 2 ayat 1 berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang- 21 Soedharyo Soimin , Hukum Orang Dan Keluarga , Jakarta , Sinar Grafika , 2001 , hal. 95 Universitas Sumatera Utara undang Hukum Perdata BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 PP No.9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi.Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya. Memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. 22 Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama,pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh 22 http:alexanderizki.blogspot.com201103perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html,di akses pada tanggal 26 januari 2014 Universitas Sumatera Utara negara.Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai mmedia terjadinya perkawinan yang dianggap dalam kehidupan bermasyarakat.Sebagai contoh,perkawinan campuran,perkawinan sejenis,kawin kontrak,dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan agama yang berbeda.Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang berbeda agama.selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan atau agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan berbeda agama.Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri.Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam konsepsi hukum perdata, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-Undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan.Undang- Undang hanya mengenal perkawinan perdata,yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata yang berlaku di Indonesia.Untuk melangsungkan sebuah perkawinan,hanya dibutuhkan dua macam syarat yaitu: Syarat materil yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi : A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Universitas Sumatera Utara B. Syarat materil relative, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu terdiri atas: 1 Larangan kawin dengan keluarga sedarah 2 Larangan kawin karena zina 3 Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun. C. Syarat formal yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai catatan sipil Pasal 50-51 KUH Perdata 23 Dengan aturan tentang peraturan yang mengatur tentang keabsahan perbedaan agama di Indonesia tidak dijelaskan secara lengkap di KUH Perdata, tetapi untuk aturan yang lebih jelas Indonesia menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.mengenai kasus tentang perkawinan berbeda agama tersebut. Perkawinan di Luar Negeri: Pada pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan olehsesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menuruthukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar Undang-Undang ini. Pasal 56 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinantempat tinggal mereka. 23 http:herdianaheri.blogspot.com201204keabsahan-kawin-beda-agama-di- indonesia.html di akses pada tanggal 19 maret 2014 Universitas Sumatera Utara

D. Pengertian perceraian

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

KONFLIK PERCERAIAN PASANGAN SUAMI ISTERI (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA MEDAN KELAS IA).

0 6 27

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK SETELAH PERCERAIAN Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta).

0 2 17

SKRIPSI Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta).

0 2 13

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta).

2 6 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Meda

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 2 13

BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/20

0 0 41

TANGGUNG JAWAB HUKUM SUAMI ATAU ISTRI DALAM PERCERAIAN TERHADAP ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR : 209Pdt.G2007PN.Mdn) TESIS

0 0 11

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK AKIBAT ADANYA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG - Unissula Repository

0 1 13