2.2.3. Morfologi Spermatozoa
Spermatozoa merupakan sel kecil yang kompak dan sangat khas dengan bentuk yang menyerupai kecebong serta tidak tumbuh dan membelah diri.
Pengetahuan terhadap morfologi spermatozoa diperlukan mengingat sudah cukup banyak penelitian-penelitian yang membahas korelasi antara morfologi
dengan fertilitas pada berbagai ternak. Menurut bentuknya, spermatozoa terbagi atas kepala dan ekor. Kepala
spermatozoa dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah akrosom anterior yang dibungkus oleh tudung akrosom dan daerah post akrosomal posterior. Tudung
akrosom berasal dari apparatus golgi selama tahap awal spermiogenesis. Tudung akrosom mengandung akrosin, hyaluronidase, dan enzim-enzim hidroloitik
lainnya yang terlibat pada proses fertilisasi. Bentuk kepala oval memanjang, lebar dan datar yang terisi sepenuhnya
dengan materi yang homogen sebagai informasi genetik dari pejantan yaitu kromosom Barth and Oko 1989. Benang-benang kromatin terdiri dari deoxyribo
nucleic acid DNA kompleks dan bersifat haploid. Sel sperma yang haploid dihasilkan dari proses meiosis yang terjadi selama proses spermatogenesis.
Ekor sperma berasal
dari sentriol
spermatid selama
proses spermiogenesis yang berfungsi memberikan gerak maju atau lokomosi kepada
spermatozoa dengan gelombang-gelombang yang dimulai di daerah implantasi ekor-kepala dan berjalan ke arah belakang. Barth and Oko 1989 menyatakan
bahwa ekor sperma terbagi atas tiga bagian yaitu bagian utama principal piece bagian tengah midpiece dan bagian ujung endpiece.
Permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Bila sel tersebut mati maka permeabilitas sel akan meningkat terutama di daerah
pangkal kepala. Hal ini dijadikan dasar pewarnaan sperma untuk membedakan sperma hidup dan sperma mati berdasarkan kemampuan zat warna untuk
menembus membran sel yang rusak. Parameter yang dianggap penting bagi spermatozoa yang akan
menentukan fertilitasnya antara lain: kapasitas produksi, daya tahan
spermatozoa dan persentase morfologi sperma normal. Abnormalitas sperma diketahui disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penyakit, stres panas dan
musim Barth and Oko, 1989 termasuk perlakuan preservasi dan kriopreservasi semen. Beberapa peneliti telah menyebutkan bahwa tingkat abnormalitas juga
bisa disebabkan oleh teknik pengumpulan semen dan teknik pewarnaan. Secara umum abnormalitas spermatozoa terdiri dari abnormalitas primer
dan sekunder. Abnormalitas primer adalah segala sesuatu perubahan yang terjadi pada saat proses spermatogenesis di tubuli seminiferi, sedangkan
abnormalitas sekunderterjadi setelah sperma meninggalkan tubuli seminiferi, selama perjalanannya melalui epididimis, ejakulasi atau penanganan ejakulat
termasuk pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi dengan air, urine, antiseptik dan sebagainya Barth and Oko, 1989.
Herrick and Self 1962, mengklarifikasikan abnormalitas spermatozoa menjadi abnormalitas primer, dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer
terjadi pada proses spermatogenesis, abnormalitas sekunder kemungkinan terjadi pada epididimis, dan juga terjadi pada saat ejakulasi termasuk handling
semen temperatur, pH dan tekanan osmotik. Abnormalitas primer meliputi kepala yang terlampau besar atau
terlampau kecil, kepala pendek dan melebar, ekor ganda, ekor melingkar, putus atau bercabang. Sedangkan abnormalitas sekunder meliputi kepala tanpa ekor,
bagian tengah yang terlipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau distal dan selubung akrosom yang terlepas Hafez, 1987.
Pengamatan morfologi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara manual maupun menggunakan teknologi mutakhir. Cara manual dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik pewarnaan dan pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras. Sedangkan metode mutakhir
yang dapat digunakan adalah Timen-Exposure Photomicrography TEP, Multiple Exposure
Photomycrography MEP,
Microcinematography Cine,
Videomycrography dan Computerized Digital Image Analysis.
2.2.4. Morfometri Spermatozoa