1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat
menjanjikan. Buah tropis adalah komoditas yang sangat penting dan strategis karena jenis komoditas ini merupakan kebutuhan pokok manusia yang setiap saat
selalu harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Produk pangan hortikultura berupa buah tropis sangat berpotensi untuk dikembangkan kualitas dan kuantitasnya. Menurut data FAO 2005, kapasitas
produksi sayur dan buah segar sebagian besar berasal dari negara-negara Asia kemudian disusul oleh negara-negara Amerika Latin dan Karibia, Afrika, serta
negara-negara lain. Indonesia sebagai negara agraris termasuk 10 negara Asia penyumbang terbesar produksi buah dan sayur dunia. Berdasarkan Badan Pusat
Statistik BPS 2010, produksi buah tropis secara total mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pertumbuhan ini
adalah potensi yang dimiliki Indonesia yang harus ditangani dengan serius sekaligus tantangan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk
hingga sampai ke tangan konsumen. Tabel 1 Produksi beberapa buah di Indonesia ton
Tahun Manggis Pepaya
Salak Nanas
Mangga Jeruk
Pisang 2005
64.711 548,657 937.930 925.082 1.412.884 2.214.019 5.177.607
2006 72.634 643.451 861.950 1.427.781 1.621.997 2.565.543 5.037.472
2007 112.722 621.524 805.879 1.395.566 1.818.619 2.625.884 5.454.226
2008 78.674 717.899 862.465 1.433.133 2.105.085 2.467.632 6.004.615
2009 105.558 772.844 829.014 1.558.196 2.243.440 2.131.768 6.373.533
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 Di antara buah tropis produk Indonesia, manggis merupakan buah yang
ditentukan sebagai buah yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan secara
terpadu. Penentuan tersebut berdasarkan analisis SWOT yang dilakukan oleh para pakar pertanian dan agribisnis yang tergabung dalam tim
Riset Unggulan Strategis
Nasional. Penentuan juga berdasarkan peringkat buah paling banyak dikenal dan dikonsumsi masyarakat lokal, serta memiliki potensi di pasaran internasional
.
Selain manggis, buah yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan secara
terpadu adalah salak, pisang, mangga, nanas, dan pepaya. Buah manggis merupakan salah satu komoditas buah tropis primadona
ekspor Indonesia. Ekspor buah Indonesia didominasi oleh buah manggis. Pada tahun 2006, kontribusi ekspor buah manggis terhadap total ekspor buah dari
Indonesia adalah sebesar 37,4. Volume ekspor buah manggis sepanjang bulan Januari 2010 hingga bulan Februari 2010 meningkat signifikan, bahkan hampir
menyamai volume ekspor sepanjang tahun 2009. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2010, ekspor buah manggis untuk periode Januari 2010 hingga bulan
Februari 2010 mencapai 8.225 ton. Ekspor tersebut meningkat sebesar 91 dibandingkan volume ekspor pada bulan Januari 2009 hingga bulan Februari 2009
yang hanya 4.285 ton. Selain volumenya meningkat, nilai ekspor buah manggis juga meningkat dari US2.781.712 pada bulan Januari 2009 hingga bulan
Februarti 2009 menjadi US6.310.272 pada bulan Januari 2010 hingga bulan Februari 2010 dengan peningkatan sebesar 120. Kinerja ekspor manggis pada
dua bulan pertama tahun 2010 mendekati realisasi ekspor sepanjang tahun 2009 yang volumenya 9.987 ton dengan nilai US6.451.923 Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2011. Hampir seluruh hasil panen buah manggis di Indonesia ditampung oleh satu eksportir, yaitu PT Agung
Mustika Selaras di Tangerang yang menguasai pangsa ekspor hampir 50 sehingga rantai pasok buah manggis mudah untuk ditelusuri. Buah manggis juga
merupakan buah yang unik dan spesifik daerah tropis Direktorat Jenderal Hortikultura 2008.
Sentra produksi manggis terbesar di Indonesia berada di Provinsi Jawa Barat. Konstribusi produksi manggis di Propinsi Jawa Barat terhadap produksi
manggis nasional adalah sebesar 38. Sebagian besar produksi manggis berasal dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya. Kontribusi
produksi manggis dari empat kabupaten tersebut terhadap Provinsi Jawa Barat sebesar 90, dan terhadap produksi nasional sebesar 29. Potensi
pengembangan kawasan manggis di Provinsi Jawa Barat dalam peningkatan
ekspor sangat besar. Oleh karena itu, Kabupaten Bogor digunakan sebagai pengembangan kawasan laboratorium manggis dan sekaligus sebagai kawasan
percontohan untuk memfokuskan pengembangan manggis secara terintegrasi Direktorat Jenderal Hortikultura 2008.
Masalah besar dalam pengembangan industri hortikultura adalah sifat komoditas yang mudah rusak, khususnya buah dan sayuran hampir tidak pernah
ada yang mempunyai umur kesegaran panjang setelah dipanen. Kondisi produk tersebut adalah produk hayati yang masih melakukan proses respirasi setelah
panen Apandi 1984. Sunarjono 1984 menyebutkan ciri-ciri pokok tanaman hortikultura adalah bersifat kamba sehingga membutuhkan tempat yang lapang,
produk biasa dikonsumsi dalam keadaan segar, kualitas produk sangat mempengaruhi pasaran, tidak dapat disimpan lama secara tradisional dan harga
selalu berubah-ubah. Sistem produksi di lokasi yang terpencar, serta skala usaha sempit dan
belum efisien juga menjadi penyebab utama bahwa produk buah nasional kurang dapat bersaing di pasar internasional. Lemahnya keunggulan kompetitif
agroindustri hortikultura menyebabkan manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian global belum dapat diperoleh, yaitu peningkatan volume
permintaan, harga jual produk yang jauh lebih tinggi, harga sarana produksi yang lebih murah, ilmu pengetahuan dan teknologi, modal investasi, serta peningkatan
efisiensi akibat realokasi sumber daya dan dorongan persaingan. Perubahan lingkungan strategis, seperti liberalisasi perdagangan, pesatnya
pertumbuhan pasar modern selain pasar tradisional, dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen, serta fenomena segmentasi pasar menuntut
usaha agroindustri untuk menanamkan modal dan memusatkan perhatiannya pada hubungan dengan konsumen dan pemasoknya. Kerja sama antar mitra bisnis dan
tanggung jawab terhadap kebutuhan konsumen merupakan strategi bersaing dengan tetap mempertahankan kebutuhan peningkatan efisiensi dalam operasi.
Oleh karena itu, manajemen rantai pasok mulai banyak digunakan dalam agroindustri di negara maju dan negara berkembang. Rantai pasok merupakan
proses terintegrasi sejak dari bahan baku diperoleh sampai diubah menjadi produk jadi dan dikirim kepada konsumen Shapiro 2001.
Koordinasi, integrasi, dan manajemen proses bisnis yang berhasil pada seluruh anggota rantai pasok akan menentukan keberhasilan persaingan.
Persaingan tidak lagi terjadi antar satu anggota dalam rantai pasok, tetapi persaingan terjadi antar rantai pasok sehingga perlu adanya perubahan dan
penyesuaian beroperasinya kemitraan rantai pasok agar kinerjanya meningkat. Beberapa perusahaan telah berhasil meningkatkan efisiensi produksi serta kualitas
produknya dengan cara mengelola rantai pasoknya, antara lain: Nutricia Dairy Drinks Group di Hungaria Wouda et al. 2002, serta Kraft Foods, Unilever, dan
Brown-Forman Wong Schuchard 2011. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi rantai pasok bermanfaat untuk memaksimumkan
kinerja rantai pasok dengan melakukan perencanaan bersama Frohlich Westbrook 2001, mengurangi biaya pemesanan dengan melakukan outsourcing
bahan baku setengah jadi Scanell et al. 2000, mengurangi waktu siklus dan tingkat persediaan Stank et al. 1999, serta mengurangi ketidakpastian bisnis
Childerhouse et al. 2003 dengan penggunaan teknologi informasi untuk berbagi informasi antar anggota rantai pasok.
Manajemen rantai pasok supply chain management produk pertanian mewakili manajemen proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan
pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan
manajemen rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: 1 produk pertanian bersifat mudah rusak, 2 proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan
tergantung pada iklim dan musim, 3 hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, 4 produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian
sulit untuk ditangani Austin 1992; Brown 1994. Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis rantai pasok produk pertanian sehingga
manajemen rantai pasok produk pertanian menjadi lebih kompleks daripada manajemen rantai pasok pada umumnya.
Agroindustri buah manggis merupakan rantai beberapa pelaku usaha antara lain petani, pengumpul, pengepak, pengolah, penyedia layanan
penyimpanan dan transport, pedagang besar, eksportir, distributor, dan pengecer
yang bekerja sama dalam hubungan sebagai pemasok dan konsumen. Manajemen rantai pasok buah manggis secara umum pada saat ini masih lemah karena:
1. Produksi masih diusahakan secara tradisional dan belum mendapatkan masukan teknologi yang memadai.
Berdasarkan wawancara dengan para petani manggis di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, usaha pertanian manggis pada saat ini sebagian besar masih
dilakukan petani kecil secara individu dengan pemilikan lahan rata-rata 0,5 ha per orang. Tanpa pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya
skala usaha ekonomis, usaha pertanian buah manggis kurang menarik dan tidak mampu memberikan pasokan yang memadai secara kuantitas, kualitas,
dan berkesinambungan. Petani manggis pada umumnya juga masih berorientasi pada produksi dengan
biaya serendah mungkin sehingga kualitas produk kurang diperhatikan. Para petani tersebut belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar yang
semakin mementingkan kualitas dalam membeli produk. 2. Kelembagaan yang ada sebagian besar masih belum berfungsi dalam
membentuk koordinasi antar para pelaku usaha yang terkait sehingga manajemen rantai pasok buah manggis belum dapat diterapkan dengan baik.
Kelembagaan di tingkat petani yang telah ada pada saat ini berupa kelompok tani yang sebagian besar belum dikelola secara baik sehingga belum efektif
berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan pasokan, kurang responsif, dan kurang antisipatif dalam memanfaatkan peluang pasar secara
kompetitif. Hubungan kerjasama antar setiap pelaku usaha juga hanya diikat dan
dikoordinasikan oleh mekanisme pasar tanpa ada hubungan organisasi fungsional dalam jangka panjang dengan tujuan yang sama, kinerja dikelola
secara bersama, dan informasi yang terbuka antar pelaku usaha. 3. Pengelolaan rantai pasok buah manggis di Indonesia belum didukung oleh
iklim usaha yang tepat. Ketidakpastian iklim usaha di Indonesia membuat pelaku usaha yang berada
pada posisi yang lebih kuat modal, akses pasar, dan sumber daya manusia masih enggan bertindak sebagai koordinator dalam suatu rantai pasok.
Kebijaksanaan pemerintah juga belum mampu mendorong pelaku usaha untuk membentuk kerjasama dan koordinasi dalam suatu rantai pasok. Pelaku usaha
yang pada saat ini bertindak sebagai koordinator pada rantai pasok buah manggis masih belum dapat menjalankan perannya dengan baik karena
keterbatasan modal yang dimilikinya sehingga koordinasi rantai pasok tersebut tidak dapat dipastikan keberlanjutannya.
Manajemen rantai pasok yang masih lemah menyebabkan rantai pasok buah manggis belum efektif dan efisien yang ditunjukkan oleh:
1. Rantai pasok yang masih panjang. Rantai pasok dari produsen sampai ke konsumen yang masih sangat panjang
menyebabkan risiko kerusakan dan penurunan mutu produk karena produk pertanian bersifat mudah rusak. Rantai pasok yang panjang juga menyebabkan
biaya pemasaran dari produsen ke konsumen menjadi cukup tinggi sehingga konsumen harus membayar lebih mahal dari harga yang selayaknya
ditawarkan 2. Nilai tambah dan risiko yang tidak terdistribusi dengan merata di antara pelaku
rantai pasok. Hubungan antar pelaku usaha yang hanya diikat dan dikoordinasikan oleh
mekanisme pasar cenderung bersifat eksploitatif bagi pelaku usaha yang relatif lebih lemah Rustiani Maspiyati 1996; Simatupang 1997. Pada rantai pasok
buah manggis, petani yang merupakan pelaku usaha yang paling lemah karena keterbatasan modal dan informasi pasar pada umumnya mendapatkan porsi
yang sangat kecil dari keseluruhan nilai tambah 3. Harga yang berfluktuasi.
Produk pertanian yang bersifat musiman dan mudah rusak akan menyebabkan produk tersebut akan dijual dalam bentuk segar dengan harga yang sangat
rendah untuk menghindari timbulnya biaya yang disebabkan oleh kerusakan produk dalam jumlah yang besar pada saat puncak musim panen. Fluktuasi
harga produk dapat lebih diredam jika antar pelaku dalam rantai pasok terdapat koordinasi berdasarkan informasi pasar. Hal ini antara lain dapat
dilakukan dengan melakukan kontrak harga beli. Petani dapat menjual panen buah manggisnya dengan harga yang tetap tinggi pada saat puncak musim
panen, sedangkan pelaku yang berperan sebagai pembeli buah manggis dari petani dapat melakukan koordinasi dengan pelaku dalam rantai pasok di
daerah lain berdasarkan informasi pasokan, harga, dan permintaan. Agar kinerja rantai pasok buah manggis dapat ditingkatkan, maka rantai
pasok harus dikelola dengan mempertimbangkan indikator kinerja kunci dan risiko pada rantai pasok tersebut, serta mempertimbangkan nilai tambah yang adil
bagi seluruh pelaku dalam rantai pasok tersebut.
1. 2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah 1. Melakukan analisis kinerja kondisi rantai pasok buah manggis pada saat ini
2. Menyusun pengembangan
rantai pasok
buah manggis
dengan mempertimbangkan kinerja, risiko, dan nilai tambah
1.3 Manfaat Penelitian