Analisis Rantai Pasok Jagung di Jawa Barat

(1)

AMERINA I FAJAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Rantai Pasok Jagung di Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Petanian Bogor.

Bogor, November 2014 Amerina I Fajar NIM H451114031


(4)

(5)

oleh RITA NURMALINA dan ANDRIYONO KILAT ADHI.

Jagung saat ini merupakan komoditas strategis yang yang dibutuhkan industri pakan ternak. Permasalahannya tidak semua jagung dalam negeri memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan pabrikan. Pabrik pakan ternak saat ini kesulitan mendapatkan jagung dalam negeri sehingga pabrik pakan menggunakan jagung impor sebagai bahan baku pakan, data lima tahun terakhir menunjukan kenaikan pada jumlah impor jagung yang signifikan. Dalam pemenuhan kebutuhan jagung nasional , Jawa Barat memiliki andil besar karena pabrik pakan berlokasi di Jawa Barat serta Jawa Barat juga merupakan salah satu penghasil jagung terbesar di Indonesia. Maka, untuk dapat memenuhi kebutuhan pabrik pakan dan menghentikan impor dibutuhkan optimalisasi rantai pasok pemasaran jagung. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN), menganalisis kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat, dan menganalisis aktivitas nilai tambah yang dilakukan oleh para anggota rantai pasok di Jawa Barat, sehingga hasil dari penelitian dapat dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi optimalisasi rantai pasok jagung di Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat belum berjalan dengan baik. Sasaran pasar memiliki target yang jelas namun terdapat permasalahan dalam optimalisasi sasaran rantai pasok, yaitu petani petani tidak ditunjang dengan pengetahuan mengenai kualitas jagung yang baik. Penerapan manajemen dan jaringan dalam rantai pasok belum berjalan dengan baik,salah satunya dapat dilihat kesepakatan kontraktual antar lembaga pemasaran tanpa perjanjian tertulis. Kesepakatan tidak tertulis menimbulkan kesulitan dalam hal memprediksi jumlah jagung yang harus dijual kepada pabrik sedangkan pabrik memiliki aturan yang harus ditaati. Selain itu, dukungan pemerintah sebelumnya

hanya fokus pada sarana fisik pada subsitem hilir, akibatnya pengawasan pada pemasaran jagung tidak diperhatikan. Sedangkan, pada sumberdaya rantai pasok ditemukan fakta bahwa modal masih menjadi kendala bagi pedagang desa serta koperasi padahal keduanya merupakan anggota yang berhubungan langsung dengan petani. Proses bisnis rantai pasok terkendala karena pada aliran produk jagung dari petani hingga PB belum terintegrasi dengan baik, belum ada siklus yang pasti sehingga waktu pengiriman ataupun kuota yang dikirim tidak bisa diprediksi dengan baik. Aliran informasi pada rantai pasok jagung memiliki kelemahan yaitu informasi ketersediaan jagung tidak terprediksi di tingkat PD dan PPK .Gambaran kondisi rantai pasok ini diharapkan dapat menjadi dasar rekomendasi perbaikan rantai pasok.

Pengukuran kinerja rantai pasok yang dilakukan dengan pendekatan efisiensi pemasaran menunjukan bahwa rantai pasok masih belum mencapai kinerja optimal, dua dari tiga saluran pemasaran memiliki nilai rasio biaya dan keuntungan rendah walaupun marjin dan farmer’s share bernilai tinggi. Analisis nilai tambah menunjukan bahwa aktivitas yang dilakukan petani dapat memberikan nilai tambah lebih besar dibandingkan anggota rantai pasok lainnya,


(6)

(7)

Supervised by RITA NURMALINA and ANDRIYONO KILAT ADHI.

Nowadays, corn is a strategic commodity needed by animal feed industries. As staple commodities for animal feed, corn has to meet industries requirement in order fulfill industries demand. The production of corn is increasing by 9% in 2010-2012 periods, however the data shows in last five years there are increase in the significant number of import. West Java is one of largest corn produce in Indonesia, furthermore animal feed industries are located in West Java Province. However, feed mills industries are currently difficulty getting corn in the area. The problem has to be solved in order to fulfillment corn feed mill and stop raising of corn import value, so that optimizing supply chain marketing is the answer. The purpose of this study is to analyze the condition of the corn supply chain in West Java using Food Supply Chain Network (FSCN), analyzing the performance of maize supply chain in West Java, and analyze the value-added activities performed by members of the supply chain in West Java, so that it will able to provide recommendations for corn supply chain optimization in West Java.

The result shows that the condition of the corn supply chain marketing in West Java has not been going well . The development goal has problem because the farmers are not supported by the knowledge of products quality that feed mills required. Chain and network management has not been going well since system of

transaction doesn’t involve a written agreement, so the members can’t predict the amount of corn should be sold to feed mills. Government support tended to physical facilities without consider marketing sight, so the government had lack on marketing oversight. As well as chain and network management, supply chain resources need improvement hence the fact shows that capital is still an obstacle for village collectors and cooperatives, so they can’t develop many resources because these capital strains, village collectors and cooperative are the channels that give support to farmer directly though. Business process has some strains in product and information flowing. Production flowing has not integrated yet in farmer, village collector, and bazaar collector so delivery time and quota of corn is unpredictable. Information flow has weakness because the corn stock is unpredictable at farmer, village collector, and inter-city collector level. The information given has pictured out corn supply chain in West Java and hopefully could help for supply chain improvements.

In this research , qualitative analysis also supported by supply chain performance measurement through marketing efficiency approach, the result show that supply chain has not yet reach optimum performance it is indicated by more marketing channels have lower value in benefit and cost ratio, the marketing margin and farmer’s share have a good value though. In contrary with qualitative results, value added analysis shows that the most valuable activity achieved by farmers, so that other members should make their activities more efficient to gain more value added.

Keywords: Corn, Marketing, Supply Chain, Value-Added.


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

AMERINA I FAJAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(12)

(13)

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Rita Nurmalina,MS Ketua

Dr.Ir.Andriyono Kilat Adhi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof.Dr.Ir.Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr


(14)

(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Mei 2014 ini ialah Analisis Rantai Pasok Jagung di Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Andriyono Kilat Adhi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno, M. Adev selaku Penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Ratna Winandi, M.Si selaku Penguji dari Program Studi pada Ujian Tesis.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sodik selaku Ketua Koperasi Tani Mukti, Bapak H Nandar selaku Direktur dari PT Indra Niaga, Bapa Agus beserta staf Dinas Pertanian Majalengka, dan Bapak Dudung beserta staf Dinas Pertanian Garut, Ibu Poppy beserta staf Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat, Bapak Uung dari PT. Sierad Produce, Bapak Maman dan Kang Cepi dari Kecamatan Cibiuk Garut yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada rekan-rekan Program Studi Magister Sains Agribisnis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014 Amerina I Fajar


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Dan Keterbatasan Penelitian 8

2. TINJAUAN PUSTAKA 9

Gambaran Umum Komoditi 10

Kondisi Jagung Nasional 11

Rantai Pasok 11

Kinerja Rantai Pasok 13

Nilai Tambah 14

Penelitian Terdahulu 15

3. KERANGKA PEMIKIRAN 16

Rantai Pasok 16

Fungsi dan Biaya Pemasaran 18

Saluran Pemasaran 19

Logistik 22

Efisiensi Pemasaran 22

Analisis Marjin Pemasaran Pada Rantai Pasok 23 Analisis Farmer’s Share Pada Rantai Pasok 24 Analisis Rasio Keuntungan Dan Biaya Pada Rantai Pasok 24 Analisis Nilai Tambah Hayami Pada Rantai Pasok Jagung 24

Kerangka Pemikiran Oprasional 25

4. METODOLOGI PENELITIAN 28

Lokasi Dan Waktu Penelitian 28

Jenis dan Sumber Data 28

Metode Penentuan Responden 28

Metode Pengolahan Data 29

Analisis Jaringan Rantai Pasok Jagung 30

Analisis Kinerja Rantai Pasok 31

Analisis Nilai Tambah 32

5. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 34


(18)

Karakteristik Usaha Tani 39 Budidaya Jagung Dan Pasca Panen Jagung Di Jawa Barat 40

Sarana Produki Pertanian 40

6. RANTAI PASOK JAGUNG DI JAWA BARAT 44

Sasaran Rantai Pasok 44

Struktur Hubungan Rantai Pasok 45

Manajemen Rantai dan Jaringan 51

Sumberdaya Rantai Pasok 55

Proses Bisnis Rantai 56

7.KINERJA RANTAI PASOK 60

Analisis Marjin Pemasaran 60

Analisis Farmer’s Share 62

Rasio Keuntungan dan Biaya 63

8.NILAI TAMBAH RANTAI PASOK 65

Nilai Tambah Petani 65

Nilai Tambah Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 67

Nilai Tambah Koperasi 68

Nilai Tambah Pedagang Pengumpul Kecamatan 70

Nilai Tambah Pedagang Besar 72

Analisis Distribusi Nilai Tambah Anggot Rantai Pasok 73

9.SIMPULAN DAN SARAN 74

Simpulan 74

Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 76


(19)

1. Produksi, Luas Panen, Dan Produktivitas Jagung Di Indonesia 2007-2012 1 2. Produksi, Produktivitas, Dan Luas Panen Jagung Di Jawa Barat 4 3. Jumlah Industrik Pabrik Pakan Menurut Provinsi (2010) 6 4. Produksi, Luas Panen, Dan Produktivitas Kabupaten- Kabupaten Di Jawa Barat 7 5. Persyaratan Kuantitatif Jagung Sesuai Standar Nasional Indonesia 10

6. Tabel Analisis Nilai Tambah Hayami 33

7. Jumlah Tenaga Kerja Jawa Barat Tahun (2011) 29

8. Jumlah Tenaga Kerja Di Garut 36

9. Jumlah Tenaga Kerja Di Majalengka 38

10. Karakteristik Petani Jawa Barat 38

11. Karakteirsitk Usahatani Petani Jawa Barat 40 12. Alat Dan Waktu Yang Diperlukan Untuk Budidaya Jagung 42

13. Biaya Pemasaran 60

14. MarjinPemasaran Saluran Pemasaran Jagung di Jawa Barat 61 15.Farmer Share Saluran Pemasaran Jagung di Jawa Barat 62

16.Analisis Biaya dan Keuntungan 63

17. Perhitungan Nilai Tambah di Tingkat Petani 65 18. Perhitungan Nilai Tambah Pedagang Pengumpul Desa 68

19. Perhitungan Nilai Tambah Koperasi 69

20. Perhitungan Nilai Tambah di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecamatan 71 21. Perhitungan Nilai Tambah di Tingkat Pedagang Besar Kabupaten 72

22. Analisis Distribusi Nilai Tambah 74

DAFTAR GAMBAR

1. Grafik Kenaikan Impor Jagung Indonesia ( 2007-2012) 2 2. Jagung Tanaman Pangan (Zeamays Indentata) 9

3. Skema Rantai Pasok 12

4. Kerangka Analisis Rantai Pasok Berdasarkan FSCN 17 5. Pemasaran Produk Non Pertanian (A) Dan Produk Pertanian (B) 20

6. Saluran Pemasaran Industri 22

7. Kurva MarjinPemasaran 24

8. Kerangka Pemikiran Analisis Rantai Pasok Jagung di Provinsi Jawa Barat 28

9. Kerangka Rantai Pasok Van der Vorst 30

10. Peta Wilayah Jawa Barat 34

11. Peta Wilayah Garut 36

12. Peta Wilayah Kabupaten Majalengka 37

13. Jagung di Lahan Kering 42

14.Benih Jagung Hibrida P21 42

15. Urea, Phonska/NPK, dan TSP 42

16. Persiapan Panen Jagung 43


(20)

19. Silo, Dryer, Dan Corn Sheller 56

20. Aliran Produk Rantai Pasok 58

21. Aliran Finansial Rantai Pasok 59

22.Aliran Informasi Rantai Pasok

DAFTAR LAMPIRAN

1. Rincian Input Tenaga Kerja Petani di Provinsi Jawa Barat 79 2. Rincian Input Tenaga Kerja dan Sumbangan Input Lain

Pada Pedagang Pengumpul Desa 79

3. Rincian Input Tenaga Kerja dan Input Sumbangan Lain

Pedagang Pengumpul Kecamatan 80

4. Rincian Input Tenaga Kerja dan Input Sumbangan Lain


(21)

1.PENDAHULUAN Latar Belakang

Di Indonesia, jagung saat ini merupakan komoditas strategis yang dibutuhkan untuk banyak industry.Selain untuk pakan ternak, jagung banyak dibutuhkan untuk industri makanan, baik untuk olahan jagung maupun untuk bahan pelengkap makanan. Selain itu, jagung juga mempunyai peranan penting terhadap perekonomian nasional dan telah menempatkan jagung sebagai kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tanaman pangan serealia, oleh karena itulah dapat dipahami kebutuhan akan jagung sangatlah tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2012). Angka produksi jagung sendiri setiap tahunnya memiliki kecenderungan naik diiringi angka produktivtias yang juga terus meningkat. Pada Tabel 1 dapat dilihat tingkat produksi jagung dari tahun 2007 yang hanya 13.287.527 ton meningkat setiap tahun hingga tahun 2012 yaitu 18.838.529 ton, sedangkan produktivtias sendiri telah naik pada tahun 2007 dengan nilai 3.66 ton/ha menjadi 4.84 ton/ha pada tahun 2012.

Tabel 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia 2007-2012 Tahun Produksi Pertumbuhan Luas Panen Produktivitas Pertumbuhan

( Ton) Produksi (%) ( hektar) ( Ton/Ha) Produktivtias(%)

2007 13.287.527 - 3.630.324 3,66 - 2008 16.317.252 22,8 4.001.724 4,07 11,20 2009 17.629.748 8,04 4.160.659 4,23 3,93 2010 18.327.636 3,96 4.131.676 4,43 4,73 2011 17.643.250 -3,73 3.864.692 4,56 2,93 2012 18.838.529 6,77 3.890.974 4,84 6,14 Rata-Rata 17.007.323.67 7,57 3946675 4,30 5,79

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

Berdasarkan Tabel 1 juga diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2012 peningkatan angka produksi jagung rata-rata setiap tahun adalah sebesar 7.5%, peningkatan laju produksi jagung dalam negeri ini dipengaruhi oleh tingginya permintaan pakan ternak, hal ini didukung oleh pendapat Haryono (2012) bahwa proporsi penggunaan jagung untuk pakan terhadap total kebutuhan jagung mencapai 83% dan Tangenjaya et al(2002) bahwa komposisi pakan yang berasal dari jagung, adalah untuk ayam pedaging 54% dan ayam petelur 47,14%. Kenaikan angka produksi tersebut harusnya dapat memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri sehingga dapat menahan laju impor jagung, namun kenyataannya data lima tahun terakhir menunjukan kenaikan pada jumlah impor yang signifikan.Pada Gambar 1 terlihat grafik impor jagung meningkat signifikan dari tahun 2009 hingga tahun 2012, pada tahun 2009 impor jagung berjumlah 338.778 ton hingga tahun 2011 mencapai 3.207.657 ton yang meningkat sebesar 846.77%, sementara dari gambar 2 yaitu gambar kebutuhan total pakan ternak Indonesia, dapat disimpulkan bahwa dalam rentang 2010 hingga 2012 impor juga mensuplai rata-rata 17.6% dari total kebutuhan pakan ternak.

Berdasarkan Gambar 2 terlihat grafik yang memperlihatkan bahwa kebutuhan pakan ternak dari tahun 2010 hingga tahun 2013 rata-rata meningkat sejumlah 9%


(22)

per tahun, dimana angka ini berada diatas rata-rata kenaikan produksi jagung. Apabila angka produksi jagung nasional masih berada dibawah angka kebutuhan pabrik pakan, maka kebutuhan jagung nasional akan bergantung pada impor luar negeri sehingga imbasnya dapat mempengaruhi devisa negara. Menurut data yang didapat dari GPMT (2005) impor jagung terbesar datang dari India dengan total impor 1,1 juta ton dengan nilai US$ 319 juta, dilanjutkan oleh Argentina dengan total impor jagung ke Indonesia sebesar 286,3 ribu ton dengan nilai US$ 89 juta, Pakistan sebesar 146,2 ribu ton dengan nilai US$ 46 juta, Brazil sebanyak 74,4 ribu ton dengan nilai US$ 23 juta, dan Amerika Serikat sebanyak 44,2 ribu ton dengan nilai US$ 15,8 juta..

Gambar 1. Grafik Kenaikan Impor Jagung Indonesia (2007-2012)

Sumber : BPS 2013

Ketersediaan jagung memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak saat ini dipengaruhi oleh harga jagung dimana jagung yang dipakai untuk pakan ternak harus diimpor padahal jagung memakan biaya hampir 70% dari ongkos produksi pakan ternak, sehingga dengan kondisi seperti itu akan memberatkan peternak-peternak kecil maka dampaknya akan dirasakan yaitu harga daging ayam dan telur meningkat. Permasalahannya tidak semua jagung dalam negeri memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan pabrikan, terutama kandungan alfatoksin yang tinggi pada jagung dalam negeri ini(Subhana, 2005). Selain itu juga kadar air jagung dalam negeri tidak memenuhi syarat produksi untuk bahan baku pakan ternak dimana jagung dalam negeri airnya tinggi dan sistem penyimpananannya kurang baik sehingga jagung dalam negeri memiliki jamur dan tidak bisa disimpan dalam jangka waktu yang dibutuhkan oleh pabrik (Subijato, 2004).

701.953

264.665

338.798

1.527.516

3.207.657

1.500.000

2007 2008 2009 2010 2011 2012


(23)

Gambar 2 Kebutuhan Jagung Untuk Pakan Ternak Indonesia 2010-2013 Sumber : Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (2013)

Suplai jagung nasional berasal dari produksi jagung di wilayah Pulau Jawa dengan persentase hampir 60 % dari total produksi nasional (BPS, 2013), tingkat presentasi yang besar diakibatkan oleh sarana produksi dan infrastruktur yang lengkap, juga terdapat industri-industri penyerap jagung di Pulau Jawa. Penanaman jagung di Pulau Jawa sudah lama diusahakan oleh petani, pada awalnya jagung di Pulau Jawa merupakan komoditas pengganti kedelai yang harganya jatuh bertahun-tahun yang lalu dan akhirnya saat ini jagung menjadi salah satu komoditas wajib yang ditanam selain padi. Keberlanjutan penanaman jagung di Pulau Jawa dikarenakan kemudahan didalam perawatan disbanding komoditas lainnya. Meskipun begitu, petani jagung di Pulau Jawa memiliki keterbatasan didalam pengetahuan sehingga mereka masih belum mengerti pentingnya suplai yang terus berlanjut. Hal inilah yang menjadi kaitan penting antara kebutuhan suplai jagung dalam negeri dan permasalahan yang dihadapi petani.

Di Pulau Jawa salah satu daerah sentra produsen jagung adalah Jawa Barat yang menyumbangkan 18 % terhadap produksi jagung nasional (BPS, 2013).Dari data pada Tabel 2 terlihat bahwa setiap tahun produksijagung di Jawa Barat mengalami kenaikan yang signifikan, pada tahun 2011 tercatat produksi jagung Jawa Barat adalah sebesar 945.104 ton pipilan kering, mengalami peningkatan sebanyak 21.142 ton atau naik sebesar 2,29 persen dibandingkan dengan produksi jagung pada tahun 2010 sebanyak 923.962 ton pipilan kering. Sejalan dengan volume produksi yang meningkat, ternyata produktivitas jagung juga mengalami kenaikan 4,75 persen dari 60,08 kuintal per hektar tahun 2010 menjadi 64,23 kuintal per hektar pada tahun 2011, rupanya kenaikan produktivitas ini disebabkan karena naiknya jumlah produksi namun luas panen menurun karena pada tahun 2011 tercatat luas panen mencapai 147.152 hektar, menurun 6.626 hektar atau mengalami penurunan -4,31 persen dibanding tahun 2010 yang mencapai 153.778 hektar. Apabila angka ini terus ditingkatkan bukannya tidak mungkin Jawa Barat akan mampu menjadi pemasok jagung dalam negeri terbesar. Ditambah lagi potensi jagung ditanaman di Jawa Barat didukung beberapa hal seperti


(24)

infrastruktur yang baik dan terjangkau oleh berbagai macam pihak, mudahnya petani mendapatkan informasi mengenai komoditas jagung, dan akses terhadap industri penyerap jagung berkapasitas besar yang berada di Jawa Barat.

Tabel 2. Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Jagung di Jawa Barat

Tahun Produksi Luas Panen Produktivitas

(Ton) (Ha) (Ton/Ha)

2008 639821 118976 5.38

2009 787599 136707 5.76

2010 923962 153778 6.01

2011 945104 147152 6.42

2012 1028653 148601 6.92

Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat (2013)

Produksi jagung di Jawa Barat terpusat di Bandung Barat, Sumedang, Garut, Majalengka, dan Tasik (Diperta Jabar, 2013), dari survey awal didapatkan informasi bahwa pengusahaan jagung di Jawa Barat memiliki beberapa permasalahan, diantaranya yaitu hasil produksi jagung tidak dapat diterima oleh pabrik penyerap jagung dengan alas an pabrik pakanternak memiliki standar mutu kadar air dan tingkat aflatoksin yang rendah dan pabrik pakan ternak juga menerapkan standar kuantitas besar yang berkelanjutan sementara produksi jagung di Jawa Barat hanya satu tahun dua kali. Permasalahan tersebut menyebabkan pengusaha jagung kesulitan memasarkan jagungnya padahal pabrik pakan ternak juga kesulitan mendapatkan jagung, padahal menurut Simamora (2006) keberhasilan dalam memperebutkan pasar yang sama sangat tergantung dari besarnya nilai kepuasan yang diberikan kepada konsumen. Saat ini,konsep pemasaran berorientasi pada persaingan, dimana pengusaha berpikir untuk memperoleh persaingan yang lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya dalam melayani konsumen yang tidak hanya menekankan untuk melayani konsumen sebaik-baiknya, namun harus pula berusaha untuk tampil meyakinkan dan memuaskan di mata konsumen dibandingkan dengan pesaing (Gitisudarmo, 2000)

Apabila ingin memasarkan jagung kepada pabrik pakan ternak, maka produsen jagung di Jawa Barat harus dapat bersaing dengan jagung impor. Maka produsen jagung di Jawa Barat haruslah dapat memenuhi syarat yang ditentukan oleh pabrik pakan selaku konsumen jagung. Menurut Morgan et al (2004) daya saing dipengaruhi efektivitas dan efisiensi kinerja rantai pasok, maka dapat disimpulkan bahwa rantai pasok memegang peranan yang penting didalam memenangkan persaingan untuk memasarkan jagung.

Untuk memenangkan persaingan jagung maka diperlukan optimalisasi rantai pasok dan nilai tambah pada lembaga-lembaga pemasaran jagung. Oleh karena itu penelitian mengenai analisis rantai pasok perlu dilakukan.

Rumusan Masalah

Saat ini, permintaan jagung yang tinggi terutama dipicu oleh kebutuhan untuk menghasilkan pakan ternak. Pada kenyataannya pemanfaatan jagung yang semula


(25)

untuk bahan makanan langsung, kini telah berubah menjadi komoditas industri. Hal ini dipicu oleh pemenuhan gizi masyarakat yang berasal dari protein hewani seperti, unggas dan ternak ruminansia. Kebutuhan penenuhan gizi yang berasal dari hewan terus mengalami peningkatan dan mendorong berkembangnya usaha peternakan, meskipun usaha menangkap dari alam bebas masih juga berlangsung. Ternak peliharaan memerlukan pakan buatan yang komponen utamanya adalah jagung. Maka untuk menyediakan gizi yang ber-mutu, perlu digiatkan produksi jagung domestik, sebab ketergantungan pada impor akan semakin rawan dan harga jagung impor juga akan semakin mahal.

Jagung untuk bahan baku pabrik pakan yaitu jagung gigi kuda (Zea Mays Indentata) yang umumnya berwarna kuning. Jagung tersebut ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Di Indonesia daerah-daerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Pulau Jawa memiliki sentra unggulan produksi jagung, salah satunya adalah Jawa Barat. Jawa Barat merupakan sentra jagung yang paling dekat dengan lokasi konsumen jagung, maka dari itu Jawa Barat sangat mungkin untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik pakan tersebut.

Dalam pemenuhan kebutuhan jagung pabrik pakan, Jawa Barat sendiri seharusnya memiliki andil besar karena Jawa Barat memiliki kedekatan dengan banyak pabrik pakan yang berada di Provinsi Jawa Barat. Pada Tabel3 terlihat bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki empat pabrik pakan ternak yang dapat menampung jagung, belum lagi pabrik pakan yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat seperti pabrik pakan di Provinsi Bantern (10 unit), Provinsi DKI Jakarta (4Unit), dan Jawa Tengah (3Unit). Namun, potensi Jagung Jawa Barat saat ini belum bisa memenuhi peluang yang ada.

Berdasarkan jumlah produksi di Jawa Barat pada Tabel 4dapat dilihat bahwa pada produksi tahun 2010 hingga tahun 2011 terjadi peningkatan pada masing-masing kabupaten sentra produksi jagung di Jawa Barat, namun kenyataannya dibalik peningkatan tersebut terdapat permasalahan didalam pemasaran jagung sehingga pabrik pakan masih kesulitan mendapatkan jagung di daerah Jawa Barat.

Permasalahan yang dihadapi jagung di Jawa Barat berkaitan dengan kegiatan pemasaran yang dilakukan petani, bandar, dan pedagang. Permasalahan permasalahan tersebut timbul karena petani tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai kebutuhan pabrik pakan tentang kualitas jagung yang harus memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kadar air dibawah 18%, sehingga dampaknya pedagang besar kesulitan dalam memenuhi jumlah pasokan yang telah disepakati antara pedagang besar dan pabrik pakan.

Kesulitan memenuhi jumlah pasokan, maka pedagang besar menerapkan sistem grading jagung kepada pedagang pengumpul desa, dampakanya pedagang desa berspekulasi mengenai harga sehingga mereka tidak berani membeli jagung di petani dengan harga yang tinggi. Pembentukan koperasi merupakan alternatif untuk menyalurkan jagung langsung kepada konsumen sehingga petani mendapatkan informasi mengenai kualitas yang diinginkan oleh konsumen, namun koperasi yang dibentuk memiliki kelemahan yaitu keterbatasan modal. Walaupun harga pembelian kepada petani lebih tinggi dibandingkan pedagang


(26)

desa, tapi tidak semua petani dapat menjual jagung kepada koperasi dan koperasi sendiri menerapkan aturan yang ketat untuk petani bila ingin menjadi anggotanya. Padahal, dengan adanya koperasi dapat memperpendek saluran pemasaran sehingga marjin pemasaran antara petani dan konsumen bisa lebih rendah.

Tabel 3. Jumlah Industrik Pabrik Pakan Menurut Provinsi (2010) Provinsi

Jumlah

Pabrik Produksi Share

Kapasitas Produksi

( Unit) ( Juta Ton) (%) ( Juta Ton)

Jawa Timur 15 2.71 35.2 3.64

Banten 10 2 25.9 2.71

Jawa Barat 4 0.94 12.2 1.11

Sumatera Utara 8 0.93 12.1 1.33

Jawa Tengah 3 0.48 6.2 1.12

DKI Jakarta 4 0.27 3.4 0.6

Lampung 4 0.25 3.3 0.66

Sulawesi Selatan 2 0.13 1.6 0.14

Total 50 7.7 100 11.3

Sumber: Kementrian Perdagangan dan Perindustrian (2012)

Kesulitan memenuhi jumlah pasokan, maka pedagang besar menerapkan sistem grading jagung kepada pedagang pengumpul desa, dampakanya pedagang desa berspekulasi mengenai harga sehingga mereka tidak berani membeli jagung di petani dengan harga yang tinggi. Pembentukan koperasi merupakan alternatif untuk menyalurkan jagung langsung kepada konsumen sehingga petani mendapatkan informasi mengenai kualitas yang diinginkan oleh konsumen, namun koperasi yang dibentuk memiliki kelemahan yaitu keterbatasan modal. Walaupun harga pembelian kepada petani lebih tinggi dibandingkan pedagang desa, tapi tidak semua petani dapat menjual jagung kepada koperasi dan koperasi sendiri menerapkan aturan yang ketat untuk petani bila ingin menjadi anggotanya. Padahal, dengan adanya koperasi dapat memperpendek saluran pemasaran sehingga marjin pemasaran antara petani dan konsumen bisa lebih rendah.

Uraian diatas mengindikasikan bahwa rantai pasok jagung di Jawa Barat belum berjalan dengan baik, hal ini tercermin dari spekulasi harga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa. Perlu adanya perbaikan didalam rantai pasok sehingga didalam pelaksanaannya rantai pasok pemasaran lebih optimal dalam menyampaikan produk dari produsen ke konsumen begitu juga dengan konsumen lebih mudah mendapatkan produk dari produsen. Maka diperlukan penelitian rantai pasok dalam pemasaran jagung di Jawa Barat

Berkaitan dengan suplai jagung Jawa Barat ke industri pakan ternak, tentunya rantai pasok jagung di Jawa Barat merupakan hal yang sangat penting dan apabila ingin memenuhi kebutuhan pasokan untuk pabrik pakan tentunya dibutuhkan sebuah gambaran kondisi rantai pasok untuk dapat mengoptimalisasi integrasi rantai pasokan secara kontinyu. Gambaran mengenai kondisi rantai pasok diperlukan untuk melihat sejauh mana sistem pemasaran yang berjalan


(27)

antar anggota rantai pasok jagung di Jawa Barat, maka untuk mendapatkan gambaran kondisi rantai pasok dalam pemasaran jagung di Jawa Barat dapat menggunakan analisis sesuai dengan Vorst (2006) karena kerangka tersebut dapat menjelaskan secara rinci mengenai struktur rantai, sasaran rantai, manajemen rantai, sumberdaya rantai, dan proses bisnis rantai. Kondisi rantai pasok di Jawa Barat dapat dianalisis pada penelitian ini dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat ?

Tabel 4. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kabupaten- Kabupaten di Jawa Barat

Kabupaten

Tahun

2010 2011

Luas Panen

Hasil

Per Hektar Produksi Luas Panen

Hasil Per Hektar

Produksi

(Ha) (Ton/Ha) (Ton) (Ha) (Ton/Ha) (Ton)

Garut 55.717 7,087 394.843 60.568 7,335 444.285

Majalengka 18.577 6,054 112.462 16.062 6,642 106.484

Sumedang 13.888 4,946 68.687 13.118 5,542 72.706

Tasikmalaya 10.092 6,06 61.155 9095 6,325 57.529

Bandung 8.611 6,02 51.682 7061 5,841 42.244

Sumber : Dinasi Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat (2012)

Penilaian kinerja rantai pasok sangatlah penting untuk dilakukan, karena pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui sejauh mana optimalisasi kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok sehingga akan terlihat sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki permasalahan didalam pengelolaan rantai pasok tersebut, Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kinerja rantai pasok diperlukan integrasi didalam rantai pasok dengan cara perencanaan bersama (Frohlich & Westbrook 2001), mengurangi biaya pemesanan dengan melakukan outsourcing bahan baku setengah jadi (Scanell et al, 2000), mengurangi waktu siklus dan tingkat persediaan (Stanket al, 1999), serta mengurangi ketidakpastian bisnis (Childerhouse et al, 2003) dengan penggunaan teknologi informasi untuk berbagi informasi antar anggota rantai pasok. Maka, pada penelitian akan dijawab mengenai pertanyaan bagaimanakah kinerja rantai pasok di Jawa Barat?

Peran yang dilakukan masing-masing anggota adalah sumber dari keunggulan –keunggulan kompetitif suatu rantai pasokan (Porter, 1985), dalam memasarkan jagung anggota rantai pasok membentuk sistem pemasaran yang didalamnya terdapat aliran pemasaran dimana pada setiap tingkatannya akan terbentuk nilai tambah tersendiri. Pada sistem pemasaran jagung terdapat kegiatan-kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok, kegiatan yang dilakukan tersebut memiliki nilai. Nilai yang didapatkan anggota rantai pasok pada proses pemasara tersebut merupakan nilai tambah Maka penting untuk dikaji, bagaimana nilai tambah yang dilakukan masing-masing anggota rantai pasok jagung di Provinsi Jawa Barat ?


(28)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :

1. Menganalisis kondisirantai pasok jagung di Jawa Barat menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN)

2. Menganalisis kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat

3. Menganalisis aktivitas-aktivitas nilai tambah yang dilakukan oleh para anggota rantai pasok di Jawa Barat

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberi rekomendasi kebijakan yang mendukung pengembangan agribisnis jagung untuk meningkatkan kesejahteraan petani jagung di Jawa Barat. Selain itu penelitian diharapkan menjadi rujukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian terkati rantai pasok dan nilai tambah komoditas jagung.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan utama penelitian ini adalah dalam melihat performa rantai pasok dan saluran pemasaran tidak sampai pada produk hilir jagung, tetapi dibatasi hanya sampai pada produk jagung pipilan karena disebabkan sulit mengakses data sampai kepada industri selanjutnya. Oleh sebab itu dalam melakukan pengukuran seperti farmer share’s yang seharusnya membandingkan harga yang diterima petani jagung dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir, hanya dapat dibatasi dari harga yang diterima petani jagung dengan harga yang diterima oleh bandar sebagai konsumen antara.

2. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Komoditi

Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung lokal yang ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional (subsistem), sehingga hasilnya relatif rendah.Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung mutiara (Zemaysindurata) yang umumnya berwarna putih.

Jagung untuk bahan baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul komposit) ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi kuda (Zeamays indentata) yang umumnya berwarna kuning. Di Indonesia daerah-daerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman jagung dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya Madura jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 2007). Persyaratan mutu jagung untuk perdagangan menurut Standar Nasional Indonesia


(29)

(SNI) dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu persyaratan kualitatif dan persyaratan kuantitatif. Persyaratan kualitatif meliputi

1. Produk harus terbebas dari hama dan penyakit.

2. Produk terbebas dari bau busuk maupun zat kimia lainnya (berupa asam). 3. Produk harus terbebas dari bahan dan sisa-sisa pupuk maupun pestisida Sedangkan persyaratan lainnya bisa dilihat pada Tabel5 yaitu tabel persyaratan kuantitatif jagung.

Gambar 3. Jagung Tanaman Pangan (Zeamays indentata)

Tabel 5. Persyaratan Kuantitatif Jagung Sesuai Standar Nasional Indonesia

No Komponen

Utama

Persyaratan Mutu (%Maks)

I II III IV

1 Kadar Air 14 14 15 17

2 Butir Rusak 2 4 6 8

3 Butir Pecah 1 4 3 5

4 Butir Warna

Lain

1 3 7 10

5 Kotoran 1 1 2 2


(30)

Kondisi Jagung Nasional

Sebelum tahun 1980, penggunaan jagung di Indonesia hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung. Demikian juga pada tahun 1980, 94% digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung, hanya 6% untuk industri pakan, dan belum ada untuk industri pangan. Pada tahun 1990 walaupun penggunaan jagung masih didominasi untuk konsumsi langsung, tetapi penggunaan untuk industri pangan sudah di atas untuk industri pakan.

Orientasi pengembangan jagung ke depan sebaiknya lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan industri pakan dan pangan, mengingat produk kedua industri ini merupakan barang normal (elastis terhadap peningkatan pendapatan), sebaliknya merupakan barang inferior dalam bentuk jagung konsumsi langsung seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat sesuai dengan hasil penelusuran di lapangan, pabrik pakan ternak tidak mau menggunakan produk lokal karena masalah kualitas dan kuantitas dari petani langsung.Sedangkan untuk subsitusi jagung sendiri tidak dimungkinkan.Berbagai upaya untuk menggantikan jagung dengan bahan pakan lain di Indonesia belum berhasil. Kedelai segar, selain mahal juga tidak dapat digunakan langsung sebagai komponen pakan, kecuali dalam bentuk bungkil kedelai yang merupakan hasil sampingan pabrik minyak kedelai dan seluruhnya masih diimpor. Ubikayu, meskipun berlimpah, masih memerlukan pengolahan antara, sebelum digunakan sebagai bahan campuran pakan pabrikan.Gaplek (ubikayu kering) mempunyai kandungan protein rendah, sehingga masih memerlukan tambahan sumber protein agar dapat memenuhi kebutuhan ternak. Sorgum adalah satu-satunya bahan pakan yang mempunyai kandungan gizi hampir sama dengan jagung, namun ketersediaannya di Indonesia sangat terbatas (Tangendjajaet al, 2003).

Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan dan kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri. Kasus yang sedang terjadi adalah pemerintah tidak ingin memberatkan industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan menanggung biaya produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan berakibat pada tingginya harga produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus tetap memperhatikan petani jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan yang layak dari usaha tani jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan berakibat pada rendahnya insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan menyebabkan bahaya latent, yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Peningkatan impor jagung juga berdampak negatif pada terkurasnya devisa negara dan neraca perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia yang semakin defisit. Seiring dengan peningkatan jumlah produksi jagung nasional pemerintah pelan-pelan menutup keran impor untuk bahan baku industri karena pemerintah ingin jagung Indonesia lah yang dipakai untuk kebutuhan produksi pabrik pakan ternak dan industri -industri lainnya.

Rantai Pasok

Baatz (1995) menyatakan bahwa secara konseptual rantai pasok merupakan keseluruhan proses dari bahan mentah mulai diproduksi hingga menjadi produk yang habis masa pakainya.Menurut Simchi-Levi et al (2008) dan Chopra dan Meindl(2001) rantai pasokan adalah setiap tahapan yang melibatkan


(31)

konsumen dari mulai tahap pemesanan produk dari suplaier, manufaktur, jasa transportasi dan gudang, retailer, hingga pelanggan. Setiap fungsi atau proses yang ada didalam rantai pasok didukung oleh proses pemasaran, operasional, distribusi, keuangan, dan servis untuk pelanggan. Proses –proses tersebut harus dapat disampaikan dalam kuantitas yang tepat dalam waktu yang tepat, serta lokasi yang tepat, juga dapat meminimalisasi biaya.Rantai pasok juga berarti mengurangi inventori serta memperbaiki kinerja produksi (Challener,1999), selain itu juga rantai pasok harus dapat memberikan nilai tambah kepada pelanggan serta kepada para pemangku kepentingan (Jayaram et al, 2000; Handfield dan Nichols, 2002). Golicic et al (2002) menyatakan bahwa rantai pasok harus dapat menjelaskan hubungan yang mendasar diantara para anggota dalam sebuah organisasi dari mulai transaksi simple hingga transaksi yang sangat kompleks. Dalam rantai pasok juga setiap informasi haruslah jelas untuk dapat mengurangi bullwhip effect yang dapat mempengaruhi kerjasama antar anggota, selain itu juga fungsi rantai pasok adalah perencanaan, monitoring, efisiensi stok, efisiensi waktu dan menghilangkan ketidakpastian, serta meningkatkan kemampuan utilisasi organisasi (Skjøtt-Larsen, 2000). Challener (1999) menjelaskan bahwa untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas dalam sebuah kordinasi maka seluruh sumberdaya dalam rantai pasok harus diintegrasi dengan melibatkan optimisasi rantai pasok, integrasi rantai pasok, kolaborasi organisasi, serta rintangan secara kulturan dan teknologi, sehingga organisasi tersebut dapat responsive terhadap pasar

Austin (1992)dan Brown(1994) dalam Marimin dan Maghfiroh (2010) menyatakan bahwa manajemen rantai pasok produk pertanian dapat berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena produk pertanian bersifat mudah rusak, proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan produk pertanian bersifat kamba sehingga sangat sulit ditangani. Bukan itu saja, menurut Marimin dan Maghfiroh (2010), struktur hubungan pemain rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manufaktur, pada komoditas pertanian anggota rantai pasok tidak harus mengikuti rantai pasokan seperti manufaktur, syaratnya anggota rantai pasok pertanian dapat melakukan fungsi-fungsi pemasaran seperti yang dilakukan rantai berikutnya. Hal tersebut bisa dilihat dari gambar 3 (Vorst, 2006)terlihat bahwa anggota-anggota rantai pasok bebas untuk menyalurkan informasi, produk, dan finansial ke anggota rantai pasok lainnya

Menurut Vorst (2006) dalam satu waktu, proses paralel, dan berurutan dapat terjadi dalam rantai pasok pertanian sehingga proses bisnis didalam jaringan rantai pasok pertanian akan teridentifikasi lebih dari satu. Sebagai contoh, proses bisnis dari jagung untuk pakan ternak dialirkan dari petani bisa ke berbagai pihak seperti pedagang perantara kemudian diproses untuk dialirkan lagi ke konsumen akhir. Pada proses pengaliran tersebut anggota rantai pasok yang terlibat melakukan proses bisnis sesuai dengan kebutuhan, misalkan pedagang perantara melakukan proses yang berbeda terkait jagung yang dikirimkan untuk industri ternak dan jagung yang akan dikirimkan untuk industri makanan.

Salah satu aspek fundamental dalam rantai pasok adalah pengukuran kinerja. Untuk menciptakan kinerja yang efisiem maka diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok, hal ini sesuai dengan pendapat Pujawan (2005) bahwa sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk monitoring


(32)

dan evaluasi dan mengetahui dimana posisi suatu organisasi terhadap tujuan yang ingin dicapai serta menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan bersaing. Maka dari itu, untuk mengetahui sejauh mana potensi jagung di Jawa Barat saat ini diperlukan sebuah pengukuran kinerja rantai pasok jagung.

Gambar 3. Skema Rantai Pasok

Sumber: Van der Vorst (2006)

Kinerja Rantai Pasok

Menurut Qhoirunisa (2014) keragaan struktur rantai pasok dapat dianalisis secara kualitatif, termasuk dalam menganalisis kinerja atau performance yang dihasilkan. Analisis kinerja rantai pasok secara kualitatif perlu didukung adanya ukuran kinerja yang kuantitatif agar menghasilkan hasil kinerja yang lebih terukur dan objektif. Sebagai proses yang saling terintegrasi antar anggota yang tergabung di dalamnya, pengukuran kinerja rantai pasok perlu menggunakan pendekatan tertentu.Kinerja rantai pasok didefinisikan oleh Christien et al (2006) sebagai titik temu antara konsumen dan pemangku kepenting dimana syarat keduanya telah terpenuhi dengan relevansi atribut indikator kinerja dari waktu ke waktu. Pentingnya kinerja rantai pasok dapat ditemukan didalam hasil penelitian Vinícius Gustavo Trombinb and Rafael Bordonal Kalakic (2013) di Brazil tentang orange juice menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah konsumen dikarenakan distribusi orange juice yang tidak responsive didalam rantai pasok. Orange juice yang tidak dapat memenuhi keinginan konsumen pada waktu, tempat, dan harga akan kehilangan keuntungan lebih besar dibandingkan orange juice yang memiliki rantai pasok dengan kinerja yang efisien.

Keberhasilan rantai pasok dapat dilihat dari tingkat kinerja yang dimilikinya, menurut Pettersson (2008) kinerja rantai pasok dapat diukur melalui


(33)

perhitungan biaya total rantai pasok terdiri dari penjumlahan harga di tingkat petani, biaya transportasi dan pengemasan, biaya mark-up, serta pemborosan akibat barang usah dan biaya kehilangan dalam transportasi. Penelitian yang dilakukan oleh Beamon (1996) menyatakan bahwa pengukuran kinerja rantai pasok dapat melalui pendekatan biaya, respon konsumen, activity time, dan fleksibilitas. Contoh pengukuran kinerja rantai pasok yang menggunakan pendekatan biaya adalah penelitian Dilana (2013) yang meneliti kakaodengan analisis marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya pada setiap saluran pemasaran dalam struktur rantai pasok biji kakao. Hasil penelitiannya menunjukan marjin pemasaran terendah dan nilai farmer’s share tertinggi yaitu pada saluran ke-4 (petani-pedagang pengumpul tingkat kabupaten-pedagang besar) dengan nilai marjin pemasaran sebesar Rp 929/kg dan nilai farmer’s share sebesar 94.37 persen. Sedangkan nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar pada saluran ke-3 (petani-pedagang pengumpul tingkat kecamatan-pedagang besar) yaitu sebesar 4.68.

Kebanyakan pengukuran kinerja rantai pasok selalu dikaitkan dengan pengukuran efisiensi rantai pasok organisasi tersebut(Chakravarthy, 1986; Venkatraman dan Ramanujan, 1986; Eccles, 1991; Kaplan dan Norton, 1992; Brown dan Leverick, 1994) dan kebanyakan studi rantai pasok pada agro-industri dipengaruhi banyak teori ekonomi yang berfokus pada kebijakan publik, struktur organisasi, serta daya saing industry padahal rantai pasok lebih fokus kepada efisiensi, efektivitas, operasiona, serta kebutuhan konsumen (Pereira dan Csillag, 2004). Sistem pengukuran rantai pasok haruslah sesuai dengan sistem yang sedang berjalan, bisa jadi satu rantai pasok dan rantai pasok lainnya memiliki perbedaan sistem pengukuran (Beamon, 1996). Penentuan kinerja rantai pasok sendiri dapat diambil berdasarkan evaluasi dan perkembangan rantai pasok, perkembangan prosedur dan model dari rantai pasok, isu-isu terkait yang mempengaruhi rantai pasok, dan juga teknik umum yang telah ditentukan(Beamon, 1996)

Nilai Tambah

Nilai tambah merupakan nilai tangible yang ditambahkan dan jasa intangible yang dipasok (Hines 2004). Nilai tambah berhubungan dengan prinsip rantai pasok karena dengan penambahan nilai pada suatu produk pertanian maka komoditas tersebut akan lebih mudah diterima oleh pasar yang luas(Coltrain, Barton and Boland, 2000). Amanour dan Boadu (2004) konsep nilai tambah didalam bisnis merupakan bagian dari rantai pasok karena aktiftias yang dilakukan didalam penambahan nilai produk sampai saat ini dilakukan juga oleh rantai pasok pada perusahaan downstream.Wood (1978) mengilustrasikan penambahan nilai pada produk pertanian dengan mencontohkan seseorang yang membeli bahan baku mentah kemudian orang tersebut memproduksi suatu barang dan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi Lal (1999) memberikan ilustrasi mengenai perhitungan nilai tambah di level industry, menurutnya ada dua jenis nilai tambah yaitu gross value added dan net value added. Gross value added adalah nilai dari output dikurangi nilai dari konsumsi antara yang dihasilkan barang dan jasa, sementara net value added adalah nilai


(34)

dari output dikurangi nilai antara dan konsumsi fix capital. Menurut USDA (2002) konsep nilai tambah pada pertanian adalah saat sebuah barang mendapatkan perlakukan baik pada saat proses produksi ataupun penyaluran kepada konsumen sehingga dengan aktiftias tersebut konsumen mengeluarkan uang lebih banyak untuk barang yang dibelinya.

Pada penelitian Hayami, Kawagoe, dan Marooka (1985) nilai tambah didalam pemasaran diukur dengan menghitung nilai yang dibuat pada tahap produksi tertentu oleh faktor–faktor produksi, termasuk nilai tangible yang ditambahkan melalui transformasi bahan mentah, tenaga kerja dan barang modal, serta nilai intangible yang ditambahkan melalui modal intelektual (menggunakan aset pengetahuan) dan hubungan pertukaran (yaitu hubungan kerja sama yang dibangun). Pada penelitian Hayami (1985) yang berjudul Agricultural Marketing and Processing in Upland Java perhitungan nilai tambah digunakan untuk mengetahui kontributsi kegiatan pemasaran kedelai didalam produksi kedelai, hasilnya menunjukan bahwa kegiatan pemasaran mampu menyumbang 50% dari pendapatan buruh serta memiliki intensitas hingga 60% dari total pekerjaan yang terdapat pada produksi kedelai.

Menurut Dilana (2013) peningkatan nilai tambah pada produk primer komoditas pertanian menjadi salah satu langkah agar dapat meningkatkan pendapatan petani terutama di wilayah pedasaan. Dalam penciptaan nilai tambah Cowan (2002) mencontohkan bahwa dari tahun 1910 hingga 1990, kondisi farmer’s share di Amerika Serikat terhadap produk domestik bruto (PDB) sistem pangan keseluruhan turun dari 21 persen menjadi lima persen, sementara sumbangan input pertanian dan subsektor distribusi meningkat dari 13 persen menjadi 30 persen. Hal ini menunjukkan adanya peran penciptaan nilai tambah produk pertanian pada strategi pembangunan ekonomi pedesaan di masa depan. Contoh tersebut merupakan kesempatan bagi produsen untuk menciptakan nilai tambah dan mengambil keuntungan dari komoditasnya untuk diproses secara lokal. Dengan begitu diharapkan peningkatan nilai tambah akan memberikan keuntugnan bagi petani, usaha pedesaan, dan masyaratak pedesaan. Selain itu, dengan bukti yang diutarakan Cowan maka penciptaan nilai tambah dipercaya akan mampu meningkatkan peerekonomian karena penciptaan nilai tambah artinya penyerapan tenaga kerja yang baru dan pada ujungnya diharapkan akan meningkatkan perekonomian di tempat tersebut.

Menurut Dilana (2013) sebelummemutuskan untuk memasuki pasar baru harus terlebih dahulu menentukan bisnisyang paling menguntungkan. Hal ini sangat penting bagi orang-orang miskin yangmemiliki sumber daya yang terbatas sehingga tidak memilih pasar yang salah.Pendapatan, biaya, dan marjin harus dibandingkan dalam rantai nilai (keduasaluran pemasaran yang berbeda dan rantai produk yang berbeda). Selain itu jugapotensi scaling up dan investasi yang diperlukan harus diselidiki.Setelah memetakan rantai nilai langkah berikutnya adalah untukmempelajari aspek-aspek tertentu dari rantai nilai secara mendalam. Ada berbagaipilihan aspek yang dapat dijabarkan lebih lanjut diantaranya adalah biaya danmarjin. Analisis biaya dan marjin harus dipertimbangkan untuk mengetahuiapakah rantai nilai merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat miskin danapakah rantai nilai dapat diakses bagi masyarakat miskin.


(35)

3. KERANGKA PEMIKIRAN Rantai Pasok

Baatz (1995) menyatakan bahwa secara konseptual rantai pasok merupakan keseluruhan proses dari bahan mentah mulai diproduksi hingga menjadi produk yang habis masa pakainya. Golicicetal(2002) menyatakanbahwa rantai pasok harus dapat menjelaskan hubungan yang mendasar diantara para anggota dalam sebuah organisasi dari mulai transaksi simple hingga transaksi yang sangat kompleks. Håkånsson and Snehota (1995) menyatakan bahwa dua perusahaan tidak saja berususan dengan hal-hal yang menyangkut dua perusahaan tersebut namun juga terdapat berbagai macam urusan yang menyangkut hal lain, begitu juga dengan rantai pasok. Rantai pasok pun berhubungan satu dengan lainnya, maka menurut Vorst(2006) rantai pasok yang tergabung ke dalam jaringan yang kompleks disebut Food Supply Chain Network. Menurut Vorst(2006) untuk menganalisis rantai pasok yang kompleks dibutuhkan “bahasa” yang dapat mendeskripsikan rantai pasok, pihak yang terlibat, proses, produk, sumberdaya, manajemen, hubungan antar atribut dan hal lain yang yang tidak terdefinisi. Lambert dan Cooper (1998) mengidentifikasi, menganalisis, dan mengembangkan empat elemen yang dapat digunakan untuk menganalisis rantai pasok, yaitu struktur jaringan, rantai proses bisnis, manajemen rantai dan jaringan, dan sumberdaya rantai. Untuk dapat lebih jelas mengetahui hubungan antara satu elemen dan elemen lain dapat dilihat pada gambar 4.

Struktur jaringan rantai pasok menjelaskan batas dari jaringan rantai pasok dan mendeskripsikan anggota utama dan anggota pendukung didalam jaringan rantai pasok, selain itu juga jaringan rantai pasok akan menjelaskan peran-peran dari para anggota rantai pasok, serta menjelaskan mengenai konfigurasi kelembagaan yang terdapat didalam jaringan. Rantai proses bisnis digunakan untuk menjelaskan aktivtias bisnis yang didesain memproduksi output baik berupa produk fisik ataupun servis dan informasi. Aktivtias bisnis yang dijelaskan pada rantai proses bisnis yaitu pengembangan produk, pemasaran, keuangan, dan manajemen hubungan pelanggan. Manajemen jaringan dan rantai merupakan kordinasi dari struktur manajemen jaringan yang memfasilitasi lembaga-lembaga terkait didalam rantai pasok untuk membuat keputusan dengan menggunakan sumberdaya rantai sehingga tujuan FSCN dapat tercapai. Menurut Lambert dan Cooper (1998) ada dua komponen manajerial didalam rantai pasok yang pertama adalah komponen teknik dan fisik dan yang kedua adalah komponen manajerial dan perilaku. Sumberdaya rantai diguakan untuk memproduksi suatu produk dan mengantarkan kepada pelanggan, sumberdaya rantai terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, dan sumberdaya teknologi.

Fungsi dan Biaya Pemasaran

Menurut Kotler (2003) ada tiga fungsi pokok pemasaran yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan yang terdiri atas fungsi pembelian dan fungsi penjualan, fungsi fisik merupakan semua kegiatan yang berlangsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kepuasan tempat, bentuk dan waktu. Kegiatan yang termasuk ke dalam fungsi


(36)

fisik adalah kegiatan penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas merupakan semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Untuk menjalankan fungsi-fungsi pemasaran akan diperlukan beberapa jasa pendukung lainnya, antara lain jasa pengolahan pasca panen (seperti pembersihan, penyimpanan, pemeliharaan) dan jasa transportasi.

Gambar 4. Kerangka Analisis Rantai Pasok Berdasarkan FSCN Sumber : Vorst (2006)

Dalam proses pemasaran produk pertanian dari produsen hingga konsumen akhir, terjadi peningkatan nilai tambah baik berupa nilai guna, tempat maupun waktu. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan fungsi produksi sebelum produk pertanian sampai ke konsumen. Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pertanian sebagaimana telah dijelaskan terdahulu antara lain mencakup fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitasi

Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Dalam melakukan fungsi penjualan, produsen harus memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk dan waktu yang diinginkan konsumen atau partisipan pasar dari rantai pemasaran berikutnya. Selain itu fungsi pertukaran juga menjadi titik penentuan harga pasar. Sesuai dengan karakteristik konsentrasi distributif pada sistem tataniaga produk pertanian, fungsi pembelian umumnya diawali dengan aktivitas mencari produk, mengumpulkan dan menegosiasikan harga.

Fungsi penyimpanan adalah turunan dari fungsi fasilitas, dimana menurut Subagya (1988) penyimpanan juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan dan usaha untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang

Manajemen Rantai dan Jaringan Proses Bisnis Rantai Pasok Struktur Rantai Pasok Sumber Daya Rantai Pasok Sasaran Rantai Pasok Kinerja Rantai Pasok Hubungan proses bisnis rantai, Pola distribusi, Anggota rantai pendukung, Perencanaan & penelitian kolaboratif, Jaminan identitas merek, Aspek risiko, danTrust building

Anggota-anggota dalam FSCN

Peran setiap anggota FSCN yang terlibat

Pemilihan mitra

Kesepakatan kontraktual

Sistem transaksi

Dukungan pemerintah

Kolaborasi rantai pasok

Sumber daya fisik

Sumber daya teknologi

Sumber daya manusia


(37)

persediaan di dalam ruang penyimpanan. Fungsi penyimpanan erat kaitannya didalam penyelenggaraan rantai pasok, dimana agar produk pertanian tertentu selalu tersedia dalam volume transaksi dan waktu yang diinginkan harus dilakukan pengelolaan stok produksi tahunan maka fungsi penyimpanan memainkan peran didalam kasus ini.

Fungsi transportasi ada karena biaya transportasi telah memainkan peran yang luar biasa dalam pemasaran produk pertanian. Biaya transportasi terendah dari lokasi produksi akan menentukan keunggulan komparatif suatu produk pertanian. Untuk jenis komoditi tertentu, truk mungkin menjadi alat transportasi dengan tarif termurah, namun untuk komoditi lain bisa jadi kereta apilah yang termurah. Dengan demikian bila dalam tata niaga mungkin saja terjadi disparitas harga produk pertanian yang sama, sebagai akibat perbedaan jarak antara sentra produksi dan lokasi penjualan (pasar). Disparitas harga tersebut besarnya adalah harga pasar dikurangi biaya transport. Dari uraian di atas diperoleh informasi bahwa biaya transportasi tidak hanya dipengaruhi oleh perbedaan lokasi produksi, tetapi juga lokasi agroindustri di mana produk pertanian diolah lebih lanjut. Selain itu fungsi transportasi berhubungan timbal balik dengan fungsi pengolahan dalam hal ukuran dan kualitas produk yang ditransaksikan.

Fungsi sortasi dan grading pada umumnya terjadi karena harga produk semakin mahal seiring dengan semakin tingginya kualitas dan ukuran produk, maka produsen dan penjual berusaha untuk tidak memasarkan produk dengan ukuran terkecil dan kualitas terendah agar dapat menutup biaya pemasaran. Hal ini merupakan alasan pentingnya ditentukan ukuran dan tingkatan kualitas produk pertanian (grade) sebelum dipasarkan. Standarisasi dan grading merupakan fungsi penunjang keberhasilan atau kelancaraan terjadinya transaksi. Standarisasi merupakan kegiataan yang meliputi penetapan standar untuk produk, pengolahan produk dalam rangka penetapan standar-standar yang sesuai dan bila perlu dilakukan tindakan pengorganisasian sesuai dengan standar yang ditetapkan (Assauri, 1987). Apabila produk mempunyai kualitas, ukuran dan jenis yang seragam serta nilai ciri-ciri sesuai dengan standar yang ditetapkan, maka konsumen dapat membeli produk tersebut dengan kepercayaan bahwa produk itu sesuai dengan kebutuhannya (Assauri, 1987)

Fungsi pembiayaan mencakup fungsi pengelolaan sumber daya dan pengalokasian dana, termasuk pengaturan syarat-syarat penbayaran atau kredit yang dibutuhkan dalam rangka usaha untuk memungkinkan barang atau produk mencapai konsumen akhir. Kegiatan fungsi-fungsi pemasaran yang memerlukan dana atau pembiayaan adalah pembelian atau penjualan, biaya penggudangan, biaya angkut pengepakan, sortasi dan kegiatan promosi (Assauri, 1987)

Fungsi penanggungan resiko dalam pemasaran barang dan jasa terjadi karena selalu terdapat sejumlah resiko yang tidak dapat dihindarkan. Resiko yang terdapat dalam pemasaran mencakup penurunan mutu, kehilangan, kerusakan, perpanjangan kredit dan perubahan penawaran atau permintaan yang semuanya berdampak terhadap harga. Resiko ini disebabkan pergerakan atau pemindahan barang melalui saluran pemasaran yang sering memakan waktu (Assauri, 1987). Fungsi informasi dibutuhkan dalam menetapkan keputusan yang akan diambil untuk pemasaran suatu produk. Informasi pasar mengenai produk apa dan produk yang bagaimana yang diinginkan oleh kelompok konsumen yang ingin dilayani serta berapa besar jumlahnya akan sangat menentukan keberhasilan pemasaran


(38)

produk yang dihasilkan. Untuk dapat menentukan produk yang akan dihasilkan dengan tepat maka dibutuhkan informasi, baik dari konsumen maupun informasi tentang perusahaan pesaing. Informasi pasar yang dikumpulkan berupa data–data yang harus dinilai atau dianalisis dan diimplementasikan untuk dapat melihat situasi dan kondisi yang dihadapi dalam pemasaran produk. Baik tidaknya hasil penganalisaan informasi pasar ditentukan oleh kelengkapan dan ketepatan data serta metode analisa yang digunakan. Keahlian tenaga penjual diuji dengan melihat kemampuan dalam menganalisa data dan informasi pasar (Assauri, 1987).

Saluran Pemasaran

Apabila rantai pasok menurut Baatz (1995) merupakan keseluruhan proses dari bahan mentah mulai diproduksi hingga menjadi produk yang habis masa pakainya, maka saluran pemasaran merupakan bagian dari rantai pasok karena menurut Bayuswastha (1982) mendefinisikan saluaran pemasaran sebagai sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan bagi pasar tertentu dan Bovee dan Thill (1992) menyatakan bahwa saluran pemasaran adalah sebuah sistem yang dirancang untuk memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yang terdiri dari orang-orang dan organisasi yang didukung oleh berbagai fasilitas, peralatan, dan sumber daya informasi. Sehingga saluran pemasaran fokus pada menggerakan barang dari produsen hingga ke konsumen seperti pendapat Levens (2010) yang mendefinisikan saluran pemasaran sebagai jaringan semua pihak yang terlibat dalam menggerakkan produk atau jasa dari produsen ke konsumen atau pelanggan bisnis dan Kotler dan Armstrong (2008) menjelaskan bahwa dalam menyediakan produk dan jasa bagi konsumen, anggota saluran menambah nilai dengan menjembatani kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan utama yang memisahkan barang dan jasa dari mereka yang akan menggunakannya.

Bentuk saluran pemasaran yang paling sederhana adalah pemasaran langsung atau langsung atau zero-level channel, dimana produsen sekaligus memasarkan produk atau jasanya langsung kepada konsumen. Sedangkan pemasaran tidak langsung melibatkan satu atau lebih perantara antara produsen dan konsumen. Jenis pemasaran tidak langsung terdiri dari 1-level channel, 2-level channel, dan 3-level channel. Dengan adanya perantara tersebut efisiensi dan efektivitas saluran pemasaran akan tercapai. Pemasaran langsung maupun tidak langsung dapat dilakukan dengan cara business to consumer (B2C) atau business to business customers (B2B).


(39)

Gambar 5.Pemasaran Produk Non Pertanian (a) dan Produk Pertanian (b)

Sumber : Sudiyono (2004)

Berdasarkan Gambar 5(a) diketahui bahwa pada pemasaran produk non pertanian lokasi produsen terkonsentrasi dan barang yang dihasilkan dapat direncanakan secara cermat, mengenai jumlah, mutu dan waktu pembuatan barang. Produsen produk non pertanian pada umumnya menghasilkan barang dalam jumlah besar, sehingga produsen dapat mendistribusikannya. Sifat distributif diindikasikan dengan penurunan volume yang ditransaksikan dari produsen sampai ke konsumen. Dari gambar 5(b) terlihat bahwa produk pertanian dihasilkan secara terpisah dan umumnya berupa bahan mentah yang masih memerlukan pengolahan lebih lanjut serta dalam jumlah yang relatif sedikit sehingga untuk menutup biaya-biaya yang diperlukan lembaga pemasaran dalam melakukan fungsi-fungsi pemasaran diperlukan volume perdagangan yang cukup besar.

Gambar 6.Saluran Pemasaran

Sumber: Kottler (2003)

Menurut Kotler dan Armstrong (2008), saluran pemasaran terdiri dari saluran pemasaran langsung (direct marketing channel) dan saluran pemasaran tidak langsung (indirect marketing channel). Saluran pemasaran langsung tidak mempunyai tingkat perantara, sehingga perusahaan menjual langsung kepada konsumen. Sedangkan saluran pemasaran tidak langsung terdiri dari satu atau


(40)

beberapa perantara seperti pedagang grosir dan pedagang pengecer.Untuk lebih detail mengenai saluran pemasaran barang industri menurut Kottler dapat dilihat pada gambar 6

Sifat produk dan jasa, karakteristik konsumen, persaingan, dan lingkungan bisnis akan mempengaruhi bentuk saluran pemasaran. Dalam mendistribusikan produknya tentunya saluran pemasaran memiliki strategi, pada distribusi jagung tidak ada strategi khusus dari produsen, karena sebagai produsen petani masih bersifat konvensional sehingga pengorganisasian jual beli antar kelembagaan masih sendiri sendiri, menurut Nurmalina (2010) strategi tersebut disebut saluran pemasaran konvensional karena pada pengorganisasian secara konvensional, setiap anggota bekerja secara sendiri-sendiri (independent), membeli dan menjual produk dan jasa. Saluran ini dirgulasikan sendiri tergantung kekuatan dalam masar Logistik

Menurut Levens (2010) dalam Nurmalina (2010) logistik adalah koordinasi semua aktivtias yang berkaitan dengan transportasi atau pengiriman produk atau jasa yang terjadi dalam ruang lingkup sebuah perusahaan atau organisasi tunggal. Menurut Jonsson (2008), logistik dapat dideskripsikan sebagai ilmu aliran bahan yang efisien. Logistik menjadi istilah umum untuk seluruh aktifitas yang secara bekerjasama memastikan bahan dan produk agar berada di lokasi dan waktu yang tepat sehingga menciptakan utilitas tempat dan waktu.

Logistik terdiri dari outbond logistic, inbound logistic, dan reverse logistic dimana outbond logistic mengontrol pergerakan produk dari titik produksi ke konsumen, Inbound logistic mengontrol pergerakan produk dari titik pemasok ke manufaktur, sedangkanreverse logistic adalah metode untuk mengembalikan produk atau jasa untuk dikembalikan, diperbaiki,atau didaur ulang. Ketiga metode tersebut menangani aliran produk, aliran uang, dan aliran informasi didalam pengaliran sebuah produk atau jasa. Aliran produk mengalir dari pemasok bahan baku, perusahaan manufaktur, penjual perantara, dan konsumen akhir. Sedangkan aliran uang mengalir berlawanan arah dari konsumen perantara ke perusahaan manufaktur dan berakhir di pemasok. Kesemua metode yang yang berada di dalam sistem logistik ini terintegrasi didalam manajemen rantai pasok. Efisiensi Pemasaran

Efisiensi dalam industri pangan merupakan ukuran yang sering digunakan untuk dari kinerja pasar. Kohls dan Uhl (2002). Peningkatan efisiensi merupakan tujuan petani, perusahaan, dan konsumen karena dengan efisiensi maka kinerja pemasaran lebih baik sedangkan apabila efisiensi menurun berarti kinerja lebih buruk. Maka, apabila sistem pemasaran dikatakan efisien berarti kegiatan pemasaran yang dilakukan telah berhasil mengoptimalkan input tanpa mengurangi kepuasan konsumen. Menurut Dilana (2012) terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam efisiensi pemasaran terdiri dari dua cara yang meliputi efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional yaitu situasi dimana biaya pemasaran berkurang tanpa harus mempengaruhi sisi output rasio efisiensi (Kohls dan Uhl 2002). Dalam kajian efisiensi operasional, analisis yang sering dijadikan acuan efisiensi operasional adalah analisis margin pemasaran dan farmer’s share (Asmarantaka 2012). Efisiensi harga merupakan kemampuan sistem pasar untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan mengkoordinasikan produksi


(41)

pangan serta proses pemasaran sesuai dengan keinginan konsumen (Kohls dan Uhl 2002) pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Asmarantaka (2012) bahwa efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya yang efisien, sehingga apa yang diproduksi produsen harus sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen sehingga dapat disimpulkan bahwa efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat puas atau responsif terhadap harga (price signals) yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar di tingkat petani. Efisiensi pemasaran dalam penelitian ini dapat dilihat dari indikator margin pemasaran dan farmer’s share, serta benefit cost ratio

Analisis Marjin Pemasaran Pada Rantai Pasok

Marjin pemasaran merupakan perbedaan atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen.Marjin pemasaran dapat dikatakan sebagai nilai jasa mulai dari produsen hingga ke konsumen.Menurut Kohl dan Uhls (2002) Marjin merupakan bagian dari harga konsumen yang tersebur pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat.Sedangkan Dahl dan Hammond menggambarkan marjin sebagai perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran dengan harga di tingkat produsen.Nilai marjin pemsaran merupakan perkalian antara marjin pemasaran dengan volume produk terjual.

Menurut Asmarantaka (2012), konsep margin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen dengan harga di tingkat konsumen akhir atau di tingkat retail. Pengertian margin ini adalah pendekatan keseluruhan dari sistem pemasaran produk pertanian, mulai dari tingkat petani sebagai produsen primer sampai produk tersebut tiba di tangan konsumen akhir, dansering dikatakan Margin Pemasaran Total (MT). Pengertian margin juga sering dipergunakan untuk margin di tingkat lembaga pemasaran (Mi) yang merupakan selisih harga jual di tingkat lembaga ke-i dengan harga belinya. Dengan demikian MT = jumlah dari Mi (i = 1,2,...,n adalah perusahaan atau lembaga-lembaga yang terlibat).Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti ketersediaan fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan, pengelolaan, risiko kerusakan, dan lain lain (Limbong dan Sitorus, 1987).

Untuk lebih jelas mengenai marjin pemasaran dapat dilihat pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa margin pemasaran total (MT) merupakan selisih antara harga di tingkat konsumen akhir (Pr) dengan harga di tingkat petani (Pf). Adapun nilai margin pemasaran (value of marketing margin) adalah selisih harga pada dua tingkat lembaga pemasaran dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Analisis Farmer’s Share Pada Rantai Pasok

Menurut Asmarantaka (2012) farmer’s share merupakan porsi dari nilai yang dibayar konsumen akhir yang diterima oleh petani dalam bentuk persentase.Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa apabila aktifitas nilai tambah utilitas pada suatu komoditas banyak dilakukan oleh petani maka nilai farmer’s share yang diperoleh lebih tinggi. Menurut Asmarantaka (2012) efisiensi pemasaran harus memperhitungkan fungsi-fungsi pemasaran yang ada, biaya-biaya dan atribut produk. Meskipun nilai farmer’s share rendah, margin pemasaran tinggi, dan saluran pemasaran panjang, namun terdapat peningkatan kepuasan konsumen maka sistem pemasaran tersebut efisienPenanganan terhadap


(42)

fungsi-fungsi pemasaran yang kurang efisien dapat menyebabkan biaya pemasaran menjadi lebih tinggi, karena tujuan lembaga pemasaran adalah mencari keuntungan, maka biaya pemasaran itu dilimpahkan pada produsen atau konsumen dengan menekan harga di tingkat produsen dan meningkatkan harga di tingkat konsumen.Kondisi ini mengakibatkan perbedaan harga (marjin) antara konsumen dan produsen. Menurut Kohls dan Uhl (2002) analisis tentang producer’s share bermanfaat untuk mengetahui bagian harga yang diterima oleh produsen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen dalam setiap saluran pemasaran.

Keterangan :

Df : Permintaan di tingkat petani (derived demand)

Dr : Permintaan di tingkat konsumen akhir (primary demand) Sf : Penawaran di tingkat petani (primary supply)

Sr : Penawaran di tingkat konsumen akhir (derived supply) Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen akhir

Qrf : Jumlah produkdi tingkat petani dan konsumen akhir Margin pemasaran : Pr – Pf

Gambar 7. Kurva MarjinPemasaran

Sumber : Hammond dan Dahl (1977)

Untuk lebih jelas mengenai marjin pemasaran dapat dilihat pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa margin pemasaran total (MT) merupakan selisih antara harga di tingkat konsumen akhir (Pr) dengan harga di tingkat petani (Pf). Adapun nilai margin pemasaran (value of marketing margin) adalah selisih harga pada dua tingkat lembaga pemasaran dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Analisis Farmer’s Share Pada Rantai Pasok

Menurut Asmarantaka (2012) farmer’s share merupakan porsi dari nilai yang dibayar konsumen akhir yang diterima oleh petani dalam bentuk persentase.Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa apabila aktifitas nilai tambah utilitas pada suatu komoditas banyak dilakukan oleh petani maka nilai farmer’s share yang diperoleh lebih tinggi. Menurut Asmarantaka (2012) efisiensi pemasaran harus memperhitungkan fungsi-fungsi pemasaran yang ada, biaya-biaya dan atribut produk. Meskipun nilai farmer’s share rendah, margin pemasaran tinggi, dan saluran pemasaran panjang, namun terdapat peningkatan kepuasan konsumen maka sistem pemasaran tersebut efisienPenanganan terhadap


(1)

87

LAMPIRAN

Lampiran 1. Rincian Input Tenaga Kerja Proses Pemipilan Pada Petani Jagung di Provinsi Jawa Barat

Input Tenaga Kerja

Jumlah Pekerja

Jumlah Jam Pekerja

Jumlah Hari Bekerja

Total Jam

Total Biaya

(Orang) (Jam) (Hari) (Rp) (Rp)

Biaya Pengeringan 5 6 4 120 800000

Biaya Pemipilan 5 6 4 120 800000

Jumlah 1600000

Upah Rata-Rata Per

Jam 6666.7

Lampiran 2. Rincian Input Tenaga Kerja dan Sumbangan Input Lain Pada Pedagang Pengumpul Desa

Input Tenaga Kerja Harga

Jumlah Pegawai

Lama

Bekerja Total Biaya

(Rp) (Orang) (Jam/Periode) (Jam) (Rp)

Tenaga Angkut 100000 2 10 20 200000

Tenaga Pengeringan 50000 3 10 30 150000

Tenaga Kebersihan Gudang 50000 3 10 30 150000

Supir 50000 1 8 8 50000

Pergudangan 50000 2 10 20 100000

Total 650000

Sumbangan Input Lain Satuan Biaya Jumlah

(Rp/Periode) (Rp/Kg)

Biaya Informasi Pasar

dan Penanggungan Resiko - 200000 – 900000 10- 45 Ongkos Transportasi

1

Truk 200000 20

Penyusutan 50Kg 150000 15


(2)

88

Lampiran 3a. Rincian Input Tenaga Kerja dan Input Sumbangan Lain Koperasi

Input Tenaga Kerja Harga

Jumlah Pegawai

Lama

Bekerja Total Biaya (Rp) (Orang) (Jam/Periode) (Jam) (Rp)

Tenaga Angkut 100000 4 10 40 400000

Tenaga Penimbangan 50000 2 10 20 100000

Tenaga Sortir dan

Grading 50000 4 10 40 200000

Supir 500000 1 10 10 500000

Pergudangan 50000 2 10 20 100000

Total 130000

Sumbangan Input Lain Satuan Biaya Jumlah

(Rp/Periode) (Rp/Kg)

Processing di Silo (Rp/Periode) 4000000 200

Ongkos Transportasi 1 Truk 500000 25

Penyusutan 100Kg 300000 15

Total 4800000 240

Lampiran 3b. Rincian Input Tenaga Kerja dan Input Sumbangan Lain Pedagang Pengumpul Kecamatan

Input Tenaga Kerja Harga Jumlah Pegawai

Lama

Bekerja Total Biaya

(Rp) (Orang) (Jam/Periode) (Jam) (Rp)

Tenaga Angkut 100000 8 10 80 800000

Tenaga Penimbangan 50000 2 10 20 100000

Tenaga Pengeringan 50000 4 10 40 200000

Supir 100000 1 40 40 400000

Pergudangan 50000 2 10 20 100000


(3)

89

Lampiran 3b (Lanjutan). Rincian Input Tenaga Kerja dan Input Sumbangan Lain Pedagang Pengumpul Kecamatan

Sumbangan Input Lain Satuan Biaya Jumlah

(Rp/Periode) (Rp/Kg)

Penanggungan Resiko Rp/Kg 1000000 50

Ongkos Transportasi 4 Engkol 1000000 50

Informasi Pasar Rp/Kg 1000000 100

Penyusutan 100Kg 300000 15

Total 3300000 215

Lampiran 4. Rincian Input Tenaga Kerja dan Input Sumbangan Lain Pedagang Besar Tingkat Kabupaten di Provinsi Jawa Barat

Input Tenaga Kerja Harga

Jumlah Pegawai

Lama

Bekerja Total Biaya

(Rp) (Orang) (Jam/Periode) (Jam) (Rp)

Tenaga Angkut 100000 4 10 40 400000

Tenaga Penimbangan 50000 6 10 60 300000

Tenaga Sortir dan

Grading 50000 6 10 60 300000

Supir dan kenek 500000 2 10 20 500000

Tenaga Pengeringan 50000 4 10 40 200000

Pergudangan 50000 4 10 40 200000

Total 1900000

Sumbangan Input Lain Satuan Biaya Jumlah

(Rp/Periode) (Rp/Kg)

Informasi Pasar - 2000000 -

Penanggungan Resiko 1000000 50

Pajak dan Administrasi Perusahaan 600000 30

Ongkos Transportasi 1 Truk 500000 25

Penyusutan 100Kg 300000 15


(4)

RINGKASAN

AMERINA I FAJAR. Analisis Rantai Pasok Jagung di Jawa Barat. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan ANDRIYONO KILAT ADHI.

Jagung saat ini merupakan komoditas strategis yang yang dibutuhkan industri pakan ternak. Permasalahannya tidak semua jagung dalam negeri memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan pabrikan. Pabrik pakan ternak saat ini kesulitan mendapatkan jagung dalam negeri sehingga pabrik pakan menggunakan jagung impor sebagai bahan baku pakan, data lima tahun terakhir menunjukan kenaikan pada jumlah impor jagung yang signifikan. Dalam pemenuhan kebutuhan jagung nasional , Jawa Barat memiliki andil besar karena pabrik pakan berlokasi di Jawa Barat serta Jawa Barat juga merupakan salah satu penghasil jagung terbesar di Indonesia. Maka, untuk dapat memenuhi kebutuhan pabrik pakan dan menghentikan impor dibutuhkan optimalisasi rantai pasok pemasaran jagung. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN), menganalisis kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat, dan menganalisis aktivitas nilai tambah yang dilakukan oleh para anggota rantai pasok di Jawa Barat, sehingga hasil dari penelitian dapat dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi optimalisasi rantai pasok jagung di Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat belum berjalan dengan baik. Sasaran pasar memiliki target yang jelas namun terdapat permasalahan dalam optimalisasi sasaran rantai pasok, yaitu petani petani tidak ditunjang dengan pengetahuan mengenai kualitas jagung yang baik. Penerapan manajemen dan jaringan dalam rantai pasok belum berjalan dengan baik,salah satunya dapat dilihat kesepakatan kontraktual antar lembaga pemasaran tanpa perjanjian tertulis. Kesepakatan tidak tertulis menimbulkan kesulitan dalam hal memprediksi jumlah jagung yang harus dijual kepada pabrik sedangkan pabrik memiliki aturan yang harus ditaati. Selain itu, dukungan pemerintah sebelumnya hanya fokus pada sarana fisik pada subsitem hilir, akibatnya pengawasan pada pemasaran jagung tidak diperhatikan. Sedangkan, pada sumberdaya rantai pasok ditemukan fakta bahwa modal masih menjadi kendala bagi pedagang desa serta koperasi padahal keduanya merupakan anggota yang berhubungan langsung dengan petani. Proses bisnis rantai pasok terkendala karena pada aliran produk jagung dari petani hingga PB belum terintegrasi dengan baik, belum ada siklus yang pasti sehingga waktu pengiriman ataupun kuota yang dikirim tidak bisa diprediksi dengan baik. Aliran informasi pada rantai pasok jagung memiliki kelemahan yaitu informasi ketersediaan jagung tidak terprediksi di tingkat PD dan PPK .Gambaran kondisi rantai pasok ini diharapkan dapat menjadi dasar rekomendasi perbaikan rantai pasok.

Pengukuran kinerja rantai pasok yang dilakukan dengan pendekatan efisiensi pemasaran menunjukan bahwa rantai pasok masih belum mencapai kinerja optimal, dua dari tiga saluran pemasaran memiliki nilai rasio biaya dan keuntungan rendah walaupun marjin dan farmer’s share bernilai tinggi. Analisis nilai tambah menunjukan bahwa aktivitas yang dilakukan petani dapat memberikan nilai tambah lebih besar dibandingkan anggota rantai pasok lainnya,


(5)

maka anggota rantai pasok lain harus melakukan aktifitas-aktifitas pemasaran dengan lebih efisien.


(6)

SUMMARY

AMERINA I FAJAR. Corn Supply Chain Analysis in West Java Province. Supervised by RITA NURMALINA and ANDRIYONO KILAT ADHI.

Nowadays, corn is a strategic commodity needed by animal feed industries. As staple commodities for animal feed, corn has to meet industries requirement in order fulfill industries demand. The production of corn is increasing by 9% in 2010-2012 periods, however the data shows in last five years there are increase in the significant number of import. West Java is one of largest corn produce in Indonesia, furthermore animal feed industries are located in West Java Province. However, feed mills industries are currently difficulty getting corn in the area. The problem has to be solved in order to fulfillment corn feed mill and stop raising of corn import value, so that optimizing supply chain marketing is the answer. The purpose of this study is to analyze the condition of the corn supply chain in West Java using Food Supply Chain Network (FSCN), analyzing the performance of maize supply chain in West Java, and analyze the value-added activities performed by members of the supply chain in West Java, so that it will able to provide recommendations for corn supply chain optimization in West Java.

The result shows that the condition of the corn supply chain marketing in West Java has not been going well . The development goal has problem because the farmers are not supported by the knowledge of products quality that feed mills required. Chain and network management has not been going well since system of

transaction doesn’t involve a written agreement, so the members can’t predict the

amount of corn should be sold to feed mills. Government support tended to physical facilities without consider marketing sight, so the government had lack on marketing oversight. As well as chain and network management, supply chain resources need improvement hence the fact shows that capital is still an obstacle for village collectors and cooperatives, so they can’t develop many resources because these capital strains, village collectors and cooperative are the channels that give support to farmer directly though. Business process has some strains in product and information flowing. Production flowing has not integrated yet in farmer, village collector, and bazaar collector so delivery time and quota of corn is unpredictable. Information flow has weakness because the corn stock is unpredictable at farmer, village collector, and inter-city collector level. The information given has pictured out corn supply chain in West Java and hopefully could help for supply chain improvements.

In this research , qualitative analysis also supported by supply chain performance measurement through marketing efficiency approach, the result show that supply chain has not yet reach optimum performance it is indicated by more marketing channels have lower value in benefit and cost ratio, the marketing margin and farmer’s share have a good value though. In contrary with qualitative results, value added analysis shows that the most valuable activity achieved by farmers, so that other members should make their activities more efficient to gain more value added.

Keywords: Corn, Marketing, Supply Chain, Value-Added.