BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakter Perdesaan pada Hulu DAS Kalibekasi
Salah satu syarat yang harus dilakukan dalam menyusun rencana pengelolaan suatu kawasan adalah mengetahui karakter dari kawasan tersebut. Hal
ini bermanfaat untuk mengetahui bentuk-bentuk pengelolaan yang sesuai dan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan
identifikasi karakter perdesaan yang mencakup, karakter lanskap, karakter sosial, dan karakter spiritual.
5.1.1 Karakter Lanskap Karakter lanskap yang dikaji pada penelitian ini meliputi tanah dan
topografi, iklim, hidrologi, keanekaragaman hayati vegetasi dan satwa, serta potensi keindahan lanskap pada masing-masing lokasi.
5.1.1.1 Tanah dan Topografi Tanah pada seluruh lokasi merupakan kompleks latosol merah
kekuningan, latosol cokelat podsolik BPDAS, 2007. Menurut Soepraptohardjo 1976, jenis tanah latosol cokelat memiliki air cukup tersedia, kadar N, P dan K
cukup tersedia, dan peningkatan produksi dapat dilakukan dengan pemupukan. Pada lokasi penelitian lokasi dengan jenis tanah ini dijadikan lahan produksi
seperti untuk sawah atau tegalan. Tanah latosol pada daerah hulu umumnya berupa latosol cokelat merah yang memiliki sifat fisika yang baik dan merupakan
tanah yang paling tua. Sementara podsolik memiliki tektur berpasir hingga pasir kuarsa. Data jenis tanah dan kemiringan lahan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Data Tanah dan Kelerengan
Lokasi Jenis Tanah
Kemiringan lahan Desa Karang Tengah Kp.
Cimandaladan Kp. Landeuh Kompleks latosol merah kekuningan
latosol cokelat podsolik 15-25 dan
40 Desa Kadumanggu
Kp. Leuwijambe Kompleks latosol merah kekuningan
latosol cokelat podsolik 8-15
Sentul City Cluster BGH
Kompleks latosol merah kekuningan latosol cokelat podsolik
0-25 Sumber Data: BPDAS, 2007
Berdasarkan USDA dalam Hardjowigeno dan Widiatmika 2007, penggolongan kelas lahan dilakukan secara kualitatif dan didasarkan pada
kemampuan lahan untuk memproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang tanpa memperhatikan sifat kimia
tanah. Ditinjau dari klasfikasi ini, Desa Karang Tengah dapat digolongkan ke dalam Lahan Kelas Kemampuan LKK IV dan VI dan VII. LKK IV terdapat
pada daerah-daerah yang miring atau berbukit 15-30 dan atau telah mengalami erosi agak berat 75 lapisan atas telah hilang. Pada LKK IV apabila ingin
digunakan untuk tanaman semusim diperlukan perlakuan khusus, seperti pembuatan teras atau pergiliran dengan tanaman penutup tanahmakanan
ternakpupuk selama 3-5 tahun, sedangkan untuk tanah yang berdrainase buruk perlu dibuat saluran-saluran drainase. Kampung Landeuh termasuk dalam
katagori ini. Namun pada kenyataannya, praktik pertanian konservatif masih belum optimal dilakukan oleh petani. Pergiliran tanaman masih jarang dilakukan.
Sepanjang tahun lahan akan ditanam dengan tanaman yang sama, misalnya tanaman singkong yang menjadi produk utama desa. Sementara itu pemakaian
pupuk anorganik juga mendominasi dalam pertanian, sehingga kualitas tanah terus menurun. Penurunan ini secara nyata dapat dilihat dari berkurangnya hasil panen
yang dirasakan masyarakat. Padahal dalam konsep keberlanjutan sistem pertanian konservatif menjadi salah satu poin utamanya.
Sementara LKK VI dan VII adalah lahan-lahan yang berada pada gunung- gunung dan sekitarnya, termasuk sebagian Kampung Cimandala. LKK VI adalah
lahan yang terletak pada lereng agak curam 30-45, danatau kedalaman yang sangat dangkal 25cm, serta telah mengalami erosi berat 25 lapisan atas
telah hilang. LKK VI tidak sesuai untuk tanaman pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Penutupan lahan harus terus
dijaga, bila dihutankan, penebangannya harus selektif. Apabila dipaksakan untuk tanaman semusim maka harus dibuat teras bangku. Namun pada lokasi penelitian
metode ini belum dilakukan secara optimal. LKK VII adalah tanah yang berada pada lereng curam 45-65 danatau telah mengalami erosi sangat berat, erosi
parit danatau berbatu-batu. LKK VII hanya sesuai untuk padang rumput dan dihutankan. Pada lokasi penelitian, kawasan Gunung Pancar yang termasuk dalam
katagori ini memang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, berupa Taman Wisata Alam.
Desa Kadumanggu dapat digolongkan pada kelas lahan LKK III. LKK III adalah tanah yang terletak pada lereng dengan agak miringbergelombang 8-
15, dan atau kedalaman tanah dangkal 25-50 cm, peka erosi atau telah mengalami erosi yang agak berat. Pada LKK III, penggunaan lahan untuk
tanaman semusim masih sesuai namun membutuhkan tindakan pengawetan tanah yang khusus, seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran tanaman
dengan penutup tanah dengan waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, dan usaha-usaha lain untuk memelihara dan menjaga kesuburan tanah. Pada
kenyataannya, seperti pada Kampung Landeuh, praktik pertanian pada hulu bawah masih belum optimal menerapkan praktik pertanian berkelanjutan, terutama dalam
usaha menjaga kesuburan tanahnya. Sementara itu, kawasan Sentul City dengan kemiringan lahan 0-25
termasuk kawasan datar hingga berbukit. Untuk pembangunan permukiman, jenis tanah dan kemiringan sangat berpengaruh dalam penentuan lokasi. Pembangunan
pemukiman terbaik pada lahan dengan kemiringan lahan 8 USDA dalam Hardjowigeno dan Widiatmika, 2007. Di atas batas tersebut perlu dilakukan
stabilisasi dan penyesuaian. Oleh karena itu, bentuk penyesuaian dengan cut and fill yang masih terjadi harus diminimalkan. Beberapa dampak negatif yang
ditimbulkan dari metode cut and fill, antara lain merubah kestabilan tanah dan menghilangkan keanekaragaman hayati yang terdapat di atasnya. Selain itu, lahan
dengan kemiringan curam harus dibiarkan dengan tutupan vegetasi, sebagai usaha pengawetan lereng.
Hulu DAS Kalibekasi secara umum merupakan daerah yang rawan erosi. Menurut BPDAS 2007, besar erosi aktual adalah 271 tonHatahun sedangkan
pada Desa Kadumanggu sebesar 168,01 tonHatahun. Sementara Badan Geologi KESDM 2007 juga menyatakan kawasan Kampung Cimandala merupakan
daerah yang mempunyai potensi tinggi terjadinya gerakan tanah. Pada tahun 2007 terjadi longsor pada Desa Karang Tengah. Salah satu titik longsor adalah lereng
perbukitan Gunung Pancar pada Kampung Cimandala. Penyebabnya adalah
kemiringan lereng yang curam serta tanah yang menjadi kering dan retak pada musim kemarau. Pada musim hujan, saat curah hujan tinggi, aliran air permukaan
masuk ke dalam retakan sehingga retakan menjadi besar. Akibatnya, bobot masa tanah bertambah sehingga kuat gesernya meningkat. Untuk mengatasi ini butuh
dilakukan konservasi lereng, seperti sistem pertanian dengan teras, penanaman tanaman dengan perakaran yang dapat mengikat tanah pada lereng-lereng yang
gundul, serta pembangunan dinding penahan. Sementara itu dari segi sosial, kewaspadaan harus ditingkatkan terutama pada musim hujan tiba. Di Desa Karang
Tengah telah dibuat papan pengarah untuk mitigasi bencana oleh PMI, namun sosialisasinya harus lebih sering dilakukan.
5.1.1.2 Iklim Kawasan hulu DAS Kalibekasi berada pada wilayah iklim tropis. Ciri-ciri
iklim tropis menurut Simond dan Starke 2006 adalah memiliki temperatur tinggi dan relatif konstan, kelembaban dan curah hujan tinggi, angin yang bertiup sepoi-
sepoi namun beresiko terhadap angin topan dan badai, penutupan vegetasi mulai dari yang jarang sampai hutan belantara, penyinaran matahari yang tinggi,
serangga yang melimpah serta rawan terhadap permasalahan jamur. Ciri-ciri tropis ini akan berpangaruh pada kondisi lanskap secara keseluruhan, baik dari
aspek lahan, bangunan maupun manusia yang berada di dalamnya. Di samping itu, karakter lanskap seperti penutupan lahan dan keberadaan badan air juga
berpengaruh dalam pembentukan iklim mikro pada masing-masing lokasi penelitian. Secara kuantitatif, suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Data Suhu dan Kelembaban Lokasi penelitian
Lokasi Suhu Rata-rata
o
C Kelembaban rata-rata
Karang Tengah Kp. Cimandala dan Kp. Landeuh
24-30 58-82
Kadumanggu Kp. Leuwie Jambe
24,9-26,1 76-89,1
Sentul City BGH
24,55-26,75 76,86-87,91
Sumber Data: TWA Gunung Pancar, AMDAL Sentul Residence 2004, ANDAL Sentul City 2009
Berdasarkan standar kenyamanan Frick dan Suskiatno 1998, kondisi iklim pada lokasi penelitian masih dapat digolongkan ke dalam keadaan yang
nyaman apabila ditinjau dari hubungan suhu dan kelembabannya Gambar 8. Keberadaan vegetasi terutama yang dapat berfungsi sebagai pohon peneduh juga
membantu dalam pembentukan iklim mikro yang nyaman. Namun lebih spesifik, suhu pada atas terasa lebih sejuk daripada titik sampel lainnya. Diduga hal ini
disebabkan oleh keberadaan hutan di sekelilingnya serta ketinggian lokasi.
Gambar 8 Hubungan Suhu, Kelembaban, dan Angin Sumber: Frick dan Sukiyatno, 1998
5.1.1.3 Hidrologi Pada daerah hulu atas, sumber air utama adalah mata air Gambar 9a.
Mata air banyak tersebar di sekitar desa, seperti yang terdapat pada Gunung Pancar, Gunung Paniisan, dan Gunung Astana. Setiap rumah tangga mengalirkan
air dari mata air dengan selang atau paralon ke rumahnya. Sebagian besar keluarga memiliki mata air masing-masing, sedangkan beberapa keluarga lainnya
berbagi satu mata air untuk beberapa rumah tangga. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang baik. Kepemilikan mata air pada setiap rumah tangga
mendorong pemiliknya untuk menjaga mata air tersebut karena merupakan sumber air utama untuk keluarganya. Penanaman beberapa vegetasi untuk
menjaga kualitas dan kuantitas air dilakukan masyarakat di sekitar mata airnya masing-masing. Masyarakat menyatakan kegiatan ini dilakukan untuk melindungi
mata airnya dari kekeringan. Usaha konservasi air lain yang dilakukan adalah menanami bagian pinggir perkampungan yang gundul. Bentuk kearifan ini secara
kolektif telah menjaga mata air dan mendukung keberlanjutan sumber daya air di bagian hulu DAS Kalibekasi.
Pada bagian hulu tengah dan bawah sumber air bersih berasal dari sumur gali dengan pompa atau timba Gambar 9b. Bentuk sumber air ini tidak
ditemukan pada hulu atas karena karakter lanskapnya yang berbatu. Fluktuasi kuantitas air menjadi masalah yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat bagian
hulu tengah dan bawah. Masalah terutama timbul pada saat musim kemarau. Muka air tanah pada sumur biasanya turun dan masyarakat harus menggali lebih
dalam untuk mendapatkan air. Pada sektor pertanian kekurangan air juga kerap terjadi. Sebaliknya, pada suatu kasus pada tahun 2007 dan 2010, Kampung
Landeuh yang merupakan daerah hulu tengah mengalami banjir. Sebelumnya, banjir hampir tidak pernah terjadi di daerah ini. Banjir diakibatkan meluapnya
Sungai Cipancar. Banjir menggenangi sawah dan beberapa rumah warga selama beberapa hari. Kejadian ini merupakan suatu bukti nyata dari bergesernya
keseimbangan alam pada hulu DAS Kalibekasi. Salah satunya diakibatkan jumlah ruang terbuka hijau yang mempunyai fungsi untuk menyerap dan menyimpan air
pada hulu DAS Kalibekasi yang berkurang akibat konversi menjadi area terbangun.
Pada Sentul City, sumber air untuk keperluan warga kota diperoleh dari PDAM. Sebenarnya Sentul City memiliki pengelolaan air mandiri yang dikenal
dengan WTP Water Treatment Plant. Sumber air yang digunakan pada WTP berasal dari Sungai Cibarengkok yang dijernihkan dengan proses kimia dan fisika.
Namun, sistem pengelolaan air ini sekarang hanya dimanfaatkan sebagai cadangan saat krisis air. Padahal dari aspek pengelolaan air, WTP merupakan
salah satu potensi bagi Sentul City dalam mewujudkan konsep kota berlanjut. Penggunaan sistem WTP dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya
dari tempat lain, serta dalam skala lebih besar, apabila dipadukan dengan pengelolaah limbah cair dapat membentuk suatu sistem recycle dalam pengelolaan
sumberdaya air.
a Mata air pada hulu atas b Sumur pada hulu bawah Gambar 9 Bentuk Sumber Air
Di samping badan air yang menjadi sumber air, terdapat beberapa bentuk badan air yang lain pada lokasi penelitian. Bentuk badan air ini dibedakan
menjadi kolam, sungai, empang, dan danau. Pada hulu atas, Kampung Cimandala, badan air didominasi oleh sungai dan kolam. Air dari mata air pada Gunung
Astana, Pancar, dan Paniisan mengalir ke Sungai Cimandala dan sungai lainnya di Kampung Cimandala. Karakter fisik sungai di hulu atas adalah berbatu dan
berbadan relatif sempit. Aliran sungai pada hulu atas relatif lebih deras disebabkan oleh kemiringan lahan yang lebih curam Gambar 10a. Sementara itu,
pada hulu tengah dan bawah sungainya memiliki karakteristik fisik tidak berbatu dan lebih lebar. Secara visual, warna air lebih keruh dari pada bagian hulu atas.
Kekeruhan mengindikasikan kandungan sedimen yang dibawa dari hulu di atasnya Gambar 10b.
a Sungai pada hulu atas b Sungai pada hulu tengah Gambar 10 Karakter Sungai
Di hulu atas, lahan pada sisi sungai bantaran masih banyak yang ditutupi dengan vegetasi alami. Pada beberapa bagian dimanfaatkan untuk pertanian
terutama padi. Menurut Maryono 2008, keberadaan penutupan lahan yang alami pada bantaran sungai memiliki korelasi yang positif terhadap kehidupan flora dan
fauna di dalam sungai. Sisa-sisa vegetasi yang mati dan jatuh ke dalam sungai dapat menjadi sumber energi bagi flora dan fauna serta menambah keheterogenan
kecepatan air dan kedalaman muka air. Vegetasi bambu dari jenis bambu tali Gigantochloa apus Bl.Ex Schult.f.Kurz. adalah jenis yang banyak ditemukan
di bantaran sungai. Keberadaan bambu juga bermanfaat sebagai penahan erosi akibat arus sungai. Akar bambu yang kuat dapat menahan tanah pada sisi sungai.
Di samping itu, untuk mempertahankan dinding sungai pada beberapa segmen, masyarakat hulu atas menerapkan sistem beronjong batu Gambar 11a.
Batu pecah sebagai material utamanya dapat ditemukan dengan mudah pada hulu atas. Artinya, masyarakat pada hulu atas telah memanfaatkan material lokal untuk
mengatasi masalah lingkungan. Hal ini merupakan salah satu poin positif dalam menerapakan konsep keberlanjutan dari aspek ekologi. Secara tradisional praktik
ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal masyarakat. Sementara di sisi keilmuan, pemanfaatan beronjong batu merupakan suatu bentu eco-engineering.
Eco-engineering merupakan suatu teknik rekayasa yang memanfaatkan faktor ekologi untuk penyelesain suatu masalah Maryono, 2008. Manfaat yang
diperoleh dari penggunaan sistem beronjong batu, selain sebagai penahan erosi adalah vegetasi dapat tetap tumbuh pada celah-celah batu. Perpaduan ini akan
meningkatkan kekuatan ikatan batu dan tebing, dan dapat menyediakan tempat hidup bagi flora dan fauna pada sungai. Namun terdapat pula beberapa bagian
sungai yang mengalami erosi. Salah satu yang terberat berada pada Sungai Cipancar pada Kampung Landeuh Gambar 11b. Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan segera permasalahan ini. Penggunaan material beronjong batu serta konservasi secara vegetatif dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
a Konservasi dengan material lokal b Erosi pada Sungai Cipancar
Gambar 11 Kondisi Dinding Sungai pada Lokasi Penelitian Pada hulu tengah penggunaan lahan sepanjang bantaran sungai merupakan
pemukiman dan vegetasi yang berupa talun bambu, kebun campuran, maupun areal pertanian. Semakin ke hulu bawah, ruang terbuka bantaran sungai semakin
sedikit sedangkan jumlah pemukiman semakin bertambah. Pada lokasi penelitian hulu bawah, Kampung Leuwijambe, beberapa sungai bahkan mati akibat dari
beberapa pembangunan fisik dan permasalahan sampah. Selain itu, kolam merupakan bentuk badan air yang banyak ditemukan di
bagian hulu. Biasanya kolam berada dalam pekarangan masyarakat. Kolam dimanfaatkan sebagai tempat memelihara ikan untuk konsumsi sendiri.
Keberadaan kolam pada rumah merupakan bentuk agroforestri sederhana. Secara lebih spesifik dapat disebut sebagai agrosilvofishery pada skala pekarangan.
Agrosilvofishery merupakan teknologi pemanfaatan lahan di mana tegakan pohon berumur panjang, tanaman pangan, dan perikanan diusahakan pada petak lahan
yang sama dalam suatu ruang dan waktu Arifin et al. 2009. Di dalam praktik agroforestri dapat terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya.
Pada hulu bawah ditemukan bentuk badan air yang khas yaitu empang yang memanjang. Empang ini sebelumnya merupakan leuwi danau buatan yang
memiliki mata air di dasarnya. Namun seiring waktu, leuwi ini disekat sehingga menjadi empang yang berderet memanjang. Empang dimanfaatkan sebagai MCK,
tempat memelihara ikan, dan tempat pembuangan limbah tapioka. Akibat dijadikan tempat pembuangan limbah, empang terpolusi sehingga menjadi bau
dan turun kualitas airnya.
Pada Sentul City, bentuk badan air yang ditemukan adalah sungai dan danau. Keberadaan sungai dan danau dimanfaatkan untuk kebutuhan cadangan air
melalui WTP. Di samping itu, sungai dan danau pada Sentul City juga dimanfaatkan sebagai area rekreasi dan elemen estetika dalam lanskap kotanya.
Beberapa gambar bentuk badan air pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.
a Kolam pada hulu atas b Kolam pada hulu tengah
c Empang pada hulu bawah d Danau pada Sentul City
Gambar 12 Bentuk Badan Air pada Lokasi Penelitian 5.1.1.4 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati adalah keberagaman kehidupan pada dunia dan pola alam yang membentuknya. Keanekaragaman hayati meliputi rentang yang
luas akan spesies, variasi genetik dan ekosistem pada suatu tempat Newman Jennings, 2008. Keanekaragaman hayati khas pada setiap bentuk lanskap. Pada
lokasi penelitian dapat dilihat perbedaan bentuk keanekaragaman hayati pada lanskap perdesaan dan perkotaan. Pada skala yang lebih kecil, dapat dilihat pula
keanekaragaman hayati yang berbeda berdasarkan ketinggian lokasi.
Flora Pada umumnya vegetasi pada lokasi penelitian tersebar pada berbagai
penggunaan lahan yaitu hutan, lahan pertanian dan berbagai bentuk sistem agroforestri seperti pekarangan home garden, kebun campuran mix garden,
dan talun forest garden. Pada setiap penggunaan tata lahan dapat ditemukan variasi jenis tanaman yang berbeda-beda.
Tutupan lahan berupa hutan hanya terdapat pada hulu atas, yaitu Taman Wisata Alam Gunung Pancar seluas 477 Ha yang meliputi hutan alam
pegunungan, hutan tanaman dan semak belukar. Tipe vegetasi hutan alam terdapat di lereng sampai puncak Gunung Pancar seluas 15 Ha dan memiliki
keanekaragaman yang lebih tinggi. Pada hutan alam, jenis yang mendominasi adalah rasamala Altingia Excelsa, huru Quercus sp., beringin Ficus
Benjamina, puspa Schima walisii, saninten Castanopsis argantea,dan jamuju Podocarpus imbricartus. Di samping itu terdapat vegetasi lain seperti beberapa
jenis epifit juga seperti anggrek, paku sarang burung Asplenium nidus, dan paku tanduk rusa Platicherium coronarium dan beberapa jenis liana yang menempel
pada pohon. Hal ini dapat menunjukkan masih tingginya keanekaragaman hayati pada kawasan hutan alam Gunung Pancar. Sementara itu, tipe vegetasi hutan
tanaman yang menempati lahan seluas 160 Ha dan ditanam pada 19821983 terlihat lebih homogen. Jenis vegetasinya yang mendominasi adalah tanaman
pinus Pinus merkusii. Selain pinus juga terdapat tanaman sengon Albizia falcataria, kayu afrika Maesopsis emanii, dan meranti Shorea sp. Kawasan
Gunung Pancar ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh pemerintah sehingga penjagaan kelestariannya lebih ketat. Hal ini baik dalam usaha menjaga
keanekaragaman hayati pada daerah hulu DAS Kalibekasi ini. Beberapa tanaman pada kawasan Gunung Pancar disajikan pada Gambar 13.
a Beringin pada hutan alam bKadaka yang menempel pada pohon
c Pinus pada hutan tanaman Gambar 13 Vegetasi pada Gunung Pancar
Pada lahan pertanian, vegetasi yang dapat ditemukan antara lain padi, singkong, dan sayur mayur. Tanaman padi dan sayur mayur hanya terdapat pada
beberapa bagian desa. Biasanya padi yang diusahan oleh petani atau pemilik sawah hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya sendiri,
sedangkan masyarakat lain harus membeli beras yang diproduksi di luar kawasan. Secara umum produksi padi pada daerah hulu belum dapat memenuhi kebutuhan
masyarakatnya. Tanaman singkong Manihot uttilisma yang ditanam pada lahan kering mendominasi lanskap pertanian pada daerah hulu. Berdasarkan RTRW
2005-2025 Kabupaten
Bogor, Kecamatan
Babakan Madang
memang direncanakan sebagai kawasan pertanian lahan kering. Terdapat beberapa varietas
tanaman singkong yang ditemukan antara lain varietas apui, kuning, mentega, sampo bodas, sampo iding, odang, sapipuru, gebang, apui manggu, lengka, dan
salingen. Keanekaragaman tingkat varietas ini berhubungan dengan kenyataan bahwa tapioka yang berbahan dasar singkong merupakan komoditas pada ketiga
desa. Selain untuk dijual dalam bentuk tapioka, masyarakat memanfaatkan
singkong untuk konsumsi sendiri, baik umbi maupun daunnya sebagai sayuran. Bahkan batangnya juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Pada pekarangan terdapat berbagai jenis tanaman. Tanaman ini berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi tanaman hias, tanaman penghasil
pati, tanaman buah, tanaman sayur, tanaman industri, tanaman bumbu, dan tanaman lainnya untuk kayu bakar, dsb Arifin et al. 2001. Pada bagian hulu
atas, keanekaragaman didominasi oleh tanaman untuk produksi buah, sayur, dan penghasil pati. Namun semakin ke bawah tanaman mulai didominansi oleh
tanaman hias. Salah satu penyebabnya adalah makin ke bawah pengaruh urbanisasi pengkotaan semakin besar. Tanaman produksi semakin berkurang
pada daerah terurbanisasi sedang dan tinggi Arifin, Sakamoto, Chiba, 1997. Pada perdesaan hulu DAS Kalibekasi tanaman hias, buah, dan sayur yang sering
ditemukan pada pekarangan adalah bunga lipstik Malvavicus arboreus, singonium Singonium sp., opiopogon Ophiopogon sp., jambu biji Psidium
guajava, mangga Magnifera indica, durian Durio ziberanthus, dan cabai rawit Capsicum frutescens. Daftar jenis tanaman lengkap yang terdapat pada
pekarangan pada lokasi penelitian dan fungsinya disajikan pada Lampiran 2. Sementara itu pada cluster BGH tanaman produksi hanya ditemukan pada
beberapa rumah yang pemiliknya mempunyai hobi berkebun. Biasanya lahan kosong di belakang rumah dijadikan lahan menanam tanaman produksi,
sedangkan taman depan rumah dikhususkan untuk estetika. Secara umum masyarakat Sentul City hanya menanam tanaman hias pada taman depan rumah.
a Bunga lipstik b Singonium c Ophiopogon
d Jambu biji e Mangga f Durian g Cabai rawit Gambar 14 Vegetasi pada Pekarangan
Pada kebun campuran, tanaman yang banyak ditemukan adalah tanaman buah dan tanaman industri. Kebanyakan jenisnya merupakan tanaman yang juga
ditanam pada pekarangan. Namun terdapat beberapa tanaman yang khas ditanam pada kebun campuran. Pada hulu atas dan tengah dapat ditemukan ki sambang
Excoecaria cochinchinensis Lour, picung Pangium edule, dan sedangkan pada hulu bawah banyak ditemukan menteng Baccaurea sp. dan kecapi Sandoricum
koetjape. Selain itu, pada setiap lokasi penelitian dapat ditemukan tutupan lahan
berupa kebun bambu. Beberapa jenis yang ditanam adalah bambu gombong, bambu krisik, bambu tali Gigantochloa apus Bl.Ex Schult.f.Kurz., bambu
bitung Dendrocalamus asper, bambu andong Gigantochloa pseudoarundiaceae Steudel Widjaja, dan bambu hitam Gigantochloa atroviolacea Widjaja
Gambar 15. Biasanya tanaman bambu ditanam di pinggir sungai atau dibudidayakan oleh masyarakat sekitar pada kebun bambu. Bambu biasanya
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari, membuat peralatan rumah tangga, dijual, maupun sebagai bahan membangun rumah. Empat jenis
bambu yang memiliki nilai penting adalah bambu tali, bambu petung, bambu ori, dan bambu hitam Frick 1996. Tiga dari empat jenis tersebut berada pada lokasi
penelitian dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Apabila dibandingkan, hulu bawah memiliki jenis bambu yang lebih banyak dari pada hulu tengah dan atas.
a B. Gombong b B. Haur c B. Tali d B. Hitam Gambar 15 Keanekaragaman Bambu pada Lokasi Penelitian
Talun banyak ditemukan di daerah hulu atas. Masyarakat memanfaat kawasan hutan yang terletak pada gunung untuk bercocok tanam. Tanaman yang
biasanya ditanam adalah kopi Coffea sp.. Pada sekitarnya dapat dilihat tanaman- tanaman tahunan lain yang tumbuh secara alami. Tanaman tahunan ini
dimanfaatkan pula oleh masyarakat sebagai penghasil buah, bahan baku obat- obatan, dan kayu. Produk ini sebagian dijual, namun sebagian besar dimanfaatkan
untuk konsumsi pribadi. Sementara itu, tanaman pisang Musa paradisiaca merupakan tanaman
yang khas pada lokasi penelitan karena tersebar hampir pada seluruh lokasi, baik pekarangan, kebun campuran, maupun talun. Keanekaragaman yang tinggi dari
tanaman ini menyebabkannya menjadi komoditas pertanian pada kawasan hulu DAS Kalibekasi. Varietas yang ditemukan antara lain, pisang papan, kepok,
bedong, raja, uli, nangka, ambon, lampung, angleng, lumut, sereh, tanduk, kapas, kulo, ampyang, dan palembang Gambar 16. Hulu atas merupakan lokasi yang
memiliki keanekaragaman jenis pisang paling tinggi, semakin ke bawah jenis dan jumlah pisang semakin berkurang. Hal ini terkait dengan semakin berkurangnya
lahan yang dapat ditanami. Produk tanaman pisang biasanya hanya berupa buah segar yang dijual masyarakat lewat pengumpul pada masing-masing kampung.
Padahal sebenarnya keanekaragaman varietas pisang ini dapat dimanfaatkan untuk diversifikasi produk. Misalnya terdapat beberapa varietas pisang yang tidak enak
untuk dimakan, namun berpotensi untuk dibuat keripik pisang atau camilan lainnya. Apabila keanekaragaman hayati ini dapat dimanfaatkan dengan optimal
maka dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di
samping itu, dengan melihat manfaat dari setiap jenis, maka masyarakat juga dapat lebih menghargai dan mendukung pelestariaannya.
a P. Nangka b P. Ambon c P. Angleng
d P. Papan
e P. Uli f P. Raja g P. Kulo
h P. Lumut Gambar 16 Keanekaragaman Varietas Pisang
Pada hulu atas, pandan wangi Pandanus sp. menjadi tanaman penutup tanah yang khas dan dominan Gambar 17a. Pandan wangi dapat ditemukan
hampir di seluruh area kampung, bahkan pada kebun bambu yang biasanya sulit ditumbuhi tanaman pada lantai kebunnya. Kegiatan produksi pandan dalam
masyarakat hulu atas telah dilakukan sejak lama. Pandan dijual kepada pengumpul yang disalurkan pada pabrik-pabrik yang memproduksi minuman
sebagai penguat aroma. Di sisi lain keberadaan pandan memberi ciri khas wangi pandan pada kampung. Pada hulu bawah terdapat pula vegetasi khas, yaitu kirai
Metrxylon rumphii Gambar 17b. Vegetasi ini dimanfaatkan sebagian masyarakat sebagai bahan atap rumah dan dijual ke pasar. Vegetasi ini terdapat
pada lahan basah berupa empang. Tanaman ini tidak ditemui pada lokasi lainnya. Keberagaman bentuk lanskap dapat menambah keanekaragaman hayati pada suatu
kawasan.
a Pandan pada hulu atas b Kirai pada hulu bawah Gambar 17 Vegetasi Khas pada Lokasi Penelitian
Pada banyak budaya keragaman hayati memiliki nilai yang penting karena telah berkontibusi dalam kehidupan masyarakatnya, baik dalam bentuk jasa
maupun barang yang dihasilkannya Jennings dan Newman, 2008. Hubungan ini seharusnya dapat meningkatkan perasaan memiliki dan tanggung jawab
masyarakat pada lingkungan di mana keanekaragaman hayati ini terus berkembang. Pada akhirnya, seharusnya masyarakat dapat berkomitmen dalam
melestarikannya agar manfaatnya tetap dapat dirasakan generasi berikutnya. Pada Sentul City yang sebagai besar merupakan lanskap buatan manusia,
keanekaragaman vegetasi sebagian besar dapat ditemukan pada lanskap jalan, dan lanskap permukiman. Menurut Ameliawati 2010, Sentul City memiliki indeks
keragaman sedang yang terdiri dari 86 spesies pohon dan perdu yang tersebar pada berbagai jenis area. Berbeda dari perdesaan, fungsi estetika, arsitektural dan
ameliorasi iklim menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan tanaman. Tanaman yang ditemukan pada Sentul City terdiri dari tanaman display, tanaman
pembatasborder dan tabirscreen, tanaman pereduksi bau, tanaman pereduksi polutan, tanaman pengarah serta tanaman peneduh. Pada BGH, tanaman pada tepi
jalan didominasi oleh tanaman Ki Hujan Samanea saman yang dililit dengan Sirih Belanda Scindapsus Aureus Gambar 18a. Sementara pada taman rumah,
tanaman hias mendominasi jenis yang ditanam oleh pemiliknya Gambar 18b. Berdasarkan aspek keanekaragaman hayati, Ameliawati 2010 berpendapat, salah
satu langkah yang perlu diambil Sentul City dalam mendukung konsep ecocity adalah meningkatkan pemilihan jenis tanaman yang berasal dari lokal. Hal ini
merupakan upaya untuk mengonservasi tanaman-tanaman lokal agar tetap lestari.
Di samping itu, tanaman lokal akan lebih toleran terhadap kondisi iklim atau tanah setempat sehingga minim perlakuan dan dampak. Di Sentul City, dari 84
spesies pohon yang teridentifikasi terdapat 39 spesies 46,43 pohon yang berasal dari Indonesia atau disebut sebagai tanaman lokalnative dan 45 spesies
pohon sisanya 53,57 merupakan eksotik karena berasal dari luar negeri Ameliawati, 2010.
a Trembesi pada lanskap jalan b Tanaman hias pada taman rumah Gambar 18 Tanaman pada BGH
Satwa Keanekaragaman satwa pada lokasi penelitian terdiri dari satwa liar dan
satwa yang diternak oleh masyarakat. Beberapa satwa liar yang terdapat di lokasi penelitian adalah burung, musang, dan ular, kupu-kupu, capung dan berbagai
serangga lain. Sedangkan untuk hewan yang diternak adalah sapi, kambing, kerbau, ayam,dan bebek.
Pada hulu atas, di kawasan hutan Gunung Pancar masih banyak terdapat satwa-satwa liar seperti lutung, owa Hylobates Moloch dan surili Presbytis
comata. Di samping itu, hewan liar lain seperti babi hutan Sus scrofa dan jenis ular terkadang juga masuk ke wilayah perkampungan. Pada hulu tengah dan
bawah hewan liar besar jarang ditemukan. Satwa liar yang masih banyak ditemukan pada semua lokasi adalah burung dan serangga. Kehadiran dari satwa-
satwa liar merupakan akibat dari beberapa faktor antara lain masih tersedianya habitat dan pakan bagi satwa-satwa tersebut. Salah satu satwa liar yang diamati
pada lokasi penelitian adalah burung. Keberadaan burung pada suatu kawasan dipengaruhi oleh keberadaan habitat, makanan, maupun tempatnya untuk
beraktivitas Ameliawati, 2010. Biasanya berupa keberadaan tanaman-tanaman yang berupa ruang terbuka hijau.
Burung yang dapat ditemukan di ketiga lokasi desa berdasarkan metode RABA dan wawancara dengan masyarakat antara lain saeran Discusrus
macrocereus, kutilang Pynonotus crafer, tekukur Sterotopelia chinensis, kepinis Canthium lucidulum, jogjog Pyconotus goiavier, kulaces, kwik-kwik,
srigunting Dicrurus paradiseus, kacamata Zosterops palpebrosa, pipit yang sering ditemukan di sawah-sawah, dan burung gereja. Burung gereja merupakan
burung yang dominan ditemukan pada lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan burung gereja merupakan salah satu spesies yang dapat beradaptasi sangat baik
pada kawasan pertanian, perkotaan, dan pinggiran kota Marsh, 2005. Di samping itu, di dalam hutan pada Gunung Pancar juga ditemukan
beberapa spesies burung seperti tarungkut-ungkut, angkok. celadik, sepah merah, janggut, gelatik, srigunting dan elang. Keberadaan elang merupakan suatu
indikator bahwa keadaan ekologi pada daerah itu masih baik. Hal ini karena elang merupakan konsumen puncak dari suatu rantai makanan, sehingga keberadaan
elang dapat menggambarkan kelengkapan tingkat trofik di bawahnya. Pada Sentul City juga ditemukan keragaman burung. Sentul city memiliki
keanekaragaman burung sebanyak 12 jenis pada tahun 2000, namun jumlah ini bertambah menjadi 28 jenis pada tahun terakhir TIM ITB, dalam Ameliawati,
2010. Hal ini diduga karena bertambahnya jenis tanaman-tanaman yang dapat menjadi pakan tanaman berbunga, berbiji, berbuah dan habitat bagi burung di
kawasan Sentul City Ameliawati, 2010. Sementara pada BGH, masyarakat mengakui masih dapat dengan mudah menemukan musang, tupai, sesekali ular
pada lingkungan permukiman, terutama pada pohon-pohon yang ditanam pada lanskap jalan di dalam cluster.
Sementara itu, keberadaan hewan ternak ditemukan pada hulu atas, tengah, dan bawah. Hewan ternak di hulu atas didominasi oleh kambing. Kambing
merupakan hewan ternak yang secara turun temurun diusahakan warga. Kambing di Kampung Cimandala diternakkan dengan cara dikandangkan, sangat jarang
yang digembalakan. Kandang kambing biasanya berada pada pekarangan. Pakan kambing didapatkan warga dari tanaman-tanaman di sekitar desa selain
memanfaat sisa produksi singkong. Kambing dipelihara warga untuk menambah penghasilan, terutama dijual pada hari raya Idul Adha. Pada hulu tengah dan
bawah, ternak kambing jarang ditemukan. Pada beberapa rumah tangga, keluarga lebih memilih untuk memelihara ayam dan entok yang hasilnya dimanfaatkan
untuk konsumsi keluarga sendiri. Kerbau juga ditemukan pada lokasi penelitian dan dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian, terutama untuk membajak sawah.
Selain itu, pada kolam yang terletak di pekarangan maupun empang beberapa keluarga memelihara ikan yang juga dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi. Jenis
ikan yang dipelihara adalah ikan nila Cyprinus caprio dan ikan mas Oreochormis niloticus. Beberapa jenis hewan ternak disajikan pada Gambar 19.
a kambing b ayam
c ikan Gambar 19 Keragaman Hewan Ternak pada Lokasi Penelitian
5.1.1.5 Pola Lanskap Kampung Cimandala pada hulu atas dikelilingi oleh beberapa gunung
antara lain Astana, Paniisan, dan Gunung Pancar yang ditetapkan sebagai TWA. Bahkan akses menuju kampung harus melewati TWA ini terlebih dahulu.
Keadaan ini menyebabkan kampung ini menjadi agak terisolasi secara geografis. Suasana perkampungan tradisional Sunda masih kentara dirasakan pada kampung
ini. Pola pemukiman pada hulu atas adalah menyebar, tipe pemukimannya linear mengikuti jalan utama kampung dengan kerapatan rendah. Mata air yang banyak
disekitar pergunungan mengalir ke arah Sungai Cimandala dan satu sungai yang belum bernama. Kedua sungai ini, berada pada sisi desa yang kemudian
bergabung di Desa Wangun, di sebelah barat Kampung Cimandala. Persawahan padi yang jumlahnya relatif sempit berada menyebar dalam perkampungan.
Kebun singkong maupun kebun campuran masyarakat berada di sekitar perkampungan sampai batas kaki gunung. Talun juga ditemukan pada beberapa
bagian gunung. Pada Kampung Landeuh yang menjadi sampel hulu tengah, pola
pemukiman mengelompok dengan kepadatan yang tinggi. Pemukiman berpusat pada titik aktivitas, yaitu kantor desa. Pada bagian sisi perkampungan
dimanfaatkan sebagai lahan untuk produksi baik lahan basah dan lahan kering. Beberapa sungai mengalir pada sisi kampung Sungai Cipancar dan Cikeruh dan
adapula yang melintasi kampung Sungai Ciparigi. Kampung Leuwijambe yang merupakan sampel hulu tengah memiliki pola
lanskap yang sedikit berbeda. Hal ini dikarenakan oleh keberadaan dua jenis permukiman yaitu permukiman tradisional dan permukiman terencana
Perumahan Griya Alam Sentul. Walaupun terdapat dalam suatu kawasan yang sama namun keduanya memiliki karakter yang berbeda. Pada perkampungan
tradisional pola lanskapnya hampir sama dengan hulu tengah, permukiman yang tumbuh secara organik dan dikelilingi oleh areal untuk produksi, sedangkan pada
kawasan permukiman terencana, permukiman mengikuti pola grid. Sungai Citaringgul yang terdapat di sebelah timur desa menjadi batas alami dari kedua
jenis permukiman ini. Bahkan terdapat sebuah lapangan golf pada salah satu bagian sisi desa. Kesenjangan bentuk lanskap ini telah memberi pengaruh bagi
kelanjutan kawasan ini terutama apabila ditinjau dari aspek sosial. Sementara itu, pada cluster BGH di Sentul City, pola lanskap yang
ditemukan adalah pola pemukiman terencana. Permukiman berpola grid dan
jalanan yang berbentuk cul-de-sac. Selain berfungsi untuk keteraturan, pola ini berfungsi untuk memudahkan pengamanan pada cluster. Secara visual, pola
masing masing sampel lokasi disajikan pada Gambar 20.
a Perkampungan hulu atas b Perkampungan hulu tengah
c Perkampungan hulu bawah d Sentul City Gambar 20 Pola Ruang Lokasi Penelitian
Karakter sirkulasi juga merupakan elemen pembentuk perkampungan. Pada hulu atas hanya terdapat satu jalan utama yang membelah desa, sisanya
merupakan jalan setapak yang hanya dapat dilewati dengan jalan kaki, sedangkan beberapa juga dapat dilewati oleh motor. Jalan yang terbentuk biasanya berada
langsung pada sisi samping, depan atau belakang rumah karena dalam membangun rumah tidak ada orientasi yang spesifik. Sementara itu pada area
yang lebih jarang penduduk atau relatif jauh dari jalan utama, jalur sirkulasi dibentuk dengan memotong kebun campuran atau lahan pertanaman singkong.
Topografi yang berbukit membentuk banyak tanjakan dan turunan yang sepanjang jalan. Pada hulu tengah dan bawah sirkulasi terbentuk dari jalan utama dan jalan-
jalan setapak. Pada kedua lokasi ini jalan merupakan orientasi masyarakat dalam membangun rumah, sehingga sirkulasi dapat terdefinisi dengan jelas. Jalan
setapak pada hulu tengah dan bawah relatif lebih datar dan dapat dilalui oleh motor. Kedua pola sirkulasi disajikan pada Gambar 21.
a Pola Sirkulasi pada Hulu Atas
b Pola Sirkulasi Hulu Tengah dan Bawah Gambar 21 Pola Sirkulasi
Dalam skala yang lebih kecil, pekarangan merupakan salah satu bentuk penyusun lanskap perdesaan yang juga memiliki pola yang khas pada setiap
lokasi. Pekarangan adalah lahan yang ditanami di sekitar bangunan rumah yang berupa perpaduan antara tanaman semusim, tanaman tahunan, dan tanaman liar
dengan batas yang jelas. Di dalam pekarangan juga dapat diusahan peternakan maupun perikanan Abdoellah, 1985; Soemarwoto dan Christanty, 1985 dalam
Arifin et al. 1997. Pada lokasi penelitian, terdapat beberapa pola pekarangan
pada daerah hulu atas, tengah dan bawah. Pada rumah-rumah dengan pola tradisional elemen pekarangan seperti kandang kambing, jemuran, kolam, maupun
kamar mandi, tidak memiliki suatu pola yang tetap. Artinya letak elemen-elemen ini bersifat variatif, tergantung keinginan pemilik rumah dan lahan yang tersedia.
Namun berdasarkan lokasi penanaman terdapat setidaknya empat pola pekarangan.
1. Pekarangan dengan beberapa pohon buah atau industri serta tanaman hias daun sebagai pembatas. Pola ini ditemukan pada rumah dengan
luas rumah rata-rata kurang dari 100 m
2
. 2. Pekarangan dengan tanaman terkonsetrasi pada bagian kiri atau kanan
rumah, sedangkan sisi yang lain hanya berupa tanaman hias pembatas. Bagian depan rumah pada pola kedua jarang ditanami. Hal ini
menjadikan rumah lebih terbuka, dilihat dari jalan. 3. Pekarangan dengan tanaman pangan, sayur, obat, industri, maupun
hias berada di sekeliling rumah, baik depan, belakang maupun samping.
4. Pekarangan dengan pola penanaman yang lebih teratur pada bagian depan rumah, serta dominasi tanaman hias merupakan ciri yang kuat
pada pola keempat. Keempat pola divisualisasikan seperti pada Gambar 22.
a Pola 1 b Pola 2
a Pola 3 b Pola 4 Gambar 22 Pola Vegetasi pada Pekarangan
Sementara itu terdapat budaya pewarisan pada masyarakat Sunda yang menyebabkan pemanfaatan pekarangan menjadi lokasi pembangunan rumah
untuk anak yang baru menikah. Hal ini menyebabkan adanya kompleks rumah yang dihuni oleh suatu keluarga besar dalam satu lahan. Pada lokasi penelitian
terdapat dua pola perkembangan pembangunan rumah ini. Pertama adalah secara linear, yaitu ketika rumah anak dibangun di samping rumah orang tua. Rumah
orang tua dapat diapit oleh rumah anak, atau berada paling ujung. Bentuk kedua adalah pembangunan rumah baru yang tidak mempunyai pola tertentu.
Pembangunan rumah anak hanya didasarkan pada ketersediaan lahan. Orientasi setiap rumah pada kasus ini tidak memiliki pola tertentu. Namun, terdapat
peraturan yang diyakini, bahwa rumah orang tua tidak boleh dibelakangi oleh rumah anak-anaknya. Pola kompleks rumah keluarga disajikan pada Gambar 23.
a Pola Linear
bPola tidak beraturan Gambar 23 Pola Kompleks Rumah Keluarga
Apabila dilihat pada skala yang lebih luas, semua lokasi penelitian merupakan bentuk dari lanskap agroforestri. Lanskap agroforestri merupakan
suatu bentang alam berbasis DAS, dari hulu ke hilir, wilayah perdesaan hingga perkotaan di mana tata ruangnya terencana dengan baik secara tersegregasi
maupun terintegrasi menyusun permukiman, termasuk untuk jasa perdagangan dan penggunaan lainnya Arifin, 2010. Pada hulu atas, tengah, dan bawah
lanskap agroforestri yang lebih terintegrasi lebih mudah ditemukan. seperti pekarangan, kebun campuran, dan talun, di samping areal pertanian. Sementara
pada Sentul City dan sekitarnya bentuk agroforestri lebih bersifat tersegregasi, misalnya antara RTH pemukiman dan daerah pertanian disekitarnya. Menurut
Arifin 2009 penerapan bentuk agroforestri memiliki banyak keuntungan antara lain mengurangi laju perubahan tata guna lahan, mengurangi degradasi
lingkungan, memelihara dan meningkatkan diversitas spesies, mengurangi ketergantungan terhadap input produksi dari luar dalam memproduksi hasil
pertanian penerapan agroforestri di perdesaan, meningkatkan kualitas lingkungan perdesaan penerapan ecovillage, Penerapan agrowisata, membangun
lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan PAD Pendapatan Asli Daerah, dan konservasi perdesaan untuk mencapai keberlanjutan Takeuchi, 2001.
Pada skala kawasan sebenarnya terdapat permasalahan besar menyangkut pola lanskap pada lokasi penelitian. Permasalahan ini timbul karena fenomena
konurbasi yaitu mulai hilangnya batas antara perdesaan dan kota di sekitarnya sehingga tidak ada jeda antara kedua wilayah tersebut. Pengembangan perkotaan
telah merambah pada kawasan perdesaan. Padahal apabila ditinjau dari Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, Kecamatan Bababkan Madang
yang merupakan bagian hulu DAS Kalibekasi, memiliki fungsi sebagai kawasan yang memberi perlindungan terhadap daerah di bawahnya, terutama sebagai
kawasan resapan air Perda Kabupaten Bogor no.19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. Peraturan rencana tata
ruang ini seharusnya dapat mendorong semua pihak untuk melakukan konservasi pada hulu DAS. Salah satunya adalah membatasi ruang-ruang terbangun yang
dapat menghalangi air meresap ke dalam tanah, sehingga keberlanjutan keseluruhan DAS dapat terjaga.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kabupaten RTRK, Kecamatan Babakan Madang juga ditetapkan sebagai kawasan permukiman perdesaan dan
sebagian kawasan permukiman perkotaan. Namun terdapat syarat dalam pembangunan keduanya. Permukiman perdesaan diarahkan sebagai hunian
kepadatan rendah jarang, bangunan yang tidak memiliki beban berat terhadap tanah, dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa maupun
terhadap potensi
lingkungannya pertanian,
peternakan, kehutanan,
pariwisataagrowisata. Di lain pihak, permukiman perkotaan memiliki arahan sebagai hunian dengan kepadatan rendah sampai sangat rendahjarang, merupakan
bangunan tunggal, yang berorientasi terhadap lingkungannya pertanian, peternakan, dan perikanan, kehutanan dan agrowisata dan pariwisata.
Dalam poin lain ditetapkan bahwa pengembangan permukiman yang bercirikan perkotaan pada lokasi penelitian harus dilakukan dengan tetap
memperhatikan fungsi kawasan sebagai kawasan perdesaan yang harus dijaga serta tidak mengganggu ekosistem kawasan. Pada kenyataannya, pembangunan
perkotaan baru pada lokasi penelitian pada hulu tengah dan bawah telah merambah pada kawasan perdesaan di sekitarnya. Selain berpengaruh pada
ekologi kawasan, hubungan ini juga menyebabkan kesenjangan ekonomi maupun sosial antara dua kawasan. Pengaruh pengkotaan urbanisasi dapat dirasakan
pada kampung di hulu DAS Kalibekasi, terutama perubahan tataguna lahan dan sebagian gaya hidup masyarakat. Perdesaan pada hulu tengah dan hulu bawah
merupakan area yang terkena dampak paling besar. Pada Kampung Landeuh batas kota desa sudah tidak ada, karena invansi dari daerah perkotaan Gambar 24a.
Hal yang sama terjadi pada hulu bawah, Kampung Leuwijambe, bahkan pada sisi Kampung ini telah didirikan lapangan golf oleh pengembang permukiman kota
Gambar 24b. Secara sosial, hal ini dapat menjadi konflik yang dapat mengancam keberlanjutan masyarakat pada kedua lokasi.
a Invasi perkotaan ke perdesaan b Lapangan golf pada hulu bawah
Gambar 24 Fenomena Konurbasi pada Lokasi Penelitian Di sisi lain, Kasper dalam Barus dan Pribadi 2009 berpandangan bahwa
pola kedekatan lokasi antar desa dan kota sebenarnya dapat menjadi potensi dalam pengembangan ecovillage. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian
besar ecovillage yang telah terbentuk di dunia pada umumnya berada dekat dengan kota dan pusat-pusat pelayanan kota. Kedekatan ini seharusnya
memberikan pengaruh positif seperti kemudahan akses masyarakat desa terhadap pusat pelayanan sehingga kesejahtereraan masyarakat menjadi lebih mudah
diperoleh. Bahkan beberapa anggota masyarakat ecovillage dapat bekerja sebagai penglaju untuk akses pendapatan di kota. Sementara di lingkungan tempat
tinggalnya, komunitas yang memiliki komitmen bersama untuk menjunjung tinggi pola adaptif terhadap alam tersebut dapat tetap menjaga lingkungannya.
Terkait komitmen Sentul City sebagai ecocity, sebenarnya bentuk desa maupun kota berkelanjutan dapat dicapai bersamaan. Hal ini berdasarkan
pendapat dari Barus dan Pribadi 2009 bahwa ecovillage sebisa mungkin saling terkait satu sama lain sehingga membentuk suatu koridor yang dapat membatasi
urban sprawl dan sekaligus mampu menjadi pelindung kawasan lindung yang menjadi fungsi ekologis lingkungan. Di samping itu, apabila di suatu kawasan
terdapat ecovillage terlepas dari satu atau lebih dan di dalamnya ada interaksi dengan eksternalnya yang saling mendukung, maka keberadaan lingkungan akan
semakin membaik. Begitupula dengan aktivitas sosial dan ekonomi baik di kota ataupun di desa.
5.1.1.6 Arsitektur Bangunan Bangunan merupakan suatu elemen yang terdapat dalam suatu lanskap.
Menurut Simonds dan Starke 2006, dari bangunan dapat dipelajari kegunaan, budaya, lokalitas iklim, teknologi, dan lingkungan dari suatu tempat. Pada lokasi
studi masih terdapat bangunan-bangunan dengan arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional merupakan arsitektur yang diciptakandibangun dengan cara yang
sama sejak beberapa generasi Frick, 1996. Arsitektur tradisional Sunda pada umumnya adalah rumah panggung. Penggunaan rumah panggung ini
dimaksudkan untuk menghindari masalah-masalah lingkungan. Menurut Muanas et al. dalam Nuraelih 2005, terdapat beberapa jenis rumah tradisional Sunda
berdasarkan ciri atapnya antara lain: 1. Jolopong sebutan untuk rumah dengan atap pelana yang bentuknya
memanjang 2. Perahu Kumureb sebutan untuk rumah dengan bentuk atap perisai, oleh
masyarakat disebut perahu kumureb karena bentuk atap seperti perahu yang terbalik
3. Julang Ngapak dikarenakan bentuk atapnya seperti sayap burung yang sedang terbang
4. Badak Heuay dikarenakan bentuk atapnya seperti seekor badak yang sedang membuka mulutnya
5. Tagog Anjing dikarenakan bentuk atapnya seperti seekor anjing yang sedang duduk.
6. Capit Gunting dikarenakan bagian atas atapnya yang saling menyilang berbentuk gunting.
Pada lokasi Penelitian bangunan tradisional yang banyak ditemui adalah jenis arsitektur Jolopong dan Perahu Kumereb Gambar 25a dan 25b. Di samping
kedua jenis ini ditemukan juga modifikasi dari kedua jenis tersebut Gambar 25c. Semakin ke bawah jumlah rumah tradisional ini berkurang.
a Perahu Kumereb b Jolopong
c Modifikasi Jolopong Gambar 25 Arsitektur Tradisional pada Lokasi Penelitian
Penggunaan rumah panggung dengan material kayu atau bambu merupakan salah bentuk dari kearifan lokal yang terdapat pada daerah perdesaan
di Jawa Barat. Berdasarkan, prinsip lingkungan, penggunaan bangunan panggung, memiliki beberapa kelebihan antara lain Koefisien Dasar Bangunan KDB yang
rendah dan adaptif terhadap gempa. KDB yang rendah pada rumah panggung menjadikan infiltrasi air ke dalam tanah menjadi lebih banyak dan mengurangi
aliran permukaan. Sementara, konstruksi panggung biasanya lebih tahan terhadap gempa. Di samping itu, dari segi fitur keberadaan rumah panggung juga menjadi
identitas dari kawasan perdesaan yang membedakannya dengan perkotaan. Identitas ini menjadi penting dalam keragaman suatu lanskap sehingga tidak
tercipta kemonotonan dari keseragaman. Sementara keuntungan penggunaan material kayu antara lain nyaman,
mempunyai energi yang dapat didaur ulang, tahan terhadap panas dan cuaca lembab, mampu menahan beban pada kemiringan untuk lokasi naungan serta
pemandangan yang kurang disenangi Murdiastuti, 2009. Kekurangannya adalah dapat rusak karena iklim. Hal ini dapat diminimalkan dengan perlakuan
perlindungan pada permukaan kayu seperti dengan mengecat atau melapisi dengan vernis.
Namun pada ketiga lokasi penelitian pengaruh dari urbanisasi telah mengubah persepsi masyarakat tentang rumah tradisional atau rumah panggung
yang mereka miliki. Rumah bagi masyarakat merupakan salah satu simbol status sosial yang dianggap akan semakin baik apabila semakin mirip dengan rumah-
rumah permanen beton di perkotaan. Hal ini mengakibatkan keberadaan rumah panggung pada ketiga lokasi penelitian semakin berkurang. Di samping mengikuti
zaman, fenomena beralihnya ke rumah permanen beton juga terkait dengan kesulitan untuk mendapatkan material kayu serta tingginya harga kayu yang
menjadi bahan dasar pembuatan rumah tradisional ini pada beberapa tahun terakhir. Sementara itu, pada cluster BGH pada Sentul City, seluruh rumah
menggunakan beton. Menurut pengelola, walaupun menggunakan beton tetapi Sentul City memiliki aturan KDB minimum yang harus dipenuhi pada setiap
rumah. Hal ini bertujuan untuk menyediakan ruang yang cukup untuk resapan air. Dari segi desain, hampir sebagian rumah pada Sentul City mengikuti desain
modern. Persentase jenis bangunan dari pendekatan data desa disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Persentase Jenis Bangunan
Lokasi Non permanen
Semi Permanen Permanen
Karang Tengah Kp. Cimandala dan Kp. Landeuh
37.9 58. 5
3,6 Kadumanggu Kp. Leuwijambe
10.2 15,9
73,9 Sentul City BGH
- -
100 Sumber: BPS, 2009
5.1.1.7 Potensi Keindahan Lanskap Pada daerah hulu atas suasana perdesaan relatif masih dapat dirasakan
dibandingkan dengan daerah-daerah di bawahnya. Permukiman dengan bentuk arsitektur tradisional dan pekarangan yang ditanami memperkuat kesan perdesaan
pada hulu atas. Secara bentang alam, keberadaan gunung-gunung yang mengelilingi kampung, sungai yang relatif masih jernih, hutan, kebun, serta
lanskap pertanian masih kerap ditemukan. Semua fitur ini dapat menjadi daya tarik lanskap pada hulu atas.
Pada daerah hulu tengah dan bawah, lanskap pertanian dan suasana perkampungan masih dapat ditemukan walaupun tidak sekentara pada hulu atas.
Kegiatan pertanian dari produksi hingga pasca produksi juga dapat ditemukan pada lokasi studi. Proses penanaman padi hingga panen serta dinamika lanskap
pertanian pada proses produksi tersebut dapat menjadi daya tarik perdesaan. Begitu pula dengan produk singkong yang menjadi komoditas utama pada lokasi
penelitian. Kebun maupun pabrik pengolahan tapioka menambah keragaman lanskap yang terdapat pada hulu DAS Kalibekasi. Di samping untuk produksi,
kegiatan pertanian pada perdesaan dapat dikelola untuk agrowisata. Kegiatan agrowisata dapat memberi tambahan pemasukan bagi masyarakat perdesaan
sehingga kegiatan pertanian dapat berlanjut secara ekonomi. Pada skala spasial yang lebih luas, kedekatan jarak antara Kampung
Cimandala dan TWA Gunung Pancar seharusnya dapat menjadi potensi pengembangan kampung. Usaha yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikan
program pada kedua objek ini, sehingga kampung juga mendapatkan dampak positif dari kegiatan wisata pada TWA. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada
Kampung Landeuh yang berdekatan dengan agrowisata kebun buah naga yang milik pihak Sentul City. Melalui kerja sama dengan masyarakat, program wisata
ini bisa meluas ke Kampung Landeuh yang masih memiliki potensi pertanian. Sementara itu pada lokasi penelitian juga ditemukan objek wisata lokal,
salah satunya adalah pemandian air panas Cibeureum pada hulu atas. Objek ini telah dimanfaatkan masyarakat untuk menambah pemasukan mereka. Namun,
dengan pengelolaan yang lebih baik potensi-potensi ini bisa lebih digali. Menurut Arifin 2009, secara kewilayahan, keragaman tata guna lahan hutan pertanian
tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, padang pengembalaan, dan peternakan, kolam-kolam ikan, pemukiman dan lain-lain, potensi agroforestri,
keindahan alam, dan lanskap budaya, ecovillage dapat dipandang sebagai variabel yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Beberapa potensi
lanskap pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 26.
a Sumber air panas b Lanskap pertanian
c Perkampungan tradisional d Tempat pengolahan tapioka
Gambar 26 Potensi Lanskap pada Lokasi Penelitian 5. 1.2 Karakter Sosial
Pada karakter sosial akan dibahas aspek sejarah kawasan, populasi, pendidikan, lahan, pekerjaan, pelapisan sosial serta beberapa fenomena sosial
yang terdapat dalam masyarakat. 5.1.2.1 Sejarah Kawasan
Ditinjau dari aspek sejarah, masyarakat Desa Karang Tengah Kampung Cimandala dan Kampung Landeuh dan Desa Kadumanggu Kampung
Leuwijambe memiliki leluhur yang sama. Dari penuturan tokoh masyarakat pada kedua desa diketahui bahwa leluhur mereka adalah penyebar agama Islam yang
berasal dari Banten dan Cirebon. Pada awalnya Desa Karang Tengah merupakan Kampung Karang Tengah yang dalam perkembangannya terus meluas.
Berdasarkan namanya, masing-masing kampung pada lokasi penelitian memiliki sebab tertentu. Cimandala diambil dari nama sungai yang mengalir di
kampung tersebut sedangkan Landeuh berdasarkan letak kampung yang lebih rendah dari semua bagian desa. Penamaan Leuwijambe disebabkan oleh
keberadaan sebuah leuwi situ pada kampung dan Jambe karena kampung banyak ditumbuhi pohon pinang jambe Areca catechu. Pada awalnya situ merupakan
ini merupakan mata air bagi kampung, kemudian dibendung menjadi situ. Seiring dengan berjalannya waktu, situ ini terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil
yang disebut empang oleh masyarakat sekitar. Pohon Pinang yang menjadi cikal bakal nama kampung juga sudah jarang ditemukan, hanya beberapa penduduk
yang masih menanamnya pada pekarangan. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman duriankadu dan manggismanggu yang menjadi cikal bakal nama Desa
Kadumanggu. Sementara itu, cluster BGH, merupakan salah satu cluster pertama yang
dibangun di Sentul City. Pembangunannya dimulai sejak tahun 1993 dan mulai ditempati sejak 1995. Perbedaan sejarah terbentuknya cluster dan perkampungan
menyebabkan perbedaan karakter yang mencolok pada wilayah perkampungan dan perkotaan. Pada perkampungan sebagian masyarakat merupakan penduduk
lokal sedangkan pada BGH merupakan penduduk yang datang dari luar wilayah tersebut. Perbedaannya juga dapat dilihat pada sisi pengelolaan. Pada
perkampungan, masyarakat merupakan pihak yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan lingkungan kampungnya sedangkan pada cluster BGH, pengelolaan
lingkungan merupakan tanggung jawab pihak pengelola kota yang telah dibayar oleh penduduk kota tersebut.
5.1.2.2 Populasi Desa Karang Tengah lokasi sampel hulu atas dan tengah memiliki
jumlah penduduk sebesar 14.466 jiwa dengan kepadatan 500 jiwakm
2
. Sementara itu Desa Kadumanggu lokasi sampel hulu bawah jumlah penduduknya adalah
14245 jiwa dengan kepadatan penduduknya adalah 3.474 jiwakm
2
BPS, 2009. Ditinjau dari kepadatan penduduk pada setiap desa masih dibawah batas standar
kepadatan penduduk ideal yang ditetapkan WHO, 9600 jiwakm
2
dan Unicef, 6900 jiwakm
2
. Dalam konsep keberlanjutan, sebuah ecovillage idealnya memiliki jumlah
penduduk 50-500 GEN, sedangkan menurut Barus dan Pribadi 2009 jumlah idealnya adalah 50-150. Pada komunitas yang berjumlah kecil, komitmen yang
menjadi landasan dalam pengembangan ecovillage akan lebih mudah dibangun, sementara interaksi dapat terjalin dengan lebih intensif. Pada lokasi penelitian
jumlah penduduknya lebih besar dari jumlah ideal dari ecovillage. Namun dengan sistem yang terus dimantapkan konsep ecovillage tetap mungkin dicapai. Dengan
jumlah yang kecil, diasumsikan pada suatu ecovillage dapat dibangun permukiman yang di dalamnya terdapat komponen perumahan, tempat bekerja,
tempat interaksi, dan tempat berbelanja. Sementara beberapa fungsi objek seperti rumah sakit, stasiun bus dapat disediakan oleh entitas yang lebih besar unitnya,
misalnya kota. 5.1.2.3 Lahan
Permasalahan lahan merupakan hal yang terjadi di lokasi penelitian. Menurut Sugihen 2006, luasan lahan pertanian yang diusahakan, hak
kepemilikan lahan, dan kebiasaan yang berlaku untuk memperoleh lahan merupakan problema utama pada kehidupan perdesaan. Permasalahan sosial yang
timbul akibat kehilangan lahan telah terjadi pada ketiga lokasi penelitian. Hal ini terkait dengan lokasi penelitian yang berada dekat dengan kawasan yang
berkembang sebagai kota baru. Fenomena ini juga sejalan dengan pendapat Arifin 2009 bahwa berbagai kawasan yang berkembang sebagai hinterland kota telah
mengakibatkan permasalahan yang serius berhubungan dengan perubahan tata guna lahan dan penutupan lahan.
Lokasi penelitian hulu tengah dan bawah merupakan kawasan yang terkena dampak langsung dari fenomena perluasan kota baru. Pembangunan kota
baru di luar kota utama merupakan fenomena yang terjadi beberapa dekade terakhir. Hal ini diakibatkan oleh kecenderungan harga lahan yang lebih
terjangkau pada daerah pinggiran. Beberapa pembeli rumah biasanya menjadi penglaju dan tetap bekerja di kota. Kondisi ini menyebabkan permintaan
permukiman pinggiran kota makin tinggi sehingga kota baru memperluas wilayahnya.
Petani kecil biasanya bersedia menjual tanah mereka dengan alasan kebutuhan ekonomi yang harus segera dipenuhi dan kenyataan memang ada
pasarnya. Selain itu, sistem pewarisan juga menjadi penyebab kecenderungan penjualan lahan. Menurut Sugihen 2006 pada perdesaan lahan biasanya
diwariskan secara turun temurun berdasarkan syariat agama atau budaya setempat. Dengan demikian dari satu generasi ke generasi luasannya bertambah kecil.
Sementara itu akibat dari sempitnya lahan, pertanian menjadi tidak ekonomis lagi untuk diusahakan sehingga petani memilih untuk menjualnya. Pola lain yang
ditemukan di perdesaan adalah penduduk kota yang membeli tanah lahan pertanian di perdesaan, baik dalam jumlah luas maupun kecil-kecilan. Lahan
biasanya digarap oleh sanak saudara ataupun disewakan pada petani dengan aturan yang sepakati. Biasanya orang ini memanfaatkan lahannya sebagai tempat
berlibur di desa. Kedua model ini dapat ditemukan pada ketiga kampung pada lokasi penelitian.
Masalah lahan ini rentan menjadi potensi konflik antara masyarakat kampung dan pihak pengembang. Beberapa kasus yang terjadi adalah masyarakat
desa tetap ingin bertani di sawahnya, dan menolak pembangunan pemukiman baru walaupun tanah pertaniaanya telah mereka jual pada pihak pengembang. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa pertanian merupakan sumber penghasilan utama masyarakat sehingga ketergantungan terhadap lahan menjadi tinggi.
Beberara bentuk negosiasi yang dilakukan kedua pihak biasanya berupa
kesepakatan bahwa masyarakat tetap boleh bertani pada lahan tersebut sampai batas waktu sebelum dilakukan pembangunan. Bentuk lain yang dilakukan adalah
memanfaat lahan pertanian tersebut untuk agrowisata yang dikelola langsung di bawah pihak pengembang sehingga masyarakakat tetap bertani. Kasus ini terjadi
pada kebun milik Sentul City pada hulu tengah. Bentuk ini dijadikan sebagai Corporate Social Responsibility CSR kota Sentul City.
5.1.2.4 Pekerjaan Berdasarkan mata pencaharian, keluarga pada hulu atas dan tengah sekitar
90 bekerja pada sektor pertanian Gambar 27. Hal ini sesuai dengan karakter perdesaan pada umumnya bahwa penduduknya biasanya bekerja pada sektor
primer kegiatan yang berkaitan dengan usaha tani, seperti buruh tani, penggarap, dan atau meramu hasil hutan di sekitar pemukiman mereka Sugihen, 2006. Pada
hulu bawah Desa Kadumanggu masyarakat sebagian besar bekerja dalam sektor industri. Kecenderungan ini disebabkan oleh lokasi desa yang dekat dengan
kompleks industri dan lahan bercocok tanam yang semakin lama semakin hilang.
Sumber : BPS, 2009
Gambar 27 Mata Pencaharian Masyarakat pada Lokasi Penelitian Mata pencaharian penduduk erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan
suatu keluarga. Pada Desa Karang Tengah, masyarakat menyatakan bahwa profesi sebagai petani hanya dapat memenuhi kebutuhan per hari terutama untuk makan.
Sementara, apabila ada kebutuhan lain akan sulit untuk dipenuhi. Kecenderungan ini lebih besar ditemukan pada buruh tani dan penggarap.
Sementara itu dalam memasarkan hasil pertanian pada lokasi penelitian, peran tengkulak masih berperan cukup besar. Bahkan terdapat kecenderungan
bahwa petani bergantung pada tengkulak. Menurut Surjadi 2010, terdapat beberapa penyebabnya antar lain keterbatasan pengetahuan dan teknik petani
dalam menyalurkan produksi ke pasaran, keterbatasan pemilikan modal untuk menyalurkan hasil pertanian, belum berkembangnya koperasi dan kemampuan
berkoperasi, khususnya koperasi produksi, serta kuatnya jaringan tengkulak dalam pasar. Selain itu penyebab lain ketergantungan yang ditemukan di lokasi
penelitian adalah tengkulak yang merangkap sebagai pemberi pinjaman uang kepada petani. Keadaan ini menjadikan petani terikat pada tengkulak dalam
memasarkan hasil pertaniannya. Bahkan seringkali dalam praktiknya menjadi sistem ijon. Sistem ini menyebabkan bentuk ekonomi pertanian yang tidak sehat
dalam masyarakat, khususnya petani. Sekitar tahun 1980-an, di Desa Karang Tengah terdapat pasar lokal yang
dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Para petani membawa hasil panennya, terutama pisang pada pasar ini sekarang menjadi kantor Desa Karang Tengah
untuk melakukan transaksi dengan para pembeli. Bentuk kegiatan ekonomi seperti ini dinilai positif, karena dapat memperpendek alur distribusi produk,
sehingga petani dapat memperoleh keuntungan langsung dan lebih banyak. Namun sekarang, bentuk pasar lokal ini telah ditinggalkan. Petani hampir
seluruhnya menjual hasil pertanian pada tengkulak. Sementara itu, apabila dibahas dari konsep pewarisan budaya pertanian,
terdapat kecenderungan keengganan para pemuda melanjutkan usaha orang tuanya dalam pertanian. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya minat pada
bidang pertanian yang selama ini dianggap tidak menguntungkan dan hilangnya lahan pertanian. Pemuda-pemuda pada lokasi penelitian biasanya lebih banyak
yang memilih menjadi sopir angkot atau tukang ojek karena dua profesi ini dapat menghasilkan uang lebih cepat. Sementara beberapa pemuda lain pergi
meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan. Pada hulu bawah, kebanyakan bekerja menjadi buruh di pabrik sehingga juga bermasalah dalam perekonomian.
Pada cluster BGH Sentul City, sebagian besar warga adalah penglaju yang bekerja di Jakarta dan pusat bisnis lain. Beberapa masyarakat pada memiliki
bisnis sampingan dalam menambah penghasilan keluarga. Dari tingkat ekonomi masyarakat dalam cluster ini dapat dikelompokkan sebagai golongan menengah
ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesejahteraan bukan menjadi masalah seperti yang terjadi pada lokasi penelitian lainnya.
5.1.2.5 Pendidikan Ditinjau dari aspek pendidikan, 75 masyarakat Desa Karang Tengah dan
hampir 60 masyarakat Desa Kadumanggu yang hanya tamatan SD. Data ini menggambarkan masih rendahnya tingkatan pendidikan pada lokasi penelitian
Gambar 28. Masyarakat menyatakan faktor ekonomi merupakan kendala utama dalam melanjutkan pendidikan. Dalam teori yang dikembangkan Surjadi 2010,
kebutuhan tenaga anak untuk bekerja membantu orang tuanya menanggulangi keadaan ekonomi keluarga menyebabkan tingkat putus sekolah yang tinggi.
Sementara ketergantungan hidup kepada alam mempengaruhi absensi murid- murid di sekolah, terutama pada saat musim mengolah sawah dan biasanya
berlanjut pada putus sekolah karena tidak dapat mengejar ketertinggalan.
Sumber Data: BPS, 2009
Gambar 28 Tingkat Pendidikan Masyarakat pada Lokasi Penelitian
Rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia pada ketiga lokasi penelitian. Pada hulu bawah, walaupun bekerja dalam
industri atau bermigrasi ke kota, masyarakat pada lokasi penelitian menyatakan kalah bersaing dengan yang lain, sehingga biasanya hanya menjadi buruh dan
pekerja biasa. Sementara pada cluster BGH, rata-rata penduduk berpendidikan S1 ke atas. Tingkat pendidikan secara timbal balik telah berpengaruh pada pekerjaan
dan tingkat kesejahteraan masyarakat pada masing-masing lokasi. 5.1.2.6 Pelapisan Sosial
Pada hulu atas yang lebih menonjol karakter perdesaannya, peran pemuka agama dinilai sangat penting. Selain menjadi pemimpin dalam kegiatan agama,
pemuka agama juga menjadi orang yang diminta pendapatnya oleh masyarakat tentang suatu masalah. Hal ini menggambarkan keterlibatan dan peran masyarakat
dalam komunitas juga ditentukan stratifikasi lapisan sosial di perdesaan tersebut. Sugihen 2006 menyatakan bahwa tokoh-tokoh di perdesaan yang berada dalam
lapisan atas seperti pemuka agama, tuan tanah, atau orang yang memiliki kedudukan atau kekayaan menjadi sangat berpengaruh di dalam pengambilan
keputusan-keputusam dalam masyarakat. Walaupun demikian biasanya mereka jarang sekali menjadi pemimpin formal. Selain menjadi orang yang dimintai
pendapat, lapisan lain menjadikan mereka sebagai sumber informasi, tempat meminjam uang, dan meminta nasihat, termasuk teknik usaha.
Sugihen 2006 menambahkan peran anggota lapisan paling bawah cenderung lebih kecil perannya dalam aktivitas sosial. Mereka jarang mengikuti
pertemuan untuk membahas permasalahan di desa mereka, dan jarang mendapatkan kesempatan untuk memimpin suatu kegiatan dalam masyarakat,
menyetujui terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh tokoh-tokoh desa mereka, sering kelihatan kurang sehat, bahkan umur harapan hidup mereka lebih
rendah. Pada lokasi penelitian fenomena ini terlihat jelas pada hulu atas. Pada hulu tengah dan bawah peran dari pemuka agama di luar kegiatan keagamaan
lebih kecil walaupun tetap dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di dalam kampung. Kelembagaan pada hulu tengah dan bawah relatif lebih kuat.
Koordinasi antara ketua RW, ketua RT, BPD, serta tokoh-tokoh dinilai lebih baik.
Di Sentul City bentuk pelapisan ini tidak ditemukan. Semua anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam komunitas.
Pembedaan gender masih ditemukan pada kawasan hulu terutama hulu atas. Pelibatan wanita dalam kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan sangat
minim dalam masyarakat hulu atas. Laki-laki menjadi pemegang peranan paling besar, terutama untuk masalah kemasyarakatan. Dalam bidang keagamaan masjid
dan musholla hanya dikhususkan untuk pria sedangkan wanita beribadah di rumah. Pola seperti ini semakin ke bawah semakin berkurang. Pada hulu bawah,
posisi keterlibatan wanita lebih kuat. Penunjukaan wanita sebagai kader pada masing-masing RT menyebabkan para wanita dapat lebih aktif dalam kegiatan
pada kampung mereka. Di Sentul City, bentuk pembedaan ini jarang ditemukan. 5.1.3 Karakter spiritual
Pada karakter spiritual akan dibahas aspek agama, nilai-nilai dan budaya yang terdapat pada lokasi penelitian.
5.1.3.1 Keagamaan Agama merupakan salah aspek spiritual yang kentara pada lokasi
penelitian. Mayoritas masyarakat pada lokasi penelitian memeluk agama islam. Hal ini memberikan pengaruh pada pola kehidupan spiritual di dalam masyarakat.
Bentuk dari kehidupan beragama pada kampung diwujudkan secara individu maupun komunal. Dalam komunitas, kegiatan-kegiatan yang biasanya secara
intensif adalah sholat berjamaah dan pengajian bersama. Pengajian biasanya dilakukan terpisah antara kaum bapak dan ibu. Pengajian biasanya diisi dengan
membaca shalawat, mengaji Al- Qur’an, dan ceramah agama. Lokasinya biasanya
pada rumah-rumah tokoh agama. Biasanya perkumpulan ini disebut majelis. Sementara itu terdapat pula kegiatan agama yang rutin namun tidak intensif,
misalnya mauludan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, Kegiatan- kegiatan dalam bulan ramadhan, dan memperingati hari raya besar Islam, Idul
Fitri dan Idul Adha. Secara pribadi kegiatan spiritual dilakukan dengan pendekatan diri masing-masing kepada Tuhan.
Di Sentul City, agama yang dianut oleh masyarakat relatif lebih beragam. Namun toleransi beragama tetap terjaga dalam masyarakat. Agama menjadi
pemersatu yang mempererat masing-masing anggota masyarakat dengan kepercayaan yang sama. Masyarakat muslim memiliki persatuan majelis taklim
yang berpusat di masjid. Setiap minggu terdapat pengajian yang digilir pada setiap rumah anggotanya. Sementara itu, terdapat perkumpulan agama lain seperti
Katolik yang sering melakukan kegiatan agama atau sosial bersama. Pada kaum muda juga tersedia perkumpulan keagamaan seperti ini, baik islam atau agama
lain. Peran pemuka agama juga masih dianggap besar perannya dalam masyarakat. Biasanya mereka dihormati dan dijadikan panutan terutama dalam
segi spiritualitas. 5.1.3.2 Nilai
Selain agama masih dapat ditemukan pula kegiatan-kegiatan spiritual yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Misalnya mengunjungi makam-makam yang
dianggap keramat oleh warga. Makam keramat ini biasanya dipercaya sebagai makam leluhur dan pendiri kampung tersebut. Pada Desa Karang Tengah terdapat
17 makam yang dikeramatkan. Makam ini tersebar hampir merata di seluruh bagian desa. Sementara di Kampung Leuwijambe terdapat satu kompleks makam
yang di dalamnya terdapat makam pendiri desa. Pada Kampung Cimandala, pada hulu atas, biasanya warga mendaki Gunung Pancar untuk mengunjungi 3 makam
yang terdapat di sana, beberapa hari sebelum bulan ramadhan. Aktivitas yang dilakukan biasanya disesuaikan dengan agama Islam, seperti melakukan puji-
pujian kepada Tuhan. Namun adapula yang mengunjungi makam karena keinginan tertentu. Pada Desa Karang Tengah, sebagian masyarakat percaya
bahwa dengan melayat ke makam tersebut keinginan-keinginan tertentu dapat terpenuhi. Bahkan masing-masing makam memiliki keunggulan untuk setiap
keinginan, misalnya jodoh, kemakmuran, dan kebahagiaan. Surjadi 2010 menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bentuk dari kepercayaan
akan ‘local space spirit’ bahwa elemen alam seperti gunung, sungai, tempat- tempat tertentu mempunyai makhluk halus sebagai penguasanya.
5.1.3.3 Budaya Sementara itu aspek spiritual juga dapat dilihat dalam kebudayaan
setempat. Pada lokasi penelitian kegiatan budaya yang masih dilakukan terkait dengan daur hidup, misalnya kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian. Pada
setiap fase ini biasanya dilakukan acara selamatan seperti tujuh bulanan, walimah, atau wiridan apabila ada warga yang meninggal. Di samping itu, kegiatan-
kegiatan seni budaya sudah jarang dijalankan. Pada ketiga lokasi perdesaan masyarakat menyatakan bahwa kecenderungan ini mulai terjadi sekitar awal
1980an. Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, namun beberapa tokoh berpendapat pembangunan perdesaan, termasuk pembangunan jalan pada awal
1980an telah membawa aliran informasi dan gelombang perubahan budaya pada kehidupan masyarakat. Padahal sebelumnya kegiatan seni masih kerap
diselenggarakan di dalam masyarakat. Minimal kegiatan seni ditampilkan pada acara pernikahan anggota masyarakat. Kegiatan seni budaya tradisional pada
awalanya merupakan suatu wadah rekreasi bagi masyarakat perdesaan, namun seiring perubahan zaman, bentuk rekreasi bergeser menjadi kegiatan yang yang
lebih umum, seperti menonton televisi, dan pergi ke kota bersama keluarga pada waktu tertentu. Adapun beberapa kegiatan seni yang pada awalnya terdapat pada
lokasi penelitian antara lain gendang pencak yang merupakan seni pertunjukan bela diri pencak silat yang diiringi dengan tabuhan kendang. Di samping itu
terdapat tamsilan yaitu seni drama tradisional Sunda. Pada hulu atas terdapat permainan tradisional yang disebut mentang kolecer. Permainan ini dilaksanakan
di gunung pada saat musim angin. Pesertanya berasal dari kampung sekitar gunung. Permainan ini merupakan adu bunyi dari objek yang dibuat dari pohon
waru yang menimbulkan suara apabila terkena angin dan dipasang pada tali yang dibentangkan. Banyak kegiatan seni budaya lokal yang khas dan menarik pada
lokasi penelitian, namun dikhawatirkan akan hilang dan tidak berlanjut apabila tidak dilestarikan.
Dewasa ini kelompok budaya yang masih berjalan adalah kelompok rebana. Permainan rebana ini merupakan pengaruh dari budaya Islam yang
terdapat di dalam kampung. Beberapa alasan hilangnya kegiatan seni budaya ini
menurut masyarakat juga disebabkan oleh ketidaktersediaan fasilitasnya, dan kesadaran kaum muda untuk melestarikan seni budaya lokal. Sementara masih
ada warga yang berpotensi menjadi pembimbing karena masih menguasai bentuk kesenian ini.
Di Sentul City, penduduknya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, karena sebagian besar merupakan pendatang. Bentuk kegiatan budaya
yang dilakukan biasanya adalah acara pernikahan. Biasanya bentuk adat pernikahan yang dipakai adalah adat Indonesia yang lebih umum, jarang yang
benar-benar mengikuti tata cara adat suatu daerah secara utuh. Namun apresiasi terhadap budaya tinggi dalam masyarakat. Beberapa masyarakat mengikutkan
anak-anak mereka dalam program-program budaya di luar Sentul City, menjadi penikmat
kegiatan-kegiatan budaya,
dan beberapa
ikut serta
dalam melestarikannya.
5.2. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat