Penilaian Keberlanjutan Masyarakat HASIL DAN PEMBAHASAN

menurut masyarakat juga disebabkan oleh ketidaktersediaan fasilitasnya, dan kesadaran kaum muda untuk melestarikan seni budaya lokal. Sementara masih ada warga yang berpotensi menjadi pembimbing karena masih menguasai bentuk kesenian ini. Di Sentul City, penduduknya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, karena sebagian besar merupakan pendatang. Bentuk kegiatan budaya yang dilakukan biasanya adalah acara pernikahan. Biasanya bentuk adat pernikahan yang dipakai adalah adat Indonesia yang lebih umum, jarang yang benar-benar mengikuti tata cara adat suatu daerah secara utuh. Namun apresiasi terhadap budaya tinggi dalam masyarakat. Beberapa masyarakat mengikutkan anak-anak mereka dalam program-program budaya di luar Sentul City, menjadi penikmat kegiatan-kegiatan budaya, dan beberapa ikut serta dalam melestarikannya.

5.2. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat

Penilaian Keberlanjutan Masyarakat merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai tiga aspek penting dalam konsep keberlanjutan yaitu ekologi, sosial, dan spiritual. Penilaian keberlanjutan ini juga merupakan suatu bagian dalam kerangka pikir ecovillage yang disusun oleh GEN. Dalam penilaiannya akan dibandingkan keadaan sebenarnya pada lokasi penelitian dan keadaan-keadaan ideal yang sesuai dengan standar-standar untuk mencapai suatu perkampungan yang berlanjut. Perbandingan ini akan menjadi gambaran tentang potensi dan kendala dari lokasi penelitian untuk mencapai keberlanjutan sehingga dapat disusun suatu bentuk rekomendasi dari pengelolaan yang dapat dilakukan. Pada awalnya akan dibahas tingkat keberlanjutan masyarakat total sebagai gambaran umum dari hasil penilaian keseluruhan, kemudian akan dibahas penilaian terhadap masing-masing aspek, baik ekologi, sosial, maupun spiritual beserta parameternya. Skor penilaian detail untuk setiap aspek disajikan pada Lampiran 4. 5.2.1 Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Total Tingkat keberlanjutan masyarakat total merupakan gambaran umum dari penilaian keberlanjutan masyarakat terhadap aspek ekologi, sosial, dan spiritual. Dari penilaian ini diketahui bahwa seluruh lokasi penelitian menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan Tabel 7. Namun, aspek ekologi memiliki nilai lebih rendah pada seluruh lokasi. Bahkan hulu tengah dan bawah menunjukkan nilai yang mengkhawatirkan. Pada kedua lokasi ini, nilai yang minim disebabkan oleh rendahnya beberapa nilai pada parameter penyusun aspek ekologi dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Nilai yang rendah itu terutama terkait dengan rasa keterikatan masyarakat dengan lokasi tempat tinggalnya, praktik pengelolaan sampah maupun limbah, serta pengelolaan energi. Tabel 7 Penilaian Keberlanjutan Total Aspek Lokasi Hulu Atas Hulu Tengah Hulu Bawah Sentul City Ekologis 128C 96C 88C 142C Sosial 182B 210B 199B 273B Spiritual 200B 211B 230B 261B Total 510B 517B 517B 676B Keterangan: Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 999+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 500-998 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-449 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan Di samping itu secara umum Sentul City menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lokasi lainnya. Hasil ini sebenarnya menjadi suatu gambaran dari pendapat Barus dan Pribadi 2009 bahwa komitmen merupakan dasar utama dalam membentuk ecovillage. Walaupun masih belum sempurna dan baru dalam tahap menuju kota yang berlanjut, komitmen ini memberi pengaruh yang positif bagi keberlanjutan Sentul City. Sementara kenyataan bahwa Sentul City merupakan kawasan yang dikelola secara terencana juga menjadikan nilainya lebih tinggi dalam penilaian ini. Walaupun demikian, tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa ecovillage lebih berpeluang diterapkan pada bentuk pemukiman seperti Sentul City. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa faktor utama yang membentuk ecovillage adalah komitmen masyarakatnya, bukan bentuk pemukimannya. Perdesaan juga memiliki potensi yang besar dalam pengembangan ecovillage ketika masyarakatnya berkomitmen dan berperilaku selaras dengan alam dalam kehidupannya. 5.2.2 Penilaian Keberlanjutan Ekologi Pada aspek ekologi, keempat lokasi penelitian menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan Tabel 8. Dari hasil penilaian, nilai terendah didapat dari parameter pengelolaan limbah cair, ketersediaan produksi makanan, dan sumber dan penggunaan energi. Nilai tertinggi diperoleh dari aspek infrastruktur, bangunan, dan transportasi yaitu keempatnya menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Tabel 8 Penilaian Keberlanjutan Aspek Ekologi No. Parameter Hulu atas Kp. Cimandala Hulu tengah Kp. Landeuh Hulu bawah Kp. Kadumanggu Cluster Kota Sentul 1 Senseperasaan terhadap tempat 20C 12C 8C 27B 2 Ketersedian, produksi dan distribusi makanan 15C 16C 21C 15C 3 Infrastruktur, bangunan, dan transportasi 32B 26B 25B 35B 4 Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat 22C 17C 17C 12C 5 Air- sumber, mutu dan pola penggunaan 25B 24C 20C 26B 6 Limbah cair dan pengelolaan polusi air -4C -4C -9C 15C 7 Sumber dan penggunaan energi 18C 5C 6C 12C Total 128C 96C 88C 142C Keterangan: Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan Secara lebih spesifik terdapat nilai yang ekstrim rendah dalam penilaian aspek ekologi ini yaitu parameter limbah cair dan pengelolaan polusi air. Hal ini disebabkan oleh masih minimnya kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam usaha mengelola limbah cair dan mengurangi polusi air. Masalah terbesarnya adalah masih bersarnya kecenderungan membuang sampah pada aliran sungai, baik sampah rumah tangga maupun padat, pada akhirnya sungai menjadi turun kualitasnya dan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Di samping itu, pada hulu tengah dan bawah parameter sumber dan penggunaan energi juga menunjukkan nilai yang rendah. Secara umum, kenyataan ini disebabkan oleh kombinasi ketergantungan masyarat terhadap sumber daya tidak terbarukan listrik yang diperoleh dari pembakaran minyak bumi dan sikap tidak konservatif dalam memanfaatkan energi listrik, misalnya dalam pola penggunaan dan pemilihan barang elektronik. Sementara itu rendahnya parameter senseperasaan terhadap tempat pada hulu bawah disebabkan oleh jumlah komunitas yang terlalu besar dan penurunan kualitas lingkungan yang dirasakan oleh masyarakatnya. 5.2.2.1 Perasaan terhadap Tempat Parameter perasaan dan keterikatan terhadap lingkungan menunjukkan nilai rendah pada ketiga kampung, terutama pada kawasan hulu tengah dan bawah. Sedangkan pada cluster di Sentul City menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya tingkat kepemilikan lahan pada masyarakat perkampungan terutama lahan pertanian. Pada daerah hulu tengah, bentuk nyata dari hilangnya rasa kepemilikan ini adalah keengganan masyarakat untuk menghijaukan kampung. Selain memang tidak memiliki lahan lagi, masyarakat beranggapan tidak akan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut karena nantinya lahan akan dimiliki oleh orang lain. Padahal perasaan terhadap lingkungan menjadi hal yang penting dalam kerangka ecovillage karena menyangkut rasa memiliki dan tanggung jawab untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungannya Nurlaelih, 2005. Terkait dengan masalah ini, fenomena lain yang terjadi adalah terdapat praktik penambangan batu kali yang berlebihan. Kejadian ini terjadi pada lahan pertanian yang telah dimiliki oleh perusahaan pengembang pada hulu bagian tengah. Penambangan batu kali ini telah mengakibatkan bagian bantaran sungai terganggu, terbuka dan semakin rentan terhadap erosi Gambar 29. Ketidakpastian akan hak, seperti belum diakuinya hak dalam mengakses sumberdaya telah mendorong masyarakat perdesaan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi Rustiadi, 2007. Gambar 29 Penambangan Batu Kali pada Hulu Tengah Ditinjau dari komposisi masyarakat, sebagian besar warga pada tiap kampung merupakan warga asli, yang menurut sejarah terbentuknya masih merupakan satu keturunan. Sedangkan pendatang hanya sebesar kurang dari 10 pada hulu atas, dan 20 pada hulu tengah dan bawah berdasarkan FGD pada ketiga lokasi. Seharusnya hal ini memiliki korelasi yang positif dengan perasaan terhadap lahan dan rasa pemilikaannya, namun diduga faktor ekonomi masyarakat lebih berperan sehingga penjualan lahan kepada pihak luar terus dilakukan. Sementara pada Sentul City penduduknya merupakan pendatang dari tempat lain. Pada FGD diketahui bahwa sekitar 60 yang menjadikan rumah pada cluster tersebut sebagai rumah utama yang didiami sepanjang tahun, 40 sisanya merupakan penduduk yang hanya ada pada akhir pekan. Di samping itu, masyarakat juga merasakan penurunan kualitas lingkungan di ketiga lokasi penelitian, terutama kualitas tanah pada lahan mereka. Indikator yang diutarakan adalah menurunnya hasil produksi dari tahun ke tahun. Diduga hal ini disebabkan oleh pemakaian pupuk anorganik dan penggunaan lahan secara terus menerus. Pada sistem pertanian tradisional, terdapat beberapa cara yang lebih konservatif dalam mengatasi permasalahan ini, antara lain sistem bera, pergiliran komoditas, serta tumpang sari. Kualitas air juga dirasakan menurun pada hulu DAS Kalibekasi. Hal ini diakibatkan oleh semakin banyaknya polusi baik dari limbah cair maupun sampah yang dihasilkan masyarakat sendiri. Sementara kualitas udara dirasakan relatif masih stabil. Jenis vegetasi dan satwa juga dirasakan berkurang oleh masyarakat pada hulu atas, tengah, dan bawah. Salah satu penyebabnya adalah fragmentasi lahan akibat pesatnya konversi lahan pada lokasi penelitian. Fragmentasi adalah pemecahan suatu habitat, ekosistem, atau jenis penggunaan lahan ke dalam patch atau pola yang lebih kecil Arifin, 2009. Dalam skala rumah tangga fragmentasi ini juga terjadi yaitu dengan fenomena penambahan bangunan pada area pekarangan. Kekayaan spesies akan berkurang seiring dengan penurunan luas pekarangan akibat dari fragmentasi dan berpengaruh pada perubahan dari struktur vegetasi pada pekarangan perdesaan di Jawa Barat Arifin, Sakamoto, Chiba, 1997. 5.2.2.2 Ketersediaan, Produksi dan Distribusi Makanan Pada lokasi penelitian, sebagian besar pangan dihasilkan dari luar desa. Keadaan ini berhubungan dengan komoditas utama desa adalah singkong, sedangkan lahan pertanian padi hanya terdapat sedikit dari kawasan perkampungan. Produksi kawasan belum dapat mencukupi kebutuhan dalam kampung. Dalam FGD masyarakat memperkirakan bahwa kurang dari 25 makanan yang berasal dari dalam wilayah kampung. Pada daerah hulu, tanaman pangan yang diproduksi antara lain padi, singkong, sayuran. Singkong merupakan produksi utama dan mendominasi lahan pertanian di ketiga kampung. Desa Karang Tengah yang menjadi lokasi hulu atas dan tengah merupakan salah satu sentra singkong untuk daerah Bogor Wardhana, 2005. Lahan padi yang ada hanya kurang dari 10 dan hanya berproduksi untuk mencukupi kebutuhan masing-masing pemiliknya, bahkan terkadang tidak mencukupi. Masyarakat memenuhi kebutuhan pangannya dengan membeli dari warung atau pedagang keliling yang berbelanja di pasar Kecamatan Babakan Madang dan Citereup setiap harinya Gambar 30. Di samping membeli dari pasar masyarakat, memenuhi kebutuhannya dari pekarangan rumah mereka. Namun pada ketiga lokasi pemanfatan pekarangan masih belum optimal. Tanaman yang paling banyak dimanfaatkan hanya beberapa jenis seperti cabai rawit, tanaman sayur yang dapat dibuat lalap, dan tanaman buah-buahan. Potensi pemanfaatan pekarangan untuk ketahanan pangan dinilai besar, namun masih butuh ditingkatkan. Gambar 30 Alur Distribusi Makanan pada Lokasi Penelitian Bibit tanaman produksi sebagian besar diperoleh masyarakat dari pasar. Beberapa jenis padi unggul yang ditanam pada lokasi penelitan adalah IR, Sadane, dan pandan wangi. Sebenarnya terdapat varietas lokal yang dibudidayakan pada waktu lampau, yaitu varieras paris, beras merah. Namun, jenis ini tidak diusahakan lagi sekarang karena waktu budidayanya dinilai terlalu panjang yaitu enam bulan. Sementara itu tanaman singkong diperbanyak dengan stek dari panen sebelumnya. Pada lokasi penelitian konsep pertanian organik belum diterapkan. Pertanian organik ialah usaha pertanian yang tidak menggunakan sarana produksi terutama pupuk dan pestisida anorganik buatan pabrik Bintoro, 2008. Biasanya pada pertanian organik hara didapatkan dari kompos baik dari sisa tanaman maupun hewan. Keuntungan menggunakan kompos dalam pertanian organik antara lain kompos menyediakan unsur hara baik makro maupun mikro, menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, meningkatkan porositas dan aerasi tanah, meningkatkan mikroorganisme tanah, meningkatkan daya pegang air, meningkatkan kapasitas tukar kation, menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan, memperbaiki kualitas pertumbuhan dan hasil tanaman Bintoro, 2008. Namun masyarakat di lokasi penelitian masih tergantung kepada pupuk anorganik yang dibeli di pasar karena dianggap lebih praktis. Potensi menggunakan kompos dalam pertanian cukup besar di ketiga lokasi. Apalagi bahan-bahannya dapat diperoleh secara lokal, seperti kotoran ternak maupun sisa tanaman. Bahkan berdasarkan penelitian, sisa tanaman singkong merupakan salah satu bahan kompos yang potensial Anwar dalam Bintoro, 2008. Pasar Citeureup Babakan Madang Warung Masyarakat konsumen Penjaja sayur Pada Sentul City, masyarakat memperoleh pangan dengan berbelanja pada pedagang sayur atau berbelanja di pasar Babakan Madang maupun supermarket. Hal ini menunjukkan terdapat dua macam kecenderungan perolehan pangan pada mayarakat kota, yaitu secara lokal pasar kecamatan dan pedagang keliling atau dimasukkan dari luar supermarket. Namun untuk buah-buahan seperti pisang, pepaya, atau manggis biasanya dibeli langsung dari pedagang yang menjajakan dagangannya di dalam kota. Buah-buahan ini berasal dari kampung-kampung di sekitar kota, termasuk dari ketiga lokasi penelitian. Sementara itu, pada Sentul City sangat jarang terdapat rumah yang memanfaatkan lahan untuk berkebun menghasilkan tanaman produksi. Pada konsep ecocity yang dikembangkan dari konsep klasik kota konsentris Von Thunen, suatu kota seharusnya dapat memenuhi kebutuhan terutama pangan dari lahan-lahan di sekitarnya. Bahkan pada konsep ini ditentukan secara spesifik pola penggunaan lahan pada setiap ring yang mengitari suatu kota berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas biaya pengangkutan serta ketahanan produk akibat adanya variabel jarak. Idealnya, penggunaan lahan dari yang terdekat dari kota berturut-turut adalah lahan untuk tanaman yang mudah busuk seperti sayuran, lahan penghasil kayu dengan pertimbangan kemudahan pengangkutan dan kebutuhan yang tinggi dalam pembangunan kota, kebun buah, padi atau serealia yang tahan lebih lama, tanaman musiman, dan peternakan Waggoner, 2006. Walaupun secara utuh sulit untuk diikuti tapi konsep dasar mendekatkan lahan pertanian pada kota menjadi sangat mungkin utuk diikuti. Pada lokasi penelitian, permasalahannya saat ini malah sebaliknya, lahan produksi perdesaan sekitar kota diokupasi untuk perluasan kota bukan dimanfaatkan sebagai sumber pangan pada kota. Padahal keduanya dapat menjadi elemen yang saling membutuhkan pada pembentukan ecovillage maupun ecocity. 5.2.2.3 Infrastruktur, Bangunan, dan Transportasi Parameter infrastruktur, bangunan dan transportasi menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Salah satu parameternya adalah penggunaan material bangunan. Pada ketiga lokasi penelitian terdapat beberapa material lokal yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat dalam membangun. Material ini berupa pasir, batu, bambu, maupun kayu yang didapatkan dari wilayah sekitar. Pada daerah hulu atas, batu mudah ditemukan di sekitar perkampungan, sedangkan pasir dapat diambil dari pinggir sungai. Sementara bambu biasanya dibeli dari masyarakat yang memiliki kebun bambu, sedangkan kayu, biasanya dipanen dari kebun sendiri atau dibeli. Pada hulu bawah, batu bata didapatkan secara lokal, karena terdapat pabrik batu bata dalam wilayah tersebut. Material lainnya didapatkan dengan membeli toko bangunan. Pembangunan yang ekologis salah satunya dapat dilihat dari pendekatan energi karena penggunaan energi paling sedikit, juga akan merusak lingkungan paling sedikit. Energi ini salah satunya dapat ditinjau dari perolehan material atau bahan bangunan. Konsep penggunaan bahan yang tersedia pada wilayah sekitar merupakan suatu pilihan terbaik karena akan menghemat biaya transportasi. Di samping itu, bahan lokal biasanya lebih adaptif terhadap lingkungan sekitar. Pada Sentul City material yang dibeli dari sekitar lokasi adalah batu dan pasir. Sementara sisanya merupakan bahan yang diperoleh dari daerah lain. Dari segi tata ruang konsep ecovillage, ruang permukiman pada suatu kampung diletakkan pada blok yang terpusat di tengah kampung, tidak berpencar. Hal ini dimaksudkan agar fasilitas, utilitas, dan pelayanan dapat disediakan secara efisien dan mudah diakses masyarakat Nasrullah, 2009. Pada hulu atas, fasilitas publik seperti SD terletak pada ujung desa dan dirasakan jauh apabila diakses dari ujung desa lainnya. Beberapa keluarga bahkan menjadikannya sebagai alasan putus sekolah. Perencanaan tata ruang perdesaan yang memperhatikan kemudahan akses merupakan hal yang harus dilakukan sejak awal pembangunan perdesaan. 5.2.2.4 Pola Konsumsi dan Pengelolaan Limbah Padat Parameter pola konsumsi dan pengolahan limbah padat menunjukkan perlunya tindakan untuk menuju keberlanjutan. Pada dasarnya pola konsumsi masyarakat di daerah perdesaan relatif sederhana. Namun kecenderungan ini merupakan akibat dari kondisi ekonomi masyarakat bukan suatu kesengajaan dengan motivasi mengurangi limbah padat. Pada ketiga lokasi penelitian, perkampungan terlihat banyak dicemari oleh sampah plastik sisa konsumsi sehari- hari Gambar 31. Pada FGD, masyarakat hulu bawah mengaku memang belum mengenal konsep pengurangan limbah padat, sedangkan masyarakat pada hulu tengah dan bawah sudah mengenal namun belum diterapkan secara optimal. Pada hulu bawah ditemukan rumah tangga yang memiliki usaha mengumpulkan bahan plastik yang dapat di daur ulang. Hal ini merupakan potensi dalam pengelolaan sampah, khususnya anorganik. Apabila setiap masyarakat lebih sadar dan mau memilah sampah, memanfaatkan yang organik, serta menyalurkannya yang anorganik pada pengumpul, maka dapat mengurangi masalah sampah. Selain itu, metode 3R Reduce, Recycle, dan Reuse yang merupakan salah satu metode dalam mereduksi sampah juga perlu digiatkan pada lokasi penelitian, terutama dalam mengurangi pemakaian bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang seperti plastik. a Sampah plastik pada hulu sungai b Sampah pada area permukiman Gambar 31 Permasalahan Sampah Sementara itu, pola pemakaian bersama untuk perkakas tidak banyak ditemukan pada lokasi penelitian. Masyarakat biasanya memiliki barang yang dibutuhkannya secara individu. Namun, pada Kampung Leuwijambe pada hulu bawah ditemukan pola kepemilikan komunal untuk perangkat hajatan pada setiap RT. Tenda dan tempat duduk dapat dipinjam anggota RT yang ingin menyelenggarakan hajatan. Hal ini merupakan suatu hal positif, selain menghemat uang juga mengurangi limbah. Sementara koperasi atau bentuk kerjasama ekonomi lokal lain tidak ditemukan pada ketiga lokasi. Koperasi Unit Desa berada di desa, namun tidak mudah untuk diakses atau tidak aktif lagi. Padahal dengan adanya koperasi pembelian barang dapat lebih mudah dan murah. Pada konsep keberlanjutan, pengelolaan sampah merupakan parameter yang penting. Namun kesadaran dan kepedulian terhadap masalah sampah masih jarang ditemukan. Sistem pengelolaan sampah komunal, belum ditemukan pada ketiga kampung. Pengelolaan sampah terjadi dalam skala rumah tangga dan ada umumnya belum dilakukan pemilahan proses pengelolaan sampah padat. Sampah organik dedaunan kering, sisa makanan dan anorganik plastik, kaca biasanya hanya dibakar danatau ditimbun. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan sungai umumnya membuang sampah ke sungai. Hal ini menyebabkan kebersihan dan keindahan ketiga kampung terganggu. Pada Sentul City, sampah padat dikelola secara kolektif oleh manajemen kota. Setiap harinya Sentul City menghasikan sampah sebanyak 22,95 m 3 ANDAL Sentul City, 2009. Sampah ini diangkut menuju TPA Kabupaten Bogor dengan armada truk pengangkut sampah. Dalam konsep ecovillage, sebaiknya sampah dapat dikelola di dalam kota sendiri karena siklus material dan energi tetap berada dalam kota dan tidak merugikan wilayah lain. Kegiatan positif dan awal yang baik telah dilakukan pihak pengelola dengan memisahkan tempat sampah organik dan anorganik. Namun fasilitas ini belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Sosialisasi yang gencar perlu dilakukan agar tujuan pengelolaan sampah ini lebih optimal. Di samping itu dalam tindakan yang lebih besar, dengan adaptasi teknologi, pengelolaan sampah dalam kota juga dimanfaatkan sebagai penghasil energi yang dapat mencukupi sebagian keperluan kota, dengan demikian dalam skala lebih besar sampah bukan menjadi masalah, namun bermanfaat. Sementara itu, sampah organik dari RTH kota dimanfaatkan pengelola untuk memproduksi kompos. Hal ini dinilai suatu yang positif karena merupakan suatu bentuk pengelolaan sampah dan di sisi lain merupakan bisnis yang menghasilkan uang. masyarakat di dalam komunitas dapat dilibatkan dalam kegiatan ini, yaitu dengan memberi insentif bagi yang melakukan praktik pengomposan, dan ditangani dalam penjualannya oleh pengelola. Pada Tabel 9 disajikan metode pengelolaan sampah yang ditemukan pada lokasi penelitian. Tabel 9 Metode Pengelolaan Sampah pada Lokasi Penelitian hanya sampah organik dari ruang terbuka hijau 5.2.2.5 Sumber, Mutu dan Pola Penggunaan Air Pada parameter air, hulu atas dan Sentul City menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan, sedangkan hulu tengah dan bawah menunjukkan perlu tindakan untuk menuju keberlanjutan. Nilai yang lebih tinggi pada hulu atas disebabkan oleh pengaruh keadaan alam terhadap kualitas dan kuantitas airnya. Pada hulu atas, sumber air adalah mata air yang berada pada gunung-gunung di sekitar perkampungan. Selain bersih, jumlahnya juga melimpah dibandingkan dengan hulu tengah dan bawah yang memanfaat air sumur sebagai sumber air bersih. Di samping itu, sungai pada hulu tengah dan bawah lebih buruk kualitasnya karena polusi sampah ataupun membawa sedimen dari hulu atas. Bentuk usaha untuk konservasi air lebih intensif dilakukan pada hulu atas. Kearifan lokal yang membagi mata air untuk setiap keluarga telah menjadikan warga di hulu atas menjaga kelestarian mata airnya masing-masing. Biasanya setiap keluarga menjaga daerah sekitar mata airnya agar tetap bervegetasi. Hal ini secara kolektif berdampak positif bagi hutan sebagai lahan serapan air yang terdapat di sekitar perkampungan. Konsep barang pribadi dan publik tergambarkan pada kasus ini. Mata air yang pada sistem setempat seperti barang pribadi, akan lebih dijaga daripada dibandingkan apabila telah menjadi barang publik. Namun demikian, kepedulian untuk melakukan konservasi terhadap sungai pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang rendah. Pada beberapa tempat sungai dijadikan tempat membuang sampah dan limbah, baik dari rumah tangga maupun pabrik. Oleh karena itu, sungai tidak dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Padahal pada konsep DAS, hulu memegang peranan penting karena Dibuang ke sungai Dibuat lubang, dibakar, ditimbun Dibakar Dikomposkan Hulu Atas V V V V Hulu tengah V V V Hulu bawah V V V Sentul City V merupakan sumber air. Apabila sungai di hulu tidak terjaga, maka hilir akan memperoleh akibatnya. Masalah air belum menjadi hal yang kritis pada bagian hulu DAS. Namun, masyarakat berpendapat bahwa beberapa dekade terakhir jumlah mata air di desa berkurang. Pada musim kemarau debit air dari beberapa mata air juga berkurang. Walaupun demikian kepedulian untuk menghemat air, belum diterapkan oleh masyarakat. Pada hulu atas, sistem keran tidak ditemukan sehingga air mengucur terus menerus. Praktek-praktek menjaga kualitas air juga masih jarang ditemukan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya kecenderungan masyarakat untuk membuang sampah di aliran sungai. Sampah berupa sampah rumah tangga, baik padat seperti plastik dan sampah cair seperti limbah deterjen dan sisa makanan. Pada Sentul City secara umum air diperoleh dari PDAM dan WTP yang bersumber dari sungai Cibarengkok dan danau buatan. Namun WTP ini hanya digunakan pada saat krisis air. Pada skala rumah tangga masyarakat umumnya mengaku hemat air terkait tagihan air setiap bulannya, selain beberapa keluarga yang memang menghemat air karena kepedulian terhadap lingkungan. Beberapa keluarga telah memanfaatkan keran berarus rendah, toilet yang lebih hemat air dalam sebagai usaha konservasi air. Pengelola kota merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kenyamanan masyarakat, termasuk di dalamnya dalam penyediaan air. Namun dengan mengajak warga dalam usaha konservasi air, seperti dengan kampanye, seminar, penyebaran berita, pengelola dapat merangkul masyarakat untuk dapat bersama melakukan konservasi sumber daya air. 5.2.2.6 Limbah Cair dan Pengelolaan Polusi Air Pada lokasi penelitian, parameter limbah cair dan pengelolaan air menunjukkan nilai paling rendah. Pada bagian hulu, tengah, maupun bawah masyarakat mengelola sampah dari rumah tangganya secara individu, namun jarang ditemukan usaha untuk mengelola limbah cair. Biasanya yang dikelola hanya sampah padat sisa rumah tangga. Limbah cair yang banyak terdapat pada lokasi penelitian adalah limbah dari pabrik pembuatan tapioka. Pabrik pembuatan tapioka pada umumnya berada berdekatan dengan badan air, seperti sungai atau empang. Pada hulu atas dan tengah limbah sisa produksi dibuang ke sungai, sedangkan pada hulu bawah, limbah dibuang ke empang. Hal ini menyebabkan polusi air baik dari zat terkandung di dalamnya maupun bau yang ditimbulkan dari limbah tapioka. Pada ketiga lokasi kualitas air yang keluar dari daerah tersebut menurun akibat polusi baik dari sampah masyarakat maupun limbah cair dari beberapa pabrik tapioka ini. Dalam kajian DAS, hal ini merupakan suatu yang berbahaya karena sungai yang menjadi bagian yang penting dalam suatu sistem ekologi telah tercemar bahkan dari bagian hulu, baik oleh limbah padat seperti sampah-sampah rumah tangga maupun limbah cair dari industri. Akumulasi terbesar dapat dilihat dari masalah sampah pada bagian hilir. Oleh karena itu adalah penting bagi warga hulu untuk mengurangi pembuangan sampah dan limbah ke sungai. Sementara dalam kota Sentul City memiliki Sewage Treatment Plant STP yaitu instalasi yang digunakan untuk mengolah limbah cair dari dalam kota agar sesuai dengan standar baku sebelum dibuang ke sungai. 5.2.2.7 Sumber dan Penggunaan Energi Pada lokasi penelitian, parameter sumber dan penggunaan energi menunjukkan perlunya tindakan untuk menuju keberlanjutan. Baik kampung maupun perkotaan memanfaatkan energi listrik untuk penerangan dan kegiatan sehari-hari. Intensitas penggunaan yang lebih tinggi ditemukan pada hulu tengah dan hulu bawah. Selain itu, tidak ditemukan bentuk pemanfaatan sumber energi yang dapat diperbaharui seperti matahari, angin, dan air padahal potensi angin dan air memungkinkan hal ini. Permasalahannya adalah belum diperkenalkan teknologi ini pada warga pada lokasi penelitian. Pada Kampung Wangun yang berdekatan Kampung Cimandala pada hulu atas telah diperkenalkan pembangkit listrik menggunakan tenaga air. Seharusnya dalam konsep ecovillage, setiap komunitas dapat saling bertukar teknologi dalam mencapai keberlanjutan. Apalagi potensi air sungai yang cukup deras dapat ditemukan di Kampung Cimandala. Untuk memasak, masyarakat pada hulu atas sebagian besar masih menggunakan kayu bakar. Kayu bakar merupakan suatu bentuk sumber daya yang dapat diperbaharui, sehingga dengan pemanfaatan yang lestari dapat mendukung konsep berkelanjutan. Pada hulu tengah dan bawah pola ini sudah banyak ditinggalkan. Masyarakat sudah banyak yang beralih pada gas seperti yang dikampanyekan oleh pemerintah. Dalam konstruksi bangunan, konservasi energi belum menjadi pertimbangan. Penentuan orientasi rumah biasanya didasarkan oleh sistem budaya melihat dari tanggal lahir ataupun orientasi jalan. Padahal menurut Frick dan Suskiyatno 1998, orientasi bangunan yang paling tepat di daerah tropis adalah kompromi antara arah matahari dan angin. Orientasi bangunan terbaik adalah arah utara selatan sehingga baik pagi hingga sore cahaya matahari tetap dapat masuk dari bagian sisi samping rumah. Dengan demikian, akan lebih menghemat penggunaan listrik untuk penerangan dan kenyamanan pada rumah Gambar 32. Gambar 32 Orientasi Rumah Berdasarkan Arah Matahari dan Angin Frick Suskiyatno, 1998 Sementara itu, kesadaran masyarakat untuk mengonservasi energi, terutama yang tidak dapat diperbaharui belum banyak ditemukan. Pernyataan ini berdasarkan penuturan masyarakat dalam FGD. Hemat listrik yang dilakukan lebih didasarkan oleh alasan ekonomi. Di samping itu pendidikan atau penyuluhan tentang konservasi energi belum pernah diselenggarakan. Pada Sentul City, masyarakat sepenuhnya telah memanfaatkan listrik untuk alat-alat keperluan rumah tangganya. Sementara itu untuk memasak, masyarakat menggunakan gas alam. Pada umumnya masyarakat telah menggunakan lampu-lampu flouresence hemat energi. Di samping itu, besar energi yang dibutuhkan juga telah menjadi pertimbangan dalam membeli barang-barang elektronik pada beberapa warga. Tapi dalam masyarakat belum ditemukan bentuk pemanfaatan energi yang dapat diperbaharui seperti dengan solar panel. Dalam salah satu konsep ecocity, penghematan energi merupakan salah satu aspek yang penting. Sinar matahari adalah adalah sumber energi yang melimpah pada negara tropis, dan seharusnya dapat dimanfaarkan secara optimal. Pada awalnya investasi untuk memasang instalasi memang mahal. Namun dalam jangka panjang manfaat yang diperoleh dapat lebih besar. Beberapa diantaranya adalah penghematan biaya listrik dan pengurangan ketergantungan pada sumber daya alam tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi dan batu bara sebagai pembangkit listrik. 5.2.3 Penilaian Keberlanjutan Sosial Pada aspek sosial, secara umum keempat lokasi penelitian telah menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan Tabel 10. Pada perdesaan, nilai tertinggi diperoleh dari parameter keterbukan, kepercayaan serta keselamatan dan parameter keberlanjutan sosial. Nilai terendah terletak pada parameter keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat dan parameter pendidikan. Bahkan pada parameter keberlanjutan ekonomi, hulu atas menunjukkan nilai negatif. Hal ini disebabkan oleh pengakuan sebagian besar masyarakat yang berprofesi sebagai petani tentang kesulitan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Strategi pemasaran yang didominasi tengkulak, sistem ijon, dan ketiadaan organisasi dalam pengelolaan produk pertanian menjadikan kegiatan bertani kurang dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Di samping itu, tingginya angka pengangguran dan minimnya bisnis-bisnis rumah tangga juga menjadi masalah pada perdesaan. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada hulu tengah dan hulu bawah. Apabila ditelusuri lebih jauh, permasalah ini sebenarnya terkait dengan kapabilitas masyarakat secara umum. Rendahnya tingkat pendidikan di perdesaan telah berdampak pada ketidakmampuan masyarakat memecahkan beberapa permasalahan, termasuk ekonomi. Pada penilaian ini, hubungan linear antara pendidikan dan ekonomi ini dapat terlihat jelas. Di daerah perdesaan, ketika nilai pendidikannya rendah maka keberlanjutan ekonominya juga rendah. Oleh sebab itu, kedua parameter ini perlu diperbaiki dalam mencapai keberlanjutan sosial masyarakat. Tabel 10 Penilaian Tingkat Keberlanjutan Sosial No. Indikator Hulu atas Kp. Cimandala Hulu tengah Kp. Landeuh Hulu bawah Kp. Kadumanggu Cluster Kota Sentul 1 Keterbukaan, kepercayaan, keselamatan 50B 47B 44B 50B 2 Komunikasi- aliran gagasan dan informasi 22C 36B 43B 36B 3 Jaringan pencapaian dan jasa 21C 29B 29B 47B 4 Keberlanjutan sosial 32B 40B 39B 42B 5 Pendidikan 23C 21C 28B 50B 6 Pelayanan kesehatan 33B 36B 45B 52B 7 Keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat -3C 1C 7C 34B Total 182B 210B 199B 273B Keterangan: Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 5.2.3.1 Keterbukaan, Kepercayaan, dan Keamanan Parameter keterbukaan, kepercayaan, dan keamanan pada keempat lokasi menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Keterbukaan dan kepercayaan antar warga perdesaan masih erat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa semua warga hidup pada satu kampung yang sama juga karena berasal dari keturunan yang sama. Keeratan ini salah satunya digambarkan dengan tingkat pengenalan, serta komunikasi sehari-hari yang baik antar sesama warga. Sementara itu, tingkat keamanan pada perdesaan relatif baik. Masyarakat mengakui jarang terjadi tindak kejahatan dalam lingkungan mereka. Setiap rumah pada umumnya memiliki ruang untuk berkumpul bersama, biasanya berupa ruang keluarga. Sementara itu, ruang luar yang khusus digunakan untuk kegiatan bersama jarang ditemukan. Kegiatan yang melibatkan masyarakat diselenggarakan pada rumah tokoh masyarakat seperti yang terjadi pada hulu atas, ruang multifungsi pada kantor atau sekolah yang berada di sekitar desa seperti pada hulu tengah dan bawah. Namun pada setiap kampung terdapat ruang-ruang sosial informal di mana sesama tetangga dapat saling bercengkerama. Ruang ini bersifat fleksibel, dapat berupa balai-balai dekat jalan kampung, beranda rumah salah satu masyarakat, warung ataupun tempat lainnya. Sementara itu pertemuan regular seluruh masyarakat dilakukan secara musiman maupun insidental. Biasanya, pengumpulan masyarakat dilakukan ketika menyelenggarakan kegiatan besar seperti mauludan. Ruang luar yang dapat dimanfaatkan untuk kaum pemuda berkumpul dan melakukan kegiatan yang sehat tidak ditemukan pada ketiga lokasi penelitian, baik ruang secara fisik maupun dalam bentuk aktifitas. Pada cluster BGH, Sentul City hubungan antar masyarakat memang tidak seerat dibandingkan dengan di perdesaan, terkait dengan kesibukan masing- masing masyarakat. Namun respon terhadap peristiwa yang terjadi pada tetangga masih tinggi. Dalam rentang waktu tertentu semua masyarakat berkumpul untuk melakukan sosialisasi. Ruang untuk sosialisasi disediakan berupa community centre, namun ruang seperti jogging track dan taman telah memberi kesempatan lebih besar masyarakat kota untuk bersosialisasi. Dari pengamatan pada lokasi penelitian, khususnya di perdesaan memang dibutuhkan tambahan suatu ruang terbuka komunitas yang luas dan dapat menampung seluruh masyarakat pada setiap kampung. Ruang terbuka ini dapat menjadi tempat bagi masyarakat untuk berkumpul dan melakukan kegiatan- kegiatan komunitas. Menurut Simond dan Starke 2006, ruang terbuka komunitas dapat berupa ruang untuk berbagai bentuk rekreasi, baik luas maupun yang terbatas, dimanfaatkan untuk olahraga seperti sepak bola, basket ataupun rekreasi yang lebih pasif seperti piknik, bermain layang. Ruang dapat pula berbentuk linear seperti untuk jogging. Nilai lain yang dapat diperoleh dari ruang terbuka hijau lainnya adalah dapat menjadi daerah serapan air, memberikan kenyamanan pada daerah terbangun di sekitarnya dan memberikan ruang kehidupan bagi burung maupun hewan kecil lainnya, dan dapat berkontribusi pula pada pembentukan kesan lokal terhadap tempat. Ruang terbuka komunitas dibutuhkan untuk menciptakan perasaan kebersamaan dalam komunitas, ruang ini menjadi jalan dan tempat kehidupan kemasyarkatan terjadi. 5.2.3.2 Komunikasi, Aliran Gagasan dan Komunikasi Penilaian parameter aliran gagasan dan komunikasi pada hulu atas menunjukkan perlunya tindakan menuju keberlanjutan, sedangkan pada hulu tengah dan bawah menunjukkan awal yang baik ke arah keberlanjutan. Pada hulu atas terdapat kecenderungan untuk mengikuti keputusan dari tokoh dan pemimpin lokal. Hal ini mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat lapis bawah dalam diskusi-diskusi lokal. Di samping itu, rasa rendah diri karena faktor pendidikan dan ekonomi juga menjadikan masyarakat desa canggung untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam membahas masalah di dalam kampung. Sementara, masyarakat pada hulu tengah dan bawah lebih bebas dalam ikut serta pada kegiatan umum pada desa. Padahal dalam konsep ecovillage seharusnya seharusnya setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam berkomunikasi dan menyampaikan pendapat GEN. Sementara itu, pada hulu tengah dan bawah golongan muda lebih aktif dalam komunitas, sehingga lebih fleksibel dalam proses komunikasinya. Aliran komunikasi pada hulu atas lebih rentan mengalami putus daripada di hulu tengah dan bawah. Biasanya hal ini diakibatkan oleh pelibatan terbatas dalam penyampaian informasi atau penyampaian hanya kepada pihak yang spesifik. Terdapat banyak kemungkinan letak putusnya informasi namun secara prosedur pada aliran informasi seharusnya seperti Gambar 33. Gambar 33 Aliran Informasi pada Perdesaan Pada Sentul City, informasi biasanya menyebar dengan surat edaran atau pesan singkat dari pengelola kepada warga. Selain itu, buletin bulanan komunitas diterbitkan untuk menginformasikan berbagai macam hal kepada warga. Secara informal pengelola tetap memakai peran ketua masyarakat, seperti RTRW dalam menyampaikan pesan terhadap masyarakat. Sementara berita-berita seperti kematian biasanya disebarkan melalui jaringan pesan singkat dalam masyarakat. Pada dasarnya tidak ditemukan permasalahan yang besar dalam parameter ini. 5.2.3.3 Jaringan Pencapaian dan Jasa Indikator dari jaringan pencapaian dan jasa antara lain adalah ketersedian informasi mengenai masyarakat, keterlibatan masyarakat dalam penyedian jasa dalam komunitas, ketersediaan kesempatan menjalin hubungan dengan organisasi di luar masyarakat, serta ketersediaan pelayanan terhadap kaum muda. Pada lokasi penelitan, hulu atas menunjukkan perlunya tindakan menuju keberlanjutan, sedangkan hulu tengah dan bawah menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Pada hulu atas, anggota masyarakat lokal yang memberikan jasa dalam komunitas hanya sebatas perangkat desa. Guru dan tenaga kesehatan berasal dari luar komunitas. Pada hulu tengah dan bawah jumlah anggota masyarakat yang berkontribusi jasa di dalam kampung lebih banyak. Hal ini menggambarkan tingkat pemenuhan sumber daya manusia pada suatu wilayah. Semakin banyak Kantor Desa RW RT RT RT Mayarakat Mayarakat Mayarakat masyarakat yang terlibat dalam penyediaan jasa dalam desa artinya semakin besar peluang desa tersebut untuk mandiri dan berlanjut. Sementara, kesempatan untuk bekerja sama dengan organisasi di luar komunitas masih minim pada ketiga lokasi perdesaan. Hubungan dengan organisasi luar biasanya hanya berdasarkan sistem proyek, yang berakhir dan tidak berlanjut setelah batas waktunya. 5.2.3.4 Keberlanjutan Sosial Pada lokasi penelitian, parameter keberlanjutan sosial menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Keberlanjutan sosial dititikberatkan pada toleransi akan keberagaman dalam masyarakat, sistem pengambilan keputusan, serta resolusi konflik yang terjadi. Masyarakat pada lokasi penelitian secara umum dapat menghargai perbedaan terutama pada minoritas, baik suku maupun agama. Konflik dengan masalah toleransi belum pernah terjadi. Di samping itu, kemauan untuk saling berbagi masih banyak ditemukan dalam masyarakat. Pada hulu atas, penyelesaian masalah yang terjadi dalam masyarakat lebih banyak diserahkan pada para perangkat kampung dan tokoh masyarakat. Jarang diskusi melibatkan seluruh warga kampung. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai kecenderungan untuk menyerahkan penyelesaian masalah pada tokoh dan perangkat kampung tersebut. Sementar itu di Sentul City permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama didiskusikan dalam komunitas dan kemudian dilaporkan kepada pengelola untuk diselesaikan. Pada kampung peran wanita dan anak-anak masih belum banyak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Padahal dengan keikutsertaan dalam pembuatan keputusan, komitmen untuk menjalankannya menjadi lebih besar. Sementara itu pada hulu tengah dan bawah masyarakat relatif lebih tanggap. Walaupun tidak melibatkan keseluruhan masyarakat, namun jumlah yang terlibat lebih banyak dan biasanya didominasi oleh golongan yang lebih muda. Pengambilan keputusan pada lokasi penelitian dilakukan dengan cara musyawarah. Cara ini telah disepakati bersama sebagai bentuk dalam menyelesaikan suatu masalah. 5.2.3.5 Pendidikan Parameter pendidikan pada hulu atas dan tengah menunjukkan perlunya tindakan untuk menunjukkan keberlanjutan, sedangkan pada hulu bawah menunjukkan awal yang baik ke arah keberlanjutan. Tingkat putus sekolah pada hulu atas masih tinggi. Alasan ekonomi, rendahnya kesadaran untuk mengenyam pendidikan, keberadaan fasilitas, dan infrastruktur pendidikan merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan. Pada lokasi penelitian, makin ke bawah kecenderungan masyarakat untuk bersekolah lebih besar. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia perdesaan. Menurut Barus dan Pribadi 2009 sebaiknya ecovillage dihuni oleh kalangan masyarakat yang berpenghasilan cukup, memiliki pola pikir yang maju, cinta terhadap lingkungannya, dan bersedia membangun komunitas yang adaptif terhadap lingkungan. Dengan pendidikan yang relatif masih rendah, serta keadaan ekonomi yang masih lemah dibutuhkan usaha lebih besar untuk mencapai keberlanjutan. Pada hulu atas, biasanya anak-anak hanya bersekolah sampai tingkat SD. Hal ini karena hanya terdapat satu bangunan SD dan satu SMP yang digunakan pada sebagai diniyah pada sore hari. Pada saat penelitian, masyarakat secara gotong royong dan dengan dana swadaya mulai membangun sebuah SMP. Di Jawa Barat, khususnya di perdesaan, sebagian besar pembangunan sekolah merupakan hasil gotong royong masyarakat. Namun banyaknya anak-anak tidak diimbangi oleh bangunan tersebut, sehingga frekuensi pemakaian sekolah berkisar 2-3 kali sehari dengan murid diperbanyak Surjadi, 2010. Pada hulu atas, bangunan SMP dipakai pada pagi hari, sedangkan sore dipakai sebagai Madrasah Diniyah. Sementara jenjang pendidikan yang lebih tinggi berada di luar kampung yang letaknya relatif jauh serta tidak ada akses angkutan umum menuju ke sana. Keterisolasian wilayah mempengaruhi tingkat pendidikan pada hulu atas. Pada hulu tengah dan bawah peluang untuk mendapatkan pendidikan lebih besar. Di hulu tengah hanya terdapat terdapat PAUD dan MI, namun terdapat akses untuk mencapai SMP yang berada di luar kampung. Pada hulu bawah terdapat PAUD, SD, SMP, dan SMK. Sementara pada Sentul City terdapat tingkat pendidikan TK sampai SMA. Pada hulu atas, muatan lokal yang dimasukkan pada SMP adalah pendidikan pertanian. Hal ini dinilai positif karena dapat mengajarkan anak-anak tentang pertanian yang menjadi basis utama desa mereka. Sistem pendidikan di sekolah bersifat umum, di mana setiap peserta didik dinilai seragam. Bakat, kecerdasan dan minat belum banyak dihargai sebagai nilai lebih pada diri peserta didik. Bentuk kegiatan pendidikan selain pendidikan formal jarang dilaksanakan pada perdesaan. Penyuluhan pertanian atau pendidikan konsevasi lingkungan lain sejak lama tidak diselenggarakan pada lokasi hulu atas dan tengah, sedangkan pada hulu bawah frekuensinya tiga bulan sekali. Padahal penyuluhan ini dibutuhkan oleh masyarakat dalam mengembangkan aktivitas pertanian. Di samping itu, bentuk kegiatan pendidikan informal lain seperti kelompok belajar petani dan program pelatihan keterampilan jarang diselenggarakan. Hal ini menyebabkan penyebaran teknologi baru jarang sampai ke lokasi penelitian, terutama pada bagian hulu atas. Pada Sentul City, penyuluhan dan pelatihan terkait dengan program-program kota berkelanjutannya jarang dilakukan. Terkait dengan komitmen Sentul City sebagai kota yang menuju keberlanjutan, pengelola seharusnya dapat lebih gencar untuk mengajak warganya untuk hidup berkelanjutan. Hal ini baik untuk membentuk komitmen kolektif dari seluruh anggota masyarakat pada Sentul City. Kegiatan kampanye, seminar, pelatihan, dan penyebaran informasi yang lebih giat dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memahami dan menerapkan konsep ecocity dalam kehidupan sehari-hari. 5.2.3.6 Pelayanan Kesehatan Parameter pelayanan kesehatan menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan pada lokasi penelitian. Secara umum kesehatan fisik, mental, spiritual, dan emosional dinilai cukup. Namun, memang dibutuhkan perbaikan pelayan kesehatan baik dari segi infrastruktur maupun tenaga medis terutama pada perdesaan. Penyakit serius dalam masyarakat hanya ditemukan sebagai kasus. Dalam dekade terakhir, tidak terdapat catatan kematian akibat bunuh diri, pembunuhan, narkoba, maupun kejadian luar biasa. Pada perdesaan terdapat beberapa jenis pusat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas dan posyandu. Di hulu atas, tenaga medis pada puskesmas hanya ada pada hari-hari tertentu sedangkan posyandu berlangsung satu kali dalam sebulan. Pada hulu tengah dan bawah, Puskesmas atau puskesdes berada lebih dekat dengan kampung dan dapat diakses hampir setiap hari. Sedangkan posyandu diselenggarakan secara periodik. Pada hulu bawah terdapat program pemerintah ‘Desa Siaga’. Program ini diberlakukan untuk mendorong masyarakat cepat tanggap apabila terdapat warga yang sakit atau meninggal. Bentuk nyata yang berjalan adalah kepemilikan tabungan kesehatan bersama yang dapat diberikan apabila ada warga yang membutuhkan biaya untuk pengobatan. Sementara itu, pemeliharaan kesehatan mental spiritual biasanya dilakukan melalui pendekatan agama. Pada perdesaan, peran paraji dukun beranak tradisional masih besar. Paraji biasanya membantu masyarakat dalam persalinan dan perawatan kesehatan ibu dan anak pasca melahirkan. Pada hulu bawah paraji telah diberikan pelatihan oleh pemerintah. Keberadaan paraji cukup membantu masyarakat terutama karena harganya yang lebih terjangkau. Di Sentul City terdapat sebuah rumah sakit untuk melayani penduduk di dalam kota. Namun untuk penyakit dengan penanganan khusus biasanya masyarakat pergi ke rumah sakit yang lebih besar di luar kota. Bentuk pelayan kesehatan alternatif juga ditemukan pada Sentul City, seperti pijat refleksi, dan terapi-terapi lainnya. Hal yang perlu ditingkatkan terkait dengan masalah kesehatan adalah kebersihan lingkungan. Kebersihan lingkungan berkorelasi positif dengan kesehatan. Pada ketiga lokasi penelitian perdesaan, kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan luar rumah perlu ditingkatkan, sedangkan pada Sentul City karena dirawat dengan intensif memiliki kualitas lingkungan yang baik. 5.2.3.7 Keberlanjutan Ekonomi Lokal Pada parameter keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat, perdesaan menunjukkan perlunya tindakan untuk menuju keberlanjutan. Bahkan pada ketiganya menunjukkan nilai yang sangat rendah. Pada hulu tengah dan atas perekonomian terutama digerakkan pada sektor pertanian lahan kering. Pada hulu bawah, masyarkat mayoritas bekerja pada sektor industri. Menurut Hakim dan Johan 2009, dalam pengembangan konsep ecovillage, sudut pandang ekonomi pada sektor pertanian difokuskan pada beberapa hal, yaitu: 1. Ketersediaan faktor produksi dan bahan baku yang berwawasan lingkungan, termasuk dalam pengelolaan limbah 2. Penguatan lembaga pemasaran dan lembaga keuangan memperpendek saluran distribusi, penguatan KUD, kerja sama dengan pemasok input produksi, membentuk brand image produk, sampai pengelolaan modal 3. Penguatan kelompok tani sebagai upaya meningkatkar posisi tawar, dan media pembelajaran budidaya berwawasan lingkungan 4. Pembangunan pertanian yang integratif pertanian terpadu 5. Pengembangan infrastruktur jalan, pergudangan, telekomunikasi 6. Penguatan lembaga produksi pengelolaan hasil pertanian peningkatan kekuatan pertanian hilir, pengembangan teknologi pengolahan yang berbasis keunggulan lokal dan kemitraan dengan pihak lain untuk capacity building pelaku usaha dan pengembangan pasar perlu pendampingan oleh profesional, LSM Berdasarkan poin-poin tersebut, ketiga wilayah desa membutuhkan usaha perbaikan karena relatif belum diterapkan. Sektor pertanian pada perdesaan pada lokasi penelitian hanya berupa produksi primer, seperti tanaman pangan, sayur mayur, dan buah-buahan. Tanaman singkong pada beberapa tempat hanya sampai pada pembuatan tapioka sedangkan pengemasan harus dilakukan di pabrik yang lebih besar di luar komunitas. Di samping itu, sistem penjualan hasil pertanian dikuasai oleh tengkulak atau pengumpul sehingga keuntungan yang didapatkan petani kecil dan hanya dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa dapat melakukan penyimpanan uang. Bahkan tidak jarang petani yang terlilit hutang dan menjadi terikat kepada seorang tengkulak. Pada ketiga lokasi perdesaan kelembagaan pertanian maupun bentuk koperasi tidak ditemukan. Padahal keberadaan kelembagaan ini sangat berguna untuk memperkuat posisi tawar petani untuk menjual hasil pertaniannya. Selain itu, infrastruktur dalam membangun perekonomian juga membutuhkan banyak perbaikan. Infrastruktur seperti akses jalan, gudang, pasar secara langsung berpengaruh dalam pengembangan ekonomi. Keterbatasan infrastruktur di daerah perdesaan membatasi daya kreativitas masyarakat karena akan mengurangi ruang gerak masyarakat perdesaan dalam mengekspresikan berbagai ide inovatif dalam membangun wilayahnya. Hal ini memicu sikap statis yang diperlihatkan oleh perilaku yang pasrah kepada keadaan, santai, dan cenderung bergelut dengan rutinitas Rustiadi, 2007. Keterisolasian wilayah perdesaan juga berpengaruh pada minat investasi, sehingga menghambat diversifikasi usaha. Semua penduduk bergantung pada sektor pertanian, sedangkan lahan pertanian tidak bertambah bahkan cenderung berkurang. Dalam perkembangan selanjutnya semakin tampak adanya kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan lapangan usaha yang tersedia, pengangguran pun bertambah. Kualitas sumber daya manusia juga menjadi faktor pendukung dalam pembentukan perkenomian yang sehat. Peningkatan kemampuan petani dalam mengelola pertanian dari hulu hingga hilir menjadi hal yang penting untuk diusahakan. Namun, pada ketiga lokasi perdesaan, jarang ditemukan pendampingan oleh pemerintah maupun profesional untuk membangun kemampuan ini. Sementara, bentuk bisnis kecil berkelanjutan seperti industri rumah tangga baik dari pertanian ataupun non pertanian belum banyak ditemukan. Padahal potensi pada ketiga desa sangat besar, baik dari sumber daya alamnya maupun tenaga kerja. Hasil pertanian seperti buah-buahan dan penganan khas dapat dimanfaatkan dengan diversifikasi produk dan kegiatan promosi. Hasil non pertanian seperti hasil hutan, juga dapat dimanfaatkan seperti untuk membuat barang kerajinan tangan lokal. Namun menurut masyarakat, kendala terbesar yang ditemukan adalah masalah modal dan keahlian. Pada Sentul City masyarakat bekerja sebagai penglaju di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Sementara itu, beberapa masyarakatnya memiliki bisnis sampingan untuk memperoleh uang tambahan. Namun tempat penjualan atau jasa tidak didirikan di dalam cluster, karena terdapat peraturan pengelolaan tentang larangan membuka usaha dalam wilayah permukiman. 5.2.4 Penilaian Keberlanjutan Spiritual Secara umum, pada aspek spiritual, keseluruhan lokasi penelitian menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan Tabel 11. Parameter keberlanjutan budaya, keberlanjutan spiritual, dan keterikatan masyarakat menunjukkan nilai paling tinggi dari ketiga parameter lain. Sementara, parameter seni dan kesenangan serta pandangan dunia baru memperlihatkan nilai yang paling rendah. Rendahnya nilai parameter seni dan kesenangan disebabkan oleh mulai hilangnya kegiatan-kegiatan seni budaya pada lokasi penelitian. Kondisi ini diakibatkan oleh jarangnya aktivitas seni budaya dilakukan dalam masyarakat. Frekuensi yang rendah untuk kegiatan kesenian, pada selanjutnya juga berpengaruh pada rendahnya bentuk dan variasi kegiatan rekreasi dalam masyarakat. Hal ini, secara tidak langsung berpengaruh pada spiritual masyarakatnya. Padahal terdapat beberapa bentuk seni yang khas pada lokasi penelitian. Tabel 11 Penilaian Aspek Spiritual No. Parameter Hulu atas Kp. Cimandala Hulu tengah Kp. Landeuh Hulu bawah Kp. Kadumanggu Cluster Kota Sentul 1 Keberlanjutan budaya 44B 39B 39B 27B 2 Seni dan kesenangan 4C 4C 7C 35B 3 Keberlanjutan spiritual 60A 54A 56A 64A 4 Keterikatan masyarakat 32B 34B 45B 46B 5 Gaya pegas Masyarakat 35B 35B 30B 30B 6 Holografik baru, pandangan dunia 6C 14C 14C 24C 7 Perdamaian dan kesadaran global 19C 31B 39B 35B Total 200B 211B 230B 261B Keterangan: Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan Pembobotan variabelparameter dalam satu aspek 333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 5.2.4.1 Keberlanjutan Budaya Pada umumnya di ketiga lokasi perdesaan masih mengikuti budaya yang telah dilakukan secara turun temurun. Pada perdesaan, bentuk pemeliharaan warisan budaya paling besar diselenggarakan melalui upacara atau ritual, terutama kegiatan upacara untuk menghormati setiap fase dalam kehidupan. Namun substansinya disesuaikan dengan agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini antara lain acara tujuh bulanan, aqiqah, khitan, pernikahan, sampai kematian. Penilaian tertinggi diperoleh dari poin kegiatan bersama yang dilakukan untuk melanjutkan kebudayaan setempat. Kesediaan seluruh masyarakat untuk membantu anggota komunitas lain dalam melaksanakan kegiatan budaya masih kerap ditemukan. Pada Sentul City, kegiatan budaya yang masih kerap ditampilkan adalah pernikahan. Sementara untuk kegiatan budaya lain, masyarakat lebih bertindak sebagai pemberi apresiasi. 5.2.4.2 Seni dan Kesenangan Parameter seni dan kesenangan menunjukkan nilai yang rendah pada seluruh lokasi. Hal ini tercermin dari jarangnya kegiatan seni dan kesenangan yang dilakukan masyarakat. Pada ketiga lokasi perdesaan tidak ditemukan kelompok-kelompok seni yang aktif melaksanakan kegiatan berkesenian. Bentuk kesenian yang pada awalnya ada antara lain gendang pencak dan tamsilan. Biasanya kesenian ini ditampilkan dalam acara pernikahan atau hajatan lainnya di rumah warga. Kegiatan berkesenian mulai pudar pada awal 1980-an. Menurut masyarakat dikarenakan masuknya pengaruh dari luar yang lebih modern. Di samping itu, ketidaktersediaan peralatan-peralatan berkesenian juga menjadi pembatas dalam mengembangkan kesenian. Walaupun demikian, masih terdapat masyarakat yang menguasai kesenian tersebut dan mau kembali mengajarkannnya. Kesadaran generasi muda juga penting untuk digalakkan untuk mengenal dan melestarikan kesenian setempat. Dalam FGD yang dilaksanakan, masyarakat menyatakan keinginan untuk mengaktifkan kembali bentuk-bentuk kesenian ini. Seharusnya, dengan komitmen yang baik dari masyarakat, kegiatan-kegiatan kesenian bisa kembali dipertunjukkan agar tidak hilang di masa yang akan datang. Kehilangan suatu bentuk kebudayaan berarti menghilangkan keterikatan masyarakatnya pada bangsanya. Sementara poin waktu luang menunjukkan masyarakat perkampungan memiliki waktu luang lebih panjang daripada masyarakat pada kota. Petani dalam kesehariannya bekerja sampai tengah hari, atau bagi yang rajin dapat kembali ke ladang atau sawah setelah istirahat dan makan siang. Pada perkotaan masyarakat hanya memiliki waktu luang pada akhir pekan yang biasanya digunakan untuk rekreasi bersama keluarga. 5.2.4.3 Keberlanjutan Spiritual Pada lokasi penelitian, parameter keberlanjutan spiritual menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan dan awal yang baik menuju keberlanjutan. Kehidupan beragama dalam masyarakat berjalan dengan baik dalam masyarakat. Di samping itu, setiap anggota masyarakat bebas melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Kegiatan spiritual dilakukan oleh masyarakat secara individu maupun berkelompok. Kehidupan spritual dalam masyarakat ditunjukkan pada beberapa kegiatan-kegiatan keagamaan. Kegiatan yang rutin dilakukan dalam masyarakat adalah sholat berjamaah, pengajian, puji-pujian dan perayaan hari-hari besar keagamaan secara bersama-sama. Kegiatan-kegiatan spiritual ini lebih intensif dilakukan pada hulu atas. Baik kaum bapak dan kaum ibunya memiliki jadwal rutin mengadakan pengajian di majelis-majelis yang terdapat di dalam kampung tersebut. Pemimpin majelis biasanya merupakan tokoh-tokoh agama dalam masyarakat. Selain masjid dan mushalla, ruang yang digunakan adalah rumah dari tokoh-tokoh keagaman tersebut. Di samping untuk beribadah kegiatan ini dilakukan untuk sosialisasi antar masyarakat dan sarana untuk menyebarkan informasi. Kegiatan ini secara positif telah menjadi ruang bagi masyarakat untuk selalu berkomunikasi antar sesamanya. 5.2.4.4 Keterikatan Masyarakat Parameter keterikatan masyarakat pada lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik ke arah keberlanjutan. Hubungan sosial masyarakat masih kuat. Kecenderungan yang lebih besar dapat ditemukan pada hulu atas. Kegiatan sosialisasi ditemukan dalam bentuk rutin seperti pengajian tiap minggu, mauludan tiap tahun, maupun yang bersifat insidental seperti pertemuan-pertemuan informal di warung, jalan, maupun tempat dalam desa lainnya. Masyarakat pada umumnya saling menghormati dan menghargai di dalam komunitas. Namun memang diakui pada beberapa dekade terakhir, hubungan para pemuda dan pemudi menjadi mengkhawatirkan, terutama pada hulu bawah. Hal ini diduga tidak lepas dari pengaruh arus informasi seperti televisi dan internet yang tidak disaring sebelum masuk ke masyarakat. Suku Sunda yang merupakan mayoritas pada lokasi penelitian, dikenal sebagai masyarakat yang tidak kaku, dan cair. Hal ini tercermin pada perilaku masyarakat sangat akrab serta senang bercanda dan tertawa bersama. Sementara itu, konflik sosial jarang terjadi, namun apabila terjadi biasanya dapat diselesaikan pada taraf komunitas dengan kekeluargaan. Keterikatan masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh intensitas komunikasi pada masyarakat di dalamnya. Dalam pola tata ruang perkampungan, biasanya rumah-rumah tidak berpagar dan berdekatan. Menurut Nurlaelih 2005, pola seperti ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat untuk saling berhubungan. pola seperti ini, mudah ditemukan pada hulu atas, yang masih kentara kesan perkampungan tradisionalnya. 5.2.4.5 Gaya Pegas Masyarakat Pada parameter gaya pegas masyarakat, penilaian menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Parameter ini menekankan pada kemampuan aggota masyarakat dalam merespons krisis yang terjadi pada dirinya sendiri atau anggota masyarakat yang lain. Krisis yang dimaksud dapat berupa permasalahan eksistensial atau pribadi, kesulitan, lemah atau miskin, sakit, kehilangan, bermasalah, lumpuh maupun manula. Tidak hanya secara individual, secara komunal gaya pegas ini dapat digambarkan sebagai kemampuan masyarakat untuk pulih setelah dilanda suatu kejadian luar biasa, seperti bencana, baik alam maupun sosial. Pada keempat lokasi penelitian, masyarakat membantu dan mendukung anggota masyarakat lain yang berada dalam krisis. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan moral maupun material apabila dibutuhkan. Salah satu bentuk nyatanya adalah dukungan masyarakat dalam membantu apabila ada suatu keluarga dalam komunitas mendapat musibah kematian, baik dalam penyelenggaraan maupun dukungan moral pada keluarga. Hal ini terjadi pada perdesaan maupun Sentul City. Sementara itu secara pribadi, pendekatan agama dilakukan dalam menghadapi krisis. 5.2.4.6 Holografik Baru dan Pandangan Dunia Pada parameter holografik baru dan pandangan dunia keempat lokasi menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan. Pada parameter ini, penekanan diberikan pada komitmen kolektif untuk menerapkan hidup yang berkelanjutan serta kesadaran bahwa setiap tindakan yang dilakukan tidak hanya berpengaruh pada komunitas tetapi global. Namun, secara umum pola kesadaran bersama ini belum ditemukan pada ketiga lokasi perdesaan. Di samping itu konsep keberlanjutan yang utuh merupakan hal yang baru dalam masyarakat. Beberapa praktik keberlanjutan memang telah dilakukan oleh masyarakat. Namun praktik keberlanjutan ini masih dalam bentuk kearifan lokal dan kebiasaan karena kebutuhan. Pembelajaran menyeluruh tentang konsep keberlanjutan perlu dipahami oleh masyarakat di lokasi penelitian dalam usaha menuju komunitas yang secara nyata berlanjut. Sementara pada Sentul City, masyarakatnya telah mengenal konsep keberlanjutan. Namun agar menjadi suatu komitmen bersama, masih perlu dilakukan sosialisasi dan bentuk-bentuk kegiatan nyata. 5.2.4.7 Perdamaian dan Kesadaran Global Parameter perdamaian dan kesadaran global menunjukkan perlunya tindakan menuju keberlanjutan pada hulu atas dan tengah. Sementara hulu bawah dan Sentul City menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Parameter perdamaian memiliki penekanan pada kesadaran individu akan pengaruhnya dalam komunitas maupun dalam skala yang lebih luas. Parameter ini terkait juga dengan partisipasi masyarakat dalam menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Pada hulu atas nilai yang rendah diakibatkan oleh masih rendahnya kesadaran dari individu akan pengaruhnya di dalam komunitas sehingga partisipasi dalam pengambilan keputusan relatif rendah. Pada umumnya masyarakat mempercayakan orang-orang tertentu seperti tokoh masyarakat dalam memutuskan suatu masalah. Padahal keiikutsertaan semua anggota masyarakat dapat membentuk energi kolektif dalam membangun komunitas desa yang lebih baik.

5.3. Rekomendasi Pengelolaan